Chapter XXIII: Run, Rabbit, Run!

Jisoo berdiri kaku di antara para wanita yang mengenakan kostum kelinci, tubuhnya diselimuti rasa malu dan takut yang terus bergejolak di dalam dirinya. Kostum yang melekat erat pada kulitnya memperlihatkan setiap lekuk tubuhnya, membuatnya merasa semakin terpapar. Tatapan dari wanita-wanita di sekitarnya terasa seperti jarum halus yang menusuk; beberapa penuh rasa kasihan, beberapa acuh tak acuh, sementara lainnya sinis, dingin, dan tanpa emosi. Meski mereka semua berbagi nasib sama, Jisoo merasa terasingkan, seolah-olah dia berada di dunia berbeda. Dia hanya bisa menunduk sambil berusaha mengendalikan ketakutannya.

Sekelompok penjaga berdiri tak jauh dari mereka, tubuh kekar mereka dilengkapi senjata yang berkilau di bawah sinar matahari. Tatapan para penjaga selalu waspada dan tajam, seperti menunggu setiap gerakan yang mencurigakan. Setiap kali salah satu wanita dalam barisan tampak bergerak sedikit saja, seorang penjaga akan memelototi mereka, memberikan ancaman tanpa kata. Keringat dingin mengalir di punggung Jisoo. Apa yang sebenarnya akan terjadi di sini? pikirnya, putus asa.

Di tengah ketegangan itu, seorang wanita di sebelahnya bergerak mendekat. Dia mengenalkan dirinya dengan suara pelan, takut didengar oleh para penjaga. “Namaku Hanna,” katanya lirih, mencoba tersenyum meskipun rasa takut tampak jelas di matanya.

Jisoo menoleh, berusaha menjawab dengan tenang walaupun hatinya masih berdebar kencang. “Aku Jisoo. Jisoo Baek,” ucapnya singkat, sesekali melirik ke arah penjaga untuk memastikan mereka tidak mendengar percakapan itu.

“Kau orang baru. Pasti bingung dengan situasi di sini.”

Lebih daripada bingung. Dia juga tidak tahu apa yang harus dilakukannya di situasi serba membingungkan ini. Dia sendirian, tidak memiliki pendukung, dan tidak tahu petunjuk untuk melarikan di sini.

“Begitulah orang-orang itu. Selalu menjebak yang lemah.” Hanna terus berbicara tanpa memedulikan ekspresi kebingungan di wajah Jisoo, si pendatang. “Aku salah satu ... ‘teman’ Gray,” lanjutnya dengan suara getir saat menyebut nama pria yang telah menjebaknya. “Aku terjebak di sini karena punya hutang besar padanya. Ini cara dia membuatku membayar utangku.”

Jisoo menatap Hanna dengan bingung. “Tapi aku tidak punya hutang apa pun padanya,” katanya, suaranya sedikit bergetar. “Kenapa aku ada di sini?”

Hanna menatap Jisoo lama, seperti sedang menilai kebingungannya lalu tersenyum pahit. “Kau mungkin tidak punya hutang, tapi dia sudah memilihmu. Itu sudah cukup. Di sini, kita tidak punya pilihan.”

Rasa kekosongan menjalari perut Jisoo. Tidak ada pilihan? Ya Tuhan, seberapa buruk hidupnya ini? Dia hanya ingin balas dendam demi penyelamatnya, tapi kenapa dia justru terjebak dalam skenario mengerikan. Pertanyaan itu menghantam dirinya dengan keras. Dia ingin berteriak, ingin melawan, tetapi sadar bahwa melawan hanya akan memperburuk keadaan.

“Dengar, Jisoo,” lanjut Hanna dengan nada serius. “Kau harus hati-hati dengan Johnny dan Frans. Mereka sangat menyukai permainan ini, terutama ketika Taeyong membawa kelinci baru seperti dirimu.”

“Apa maksudmu? Mereka ingin apa dariku?”

Hanna mendesah, memandang ke arah kerumunan pria yang yang masih sibuk sarapan dengan penuh selera. “Johnny dan Frans ... mereka punya dendam tertentu pada Taeyong. Karena kau adalah kelinci barunya, mereka berdua akan mengincarmu dalam perburuan ini.”

“Kenapa aku?”

Hanna membalas, “Bukankah sudah jelas karena kau kelinci milik Taeyong? Johnny dan Frans kehilangan kelinci mereka dalam perburuan karena Taeyong mengincarnya. Mereka berdua tentu tidak akan tinggal diam saja, saat mengetahui Taeyong membawa kelinci baru. Kelincinya sebelumnya, meski menang, tapi wanita itu takluk hanya karena rayuan.”

Menang? Rayuan? Dia benar-benar tidak mengerti, tapi darahnya terus berdesir saat mendengar penjelasannya. Mereka mengejarku? Seperti apa? Perburuan macam apa ini sebenarnya? pikirnya panik.

“Sudah berapa lama ini terjadi?"

Hanna menatapnya dengan tatapan kosong. “Tidak lama, hanya beberapa bulan sejak Taeyong dan teman-temannya memulai ide gila ini. Mereka berpikir itu menyenangkan berburu ‘kelinci’ di hutan. Tapi kelinci-kelincinya adalah kita, wanita-wanita yang mereka pilih.”

Ucapan Hanna membuat Jisoo hampir kehilangan kendali. Tubuhnya terasa lemas, tapi dia memaksa dirinya untuk tetap berdiri.

“Bagaimana aku bisa selamat?” Tentu saja, dengan bertahan hidup. Jisoo sudah memiliki gambaran besar tentang permainan ini dan apa saja yang mesti dilakukannya nanti berkat penjelasan Hanna.

Hanna menatapnya dengan simpati. “Kau harus lari. Sembunyi di dalam hutan dan bertahan sampai besok pagi. Jangan sampai tertangkap oleh Johnny, Frans, atau pria lain. Kalau mereka menangkapmu ...,” Hanna tidak menyelesakam kalimatnya, tapi Jisoo bisa merasakan kengerian di balik kata-kata yang tidak terucap itu.

Sebelum Jisoo bisa merespons, suara perintah keras dari salah satu penjaga mengalihkan perhatian mereka. Para wanita diperintahkan untuk bersiap. Dari kejauhan, Jisoo melihat para pria yang tadi asyik berkumpul kini sudah siap dengan peralatan berburu. Masing-masing membawa senapan di tangan, sementara kuda-kuda kuat berderap di belakang mereka, siap memulai permainan.

Johnny, yang memimpin perburuan, berdiri di atas kudanya yang hitam legam. Matanya berkilat penuh antusiasme. “Kalian sudah dibebaskan!” serunya sambil tertawa, suara kegembiraannya terdengar seperti cemoohan.

Jisoo bingung, tidak mengerti apa maksud dari pernyataan itu. Dia menoleh ke arah Hanna yang berdiri di sampingnya, berharap mendapatkan penjelasan.

“Itu artinya kita harus lari,” jawab Hanna dengan suara rendah dan tergesa. “Ini awal dari perburuan. Kita harus masuk ke hutan dan bersembunyi. Sekarang.”

Belum sempat Jisoo sepenuhnya memahami situasinya, suara tembakan tiba-tiba memecah udara, bergema keras di antara pepohonan. Dentuman itu mengundang kepanikan yang menyebar dengan cepat. Jisoo merasakan kakinya bergetar saat melihat para wanita di sekitarnya langsung berhamburan, berlari ke arah hutan, berteriak panik dengan dorongan naluriah untuk bertahan hidup.

Jisoo terkejut, tubuhnya membeku sejenak di tengah kekacauan. Jantungnya berdegup kencang, napasnya tersangkut di tenggorokannya. Aku harus lari! pikirnya, tapi tubuhnya terlalu lambat untuk bereaksi.

Di sekelilingnya, gemuruh langkah kaki para wanita yang berlari kencang di atas tanah basah terdengar bagaikan petir yang menyambar. Hutan di depan tampak gelap dan menyeramkan, namun itu satu-satunya tempat untuk menyelamatkan diri.

Hanna menoleh ke Jisoo, lalu berteriak, “Ayo, lari, Jisoo! Jangan berpikir! Lari!"

Tepat saat hendak berlari, instingnya mendorongnya untuk menoleh ke belakang, mencari sosok Taeyong. Di sana pria itu duduk di atas kuda, matanya menatap lurus ke arah Jisoo. Tatapan itu tajam, penuh intensitas yang sulit dijelaskan. Namun, yang paling mengganggu Jisoo adalah senyum licik yang menghiasi wajahnya. Pria itu tidak tampak panik seperti orang lain; sebaliknya, dia terlihat menikmati setiap detik kekacauan di depan matanya.

Suara Taeyong terdengar, meskipun jarak mereka jauh. “Run, Rabbit, Run.” Kata-kata itu meluncur dari bibirnya dengan nada menyeramkan, hampir seperti bisikan ancaman. Amarah meledak di dada Jisoo. Dia sedang mempermainkanku! pikirnya dengan geram. Taeyong memperlakukan semua ini seperti permainan kanak-kanak.

Jisoo menekan amarah yang membakar dalam dirinya dan mulai berlari. Aku bersumpah, jika aku selamat dari ini... aku akan membunuhnya! Kata-kata itu terus bergema di benaknya saat dia menerobos hutan, mengikuti jejak para wanita lain yang sudah lebih dulu melarikan diri dengan panik. Setiap langkahnya disertai suara ranting patah di bawah kaki, napasnya semakin terengah, dan dadanya semakin sesak dengan campuran adrenalin dan kemarahan.

Hutan di depannya semakin pekat, pepohonan besar menjulang, cabang-cabangnya seperti lengan yang membentang liar menghalangi pandangannya. Semak-semak tebal tumbuh tanpa aturan, menciptakan dinding alami yang tampak sulit ditembus. Kegelapan hutan itu terasa seolah menelannya bulat-bulat, membungkusnya dalam ketidakpastian. Di kejauhan, suara tembakan dan tawa terdengar samar, menghantui di antara hembusan angin dan gemerisik daun.

Namun, Jisoo tak bisa memikirkan hal lain selain terus berlari. Adrenalin berdesir kencang dalam darahnya, mendorong tubuhnya bergerak lebih cepat daripada yang bisa diproses oleh pikirannya. Kakinya berlari di atas tanah yang lembab dengan satu tujuan—menyelamatkan diri.

Jisoo bergerak perlahan, menyusuri hutan yang semakin gelap dan mencekam. Udara semakin lembap dan terasa berat di setiap tarikan napasnya, meskipun dia berusaha keras untuk tetap tenang. Setiap langkah terasa berat, bukan hanya karena ketakutan yang mencengkeram dirinya, tetapi juga karena tanah basah dan berlumpur di bawah kakinya yang semakin sulit untuk dilalui. Bayangan pepohonan menjulang tinggi di sekelilingnya, seperti benteng tak berujung yang mengurungnya dalam jebakan. Namun, dia tahu, berhenti bukan pilihan—dia harus terus bergerak.

Pikiran panik berputar-putar di benaknya. Aku harus sembunyi lebih baik lagi, aku harus menjauh dari sini. Suara-suara burung di hutan mulai terdengar, sesekali diselingi dengan gemerisik dedaunan dan patahan ranting. Setiap suara kecil terasa seperti ancaman. Jisoo tak tahu apakah langkah itu berasal dari dirinya sendiri atau dari orang lain yang sedang mencarinya.

Hanna. Dia teringat kata-kata wanita itu. Johnny dan Frans sangat menyukai permainan ini, mereka memiliki dendam pada Taeyong dan senang melihatnya kalah. Kedua pria itu akan mengincarnya. Dengan kostum kelinci yang memalukan ini, Jisoo merasa seperti mainan dalam sebuah permainan kejam, diciptakan oleh orang-orang yang merasa berkuasa.

Taeyong. Nama itu membuat amarahnya membuncah, tetapi juga diiringi dengan rasa takut yang dingin. Ada sesuatu yang sangat kejam dalam tatapan pria itu saat dia menyuruhnya berlari, seolah ini semua adalah bagian dari rencana besar yang sudah disusun dengan cermat. Taeyong menikmati ini—melihatnya takut dan putus asa, seakan-akan rasa takut Jisoo adalah hiburan yang memuaskan.

Melanjutkan langkahnya, Jisoo menunduk menghindari cabang-cabang rendah yang menggantung di sekitar. Pepohonan semakin rapat, menciptakan sedikit penutup alami, tetapi ketakutan dalam dirinya tetap belum mereda. Suara langkah kuda dari kejauhan masih terdengar samar, mendekat, dan mengancam. Para pria itu bergerak cepat dan dia tahu bahwa tak lama lagi mereka akan mencapai area ini.

Aku harus sembunyi, pikirnya dengan panik. Mata Jisoo terus bergerak, mencari tempat persembunyian yang lebih aman. Lalu dia melihatnya, sebuah celah di antara dua batang pohon besar yang ditumbuhi semak lebat dan lumut tebal. Dengan hati-hati, dia menyelusup ke sana, menyelinap di balik dedaunan, lalu merunduk di antara akar yang menonjol dari tanah. Tubuhnya merapat ke tanah, napasnya ditahan, berharap bahwa semak-semak ini cukup untuk menyembunyikan dirinya dari sang pemburu.

Dalam hening, telinganya berdetak kencang, seolah-olah detak jantungnya bisa terdengar dari jauh. Di kejauhan, dia bisa mendengar tawa samar para pria—tawa yang penuh kegembiraan, seolah-olah mereka sedang menikmati perburuan ini seperti anak kecil yang bermain-main dengan mainan baru. Bagaimana mungkin mereka bisa begitu puas, begitu tenang di tengah kebiadaban ini? Bagi Jisoo, ini adalah mimpi buruk yang tak pernah berakhir. Bagi mereka, ini hanya sebuah permainan.

Di tengah kekhawatirannya, suara langkah kaki yang berat semakin mendekat. Jisoo menahan napas, sementara matanya menyipit, mencoba menembus kegelapan untuk melihat siapa yang datang. Suara ranting patah terdengar jelas, diiringi napas kasar dan berat. Tak lama kemudian, sosok besar muncul dari balik pohon. Itu Frans, pria bertubuh besar bak raksasa yang disebutkan oleh Hanna. Dia bergerak pelan sedang menikmati setiap detik dari pencariannya. Matanya menyapu area sekeliling dengan tajam, seperti pemburu yang tahu bahwa mangsanya ada di dekatnya.

Jisoo memejamkan mata sesaat, tubuhnya kaku seketika. Jangan sampai dia melihatku. Tolong, jangan sampai dia melihatku, pikirnya, hampir seperti doa dalam kepanikan. Frans semakin mendekat, napas beratnya terdengar jelas, seperti hewan buas yang mengendus mangsa. Setiap detik terasa seperti berjam-jam dalam ketegangan.

Frans berhenti hanya beberapa meter dari tempat persembunyiannya. Dia menyandarkan senapannya di bahunya dan berdiri diam, matanya terus memeriksa hutan. Dia tahu ada seseorang di sini, pikir Jisoo dengan jantung berdegup kencang. Tubuhnya menempel erat di tanah berlumpur, berharap semak-semak ini cukup tebal untuk menyembunyikannya.

Pria itu tiba-tiba berbalik sembari mengangkat senapannya, mengarahkannya ke semak-semak di sekitarnya, seolah siap menembak kapan saja. Jisoo hampir tak bisa menahan diri untuk tidak bergerak, tubuhnya menegang oleh rasa takut. Dia merasa seakan sudah terlihat, menunggu Frans menarik pelatuknya dan mengakhiri semuanya. Namun, Frans menurunkan senapannya lagi, menghela napas panjang, dan mulai melangkah pergi dengan langkah berat, meninggalkan Jisoo yang masih terpaku di tempat persembunyiannya.

Walaupun pria itu telah pergi, Jisoo tetap bersembunyi, tubuhnya gemetar. Dia menunggu hingga suara langkah Frans benar-benar menghilang sebelum berani bergerak. Dia tidak melihatku ... aku selamat. Untuk saat ini. Tapi rasa lega itu hanya sesaat. Dia tahu Frans bukan satu-satunya yang mengejarnya. Masih ada Johnny dan pria-pria lain yang siap memburu.

Menguatkan dirinya, Jisoo merapatkan tubuhnya ke tanah saat suara kuda terdengar mendekat dari arah lain. Dia tidak bisa tinggal di sini lebih lama. Hutan ini penuh bahaya dan setiap sudut bisa menjadi jebakan. Aku harus bergerak, mencari tempat yang lebih aman!

Dengan sangat hati-hati, Jisoo merangkak keluar dari tempat persembunyiannya sembari memastikan tidak ada yang melihat atau mendengar. Dia memandang sekeliling sebelum memutuskan untuk lari lebih dalam ke hutan yang lebih gelap.

Saat dia terus berlari, pepohonan semakin rapat, dan tanah di bawahnya semakin sulit dilalui. Suara burung-burung mulai terdengar, menambah kesan seram pada hutan ini. Di kejauhan, samar-samar dia mendengar suara tawa Johnny bersama beberapa orang. Jisoo bisa merasakan kengerian menjalar ke punggungnya.

Ini bukan sekadar perburuan hewan liar. Ini adalah permainan yang mereka ciptakan untuk menghancurkan kami.

Jisoo menggigit bibirnya keras-keras, berusaha menahan rasa marah dan putus asanya. Jika aku bisa bertahan... hanya sampai pagi... aku akan keluar dari ini. Aku akan menemukan cara untuk lepas dari mereka. Pikirannya kembali pada Taeyong, wajahnya yang selalu tersenyum dingin dengan ancaman tersembunyi di balik pesonanya. Taeyong, aku bersumpah, aku akan membuatmu membayar untuk semua ini.

Dengan tekad yang semakin kuat, Jisoo terus berlari, melawan rasa takut yang terus menghantuinya. Sore semakin dekat, maka tak lama lagi malam segera tiba, sementara hutan di depannya semakin dalam. Hanya ada satu cara untuk selamat—terus bergerak, terus bersembunyi, dan jangan pernah tertangkap.

Langkah-langkahnya semakin cepat, kakinya berayun menyusuri jalan hutan yang kini dipenuhi bayangan. Napasnya tersengal-sengal, tubuhnya mulai terasa lelah seiring setiap langkah yang dia ambil. Hutan ini seolah menelannya, menyembunyikannya di balik kegelapan, namun di saat yang sama menjadi labirin berbahaya. Dia tidak tahu ke mana arahnya, yang penting adalah menjauh, menjauh dari para pria itu. Jauh dari Johnny, Frans, dan terutama Taeyong.

Saat dia semakin mendekati area yang lebih padat dengan semak-semak, sebuah suara terdengar dari arah belakang. Langkah-langkah berat menginjak ranting kering, samar pada awalnya, seperti bunyi yang dibawa angin. Namun perlahan, suara itu semakin jelas, seperti gema langkah yang memantul di antara pepohonan.

Apakah itu mereka? Jisoo menoleh cepat, matanya menembus kegelapan, tetapi dia tidak bisa melihat apa pun. Hatinya berdebar lebih kencang. Dorongan panik untuk melarikan diri semakin kuat. Kakinya bergerak lebih cepat, digerakkan oleh insting bertahan hidup. Aku tidak bisa tertangkap. Aku harus tetap hidup.

Langkah-langkah di belakangnya semakin mendekat. Napas Jisoo semakin berat, dadanya terasa sesak. Dia mempercepat larinya meskipun otot-otot di tubuhnya mulai terasa lelah. Tanah berlumpur dan akar-akar pohon yang menyembul membuat langkahnya goyah, tapi dia tidak berhenti. Tidak ada waktu untuk berhenti, tidak ada waktu untuk berpikir.

Saat akhirnya mencapai area yang lebih lebat, Jisoo berhenti sejenak dengan tubuh gemetaran. Dia menyandarkan diri ke pohon besar, mencoba menarik napas dalam-dalam, sementara rasa panik di dadanya belum mereda. Matanya mengintip dari balik batang pohon, telinganya siaga untuk mendengarkan. Langkah-langkah itu terdengar semakin samar, mungkin dia sudah berlari cukup jauh, tetapi rasa takutnya belum hilang. Setiap detik terasa seperti ancaman baru.

Namun tiba-tiba, suara tembakan meledak di udara, memecah kesunyian hutan yang pekat. Jisoo tersentak, tubuhnya menegang seketika. Dia mendengar jeritan keras, jeritan seorang wanita, lalu suara itu menghilang begitu saja, tertelan oleh kesunyian hutan.

“Tidak ... kumohon ... kumohon ... biar—” Suara tembakan menggema, meredam suara permohonan putus asa seorang wanita. Jisoo menyaksikan semuanya dari tempat persembunyiannya dengan perasaan yang tak terlukiskan—campuran kengerian, ketakutan, dan rasa tidak percaya.

Dua pria berkuda tersenyum kejam, bangga setelah membungkam korban mereka. Wanita lain, yang masih tertahan di tanah, ketakutan setengah mati. Wajahnya pucat pasi dan dengan sisa kekuatannya, dia mencoba melarikan diri. Tapi upayanya sia-sia saat pria berambut pirang mengarahkan senapan, menembak kakinya hingga terjatuh.

“Aku menangkapmu, Nona Parker,” ujar pria pirang itu, senyum sadis tergambar di wajahnya.

Temannya bertanya sambil mendekat. “Siapa?”

“Kau lupa? Baru kemarin kau menidurinya,” jawab pria bernama Wyatt, mengejek. “Putri Baron Parker yang dijual ke si Tua Bram.”

“Oh, benih milik orang tua berengsek itu?” Robin tertawa, mengejek wanita muda yang merintih kesakitan. “Sekarang dia milikmu. Aku akan mencari kelinci lain. Ah, sayang sekali yang tadi mati. Padahal, dia terlihat lezat—oh, aku baru ingat! Kelinci Taeyong, aku ingin mencicipinya.”

Mendengar percakapan mereka dan tiba-tiba namanya dibawa-bawa, Jisoo merasakan tenggorokannya mengering, jantungnya seperti berhenti berdetak untuk sesaat. Ya Tuhan, apa yang barusan kulihat dan dengar? Kedua pria itu gila—tidak, mereka psikopat. Mereka barusan membunuh seorang wanita, menembaknya, lalu .... Pikiran itu membuat perutnya mual. Amarah besar membuncah di dadanya. Mereka gila. Semua orang di sini gila. Mereka bukan manusia, mereka iblis yang menyamar!

Jisoo mengepalkan tangannya, menekan tubuhnya lebih rapat ke pohon tempat dia berlindung. Napasnya masih berat, tetapi kini ada campuran ketakutan dan amarah di setiap hembusannya. Apa ini yang mereka sebut permainan? Pikiran itu berputar-putar di kepalanya, membuatnya ingin berteriak. Jisoo tidak percaya bahwa para pria ini bisa membunuh seorang wanita hanya demi kesenangan. Mereka adalah monster, iblis dengan senjata.

Dia merasa amarah itu membakar di dadanya, tetapi bersamaan dengan itu, kelelahan mulai merayap masuk. Tubuhnya telah kehabisan tenaga, rasa lapar mulai menggerogoti kesadarannya. Jisoo menyadari bahwa sejak pagi dia belum makan apa-apa, rasa haus kini membuat tenggorokannya terasa kering. Namun, dia tidak punya waktu untuk berhenti dan memikirkan tubuhnya.

Aku harus bertahan. Aku harus lari lebih jauh.

Semakin lama, langkahnya semakin melambat. Lututnya gemetar, tidak sanggup lagi menahan beban tubuhnya. Jisoo berusaha mencari tempat untuk beristirahat, setidaknya sejenak, tetapi di setiap sudut hutan ini, dia merasakan ancaman yang tak terlihat. Suara-suara di dalam hutan—suara binatang liar, gemerisik daun tertiup angin, dan suara langkah samar yang terdengar jauh—membuatnya semakin waspada. Dia tak tahu siapa yang sedang mendekat atau berapa lama lagi sebelum para pemburu itu menemukan dirinya.

Dia melirik sekeliling, mencari tempat persembunyian lain. Lalu melihat sebuah pohon besar dengan akar yang menjalar ke tanah, membentuk semacam rongga kecil di bagian bawah. Dengan hati-hati, Jisoo merayap ke sana, menyembunyikan tubuhnya di antara akar-akar tebal itu, berharap mereka cukup besar untuk menyembunyikan dirinya. Setidaknya untuk sementara.

Sambil duduk bersandar pada batang pohon, dia menarik napas dalam-dalam dan memejamkan mata. Meskipun ketakutan masih merajalela di dalam dada, tubuhnya mulai terasa sangat lelah. Setiap otot di tubuhnya berteriak minta istirahat, tetapi pikirannya tetap siaga, penuh dengan suara-suara yang bergaung di kepala—suara tembakan, suara teriakan, dan suara langkah-langkah yang tak henti-hentinya mengejar.

Jisoo tahu dia tidak bisa berdiam diri di sini terlalu lama. Mereka akan menemukanku kalau aku tidak terus bergerak, pikirnya dengan panik. Aku harus bertahan sampai pagi. Kata-kata Hanna berulang kali berputar di kepalanya, memberikan secercah harapan kecil namun penting.

Di tengah rasa takut dan kelelahan itu, Jisoo merasakan sesuatu yang lebih dalam membara di dalam dirinya—sebuah kemarahan yang semakin membesar setiap kali mengingat Taeyong, setiap kali dia mendengar suara tawa para pria itu. Aku akan membunuhnya. Aku akan membunuh pria itu kalau aku berhasil keluar dari sini. Janji itu terus terpatri di dalam benaknya, satu-satunya hal yang membuatnya tetap bergerak.

Setelah beberapa menit berlalu, Jisoo mulai mendengar suara kuda lagi, kali ini lebih dekat. Dia menahan napas, merapatkan tubuhnya lebih dalam ke dalam akar pohon. Suara itu semakin dekat sementara jantungnya kembali berdebar-debar. Mereka mendekat. Sinar bulan samar menerobos pepohonan, memberikan sedikit cahaya di tengah kegelapan namun juga membuatnya merasa lebih terekspos.

Suara kuda berhenti beberapa meter dari tempatnya bersembunyi. Jisoo hampir bisa merasakan napas mereka yang berat. Dia mendengar suara beberapa pria bercakap-cakap, tapi kata-kata mereka terdengar jauh, teredam oleh jarak dan rasa takut. Dalam kepanikan itu, Jisoo mencoba menenangkan pikirannya. Mereka belum menemukanku. Aku masih punya waktu.

Perlahan suara itu memudar, para pemburu tampaknya bergerak menjauh, mencari di bagian lain hutan. Jisoo menghembuskan napas perlahan, rasa lega sejenak mengalir dalam dirinya, tetapi dia tahu bahwa ini hanya sementara. Dengan hati-hati, dia keluar dari tempat persembunyiannya kemudian dengan langkah perlahan, dia melanjutkan perjalanan ke dalam hutan, mencari tempat lain yang lebih akan untuk bertahan.

Langit perlahan semakin gelap, bayangan pepohonan hutan tumbuh lebih panjang hingga akhirnya melebur dengan kegelapan malam. Malam tiba begitu cepat dan suara-suara para pemburu mulai menghilang, menjauh seperti gema samar yang tertelan oleh alam. Angin malam yang dingin merasuk ke kulit Jisoo, menambah dingin yang sudah dia rasakan sejak pelariannya dimulai. Meski rasa takut masih menghantuinya, ada sedikit perasaan lega. Setidaknya untuk sekarang, mereka sudah menjauh, pikirnya, meskipun rasa waspada tetap tak pernah hilang.

Langkahnya pelan dan hati-hati saat dia menyusuri hutan, mencari tempat aman untuk beristirahat. Dedaunan basah dan ranting kering di bawah kakinya mengeluarkan bunyi lirih saat dia bergerak lebih dalam ke dalam hutan. Setelah beberapa waktu, Jisoo menemukan pohon besar dengan akar-akar tebal yang mencuat ke permukaan tanah, menciptakan celah cukup untuk menyembunyikan tubuhnya. Dengan hati-hati, dia duduk bersandar pada batang pohon itu, mencoba mengatur napas dan meredakan degup jantung yang masih berpacu.

Hutan di malam hari berubah menjadi dunia yang penuh misteri. Suara burung malam dan gemerisik binatang kecil terdengar di antara pepohonan yang menghitam. Angin lembut berhembus membawa aroma dedaunan lembap dan tanah basah yang menenangkan sekaligus mencekam. Jisoo menyapu pandangannya ke sekeliling, memastikan bahwa dia benar-benar sendirian sebelum akhirnya membiarkan tubuhnya sedikit rileks.

Perutnya mulai berkeroncongan, menandakan rasa lapar dan haus yang semakin menggerogoti kekuatannya. Dia tahu, jika ingin bertahan, dia harus makan sesuatu. Dengan hati-hati, Jisoo menyusupkan tangannya ke dalam kantong kecil yang dia sembunyikan di balik kostum kelincinya. Dia menemukan beberapa buah beri yang diambil secara sembunyi-sembunyi saat perjalanan sebelumnya. Meskipun tidak yakin apakah beri itu aman, dia tidak punya pilihan. Dengan tangan gemetar, Jisoo memakannya, membiarkan rasa manis dan sedikit asam memenuhi mulutnya.

Setelah makan, Jisoo membungkuk, mengumpulkan tetesan embun di daun-daun di sekitarnya, menampungnya di telapak tangannya yang kecil untuk diminum. Air embun itu dingin dan segar, meskipun hanya sedikit, cukup untuk mengurangi rasa haus yang menyengat tenggorokannya. Itu lebih baik daripada tidak sama sekali.

Ketika Jisoo tengah mencoba menikmati ketenangan sesaat, suara langkah kaki terdengar mendekat. Suara ranting patah di kejauhan kembali memicu adrenalin dalam tubuhnya. Napasnya tertahan dan tubuhnya langsung menegang. Apakah mereka menemukanku? pikirnya panik. Dalam kegelapan, suara itu semakin jelas—seseorang mendekat, perlahan, hampir dengan kehati-hatian.

Jisoo meraih sebuah batu kecil di sampingnya, siap melemparnya ke arah sumber suara sebagai bentuk pertahanan terakhir. Namun, saat dia hendak melempar, sosok yang muncul dari balik semak-semak membuatnya terkejut.

“Hanna!” bisiknya keras, menurunkan batu yang tadi dia pegang erat.

Hanna tampak lemah, wajahnya pucat, dan ada noda darah di kakinya. Jisoo melihat bagaimana Hanna kesulitan berjalan. “Aku... aku terluka,” ucap Hanna, napasnya tersengal sebelum jatuh bersandar pada pohon terdekat.

Jisoo segera mendekat, memeriksa kondisi Hanna. Ada luka tembakan di betisnya, tidak terlalu dalam, tetapi cukup parah untuk membuatnya sulit bergerak. “Apa yang terjadi?” tanyanya cemas sambil membersihkan luka Hanna dengan air embun yang tersisa di tangannya.

Hanna meringis, menahan sakit saat Jisoo menyentuh lukanya. “Aku hampir tertangkap. Frans menembakku, tapi aku berhasil melarikan diri. Beruntung, mereka menyerah begitu malam tiba. Tampaknya mereka tidak ingin berburu di gelap.”

Jisoo mendesah lega mendengar itu, meskipun rasa takutnya belum sepenuhnya hilang. “Syukurlah kau selamat. Kita harus bertahan sampai pagi,” ucapnya dengan nada pelan, meski di hatinya, dia masih berdebar.

Hanna tersenyum lemah, menatap Jisoo. “Kau juga beruntung, Jisoo. Masih hidup dan tidak tertangkap. Mereka tidak main-main.”

Diam-diam, Jisoo mencibir dalam hati. Beruntung? pikirnya sinis. Aku hampir tertangkap beberapa kali, tapi hanya karena keberuntungan aneh aku masih di sini. Dia tidak bisa menghilangkan rasa kesal yang membuncah setiap kali memikirkan Taeyong dan permainan gila ini. Semua ini bukan tentang keberuntungan, tapi bagaimana mereka diperlakukan seperti hewan buruan.

Tanpa berkata apa-apa lagi, Jisoo membantu Hanna agar lebih nyaman bersandar pada akar pohon besar. Kegelapan semakin pekat dan mereka tahu malam ini tidak akan mudah. Hutan di sekitar mereka sunyi, hanya diselingi suara binatang malam serta dedaunan yang bergemerisik ditiup angin. Tapi di balik keheningan itu, rasa waspada tetap terjaga.

Rasa marah terhadap Taeyong dan pria-pria lainnya masih membara dalam diri Jisoo. Dia membenci bagaimana mereka dipermainkan, bagaimana nyawa mereka dianggap tak lebih dari hiburan dalam permainan kejam ini. Namun, malam itu, Jisoo hanya bisa fokus pada satu hal: bertahan hidup.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top