Chapter XXII: Perburuan kelinci 2.0

Pagi itu, gedoran keras di pintu kamar membangunkan Jisoo dengan tiba-tiba. Rasa kantuk yang masih menyelimuti tubuhnya segera menghilang, digantikan oleh detak jantung yang semakin cepat saat mendengar panggilan dari luar. Kepalanya terasa berat, mengingat betapa lelahnya dia semalam hingga tertidur tanpa mengganti pakaian. Gaun lusuh yang dikenakannya masih berbau keringat dan kelelahan, tetapi dia terlalu lelah untuk peduli malam itu.

Dengan tangan gemetar, Jisoo membuka pintu, dan di sana, berdiri Taeyong. Tanpa mengucapkan sepatah kata pun, pria itu langsung masuk ke dalam kamar, seolah-olah ruang itu miliknya. Matanya tampak dingin, penuh kendali, membuat Jisoo merasa ada sesuatu yang tidak beres.

“Tutup pintunya!” perintahnya singkat, tanpa emosi.

Perasaan campur aduk segera membanjirinya. Ada sesuatu yang aneh, sesuatu yang lebih dari biasanya dalam sikap Taeyong. Jantungnya kembali berdegup kencang, tubuhnya bereaksi terhadap perubahan yang belum sepenuhnya dia pahami. Apa yang diinginkan pria ini pagi-pagi begini? Ada sesuatu berbeda pada Taeyong kali ini, sesuatu yang membuat perasaan takut merayap perlahan ke benaknya, membuat udara di kamar terasa lebih dingin dan menyesakkan.

Ketika Jisoo masih berdiri di ambang pintu, bingung dan terlihat canggung, Taeyong menatapnya tajam, lalu mengucapakan, “Lepaskan pakaianmu.”

Jisoo membelalakkan mata, rasa kaget menjalar cepat melalui tubuhnya. Apa yang baru saja dia katakan?

Apa?!” serunya, penuh ketidakpercayaan. “Anda gila? Saya tidak mau!” Tangan Jisoo mengepal kuat, tatapannya penuh kebencian. Perasaan takut dengan cepat berubah menjadi kemarahan yang membakar di dalam dada. Bagaimana mungkin dia bisa memerintahkannya seperti itu?

Namun, Taeyong tak peduli. Dengan langkah pelan, dia mendekatkan pada Jisoo. Sorot matanya tak pernah bergeming barang sedetik, seolah tak ada yang bisa menghentikan niatnya. Jisoo yang panik refleks mundur selangkah demi selangkah, sampai akhirnya tubuhnya terpojok di sudut kamar.

“Perintah tuan adalah mutlak.” Setiap kata diucapkan dengan nada dingin dan mematikan. Dia menekankan kalimat itu dengan jari telunjuknya menunjuk ke arah Jisoo, menandakan bahwa dia tidak sedang bermain-main. “Lepaskan pakaianmu. Sekarang.”

Apa-apaan sebenarnya orang ini? Tiba-tiba dia datang ke kamar dan menyuruhnya untuk melepaskan pakaian. Apakah dia sudah gila? Kemarahan menguasai Jisoo, membuat seluruh tubuhnya gemetar hebat. Tangannya mengepal erat, kukunya menusuk telapak tangannya hingga nyaris berdarah. Dia ingin berteriak, ingin melempar sesuatu ke arah pria itu, tetapi dia tahu betapa kuat dan tak kenalnya pria ini terhadap perlawanan.

“Tidak! Saya tetap tidak mau!” Mata tajamnya penuh kebencian yang siap meluap kapan saja. “Anda tidak bisa memaksa saya,” lanjutnya dengan suara bergetar.

Taeyong menatapnya sebentar, lalu tertawa—tawa yang dingin, mengejek, dan penuh cemoohan. Suaranya bergema di ruangan ruangan yang terasa semakin kecil. “Kau akan menurutiku, Jisoo.” Senyum dingin terlukis di wajah itu. “Atau ... haruskah aku membiarkanmu menjadi kelinci pria lain?”

Kata-kata itu membuat darah Jisoo mendidih, tetapi pada saat yang sama, dia merasa takut. Menjadi kelinci pria lain? Apa maksudnya? Apa yang ingin dia lakukan padanya? Meski perkataannya terdengar tak masuk akal, tapi Jisoo memahami satu hal: menolak perintah Taeyong berarti menerima konsekuensi yang mungkin jauh lebih buruk.

Dia menggigit bibirnya, rasa ragu mulai menjalari hatinya. “Saya ... saya tidak bisa—”

Sebelum sempat menyelesaikan kalimatnya, Taeyong meraih tangannya, membuatnya terdiam seketika. Dia menyerahkan sebuah setelan pakaian baru kepadanya. “Ganti pakaianmu dengan ini.”

Saat Jisoo melihat pakaian yang diberikan, darahnya mendidih. Itu adalah kostum kelinci vulgar, terbuat dari bahan tipis yang hampir tidak menutupi apa-apa. Pakaian itu sungguh memalukan, jenis pakaian yang bisa menghancurkan harga dirinya. Lebih tepatnya itu kostum—sebuah kostum dengan telinga kelinci yang panjang, bagian dada rendah dengan belahan terbuka, dan rok pendek yang hampir tidak menutupi apa-apa. Sesuatu yang hanya dirancang untuk mempermalukan seorang perempuan.

“Saya tidak mau memakainya!” Jisoo berteriak, hampir membuang kostum itu ke lantai, tapi Taeyong segera menahannya, mata pria itu berkilat dengan ancaman yang tidak terselubung.

“Jika kau membuang pakaian itu, Jisoo, aku akan menghukummu. Dan mungkin, kita bisa melakukan sesuatu yang lebih dari sekadar ciuman?” Taeyong menyeringai lebar, sementara matanya melihat sekeliling. “Tidakkah menurutmu kamar ini terlalu luas untuk kau tinggali sendirian? Haruskah kita bermain-main sebentar sebelum perburuan itu? Jika itu maumu, aku bisa memberimu pelajaran yang menyenangkan. Lebih menyenangkan dari ciuman di ruang kerjaku.”

Jisoo merasa perutnya bergejolak mendengar kalimat kurang ajar itu. Pria ini benar-benar sudah gila! Tidak, dia lebih dari sekadar gila. Pikirannya lantas dipenuhi kepanikan. Dia tak ingin dipermalukan lebih jauh, tak ingin disakiti oleh pria yang tak mengenal batas ini.

Dengan tangan gemetar dan perasaan marah yang bercampur dengan rasa takut, akhirnya dia setuju untuk mengganti pakaiannya. Tapi sebelum itu, dia memohon. “Keluar. Saya akan mengganti pakaian, tapi keluar.”

Taeyong hanya menatapnya datar, sebelum senyum licik terbesit di bibirnya. Alih-alih pergi, pria itu justru duduk di sofa di ujung ruangan, menyilangkan kaki dan bersandar santai, sambil menatapnya. “Aku akan tetap di sini, mengawasimu.”
“Tu-tunggu. Anda tidak bisa menunggu di situ—”

“Apa kau malu?”

Tentu saja, dasar orang gila! Daripada menganggapnya malu, aku lebih jijik dilihat oleh orang sepertimu! Kemarahan dan kebencian terhadapnya semakin memuncak, hingga rasanya dia menyerang pria ini secara membabi buta.

“Oh, ayolah. Aku di sini hanya untuk memastikan kau memakai pakaianmu dengan benar, sebelum kita keluar untuk berburu.” Kemudian dia melanjutkan, “Aku tidak suka melihat kelinciku yang berharga dipermalukan. Jadi, segera ganti pakaian kotormu itu, Nona Baek. Aku sudah cukup sabar untuk menunggu.”

Dia mengancamku! batin Jisoo sambil merasakan darahnya mendidih di bawah tatapan mengancamnya itu. Mata pria itu begitu tajam—seperti biasa—menyiratkan bahwa dia tidak punya pilihan lain.

Jika Jisoo terus melawannya, Taeyong pasti akan melakukan sesuatu padanya, dan kemungkinan hal itu lebih buruk dari sekadar ciuman. Jisoo tidak sudi disentuh oleh pria gila ini.

Akhirnya, dengan hati yang berat, dia mulai melepaskan pakaiannya. Setiap gerakan terasa seperti penghinaan yang menancap lebih dalam ke dalam dirinya. Tangannya gemetar saat berusaha melepaskan pakaian dan menutupi tubuh telanjangnya, di bawah tatapan mata si Pria Han ini yang memandangnya dengan dingin, seolah-olah dia sedang mengamati sebuah pertunjukan. Malu dan jijik bercampur aduk saat Jisoo berusaha mengenakan kostum kelinci vulgar yang merendahkan harga dirinya sebagai seorang wanita. Kostum itu begitu minim, setiap bagian tubuhnya terasa terbuka dan terekspos di bawah tatapan tajam Taeyong.

“Seperti yang kubayangkan,” ucap pria itu tiba-tiba, menyeringai puas saat matanya menjelajahi tubuh  Jisoo yang kini terbungkus kostum.

Dia berdiri dari kursinya, melangkah mendekat untuk menghampiri Jisoo yang masih berusaha menyesuaikan diri dengan pakaian itu. Tangannya terangkat, lalu dengan perlahan meraih dagu Jisoo, memaksanya menatap langsung ke dalam matanya. Mata pria itu menyala dengan kepuasan yang dingin. “Sempurna.”

Jisoo bingung namun tetap diam, tubuhnya terlalu kaku seperti batu. Dia ingin melakukan sesuatu, ingin melepaskan diri dari sentuhan pria itu, tetapi rasa takut dan malu yang mencengkeramnya terlalu kuat.

“Rasanya aku ingin menyimpan keindahan ini hanya untuk diriku sendiri.” Gumaman itu terdengar lirih, seperti hembusan angin yang nyaris tenggelam di antara detak jantung Jisoo yang semakin cepat. Wajah pria yang berdiri dekat dengannya memperlihatkan sesuatu yang sulit diartikan, sebuah ekspresi antara kekecewaan dan keinginan yang tak tersampaikan. Meski samar, kalimat itu menghantam benak Jisoo, membuat pikirannya penuh dengan kebingungan.

Dia tidak mengerti. Apa maksudnya? Kenapa dia mengatakan itu? Pertanyaan-pertanyaan melintas di kepalanya, tetapi tidak ada jawaban yang muncul. Hanya hening disertai ketegangan yang menggantung di udara. Jisoo bisa merasakan udara di sekeliling mereka semakin berat, seolah setiap kata yang tak terucap menambahkan beban pada suasana yang sudah cukup menekan.

Setelah hening beberapa saat, Taeyong menggandeng lengannya tanpa bicara, lalu menariknya keluar dari kamar. Dia terus menyeretnya keluar hingga mereka tiba di sebuah aula besar terbuka, kemudian semua mata tertuju padanya—terutama para pria yang duduk di sekitar meja makan mewah dengan berbagai hidangan lezat dan anggur berlimpah. Tatapan mereka terasa seperti belati, menusuknya dari segala arah.

Salah satu dari mereka bersiul sambil berkata dengan nada kurang ajar, “Kelinci barumu sangat seksi.”

Kurang ajar! Belum pernah dia direndahkan seperti ini. Bahkan saat dia masih menjadi putri kedelapan Keluarga Kim, tak seorang pun berani memperlakukannya dengan tidak hormat. Para pria selalu menundukkan kepala saat melihatnya, menghormatinya sesuai dengan martabatnya sebagai putri dari keluarga yang paling disegani. Setiap langkahnya diikuti oleh pandangan penuh penghargaan dan rasa takut yang terpendam.

Namun sekarang? Orang-orang ini berani merendahkannya, memperlakukannya seolah-olah dia tak lebih dari seorang gadis tak berarti. Darahnya mendidih, perasaan marah membara dalam dada, tapi Jisoo menahannya. Dia sudah bukan lagi seorang putri—sekarang dia hanyalah Jisoo Lyudmila Baek, seseorang yang bersembunyi di balik nama baru, tanpa kekuasaan, tanpa perlindungan.

Menyadari kehidupannya sekarang, rasanya dia ingin terus bersembunyi, membelakangi semua tatapan mata kurang ajar itu, tetapi dia hanya bisa berdiri di belakang Taeyong dan berusaha melindungi diri dari sorotan mata yang tak berperasaan.

Tidak ada yang terlihat lebih menjijikkan daripada senyum mereka—senyum penuh kemenangan dan nafsu yang menyiratkan bahwa mereka menikmati pertunjukan. Tatapan para pria di sana tertuju pada Jisoo, menelanjanginya dengan mata mereka. Mata mereka menyala dengan ketertarikan, membuat Jisoo merasa seolah-olah dia bukanlah manusia, melainkan mainan yang dipamerkan untuk kesenangan mereka.

Seseorang yang tampak lebih tua dengan rambut perak dan janggut lebat, bersiul lagi ketika melihat Jisoo mendekat bersama Taeyong. “Taeyong," ucapnya sambil tersenyum licik, matanya tidak pernah lepas dari tubuh Jisoo yang terbungkus kostum kelinci yang memalukan. “Kau benar-benar tahu cara memilih kelinci yang menarik hari ini.”

Jisoo merasa darahnya mendidih, bukan hanya karena rasa malu, tapi juga karena kemarahan yang bergejolak dalam dirinya. Tangan Taeyong tetap menggenggam lengannya erat, menariknya semakin dekat ke meja, dan memaksa dirinya untuk tetap berada di pusat perhatian. Kostum kelinci vulgar yang dipakainya—dengan telinga kelinci yang besar di kepalanya, pakaian ketat yang hampir tidak menutupi apa pun, serta ekor bulat kecil di bagian belakang—membuat harga dirinya terasa hancur berkeping-keping.

Setiap sentuhan bahan pakaian itu di kulitnya membuatnya merasa jijik. Dia merasa telanjang, terekspos di hadapan semua orang dan meskipun dia mencoba menyembunyikan tubuhnya di balik punggung Taeyong, tatapan mereka mampu menembus segala perlindungan. Senyuman mereka, ejekan-ejekan halus mereka, dan bisikan-bisikan penuh cemoohan terus menusuk hatinya, seperti ribuan jarum kecil yang tak henti-hentinya mengoyaknya.

Taeyong menyeringai, jelas menikmati bagaimana semua perhatian tertuju pada “kelinci”-nya. Dia menoleh ke teman-temannya dengan rasa bangga yang jelas terlihat di wajahnya. “Tentu saja,” jawabnya dengan nada ringan dan senyum penuh kemenangan terlukis di bibirnya. “Dia hanya milikku.”

Jisoo ingin menjerit, ingin berlari dari sana, tapi tubuhnya terasa lumpuh oleh rasa takut dan malu. Tangannya terkepal di sisi tubuhnya, berusaha menahan diri untuk tidak menangis di hadapan pria-pria keji ini. Namun, air mata sudah mulai menggenang di sudut matanya meskipun dia mati-matian mencoba menahannya.

Saat mereka mendekat ke halaman depan mansion, suasana menjadi semakin tegang. Di depan mereka, terlihat para wanita yang kemarin berada di dalam kurungan besi sedang digiring keluar oleh para penjaga. Kurungan itu besar dan terlihat usang dengan besi-besi karat yang mencuat dari sisi-sisinya. Para wanita itu—semua mengenakan kostum kelinci yang sama vulgar dan memalukan seperti yang dikenakan Jisoo—berjalan dengan langkah pelan dan lesu. Wajah mereka terlihat pucat dan kosong, para wanita itu jelas telah kehilangan harapan hidup. Para penjaga berseru keras, menyuruh mereka keluar dari kurungan dan berbaris rapi. Dorongan kasar dan teriakan marah para penjaga membuat suasana semakin mencekam, menciptakan pemandangan yang penuh dengan kekejaman.

Jisoo mengawasi dengan mulut terkatup rapat, tangannya menggenggam erat bagian kostum di dadanya, mencoba menutupi tubuhnya semaksimal mungkin. Kemarahan membara dalam hatinya saat melihat bagaimana para penjaga memperlakukan para wanita itu dengan semena-mena, mendorong dan menarik mereka seolah-olah mereka adalah hewan yang tak berharga.

“Berbaris di sana bersama mereka,” ujar Taeyong tiba-tiba sambil menyeringai. Suaranya terdengar seperti perintah tanpa emosi, tetapi kekejaman tersembunyi di balik suaranya.

Jisoo syok, hampir tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. “Apa?” gumamnya, suara itu keluar nyaris seperti bisikan tak percaya. “Berbaris bersama mereka?”

Dia menatapnya dengan tatapan tajam, wajahnya yang biasanya dingin sekarang dipenuhi ancaman yang tak terucapkan. “Kau dengar perintahnya, bukan?” Suara pria itu penuh tekanan. “Pergi dan berbaris, Jisoo.”

Hati Jisoo bergetar dipenuhi rasa takut dan kebingungan. Apa yang sedang terjadi? Kenapa dia dipaksa untuk ikut berbaris bersama para wanita itu? Matanya melirik ke arah Taeyong, mencoba mencari alasan, tetapi wajah pria itu tetap keras dan penuh kekuasaan.

“Saya... saya tidak mau.” Sebelum dia bisa melanjutkan protesnya, hal-hal tak menyenangkan terjadi begitu cepat.

Tiba-tiba Taeyong meraih wajah dan mencengkramnya dengan erat. “Kau harus terus berlari—berlari sejauh mungkin dan bersembunyi. Kau tidak boleh tertangkap apalagi sampai mati. Jika kau mati, aku akan menemukan tubuhmu, mengawetkannya, lalu memajangnya di kamarku.” Dia semakin mendekatkan wajahnya ke Jisoo yang kini ketakutan setengah mati, sementara mata pria itu terus memberinya sebuah peringatan keras. “Dan kau tidak akan bisa membayangkan di neraka, hal apa saja yang akan kulakukan pada mayatmu. Kau tidak boleh mati tanpa izinku. Kau mengerti, Jisoo?”

Berlari? Bersembunyi? Mengawetkan mayatnya? Dan kengerian apa saja yang akan dilakukannya pada mayatnya sehingga dia tak bisa membayangkannya di neraka? Berbagai pertanyaan terus menghantamnya, membuatnya sulit berpikir dengan jelas. Matanya mulai berkaca-kaca, tetapi dia menunduk pasrah, tidak berani menatap pria itu lebih lama lagi. Pria itu tidak perlu menjelaskan lebih jauh—kata-kata itu sudah cukup untuk membuat Jisoo merasa tidak punya pilihan lain.

Tanpa mengatakan apa-apa, dia perlahan melangkah ke depan, meninggalkan aula besar terbuka itu untuk bergabung dengan para wanita. Setiap langkah terasa berat, seolah-olah beban dunia berada di bahunya. Tatapan para pria masih menancap padanya, tawa sinis terus menghiasi setiap langkahnya, semua itu menghancurkan sisa-sisa harga dirinya yang telah lama terkikis. Jisoo merasa seperti bayangan dirinya sendiri, terperangkap dalam mimpi buruk yang tak kunjung berakhir sehingga terpaksa menanggung beban takdir yang kelam.

Saat dia berdiri di antara para wanita lain, Jisoo merasa lebih sendirian daripada sebelumnya. Angin pagi yang dingin menyapu rambutnya, menambah rasa dingin yang sudah memenuhi hatinya. Para wanita di sekitarnya terlihat hampa. Mata mereka kosong, tanpa semangat, dan pakaian mereka semakin mempertegas kehinaan yang mereka alami.

Jisoo berdiri kaku di antara para wanita ini, tenggelam dalam kebingungan dan ketakutan. Angin dingin pagi menyapu tubuhnya, membuat kulitnya merinding di balik kostum kelinci yang memalukan. Matahari mulai naik di langit, tapi kehangatan yang biasanya dibawa oleh sinarnya tak bisa mengusir kegelapan yang menyelimuti hatinya. Suara burung yang berkicau dari kejauhan terdengar kontras, nyaris mengejek penderitaan yang dia rasakan saat ini.

Di sekelilingnya, wanita-wanita dengan ekspresi kosong dan putus asa berdiri diam, seolah-olah mereka sudah terbiasa diperlakukan seperti ini. Para penjaga yang bertubuh besar dan berseragam hitam mengawasi mereka dengan tatapan keras dan kasar, seruan-seruan perintah mereka menggema di halaman depan mansion yang megah. Pohon-pohon rindang yang menjulang tinggi di sekitar mansion bergoyang pelan diterpa angin, tapi baginya, suasana itu hanya mempertegas betapa terasing dan terperangkapnya dirinya di tempat ini.

Tatapan para pria bangsawan yang berkumpul di meja makan di kejauhan seakan tak lepas dari tubuh Jisoo. Setiap kali dia melirik, dia bisa melihat mereka saling berbisik, menunjuk ke arahnya, dan tertawa kecil, seolah-olah dia dan para wanita lain adalah bagian dari permainan yang sangat menghibur. Tawa mereka terdengar begitu kejam, begitu tidak manusiawi, mengingatkan Jisoo bahwa di sini, di tempat ini, dia bukanlah seseorang—hanya “kelinci” yang akan digunakan dan dilupakan.

Taeyong berdiri tak jauh, matanya terus menatap Jisoo. Tatapan dingin dan penuh kendali itu terus menghujamnya, membuatnya merasa semakin tercekik. Meskipun mulutnya tersenyum tipis, matanya tak menawarkan apa pun selain ancaman. Dia tidak perlu berkata-kata untuk membuat Jisoo tahu bahwa setiap gerakannya berada di bawah pengawasannya. Dia adalah pemburu, dan Jisoo adalah mangsa yang tak bisa lari.

“Berbaris lebih rapi!” teriak salah satu penjaga, suara seraknya terdengar keras dan penuh amarah. Dengan kasar, dia mendorong seorang wanita di dekat Jisoo yang tampak terlalu lambat bergerak, membuat wanita itu terhuyung ke depan. Jisoo menggigit bibirnya, hatinya tersentak melihat kekerasan itu, tetapi dia tahu bahwa protes hanya akan membawanya pada hukuman yang lebih buruk.

Sementara itu di meja makan, Taeyong dan teman-temannya terlihat santai, seperti sekelompok bangsawan yang sedang menikmati sarapan ringan sebelum perburuan dimulai. Hidangan mewah yang tersaji di depan mereka kontras dengan apa yang sedang terjadi di sekitar. Tertawa dan bercanda, para pria itu tampak tak peduli dengan penderitaan yang dialami oleh para wanita.

Frans, pria bertubuh besar dengan janggut tipis dan mata tajam, memegang segelas anggur di tangannya. Dia mengangkat gelasnya, menghadap ke arah Taeyong lalu berkata dengan suara lantang, “Taeyong, kelinci baru yang kau bawa ini cukup istimewa. Tidak seperti sebelumnya. Terus terang saja, dia kelinci yang sangat cantik. Kau benar-benar tahu bagaimana memilihnya.”

Suara tawa pecah di sekitar meja, semua orang di sana diam-diam mengangguk setuju dengan ucapaan Frans.

“Sepertinya, kelinci itu akan menjadi pusat perhatian hari ini,” ujar pria lain dengan nada penuh ejekan, sementara matanya terus melirik ke arah Jisoo. “Bagaimana menurutmu? Bisakah dia bertahan lama?”

“Wanita itu ... dia lebih tangguh dari yang kau kira,” jawab Taeyong sambil menatap Jisoo dengan sorot mata penuh makna. “Tapi jangan khawatir, dia tahu apa yang harus dilakukannya.”

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top