Chapter XXI: Perburuan kelinci
Jisoo duduk kaku di samping Taeyong, matanya sesekali melirik ke luar jendela, memperhatikan bagaimana jalan-jalan sunyi di luar Kota Tarrin semakin jauh sementara hutan yang gelap mulai melingkupi pandangannya. Pepohonan tinggi di tepi jalan berdiri berbaris, menciptakan bayang-bayang panjang yang menambah kesan suram pada cahaya matahari sore yang semakin redup. Suara roda mobil yang bergemeretak di atas jalan berbatu menjadi satu-satunya suara selain deru halus mesin, mengisi keheningan di antara mereka.
Taeyong duduk tenang, wajahnya terlihat santai namun namun senyum tipis di bibirnya menyiratkan sesuatu yang tidak menyenangkan. Mata tajamnya tak pernah lepas mengawasi Jisoo, tatapan intens itu membuatnya semakin merasa terjebak. Meskipun tidak ada ancaman fisik, aura dominasi yang memancar dari pria itu membuat suasana di dalam mobil terasa berat.
“Kau gelisah, Nona Baek?” tanyanya tiba-tiba, suaranya lembut tapi penuh dengan maksud tersembunyi. Tatapannya tetap terarah pada Jisoo, seolah menikmati ketidaknyamanan yang memancar darinya.
Jisoo menelan ludah, jantungnya berdetak kencang. Dia berusaha menjawab dengan tenang meski ketakutan terus menghantuinya. "Tidak, Tuan. Hanya... saya tidak menyangka akan pergi berburu." Suaranya sedikit bergetar, tapi dia berusaha terlihat tenang.
Senyum tipis Taeyong muncul lagi, tapi tak pernah sampai ke matanya. “Kau akan terbiasa,” jawabnya ringan, setiap kata terasa memiliki makna lebih dalam. “Berburu bisa sangat menyenangkan, terutama ketika kau tahu apa yang sedang kau buru.”
Ucapan itu membuat Jisoo merasa semakin gelisah. Ada sesuatu di balik kata-kata itu yang membuat punggungnya dingin. Sementara mobil terus melaju melewati desa-desa kecil dan ladang terbuka. Udara di luar semakin dingin, tapi itu tak seberapa dibandingkan dengan rasa takut yang mulai menyelimuti Jisoo.
“Tuan, berapa lama kita akan pergi berburu?” Jisoo akhirnya memberanikan diri bertanya, mencoba mencari tahu tujuan sebenarnya. Tangannya dingin, jemarinya saling mengeratkan satu sama lain di pangkuannya untuk menahan rasa cemas yang semakin membesar.
Taeyong memiringkan kepalanya sedikit, menatap Jisoo dengan sorot mata yang sulit ditebak. “Tidak lama,” jawabnya, suaranya rendah dan misterius. “Kita hanya perlu menangkap beberapa kelinci.” Kata ‘kelinci’ diucapkannya dengan cara yang membuat Jisoo merasakan sesuatu yang ganjil, seolah ada makna terselubung di balik kata itu.
Kata itu terus bergema di kepalanya. Kelinci? Apa maksud Taeyong sebenarnya? Apakah ini hanya permainan kata atau ada bahaya lebih besar yang dia sembunyikan? Perasaan tidak nyaman mulai menggerogoti perutnya. Jisoo yakin, ini bukan sekadar perburuan biasa. Dia merasa terperangkap dalam situasi yang semakin berbahaya.
Pepohonan di luar jendela semakin rapat, jalan yang mereka lalui semakin sempit dan bergelombang. Mobil berguncang beberapa kali, menambah ketegangan yang kian mencekam tubuh Jisoo. Di kejauhan, hutan lebat mulai terlihat, kegelapannya menyelimuti dan memberikan firasat buruk yang makin tak bisa diabaikan.
“Kau tahu, Nona Baek,” suara Taeyong memecah kesunyian lagi, nadanya tenang dan penuh kendali, “kelinci itu menarik. Mereka cepat, lincah, dan sulit ditangkap. Tapi pada akhirnya, mereka selalu tertangkap. Tidak peduli seberapa cepat mereka berlari.”
Jisoo membeku mendengar kata-katanya. Dia tahu, Taeyong tidak sedang berbicara tentang kelinci. Dia sedang berbicara tentang dirinya. Ada ancaman terselubung di setiap kata yang Taeyong ucapkan dan itu menusuk ke dalam jiwanya. Tangannya gemetar, berusaha menahan kepanikan yang mulai membanjiri dirinya.
“Tuan... apa maksud Anda sebenarnya?” Jisoo berusaha mengumpulkan keberanian untuk bertanya, meski suaranya terdengar kecil di dalam mobil yang semakin sempit oleh ketegangan.
Taeyong tertawa kecil, tawanya dingin tanpa sedikitpub humor. “Kau pasti sudah mengerti maksudku, Nona Baek,” katanya, senyum licik tersungging di bibirnya. “Kelinci selalu ditangkap oleh pemburu yang sabar. Dan kau, Jisoo... kau adalah kelinciku.”
Kata-kata itu menghantam Jisoo seperti pukulan keras. Dia menahan napas, berusaha tetap tenang walaupun hatinya berdegup kencang. Taeyong jelas tidak sedang berbicara tentang berburu kelinci. Dia sedang berbicara tentang dirinya, tentang bagaimana dia tak bisa melarikan diri dari cengkeramannya. Ini bukan lagi sekadar permainan.
Pemandangan di luar semakin gelap, hutan di kejauhan tampak semakin padat dan menyeramkan. Mobil perlahan melambat dan akhirnya berhenti di tepi jalan kecil yang sunyi, tak tampak adanya tanda kehidupan di sekitar. Angin dingin berembus melalui celah jendela, menambah suasana yang semakin mencekam.
Mereka tiba di sebuah pondok kecil di tengah hutan. Pondok itu sederhana, tapi keberadaannya di tengah hutan menambah kesan misterius dan tak bersahabat. Udara di sekitar mereka semakin dingin, ketegangan yang menggantung di antara mereka terus bertambah. Sementara langit sore mulai meredup, memberikan kesan bahwa malam akan segera menyelimuti hutan di sekeliling mereka.
Taeyong turun dari mobil dengan sikap santai, matanya menyapu sekeliling dengan tenang, kendali penuh terpancar dari setiap gerakannya. Tanpa membuang waktu, dia menoleh ke arah Jisoo. “Bersiaplah. Kita masih harus melanjutkan perjalanan.”
Jisoo mengerutkan kening, matanya bergerak cepat dari Taeyong ke Benjamin yang berdiri di samping mobil. Tidak ada penjelasan lebih lanjut, sedangkan Benjamin tetap diam seperti biasa, tidak mengatakan apa-apa. Jisoo merasa semakin bingung—bukankah mereka sudah tiba di tempat tujuan? Suasana di sekitar pondok itu sunyi, hanya terdengar bunyi angin yang berhembus lembut melalui pepohonan. Keheningan yang ada di sana semakin membuatnya tidak nyaman.
Suara kereta kuda yang berat bergemeretak semakin mendekat, Jisoo menoleh, lalu melihat sebuah kereta besar ditarik oleh kuda jantan hitam. Kereta itu tampak megah, dihiasi ukiran kayu yang indah, dan dilapisi kulit halus sehingga memancarkan aura kekuasaan dan kekayaan yang menjadi ciri khas Taeyong. Jantung Jisoo berdegup kencang saat menyadari bahwa barang-barang Taeyong telah diangkut ke dalam kereta itu.
“Kita akan pergi dengan kuda,” ujar Taeyong, matanya mengawasi setiap gerakan Jisoo yang tampak gelisah. Tatapannya seolah menikmati kebingungan dan ketakutan yang terpancar dari dirinya, seperti predator yang mengamati mangsanya dengan sabar.
Jisoo menoleh ke arah Benjamin, berharap pria itu akan memberikan penjelasan atau setidaknya menemani mereka. Namun, Benjamin tetap diam, seperti patung tanpa emosi, seakan-akan dia adalah bagian dari latar belakang. Jisoo merasa semakin terisolasi, tak ada yang bisa diandalkan. Jantungnya berdegup kencang, instingnya berteriak untuk mencari jalan keluar, tapi tak ada yang bisa dia lakukan. Benjamin tidak akan ikut, maka itu berarti dia akan dibiarkan sendirian bersama Taeyong tanpa perlindungan, tanpa jalan untuk melarikan diri.
Melihat tatapan Jisoo yang tertuju pada Benjamin, Taeyong segera merespons. Matanya berubah dingin dan nada bicaranya penuh dengan kemarahan yang terpendam. “Jangan berharap kau bisa tinggal di sini, Nona Baek,” katanya dengan nada tegas yang menusuk. “Naik ke kudaku.”
Jisoo tertegun, tubuhnya membeku. Dia tahu apa yang dimaksud Taeyong, tapi tubuhnya menolak gagasan itu. Setelah semua yang terjadi antara mereka, pikiran untuk duduk di atas kuda bersama Taeyong menakutkannya. Hawa dingin dari tatapan pria itu menusuknya, sementara insting bertahan hidupnya ingin memaksanya menolak. “Tuan, saya rasa saya tidak bisa—”
Sebelum Jisoo bisa menyelesaikan kalimatnya, Taeyong sudah menatapnya dengan mata tajam yang penuh ancaman. Senyum tipis terlukis di wajahnya, tapi senyum itu sama sekali tidak hangat. Justru, itu adalah ancaman. “Jika kau menolak, Jisoo, aku akan menciummu lagi. Lebih kasar. Lebih lama.” Kata-kata itu diucapkan dengan sangat pelan, hampir seperti bisikan, tapi setiap kata terasa menusuk dalam ke kepala Jisoo, menghantamnya dengan kekuatan yang tak terelakkan.
Darah Jisoo mendidih dalam ketakutan. Ingatan tentang ciuman terakhir yang dipaksakan Taeyong kepadanya kembali terlintas, mengisi benaknya dengan ketakutan yang mencekam. Dia ingat bagaimana tubuhnya berubah kaku, perasaan tak berdaya yang menyelimutinya saat itu—lalu sekarang, ancaman itu datang lagi. Tubuhnya bergetar hebat, dia tidak punya pilihan lain maka dia tak bisa membiarkan itu terjadi lagi.
Dengan tangan yang gemetar, Jisoo akhirnya menyerah, merasa kalah sebelum pertempuran benar-benar dimulai. “Baiklah, Tuan,” bisiknya dengan suara kecil, nyaris tak terdengar. Matanya menunduk, menyembunyikan ketakutan dan rasa terperangkap yang mendidih di dalam hatinya.
Taeyong tersenyum, kemenangan terukir jelas di wajahnya. Dengan satu gerakan halus, dia naik ke atas kuda, lalu menoleh pada Jisoo. “Naiklah,” perintahnya, tatapannya penuh kendali.
Jisoo melangkah maju, mengikuti perintahnya. Ini bukan tentang kelinci atau berburu lagi—ini adalah tentang kendali, kekuasaan, dan Taeyong baru saja memenangkan satu lagi babak dalam permainan yang dia ciptakan sendiri. Bagi Taeyong, ini bukan hanya sekadar berburu kelinci; ini adalah permainan psikologis di mana dia bisa mengendalikan setiap langkah Jisoo, memastikan bahwa gadis itu tidak punya pilihan selain tunduk pada kehendaknya.
Dengan langkah pelan dan hati yang penuh kecemasan, Jisoo berjalan menuju kuda hitam yang telah disiapkan. Taeyong sudah berada di atas kuda, menunggunya dengan tenang. Saat dia mengulurkan tangan untuk membantu Jisoo naik, meski sekuat tenaga ingin menghindari sentuhannya, dia tidak punya pilihan lain. Sentuhan tangan Taeyong dingin, membuat tubuhnya gemetar seketika. Rasanya seperti terjebak dalam pelukan yang tak bisa dia lepaskan dan terpaksa duduk di belakangnya.
Begitu Jisoo duduk di atas kuda, tubuhnya langsung menegang. Punggung Taeyong terasa begitu dekat dan aroma maskulinnya yang kuat memenuhi udara, menusuk indera penciumannya. Setiap gerakan kuda membuat tubuh mereka semakin bersentuhan dan Jisoo harus berpegangan erat, meski itu berarti bersandar pada pria yang membuatnya merasa sangat tidak nyaman. Ketidaknyamanan itu merayapi seluruh tubuhnya, serta ketakutan yang terus mengintai di balik setiap tarikan napasnya.
“Pegang erat atau kau akan jatuh,” ucap Taeyong dengan suara dingin dan tegas, seolah peringatan itu bukan hanya soal keselamatan fisik.
Jisoo menggigit bibirnya, menahan emosi yang berputar-putar di dalam dirinya. Tidak ada tempat untuk bersembunyi, tidak ada jalan untuk lari. Dia hanya bisa mengikuti perjalanan ini, tak peduli seberapa tidak nyamannya.
Kuda itu mulai berjalan, langkahnya pelan, menjauhkan mereka dari pondok kecil yang sebelumnya menjadi tempat transit sementara. Beberapa pelayan Taeyong mengikuti dari belakang, sementara kereta kuda yang membawa barang-barang turut bergerak di belakang mereka. Udara semakin dingin saat mereka memasuki hutan yang lebih dalam dan suara pepohonan yang bergesekan diterpa angin menambah suasana mencekam.
Jisoo berusaha mengalihkan pikirannya dengan memperhatikan pemandangan sekitar, namun hal itu justru membuatnya semakin gelisah. Hutan yang mereka lalui gelap dan padat dengan pepohonan tinggi menjulang seperti raksasa yang mengawasi setiap gerakan mereka. Cahaya matahari yang tersisa hanya mampu menyusup sedikit melalui dedaunan tebal, meninggalkan tanah dalam bayang-bayang yang pekat. Suara-suara binatang liar terdengar samar, menciptakan atmosfer asing yang penuh ketegangan.
Setelah berjam-jam perjalanan, mereka akhirnya tiba di sebuah tempat yang lebih terbuka. Sore hari telah berganti senja dan langit memancarkan gradasi ungu kehitaman. Di tengah area terbuka itu, berdiri sebuah mansion megah yang tampak seperti benteng yang menantang alam. Arsitekturnya memancarkan kemewahan sekaligus kesombongan dengan dinding-dinding batu besar yang kokoh dan pilar-pilar marmer putih menjulang tinggi. Cahaya lilin dari dalam mansion bersinar lembut melalui jendela-jendela kaca besar, menambah kesan misterius pada bangunan megah tersebut.
Mansion itu berdiri kokoh seperti monumen kekayaan dan kekuasaan, dikelilingi oleh hutan yang liar dan tak tersentuh. Setiap sudutnya menyiratkan keangkuhan, seolah hanya orang-orang dengan pengaruh besar yang berani memasuki tempat ini.
Namun, hal paling mengejutkan Jisoo adalah pemandangan di sekeliling mansion itu. Di dekat mansion, sekitar sepuluh pria berpakaian mewah berkumpul, semuanya berbicara dengan suara rendah. Mereka jelas adalah teman-teman Taeyong. Mereka tampak seperti kaum bangsawan, wajah-wajah sombong itu menyiratkan bahwa mereka terbiasa dengan segala sesuatu yang diberikan kepada mereka tanpa perlu berjuang.
Hal yang benar-benar membuat Jisoo tertegun adalah sekelompok wanita di dalam kurungan besar, memakai kostum kelinci vulgar dan memalukan. Pakaian mereka begitu minim sehingga kulit mereka yang halus tampak begitu kontras dengan besi kasar dari kurungan yang mengurung mereka. Mata para wanita itu terlihat kosong, seolah-olah mereka adalah boneka hidup yang hanya berfungsi sebagai hiburan bagi pria-pria kaya yang berdiri di luar.
Jisoo tercengang, matanya melebar saat menyadari betapa absurd dan tidak manusiawi pemandangan di depannya. Lututnya terasa lemas, hampir membuatnya ingin lari, tapi dia tahu itu mustahil. Jantungnya berdebar keras di dalam dada, lalu untuk sesaat, dia merasa ingin menangis. Pemandangan ini jauh lebih buruk daripada yang pernah dia bayangkan.
Jisoo masih duduk kaku di atas kuda, matanya tak bisa berpaling dari pemandangan mengerikan di depannya. Kurungan besar berisi wanita-wanita berpakaian kostum kelinci vulgar dengan ekspresi kosong dan kehilangan harapan, benar-benar mengguncang hatinya. Angin malam yang dingin menyapu wajahnya, tapi semua itu tenggelam dalam ketakutan yang semakin menumpuk di dalam dirinya. Ini bukan sekadar berburu. Ada sesuatu yang lebih gelap dan lebih kejam di balik semua ini.
Mansion mewah yang berdiri di tengah-tengah hutan seperti benteng itu, semakin menambah kesan bahwa Jisoo kini terperangkap dalam sesuatu lebih besar dari yang bisa dia bayangkan. Bangunan itu besar nan megah, hampir tampak seperti benteng yang tidak bisa ditembus, dikelilingi oleh kegelapan hutan yang seolah memeluknya erat. Jendela-jendela besar dari kaca berkilau menyebarkan cahaya lilin redup namun hangat, memberikan kesan bahwa di dalamnya terdapat kehidupan yang berbeda, jauh dari penderitaan di luar.
Taeyong melompat turun dari kuda, gerakannya anggun dan penuh kendali. Ketika dia berbalik untuk melihat Jisoo, ada senyum dingin di bibirnya yang membuat tubuh Jisoo semakin membeku. Langkah kakinya terdengar tenang seperti predator saat mendekati mangsanya dengan perhitungan yang matang.
“Turunlah, Nona Baek,” katanya, suaranya tenang serta penuh otoritas, seolah-olah tidak ada pilihan lain bagi Jisoo selain mematuhi.
Gadis itu menelan ludah, tangannya gemetar saat dia perlahan turun dari kuda. Sentuhan kulitnya pada pelana terasa dingin dan keras, tetapi itu tidak seberapa dibandingkan dengan dinginnya perasaan yang kini memenuhi tubuhnya. Udara di sekeliling walau terasa begitu berat, penuh dengan ketegangan yang mencekam. Jantungnya berdetak kencang, begitu keras hingga dia hampir bisa mendengarnya sendiri.
Saat kakinya menyentuh tanah, Jisoo terhuyung sedikit, merasa lemah. Dia tidak tahu apa yang sedang terjadi atau apa yang akan terjadi, tetapi pemandangan di sekelilingnya semakin membuatnya yakin bahwa tempat ini adalah perangkap yang menakutkan.
Para pria yang berkumpul di dekat mansion itu, semuanya mengenakan pakaian mewah dan berperilaku seperti bangsawan yang tidak pernah mengenal kesulitan, segera menatap ke arah Taeyong dan Jisoo. Mereka tertawa kecil, obrolan mereka diisi dengan nada sinis dan mengejek. Tatapan mereka menusuk, seakan-akan Jisoo hanyalah bagian dari hiburan sore mereka. Mata liar dan penuh kesombongan itu membuat Jisoo semakin merasa kecil dan terperangkap.
“Apa kita punya tamu baru, Taeyong?” Salah satu pria, tampaknya sedikit lebih tua dari yang lain, berkata dengan nada berbau penghinaan. Senyumnya tajam dan matanya bergerak menilai Jisoo, membuat kulitnya merinding seketika. “Apakah dia untuk kita?”
Taeyong tertawa pelan namun tak ada kehangatan dalam tawanya. Senyum licik menghiasi wajahnya, matanya berkilat tajam saat menatap pria di depannya. “Dia adalah kelinciku,” ucapnya dengan nada dingin, seolah Jisoo tak lebih dari sekadar objek atau mainan yang bisa dia pamerkan sesuka hati.
Jisoo merasa perutnya bergolak mendengar kata-kata Taeyong. Kelinciku. Kata-kata itu terus terngiang di kepalanya, menenggelamkannya dalam kepanikan yang tak terkendali. Tangannya menggenggam erat pakaian di sisinya, mencoba menenangkan diri, tapi ketakutan itu semakin mencengkeram hatinya.
Sementara itu, wanita-wanita di dalam kurungan berdiri tanpa ekspresi, tubuh mereka yang nyaris terbuka mengekspos rasa sakit dan penghinaan yang mereka alami. Besi kurungan berkarat itu terlihat keras dan dingin, kontras dengan kelembutan kulit mereka. Tatapan mata mereka kosong, tanpa harapan, seperti boneka hidup yang telah kehilangan jiwa. Jisoo merasa mual—tidak hanya karena pemandangan itu, tetapi karena dia bisa membayangkan dirinya di posisi mereka.
“Kau akan suka di sini, Jisoo,” kata Taeyong sambil menatapnya dengan senyum yang masih mengganggu. Dia melangkah lebih dekat, setiap langkahnya semakin memperkuat kendalinya atas situasi. “Tempat ini adalah tempat berburu yang sempurna. Semua orang di sini tahu cara menikmati... permainan.”
Jisoo tersentak, menatap mansion megah yang menjulang di hadapannya. Bangunan itu tampak seperti monster besar yang siap menelannya bulat-bulat. Marmer putih yang memantulkan sinar senja tampak indah, tetapi di balik keindahan itu, Jisoo merasakan sesuatu yang gelap, tak terjelaskan. Jendela-jendela besar seperti mata yang mengintai, menyembunyikan rahasia yang terlalu berbahaya untuk diketahui.
Taeyong mengulurkan tangannya, mengisyaratkan agar Jisoo ikut dengannya menuju mansion. Jisoo enggan, tetapi tatapan keras dan ancaman yang tak terucap di balik mata Taeyong membuatnya tidak punya pilihan lain. Dengan langkah berat dan takut, Jisoo berjalan di sampingnya, mendekati pintu besar yang tampak seperti gerbang menuju neraka.
Suara dari dalam mansion mulai terdengar saat mereka semakin dekat—suara musik lembut namun penuh irama aneh, suara tawa para tamu yang lebih mirip cemoohan, dan suara dentingan gelas yang seolah merayakan sesuatu yang menyeramkan.
“Tuan Johnny Wan menunggu di dalam,” ucap salah satu pelayan yang berdiri di depan pintu, membungkuk hormat pada Taeyong. “Perburuan akan segera dimulai.”
Tubuh Jisoo terasa lemas. Perburuan? Apa yang sebenarnya akan mereka lakukan di sini? Jantungnya berdebar semakin cepat, napasnya sulit dikendalikan. Langit di atasnya kini hampir gelap sepenuhnya, hanya sisa-sisa cahaya senja yang tersisa di ufuk barat, menandai bahwa kegelapan yang lebih besar sedang menunggu.
“Jangan khawatir, Jisoo,” ucap Taeyong, suaranya penuh ironi saat mereka melangkah masuk ke mansion. Suara pintu besar tertutup di belakang mereka terdengar seperti palu kematian. “Di sini, semua orang bermain dengan aturan yang sama. Kau hanya perlu tahu satu hal—aku selalu menang.”
Dingin menjalari tulang punggung Jisoo saat kata-kata itu terucap. Mansion besar dan mewah itu kini terasa seperti penjara, Setiap langkahnya semakin membawanya lebih dalam ke perangkap yang tidak bisa dia hindari. Dinding-dinding batu putih menyerap ketakutannya dan pemandangan di dalam mansion semakin membuatnya merasa sesak.
Jisoo merasa seluruh tubuhnya menggigil saat dia melangkah ke dalam mansion besar nan mewah, seperti seekor kelinci yang tanpa sadar masuk ke dalam sarang serigala. Udara di dalam ruangan terasa lebih berat, menyelimuti setiap sudut dengan aura kekuasaan dan kendali yang menindas. Dinding marmer putih berkilau dalam kilauan cahaya dari chandelier yang tergantung di langit-langit tinggi. Lampu lilin yang menyala redup memberikan cahaya lembut, tetapi itu tidak mengusir dingin yang menyelinap ke dalam tulang Jisoo. Hawa di dalam ruangan itu terasa tegang, hampir seperti penjara yang indah namun menyesakkan.
Taeyong berjalan di sampingnya, tangannya dengan santai memegang lengan Jisoo, menunjukkan kepada semua orang bahwa dia memiliki kendali penuh atas dirinya. Senyum tipis di wajah Taeyong tidak pernah pudar, tetapi di balik senyum itu ada kekejaman yang tersembunyi, seperti ular yang sedang menunggu saat yang tepat untuk menyerang. Jisoo merasa tidak nyaman setiap kali pria ini bergerak lebih dekat ke arahnya.
Saat mereka berjalan melalui ruang tamu besar penuh dengan ornamen emas, mata para pria bangsawan di ruangan itu tertuju pada mereka. Tatapan-tatapan tajam penuh kesombongan itu membuat Jisoo merasa seperti ditelanjangi, seolah-olah mereka sedang menilai dirinya, bukan sebagai manusia, tetapi sebagai barang yang dipajang. Percakapan di ruangan itu beralih ke bisikan-bisikan sinis dengan pandangan mata yang penuh tawa cemoohan.
“Taeyong, kau selalu membawa barang yang menarik," ucap seorang pria tua yang duduk di kursi berlapis beludru merah, dengan senyum licik dan tatapan merendahkan yang langsung membuat Jisoo ingin bersembunyi. Wajah pria itu pucat, dengan garis-garis wajah tajam dan bibir tipis mengerikan. Dia mengangkat segelas anggur merah dan tersenyum penuh arti, sambil melirik Jisoo dari ujung kepala hingga kaki.
Jisoo menundukkan kepala, berusaha keras untuk menghindari tatapan mereka. Wajahnya memerah oleh rasa malu dan takut. Dia merasa seperti benda mati yang diperjualbelikan, seperti kelinci di kandang yang hanya menunggu untuk diserahkan kepada pemburu. Matanya menangkap pantulan dirinya di cermin besar di ujung ruangan—wajah pucatnya, mata penuh ketakutan, dan bagaimana dirinya tampak begitu kecil dibandingkan dengan dunia ini yang penuh dengan kebohongan.
“Dia bukan untuk kalian.” Taeyong menegaskan dengan nada dingin. Tatapannya melayang pada pria tua itu dengan senyum penuh kendali. “Wanita ini adalah milikku. Dia kelinciku dan akulah yang akan berburu.”
Suasana di dalam ruangan tiba-tiba berubah, para tamu saling bertukar pandang dengan tatapan penuh rasa ingin tahu. Desahan tawa kecil terdengar di sana-sini, membuat Jisoo semakin tenggelam dalam rasa takut. Dia tahu bahwa semua ini bukan permainan biasa. Apa yang terjadi di mansion ini jauh lebih berbahaya dari yang dia bayangkan sebelumnya.
“Berburu kelinci?” Salah satu pria lain di dekat perapian bertanya, suaranya penuh ejekan. Tatapannya dingin, matanya menyipit saat memandang Taeyong dengan ketertarikan yang kejam. “Kelinci yang menarik, tentunya.” Dia menyesap anggurnya perlahan, senyum di bibirnya mencerminkan kebengisan yang tidak disembunyikan.
Jisoo bisa merasakan darahnya membeku di dalam tubuhnya, ucapan pria itu bagaikan pisau menghujam ke dalam jiwanya. Perkataan mereka semua penuh makna tersembunyi dan tidak ada satupun dari mereka berbicara tentang perburuan binatang. Kejahatan yang mengintai di setiap sudut ruangan ini membuat Jisoo ingin lari, tetapi kakinya terasa berat, terperangkap dalam rasa takut yang semakin besar.
“Kau akan lihat nanti,” ujar Taeyong sambil tersenyum licik. Dia memutar tubuhnya, menatap Jisoo, lalu berkata, “Sekarang waktunya beristirahat sebentar, Jisoo. Malam masih panjang.”
Dia tak bisa berkata apa-apa, hanya mengangguk pelan dengan wajah semakin pucat. Ruang tamu megah itu terasa seperti ruang penyiksaan—setiap benda berkilauan di dalamnya seperti menunjukkan betapa jauh dirinya dari dunia yang dia kenal. Dia merasa seperti masuk ke dunia penuh kekejaman, tempat orang-orang ini bermain dengan kehidupan orang lain tanpa rasa bersalah sedikit pun.
Taeyong memegang lengan Jisoo lebih erat, kemudian membawanya menuju tangga besar yang mengarah ke lantai atas. Jisoo merasa ketakutan semakin mencekam hatinya, tetapi dia tahu dia tidak bisa melawan. Mata para tamu pria masih mengawasinya, penuh dengan rasa penasaran dan keinginan yang tidak terucapkan. Tubuh Jisoo terasa lemas, perasaan putus asa mulai merayapi dirinya.
Mereka menaiki tangga besar megah dengan pegangan berukir emas dan marmer putih yang dingin. Langkah kaki Jisoo terasa berat, setiap langkah membawa dirinya semakin dekat ke perangkap menakutkan. Di setiap sudut dinding ada lukisan besar yang menampilkan pemandangan berburu—lukisan para pemburu aristokrat mengejar binatang dengan tatapan puas dan penuh kemenangan. Semua itu mengingatkan Jisoo akan dirinya sendiri, yang kini tengah diburu oleh orang-orang yang memandang rendah dirinya.
Saat mereka mencapai lantai atas, Taeyong membuka sebuah pintu besar berlapis kayu gelap yang mengarah ke ruangan mewah. Langit-langit tinggi dengan chandelier kristal menjuntai di tengah ruangan, memancarkan kilauan cahaya yang menerangi tempat tidur besar dengan kain sutra yang lembut. Dinding ruangan itu dihiasi dengan ukiran rumit yang memberikan kesan megah.
“Ini kamarmu untuk malam ini,” kata Taeyong tetap tegas. Tatapan matanya tidak pernah meninggalkannya, namun dia tahu bahwa meskipun tidak ada kata-kata ancaman yang diucapkan, perintah itu jelas—dia tidak boleh ke mana-mana.
Berdiri di ambang pintu kamar besar itu, dia menatap sekeliling dengan hati yang semakin tenggelam dalam ketakutan. Ruangan itu begitu indah, megah, dan mewah—sebuah cerminan sempurna dari kekuasaan dan kekayaan yang dimiliki Taeyong. Namun, bagi Jisoo, semua kemewahan itu tidak berarti apa-apa. Dinding-dinding dengan ukiran rumit, tirai sutra tebal yang menggantung di jendela besar, serta tempat tidur berkanopi yang dilapisi kain sutra lembut—semua itu terasa seperti jebakan. Sebuah penjara indah yang membatasi ruang geraknya serta mempertegas bahwa dia tidak punya kendali apa pun di sini.
Langit di luar semakin gelap dan bayangan pepohonan yang terpantul di jendela kaca tampak seperti tangan-tangan yang ingin meraih dan menariknya lebih dalam ke dalam hutan. Suara angin yang menderu di luar menambah kesan bahwa dunia di luar mansion ini penuh dengan misteri dan bahaya—bahkan lebih buruk daripada apa yang ada di dalam. Di kejauhan, suara burung hantu terdengar samar seperti pertanda buruk yang menyelimuti malam.
Taeyong berdiri di belakangnya, tangan kirinya memegang gagang pintu sementara matanya tak pernah lepas dari tubuh Jisoo. Tatapannya tajam, penuh kendali, seperti predator yang baru saja menempatkan mangsanya di kandang. Napas Jisoo terasa pendek, dadanya sesak oleh ketegangan yang memenuhi udara di antara mereka. Sinar lampu chandelier kristal di langit-langit menyorot wajah Taeyong dengan cara yang membuatnya terlihat lebih dingin dan tak terbaca, menambah kesan betapa tak terkalahkannya dia di hadapannya.
“Jisoo,” ucapnya, suara rendah itu menggema di ruangan yang sepi. “Kau sebaiknya istirahat malam ini. Besok pagi kita akan mulai berburu.”
Kata-kata itu terkesan sederhana namun di baliknya, dia bisa merasakan ancaman tersembunyi. Perburuan yang dimaksud Taeyong jelas bukan sekadar berburu binatang liar di hutan. Ada sesuatu yang lebih dalam, lebih gelap, dan lebih menakutkan. Jisoo menggigit bibirnya, mencoba mengendalikan gemetar di tubuhnya.
“Tuan,” Jisoo memberanikan diri bersuara meskipun suaranya terdengar lemah dan penuh rasa takut, “apa maksud Anda dengan berburu?” Dia ingin tahu, tapi pada saat yang sama, dia takut mendengar jawabannya.
Pria itu tertawa kecil, tawa yang tidak menyenangkan. Senyum licik menghiasi wajahnya, sementara mata itu tetap terlihat dingin, tanpa sedikit pun kehangatan. “Kau akan mengetahuinya besok,” jawabnya, penuh teka-teki. “Aku yakin kau akan menyukai permainannya.”
Jisoo menelan ludah, rasa takutnya semakin besar. Dia bisa merasakan bahwa tidak ada jalan keluar lagi dari permainan yang direncanakan Taeyong bersama teman-temannya itu. Matanya menatap tempat tidur yang besar dan nyaman, sayangnya, tempat itu tidak memberikan kenyamanan. Itu hanya tempat lain di mana dia akan terus diawasi, tempat di mana dia harus menunggu saat yang lebih menakutkan tiba.
“Istirahatlah,” ucap Taeyong lagi, kali ini nada suaranya lebih tegas dalam memberikan perintah. Dia mendekat sedikit, membiarkan napasnya terasa di leher Jisoo sehingga membuat bulu kuduknya meremang. Tangan Taeyong perlahan menyentuh bahunya, membuat gadis itu ingin mundur namun kakinya terasa terpaku di lantai.
“Jangan melawan takdirmu, Jisoo,” bisik Taeyong pelan di telinganya. “Kelinci sepertimu takkan pernah bisa kabur dari pemburu. Kau hanya perlu menerima nasibmu.”
Perkataannya menusuk jauh ke dalam hatinya, membuat gadis itu merasa semakin terperangkap dalam kendalinya. Keringat dingin mulai mengalir di pelipisnya, tangannya mengepal erat, sementara dia berusaha menahan rasa takut yang semakin membesar.
“Tuan ...,” gumamnya pelan, suaranya hampir tenggelam oleh gemuruh emosi. Namun dia tidak bisa melanjutkan kalimatnya. Ada sesuatu menahan tenggorokannya, seperti beban berat yang menekan dan mengekang setiap kata yang ingin dia ucapkan.
“Istirahatlah,” ucapnya lagi, kali ini suaranya lebih rendah. “Aku akan menemuimu lagi di pagi hari. Dan jangan berpikir untuk kabur, Jisoo. Karena kalau kau mencoba ... aku akan membuatmu menyesal.”
Mata pria itu sangat jelas menyatakan bahwa tidak ada tempat bagi Jisoo untuk lari. Hatinya semakin menciut, jika dia menunjukkan kelemahan di hadapannya, pria itu akan semakin mengendalikan dirinya. Dia menundukkan kepala, mencoba menyembunyikan ketakutannya, sebelum mengangguk perlahan.
Taeyong tersenyum tipis, puas dengan jawabannya. Dia lalu berbalik dengan tenang, langkahnya ringan dan anggun saat menuju pintu. “Selamat malam, Jisoo,” ucapnya sebelum menutup pintu, meninggalkan gadis itu sendirian di dalam ruangan yang besar.
Pintu menutup dengan bunyi yang pelan namun dalam keheningan ruangan, bunyi itu terdengar seperti palu menghantam logam. Jisoo menatap pintu, napasnya masih terengah-engah. Suasana ruangan yang megah dan indah itu terasa lebih menakutkan daripada sebelumnya. Meskipun Taeyong sudah pergi, aura kendalinya masih terasa di setiap sudut ruangan.
Dia perlahan berjalan mendekati tempat tidur, langkah-langkahnya terasa berat dan kaku. Tempat tidur itu besardengan seprai halus dan bantal empuk, sayangnya dia tak bisa merasakan kenyamanan sedikit pun. Dia duduk di tepi kasur, pandangannya kabur karena air mata mulai menggenang. Jantungnya berdebar keras dan dadanya terasa sesak. Pikiran-pikiran gelap mulai memenuhi kepalanya, membayangkan apa yang akan terjadi esok hari.
Suaranya bergetar meskipun dia tidak berbicara. Hanya suara napasnya yang semakin berat, sementara air mata jatuh mengalir tanpa bisa dia tahan lagi. Dia merasa begitu kecil dan tidak berdaya, terjebak dalam permainan yang lebih besar dari dirinya.
Wajah-wajah para pria di bawah tadi, tawa sinis mereka, kata-kata merendahkan mereka, semua berputar di kepalanya. Jisoo merasakan perutnya mual, memikirkan bahwa dia hanyalah kelinci di antara para pemburu ini. Kostum kelinci vulgar yang dikenakan para wanita di dalam kurungan, pandangan kosong penuh penderitaan, membuat Jisoo tidak bisa berhenti berpikir bahwa mungkin itulah yang akan terjadi padanya esok hari.
Di luar jendela sudah sepenuhnya gelap, hanya sisa-sisa sinar bulan memantul samar melalui jendela kaca besar di sisi ruangan. Bayangan pepohonan yang bergerak perlahan tertiup angin tampak seperti sosok yang mengintai dari balik kegelapan, membuat Jisoo semakin merasa terjebak. Desau angin kencang membuat kaca jendela bergetar, sementara suara malam terdengar menyeramkan hampir seperti berbisik langsung ke dalam telinganya.
Dia berusaha menenangkan dirinya, tetapi ketakutan semakin menghimpit. Besok pagi Taeyong akan memulai “perburuan” itu—perburuan yang sebenarnya, di mana Jisoo tahu bahwa dirinya adalah mangsa. Dia tidak tahu apa yang akan terjadi padanya, tetapi rasa takut yang menggigit hatinya seperti lubang hitam yang terus menariknya semakin dalam. Dia mencoba memikirkan cara untuk melarikan diri, tetapi tidak ada jalan keluar dari mansion ini, setidaknya tidak yang bisa dia temukan.
Tatapannya tertuju pada pintu kayu gelap di ujung ruangan, pintu yang tadi Taeyong tutup dengan tenang setelah memberinya peringatan mengerikan. Di balik pintu itu, Taeyong mungkin sedang mempersiapkan segalanya untuk besok—menyiapkan jebakan, menyiapkan alat, menyiapkan dirinya untuk menjadi pemburu yang tak terkalahkan.
Jisoo berdiri, tubuhnya terasa berat, hampir tak kuat menopang dirinya sendiri. Dia berjalan menuju jendela, berharap bahwa melihat ke luar dapat memberinya sedikit kelegaan. Namun, pemandangan di luar tidak memberikan kenyamanan. Di kejauhan, hutan tampak gelap dan menyeramkan, ranting-ranting pohon yang tinggi tampak seperti cakar-cakar yang siap meraih siapa saja yang mendekat. Angin berhembus keras menggerakkan pepohonan, membuat bayangan mereka berayun-ayun seperti monster yang mengintai dari balik kegelapan.
“Apa yang harus kulakukan?” bisik Jisoo pelan pada dirinya sendiri, matanya terpejam sesaat, berharap bisa menemukan jawaban dari ketenangan dalam dirinya. Tapi tidak ada ketenangan—hanya rasa takut dan ketidakpastian.
Suara denting jam di dinding semakin terasa menghantui, setiap detiknya menandai berlalunya waktu yang terus mendekatkannya kepada apa pun yang Taeyong rencanakan untuk besok. Perutnya terasa mual, tidak hanya karena ketakutan, tapi juga karena rasa marah yang tertahan. Dia marah pada dirinya sendiri—marah karena merasa begitu tidak berdaya di hadapan Taeyong, marah karena tidak bisa melawan, marah karena terperangkap dalam permainan kejam ini.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top