Chapter XX: Hide and Seek 2.0

Pagi menjelang dengan sinar matahari yang lembut merambat masuk ke dalam ruangan kecil itu, sementara Jisoo masih terlelap, terperangkap dalam kantuk yang dipaksa oleh ketakutan semalam. Ruangan tempatnya bersembunyi terasa dingin dan sempit, dengan bau lembap dari peralatan kebersihan yang tersimpan di dalamnya. Dinding-dinding yang rapat, rak-rak kayu yang penuh kain pel, dan sapu-sapu yang tertumpuk menjadi saksi bisu dari malam penuh ketegangan yang dia lalui.

Ketika Jisoo terbangun, matanya berkedip lambat saat cahaya pagi menyentuh wajahnya. Dia duduk di lantai keras, bingung sejenak sebelum menyadari di mana dirinya. Kesadaran perlahan kembali, kemudian dengan itu muncul kekhawatiran yang mendesak. “Bagaimana aku bisa tertidur di sini?” pikirnya, mencoba merangkai ingatan tentang malam yang baru saja berlalu.

Semalaman, dia bersembunyi dari Taeyong, takut kalau pria itu akan menemukannya lagi setelah insiden yang terjadi. Tapi sekarang dia terbangun, sendirian, dan tidak ada tanda-tanda Taeyong. Lorong di luar ruangan itu tampak sunyi, tapi keheningan yang melingkupi mansion hanya memperdalam kecemasannya.

Perasaan bingung melingkupi dirinya. Jisoo bertanya-tanya apa yang harus dia lakukan. Haruskah dia kembali bekerja seperti biasa? Haruskah dia berpura-pura seolah-olah tidak terjadi apa-apa? Dengan hati-hati, dia melangkah keluar dari tempat persembunyiannya, menutup pintu perlahan, seraya berharap tak ada yang memperhatikan. Lorong-lorong panjang mansion tampak lengang, hanya angin lembut yang berdesir dari jendela-jendela tinggi. Kesunyian itu terasa tidak wajar, menambah berat ketakutan yang masih menyelimuti hatinya.

Saat berjalan menuju kamar pribadinya, pikirannya dipenuhi dengan kekhawatiran dan keraguan. Dia memikirkan Taeyong—apakah pria itu akan mencarinya lagi? Apakah dia akan menciumnya lagi? Keringat dingin membasahi tengkuknya saat bayangan pria itu kembali menghantui benaknya. Jisoo merasa tak sanggup menjalani hari ini seperti hari biasa.

Begitu sampai di kamarnya, dia memutuskan untuk tidak bekerja . Dia tidak siap bertemu dengan Taeyong dan tidak siap menghadapi tatapan merendahkan pria itu lagi. Lalu dengan cepat, dia meminta tolong pada Yuna, pengurus rumah tangga, untuk menyampaikan pesan kepada Taeyong bahwa dia tidak bisa bekerja karena sakit.

“Kau baik-baik saja, Nona Baek?” tanya Yuna dengan nada cemas ketika Jisoo menyampaikan alasan ketidakhadirannya karena sakit. Mata Yuna memancarkan kekhawatiran meskipun dia tidak mendesak lebih jauh.

Jisoo hanya tersenyum lemah, bibirnya sedikit bergetar saat dia berusaha untuk tampak tenang. “Aku baik-baik saja, hanya sedikit demam, dan butuh istirahat. Tolong sampaikan pada Tuan Taeyong,” ucapnya pelan.

Udara di sekitar kamar terasa berat, menindih setiap kata yang keluar dari mulutnya. Yuna, yang melihat kondisinya, hanya mengangguk perlahan. Meski sekilas matanya menunjukkan rasa iba, wanita itu memilih untuk tidak bertanya lebih jauh. Dengan langkah lembut, hampir tanpa suara, Yuna berjalan menjauh di lorong, meninggalkan Jisoo sendirian dalam kesunyian yang menyesakkan.

Begitu Yuna pergi, Jisoo merasakan sedikit kelegaan. Beban berat yang menindih dadanya terasa terangkat, meski hanya sejenak. Dia lalu kembali ke kamarnya kemudian terjatuh lelah di atas ranjang. Memperhatikan sekitar dengan pandangan lelah, tiba-tiba dia merasa bahwa kamarnya menjadi tempat teramannya, jauh dari ancaman yang menggantung di pikirannya. Namun, kamar itu juga dingin dan sunyi, seolah mencerminkan kegelisahan yang tak kunjung reda. Sinar matahari siang yang berusaha menembus tirai tipis jendela tak mampu menghangatkan hatinya yang diliputi kecemasan.

Tapi ketenangan itu tak bertahan lama. Ketukan lembut namun tegas di pintu memecah keheningan, menggetarkan saraf Jisoo yang sudah tegang. Pintu terbuka perlahan, menampakkan Sunhee dan Noah berdiri di ambang pintu. Kehadiran mereka begitu tak terduga sehingga membuat dada Jisoo terasa sesak, seperti seekor burung yang terperangkap di dalam sangkar. Pikirannya berpacu, mencoba memahami mengapa mereka datang.

“Nona Sunhee, Tuan Noah,” ucapnya, mencoba bangkit dari tempat tidur, tapi Noah segera menyuruhnya tetap berbaring. “Rasanya tidak sopan, jika saya—”

“Tidak apa-apa, Nona Baek. Berbaringlah dengan nyaman,” sela Sunhee sambil mendekat.

Hubungan Jisoo dengan Sunhee selama ini cukup akrab. Selama menemani Nyonya Laura, mereka sering berinteraksi, bercanda, dan bermain bersama, terutama saat Nyonya Laura beristirahat. Namun, kehadiran Noah kali ini menimbulkan rasa aneh yang tak bisa dia abaikan. Noah adalah saksi bisu insiden yang melibatkan dirinya dan Taeyong—sebuah insiden yang terus menghantuinya. Setiap kali melihat Noah, dia teringat pada ciuman yang tak diinginkannya, ciuman yang mengoyak martabatnya di depan saksi mata yang diam, Noah.

“Nona, Anda tidak perlu repot-repot datang,” kata Jisoo dengan suara pelan. Nadanya lembut, penuh rasa syukur, tapi juga sarat dengan ketegangan yang berusaha dia sembunyikan. Senyum yang dia berikan terasa pudar, seolah-olah hanya sebuah kedok untuk menutupi kepanikan yang terus menghantui dirinya.

Noah berdiri di dekat pintu, tatapannya lembut namun penuh pengamatan. Dia memberikan senyum tipis dan mengangguk kecil, sebuah isyarat penghormatan yang sopan. “Sunhee bersikeras ingin menjengukmu begitu mendengar kau sakit,” ucapnya dengan tenang. Nada suaranya terdengar netral, tapi cara dia memandang Jisoo mengisyaratkan lebih dari itu—ada perhatian mendalam di sana, seperti dia sedang mencari jawaban yang belum terungkap.

Sementara itu, Sunhee, dengan energinya yang khas, duduk di tepi tempat tidur Jisoo, menatapnya dengan kekhawatiran yang tidak bisa dia sembunyikan. “Kau merawatku saat aku sakit, Nona Baek. Sekarang giliranku untuk merawatmu,” ujarnya dengan nada manja, bibirnya mengerucut seperti anak kecil yang ingin merajuk. Ada kehangatan dalam sikapnya, tapi juga keinginan kuat untuk membalas kebaikan Jisoo dengan caranya sendiri.

Jisoo tersenyum tipis meskipun tubuhnya masih terasa lemas. “Saya baik-baik saja, Nona Muda. Anda tidak perlu merepotkan diri untuk merawat saya. Besok saya yakin sudah sembuh.”

Namun, Sunhee tetap bersikeras. “Nona Baek, kau selalu baik padaku. Biarkan aku membalasnya sekali saja!” Matanya berkilauan dengan semangat, tidak memberikan celah bagi Jisoo untuk menolak.

Noah kemudian menyela, “Sunhee, jangan membuat Nona Baek merasa tak enak hati.” Suaranya tegas, seperti seorang kakak yang berusaha melindungi adiknya sekaligus menjaga batas-batas sopan santun. “Nona Baek sudah bilang dia baik-baik saja.”

Sunhee mendengus kesal, meski keinginannya untuk membantu tetap tampak jelas di matanya. “Baiklah ...,” gumamnya, menyerah dengan enggan sebelum mengeluarkan sesuatu dari tas kecilnya. “Ini obat dan beberapa cemilan yang kau suka.” Dengan lembut, dia menyerahkan kantung kain kecil ke tangan Jisoo.

“Terima kasih, Nona.” ucap Jisoo sambil menerima pemberian itu dengan senyum tulus. Meski lemah, senyum itu menunjukkan rasa syukur yang mendalam dan sedikit kelegaan melihat Sunhee dan Noah bersiap untuk pergi.

Jisoo mengira semuanya telah selesai dan dia bisa beristirahat dengan tenang. Namun, sebelum sempat menarik napas lega, Noah kembali ke kamar setelah menyuruh Sunhee pergi lebih dulu.

“Tuan, apakah ada sesuatu yang ingin Anda katakan?” tanya Jisoo, berusaha menjaga suaranya tetap tenang, meski hatinya berdebar keras. Tatapannya bergerak gelisah, mencoba membaca maksud tersembunyi dari pria yang berdiri di hadapannya.

Noah mengamati Jisoo dengan tenang, tatapannya tampak penuh pertimbangan. “Aku ingin berbicara denganmu, Nona Baek. Secara pribadi.”

Jisoo merasakan ketegangan menyelinap ke dalam tubuhnya, tapi dia tidak bisa menolak permintaan itu. Dengan anggukan kecil, dia mempersilakan Noah masuk ke kamarnya. Selama melangkah masuk, Noah mengamati kamar Jisoo dengan teliti, matanya menyapu setiap sudut ruangan yang sederhana namun rapi. Dari meja kayu di sudut ruangan hingga tempat tidur kecil yang tampak sangat bersih. “Kamar yang sederhana, tapi terawat baik,” gumamnya pelan seraya menilai sesuatu lebih dari sekadar kondisi fisik kamar itu.

Setelah mengamati sekeliling, tatapan Noah kembali tertuju pada Jisoo. Ada sesuatu yang sulit disembunyikan di balik tatapan itu—sebuah kekaguman yang tampaknya tumbuh dari rasa hormat, bukan sekadar ketertarikan fisik. Berapa kalipun dia melihat Jisoo, gadis itu selalu tampak berbeda di matanya. Bukan karena kecantikan sederhana yang Jisoo miliki, tetapi karena ada sesuatu dalam sikapnya, cara dia membawa diri yang membuatnya tampak lebih dari sekadar pelayan biasa.

Noah tidak ingin berbasa-basi. Dengan suara tenang, dia langsung bertanya, “Apa kau mengenal kakakku sebelumnya?”

Jisoo terdiam sejenak, terkejut oleh pertanyaan itu. Tiba-tiba ruangan terasa lebih kecil, lebih pengap. Kata-kata Noah menembus dinding pertahanannya, langsung menghantam ketakutan yang selama ini berusaha dia sembunyikan “Tidak ... saya tidak pernah mengenal Tuan Taeyong sebelum datang kemari sebagai pelayan,” jawabnya dengan suara yang bergetar meski dia berusaha terdengar tegas.

Noah mengangkat alis, tanda bahwa dia tidak sepenuhnya percaya pada jawaban itu. “Benarkah itu?” tanyanya lagi, kali ini tatapannya semakin tajam, memperhatikan setiap perubahan kecil pada wajah Jisoo. “Karena sepertinya, kakakku mengenalmu ... bahkan sebelum kau tiba di mansion ini.”

Jisoo terperanjat. Apakah mungkin Taeyong sudah mengenalnya? Apakah dia pernah memperhatikannya saat Jisoo masih tinggal bersama Daisy di Desa Bellenau? Pertanyaan-pertanyaan itu muncul dengan cepat di pikirannya, memperburuk kebingungan dan kecemasannya.

Noah memperhatikan kebingungan yang jelas di wajah Jisoo, lalu bertanya lagi, kali ini dengan nada yang lebih serius, “Apakah kalian memiliki hubungan tersembunyi?”

Jisoo dengan tegas menggelengkan kepala. “Tidak ada hubungan apa pun antara saya dan Tuan Taeyong. Saya hanya pelayan dan saya tidak pantas memiliki hubungan tersembunyi dengan tuan saya.”

Namun demikian, Noah tetap terlihat ragu. Ruangan itu terasa semakin sempit seiring dengan tatapan tajam Noah yang tak ada henti-hentinya mengawasi. “Yah, terkadang ada kasus di mana seorang pelayan menjadi wanita simpanan tuannya,” katanya dengan hati-hati, seolah menyatakan fakta yang tidak terhindarkan. “Kau mungkin tidak terkecuali.”

Jisoo tersentak mendengar kalimat itu, sebelum dia bisa merespons, Noah melanjutkan dengan nada dingin, “Kakakku akan menikah.”

Kata-kata itu meluncur dengan lancar namun efeknya seperti tamparan dingin yang melumpuhkan perasaan Jisoo. Pernikahan Taeyong—isu itu pernah dia dengar, tapi lebih seperti bisikan samar di antara para pelayan, rumor yang tak pernah dia anggap serius. Awalnya dia pikir itu hanyalah bualan belaka, bagian dari permainan manipulasi Taeyong untuk menghancurkan Daisy, tetapi semakin lama dia berada di mansion ini, rumor itu semakin nyata. Para pelayan sering menyebutnya dalam percakapan sehari-hari, bahkan Nyonya Laura pun kerap membicarakan pernikahan putra sulungnya dengan teman-temannya, seolah-olah hal itu sudah dipastikan dan tak bisa dihindari.

Hawa ruangan tiba-tiba terasa lebih dingin. Jisoo tidak bisa menyembunyikan rasa terkejut dan cemas yang menjalar di tubuhnya. Apakah Taeyong benar-benar akan menikah? Dan jika iya, di mana dia berdiri di dalam semua ini? Apakah dia hanya pion yang sedang dipermainkan dalam skenario yang jauh lebih besar daripada yang dia kira? Lalu bagaimana dengan balas dendamnya?

Noah melihat reaksi Jisoo dan tetap diam, menunggu respons yang lebih dalam dari gadis yang berdiri di hadapannya, meski sepertinya dia sudah menemukan jawabannya sendiri. “Aku tidak ingin ada berita miring yang mengganggu pernikahan kakakku.” Ucapannya kali ini lebih lembut, tapi sarat dengan ketegasan yang terselubung, seperti ancaman yang halus namun tak bisa diabaikan. Matanya menelisik dalam, mencari pemahaman lebih jauh. “Aku juga tidak ingin kau terjebak dalam kekacauan itu, Nona Baek. Kau layak mendapatkan ketenangan, lebih dari sekadar terseret dalam hubungan rumit dengan kakakku.”

Kata-kata Noah bagai embusan angin sejuk di hari yang panas. Jisoo mendadak merasa lega, seolah bebannya terangkat sedikit demi sedikit. Akhirnya ada seseorang yang melihatnya, bukan sebagai objek atau pion dalam permainan kekuasaan, melainkan sebagai seseorang yang pantas dilindungi. Noah tidak memandangnya dengan nafsu atau curiga, seperti yang dilakukan Taeyong. Ada ketulusan dalam tatapan pria itu, seakan Noah memahami tanpa perlu mendengar seluruh kisah di balik penderitaan Jisoo. Simpati yang tulus—sesuatu yang langka di tempat ini.

Namun, meski rasa lega itu hadir, di bawah permukaannya tersimpan kegelisahan yang baru. Bagaimana Noah bisa begitu mengenal sifat kakaknya? Mengapa dia bisa berbicara dengan kepastian yang kuat, seakan sudah mengetahui apa yang terjadi tanpa pernah menyaksikannya? Pikiran-pikiran ini terus bergelayut di benak Jisoo, menciptakan lebih banyak pertanyaan daripada jawaban.

Noah memandang Jisoo dalam-dalam, mencoba membaca sesuatu yang tak terucapkan di balik wajahnya yang tenang. Tatapan pria ini berbeda dari saudara laki-lakinya—begitu lembut, penuh perhatian, seolah dia ingin melindungi Jisoo dari sesuatu yang lebih berbahaya daripada yang dia ketahui. Tidak ada kesan penghakiman dan tidak ada maksud tersembunyi dalam sorot matanya. Hanya ada keinginan untuk membantu, perasaan yang membuat Jisoo sedikit nyaman di tengah kekacauannya.

“Aku percaya padamu, Nona Baek,” ucap Noah pelan, suaranya hampir berbisik, bagaikan angin sejuk yang membawa ketenangan. “Aku tahu seperti apa kakakku. Dia pasti memaksamu.”

Rasanya seperti beban berat terangkat dari pundaknya. Ucapan Noah memberi kekuatan baru pada Jisoo, sesuatu yang belum pernah dia rasakan sejak terjebak dalam kekacauan yang melibatkan Taeyong. Matanya yang semula berusaha tegar kini sedikit berbinar, meskipun dia tetap berusaha menahan emosinya agar tidak terlihat terlalu rapuh. “Terima kasih, Tuan Noah.” Kata-kata itu seperti embusan daun yang jatuh dengan lembut di atas permukaan air, tenang namun penuh makna.

Noah mengangguk, tetapi ada sesuatu yang tampaknya masih mengganggu pikirannya. “Hanya saja,” lanjutnya dengan nada hati-hati, “aku masih tidak mengerti. Mengapa kau, Nona Baek? Kakakku tidak pernah tertarik pada seseorang yang dianggapnya lebih rendah. Dia tidak pernah memaksa orang untuk dekat dengannya dan tidak pernah memaksa siapa pun untuk tunduk, meski dia kasar dan licik. Tapi denganmu, dia berbeda. Cara dia melihatmu seperti seorang pria yang terobsesi pada wanitanya.”

Jisoo menahan napas, hatinya berdebar tak karuan. Bagaimana mungkin Noah bisa berpikiran begitu? Terobsesi? Bagi Jisoo, perhatian Taeyong lebih terasa seperti kontrol yang berlebihan daripada obsesi romantis. Pria itu selalu mengintimidasinya, seolah-olah dia menginginkan lebih dari sekadar memegang kendali atas dirinya. Bukan sekadar nafsu, melainkan lebih dari sekadar keinginan untuk memiliki. Ada sesuatu yang lebih dalam, sesuatu yang gelap dan menakutkan. Taeyong melihat Jisoo sebagai teka-teki yang harus dia selesaikan dengan caranya sendiri.

“Apa kau yakin tidak pernah bertemu dengannya sebelum bekerja di sini?” Noah bertanya lagi.

Jisoo terdiam, menelusuri ingatannya. Tapi tidak ada apa pun, kecuali ketika dia menemani Daisy bertemu dengan Taeyong. Namun, dia tidak berencana untuk mengungkapkan itu kepada Noah. Akhirnya, dia menggelengkan kepala. “Saya yakin, Tuan. Saya tidak pernah bertemu Tuan Taeyong sebelum saya bekerja di sini.”

Noah memandangnya lama lagi, mencari tanda kebohongan, tetapi yang dia temukan hanyalah ketulusan di balik ketegangan Jisoo. Akhirnya, dia menarik napas panjang dan mengangguk perlahan. “Baiklah, aku percaya padamu. Tapi tetaplah berhati-hati dengan kakakku. Dia bukan tipe orang yang akan menyerah begitu saja ketika dia menginginkan sesuatu.”

Jisoo hanya bisa mengangguk, meski di dalam hatinya rasa syukur dan kecemasan saling bersaing, berputar tanpa henti. Di satu sisi, Noah memahami sifat kakaknya, memberikan Jisoo sedikit rasa penghiburan. Namun, di sisi lain, jika Noah sendiri bisa melihat obsesi yang dimiliki Taeyong terhadapnya, apa yang akan terjadi selanjutnya? Bagaimana Jisoo bisa menghadapi pria yang bahkan adiknya anggap berbahaya?

“Aku akan memastikan Sunhee tidak terlalu mengganggumu lagi hari ini,” ucap Noah, mencairkan ketegangan yang sempat memenuhi ruangan. “Istirahatlah, Nona Baek.”

Dengan langkah tenang dan penuh kendali, Noah beranjak menuju pintu. Namun, sebelum dia keluar, dia menoleh sekali lagi, memberikan tatapan yang lembut namun sarat makna. “Jika ada sesuatu yang kau butuhkan… atau jika kau butuh perlindungan dari kakakku, kau bisa datang padaku. Jangan ragu.”

Jisoo tertegun, hatinya menghangat oleh tawaran tulus itu. Rasa lega menyelinap masuk, meski hanya sesaat. Dia mengangguk pelan. “Terima kasih, Tuan Noah.”

Noah tersenyum tipis, lalu melangkah keluar, meninggalkan Jisoo sendirian di kamarnya. Ketika pintu tertutup, Jisoo merasakan hatinya bergetar. Ada campuran rasa lega dan kecemasan yang tak mudah ia pahami. Di satu sisi, dia merasa telah menemukan sekutu—seseorang yang mungkin bisa melindunginya dari Taeyong. Namun, di sisi lain, ucapan Noah tentang obsesi Taeyong terus terngiang di pikirannya. Apa yang sebenarnya diinginkan Taeyong darinya? Mengapa pria itu begitu tertarik pada dirinya?

Menghela napas panjang, Jisoo merasakan beratnya situasi yang belum berakhir. Meski hari ini dia bisa menghindari Taeyong, dia sadar bahwa hari-hari mendatang mungkin tidak akan sebaik ini. Pertanyaan besar yang menggantung di benaknya: Bagaimana dia bisa lepas dari jeratan ini?

━━━━━━ ◦ breaking her ◦ ━━━━━━

Setelah Noah pergi, Jisoo duduk di tepi tempat tidurnya, menghela napas panjang yang penuh beban. Pikirannya kacau, dihantui oleh berbagai pikiran yang berputar tanpa henti. Meskipun hari ini dia berhasil menghindari Taeyong, kesadaran bahwa hari-hari mendatang mungkin takkan semudah ini semakin membebani hatinya. Bayangan Taeyong terus menghantui, dan setiap kali dia menutup mata, Jisoo bisa merasakan kembali napas pria itu, ciuman yang dipaksakan, dan tatapan penuh kendali yang mencekik kebebasannya.

Kamar kecil yang dia tinggali terasa semakin sunyi dan dingin. Cahaya matahari yang masuk dari jendela hanya menambah kesan kesepian yang mencekam. Langit di luar mulai berubah warna menjadi jingga, tanda malam segera tiba, sementara ketakutan yang menghantuinya tetap sama—tak ada yang berubah.

Jisoo tahu dia harus melakukan sesuatu. Dia tak bisa terus menjadi korban dalam permainan kejam Taeyong. Ada tujuan yang lebih besar yang harus dia capai—balas dendam. Balas dendam untuk Daisy. Itu satu-satunya alasan dia bertahan sejauh ini. Jisoo mengingat kembali wajah Daisy, penyelamatnya yang tak berdosa, yang dibunuh dengan kejam oleh penolakan laki-laki itu. Rasa sakit dan kehilangan itu menguatkan tekadnya. Dia harus bertindak cepat, membunuh Taeyong, dan melarikan diri sebelum semuanya terlambat.

Sepanjang malam, Jisoo tidak bisa tidur. Pikirannya berputar-putar, merancang berbagai skenario tentang bagaimana dia bisa melaksanakan rencana itu. Bayangan Daisy membuat tekadnya semakin kuat, mendorongnya untuk terus memikirkan langkah selanjutnya. Setelah malam panjang yang dipenuhi dengan pikiran yang bergejolak, Jisoo akhirnya memutuskan sebuah tanggal—hari di mana dia akan menyelesaikan balas dendamnya.

Keesokan harinya, Jisoo kembali berpura-pura sakit. Dia menemui Yuna, pengurus rumah tangga yang telah lama mengenalnya. “Yuna, tolong sampaikan kepada Tuan Taeyong bahwa aku tidak bisa bekerja lagi hari ini. Aku masih sakit dan butuh pergi keluar untuk berobat,” katanya dengan suara pelan, menambahkan ekspresi kelelahan yang meyakinkan.

Yuna tampak ragu sejenak, keningnya berkerut karena kekhawatiran. Namun, akhirnya dia mengangguk. “Baiklah, Nona Baek. Aku akan menyampaikan pesanmu,” jawabnya lembut.

Setelah mendapatkan izin, Jisoo diam-diam meninggalkan mansion. Dia berjalan cepat menyusuri jalanan yang mengarah ke Kota Tarrin sambil berusaha menghindari perhatian siapa pun. Kota Tarrin, dengan arsitektur kunonya yang megah, menyajikan pemandangan bangunan-bangunan batu yang tinggi dan berat, dihiasi jendela besar berbingkai kayu gelap. Di jalanan yang sibuk orang-orang berlalu lalang, sibuk dengan rutinitas harian mereka. Kereta kuda masih beroperasi, meski mobil-mobil antik mulai mengambil alih jalanan, menciptakan harmoni antara masa lalu dan masa depan.

Suara roda kereta dan mobil yang bergema di jalanan batu bersaing dengan langkah kaki para pejalan kaki yang terburu-buru. Jisoo berjalan dengan kepala tertunduk, menjaga agar tak menarik perhatian, hingga akhirnya dia sampai di sebuah bar yang terkenal sebagai tempat persembunyian guild informasi.

Dengan langkah ragu, Jisoo memasuki bar itu. Cahaya remang-remang dari lampu-lampu tua yang menggantung di langit-langit menerangi ruangan dengan suasana samar dan misterius. Suara gelas yang beradu, percakapan para pelanggan, dan aroma tembakau serta alkohol memenuhi udara. Tempat ini memiliki atmosfer gelap dan penuh rahasia, cocok bagi mereka yang mencari informasi tersembunyi atau mereka yang ingin bersembunyi dari dunia luar.

Jisoo mendekati bartender dengan langkah hati-hati, memastikan setiap gerakannya tidak menarik terlalu banyak perhatian. Dia tahu betul bahwa terlalu banyak sorotan bisa membuat urusannya gagal. Setelah mencapai bar, dia menunduk sedikit dan berbicara pelan namun tegas, “Aku ingin memesan ‘Cahaya Bintang di Langit Gelap.'” Itu adalah kalimat kode, yang hanya dikenal oleh mereka yang mencari informasi atau bantuan dari guild bayangan di bawah tanah Kota Tarrin.

Bartender itu mengangguk tipis, menatap Jisoo dengan mata penuh kewaspadaan sebelum tersenyum samar. Tanpa kata lebih lanjut, dia beranjak ke belakang bar, menghilang di balik pintu kayu kecil. Jisoo menunggu dalam diam, tangannya mengepal lembut di atas meja, menjaga ketenangannya.

Tak lama kemudian, seorang pria besar dengan rambut yang sudah memutih muncul dari balik tirai di belakang bar. Sosoknya tinggi dengan bahu lebar yang menyiratkan kekuatan, meski usianya tampak tak lagi muda. “Ikut aku,” katanya singkat, suaranya dalam dan tanpa basa-basi.

Jisoo mengikuti pria itu ke sebuah ruangan tersembunyi di balik bar. Ruangan itu kecil, penuh dengan rak-rak kayu yang dipadati dokumen, peta-peta tua, dan buku-buku tebal. Di tengah ruangan berdiri sebuah meja kayu tua yang telah lama digunakan, menjadi pusat segala aktivitas di dalam ruangan tersebut. Cahaya kuning redup dari lampu minyak menggantung di atas meja, menciptakan bayangan panjang yang melintasi dinding, serta menambah suasana misterius.

Pria itu menatap Jisoo dengan tatapan dingin dan penuh perhitungan. “Apa yang kau butuhkan?” tanyanya tanpa basa-basi.

“Identitas baru,” jawab Jisoo tegas, tanpa membuang waktu. “Aku akan segera meninggalkan kota dan aku butuh dokumen untuk melakukannya.”

Pria itu mengangguk tanpa bertanya lebih lanjut. “Harga untuk identitas baru cukup mahal. Apakah kau siap membayarnya?”

Jisoo menatapnya langsung. “Identitas baru,” jawabnya tegas, tanpa ada keraguan dalam suaranya. “Aku akan segera meninggalkan kota dan aku butuh dokumen untuk itu.”

Pria tersebut mengangguk singkat, seolah sudah sering mendengar permintaan serupa. “Identitas baru bukanlah hal murah. Apakah kau siap membayar harga yang sesuai?”

Jisoo mengangguk tanpa ragu. “Berapa pun biayanya, aku akan membayar.”

Setelah negosiasi singkat, transaksi diselesaikan. Jisoo menyerahkan sejumlah uang yang diminta, dan pria itu memberinya janji bahwa identitas barunya akan siap dalam beberapa hari. Meski tidak ada senyuman yang tersungging di wajahnya, Jisoo merasa sedikit lega. Identitas baru itu akan memberinya jalan keluar, kebebasan yang dia butuhkan setelah rencana balas dendamnya selesai.

Selesai dengan urusannya di bar, Jisoo memutuskan untuk berjalan-jalan sebentar, meresapi udara sore di Kota Tarrin. Kota itu terasa hidup di sore hari. Deretan bangunan megah dari batu menjulang di sepanjang jalanan berbatu, mengingatkan Jisoo akan kejayaan era aristokrasi yang masih terasa kuat. Beberapa mobil klasik melintas di antara jalanan, mengeluarkan bunyi mesin lembut, sementara suara klakson kuno bergema di udara, menyatu dengan derap langkah orang-orang yang berjalan kaki dan kereta kuda yang masih berlalu lalang.

Jisoo menghirup udara dalam-dalam, menikmati momen kebebasan yang singkat, sebelum kembali ke kenyataan bahwa mansion masih menantinya—dan segala ancamannya.

Namun, kebebasan itu terhenti mendadak ketika sebuah mobil hitam berhenti di dekatnya. Hatinya berdebar kencang saat dia melihat Benjamin, pelayan pribadi Taeyong, keluar dari mobil. Dengan sikap dingin dan tegas, Benjamin membuka pintu belakang.

“Nona Baek, silakan masuk,” katanya, suaranya memerintah.

Jisoo terdiam, hatinya mencelos saat melihat Taeyong duduk di dalam mobil, menatapnya dengan sorot mata yang tajam dan menuntut. Walau seluruh tubuhnya ingin menolak, tatapan Taeyong terasa seperti perintah yang tak bisa dihindari. Perlahan dengan langkah berat, Jisoo masuk ke dalam mobil dan duduk di sampingnya. Udara di dalam mobil terasa tebal dengan ketegangan yang tak terucapkan, seakan setiap detik menambah beban pada bahunya. Mesin mobil bergetar halus saat mereka melaju meninggalkan Kota Tarrin. Sepanjang perjalanan, Taeyong terus memperhatikannya dengan intensitas yang membuat Jisoo semakin tak nyaman.

“Kau terlihat sehat, Nona Baek,” ucap Taeyong tiba-tiba, senyum kecil menghiasi wajahnya. Ada sesuatu dalam senyum itu yang membuat jantung Jisoo berdetak lebih cepat. “Apa doktermu memberimu obat yang bagus?”

Jisoo menelan ludah, kegugupan menyelimuti dirinya. Apakah dia tahu bahwa kemarin dia hanya berpura-pura sakit? Dia mengangguk pelan, mencoba menenangkan kegugupannya. "Ya, Tuan. Dokter memberiku obat yang bagus,” jawabnya.

Taeyong tersenyum lebih lebar, tatapannya semakin tajam, dan menusuk. “Senang mendengarnya,” balasnya dengan nada yang terdengar santai. “Kalau begitu, tidak akan jadi masalah untuk kita pergi.”

Jisoo terdiam, rasa cemas mulai menguasai dirinya. “Pergi?” gumamnya, matanya melirik ke luar jendela mobil, baru menyadari bahwa mereka telah meninggalkan batas Kota Tarrin. Jalanan berbatu kota sudah berganti dengan jalanan panjang yang sepi, dikelilingi hanya oleh pepohonan gelap yang menjulang di sepanjang jalan. Rasa panik perlahan merayap ke dalam hatinya.

“Tuan, kita akan pergi ke mana?” tanyanya, suaranya nyaris bergetar karena panik.

“Berburu, Nona Baek,” jawab Taeyong dengan senyum licik yang tak menyembunyikan misteri di balik kata-katanya. “Kau akan menemaniku berburu kelinci.”

Rasa gelisah Jisoo meningkat. Kata-kata Taeyong penuh dengan makna tersembunyi dan getaran bahaya yang tak bisa dijelaskan menyelimuti setiap ucapannya. Jisoo berusaha mencari alasan, suara paniknya semakin nyata. “Tuan, saya rasa saya tidak bisa ikut. Saya—”

“Kau sudah baikan, Nona Baek,” potong Taeyong, suaranya lembut namun penuh dengan tekanan yang tak bisa dilawan. “Aku tidak bisa pergi berburu tanpa kelinciku.”

Kata-kata itu menggema dalam benak Jisoo. “Kelinci?” pikirnya. Apa maksudnya? Rasa bingung dan ketakutan semakin menyelimuti dirinya, tetapi tidak ada cara untuk menolak ajakan ini sementara mobil terus melaju, membawa mereka semakin jauh dari Tarrin dan lebih dalam ke tempat yang tidak diketahui Jisoo.

Hawa di dalam mobil terasa semakin menekan, sementara Jisoo hanya bisa berdoa untuk keselamatannya. Dia tahu bahwa bersama Taeyong, permainan ini akan menjadi jauh lebih berbahaya daripada yang bisa dia bayangkan.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top