Chapter XVIII: Mine 2.0

Jisoo berlari keluar dari gedung utama, napasnya tersengal-sengal dan dadanya bergemuruh oleh emosi yang tak tertahankan. Langkah kakinya cepat, tak peduli dengan suara gemerisik daun atau angin malam yang menusuk kulitnya. Begitu dia sampai di kamarnya, Jisoo mengunci pintu, jatuh terduduk di lantai yang dingin. Ruangan kecil itu sepi, hanya terdengar deru napasnya yang masih belum teratur.

Hatinya diliputi kebingungan, kemarahan, dan rasa panik yang bercampur aduk. Tangannya secara refleks mengusap bibirnya, mencoba menghapus sensasi yang terus mengganggunya—sensasi bibir Taeyong yang menekan bibirnya. Setiap kali dia mengingat bagaimana pria itu mencium bibirnya dengan kasar dan mendominasi, rasa jijik menguasainya.

Dia mengusap bibirnya dengan kasar, berharap bisa menghilangkan semua jejak ciuman itu, tapi sensasi panas yang tertinggal di sana masih membara. “Kenapa kau diam saja, Jisoo?!” Dia memarahi dirinya sendiri, air mata bercampur dengan kemarahan yang menyesak di dadanya. “Kenapa kau tidak melawannya? Kau bisa melawannya!”

Tangannya mengepal kuat. Semua latihan keras dari pagi hingga malam bersama ayahnya—latihan untuk melindungi dirinya dari orang-orang seperti Taeyong—rasanya sia-sia. Kenapa dia tidak bisa bereaksi saat pria itu mendekatinya? Kenapa dia tidak bisa menggunakan keterampilannya untuk melindungi dirinya sendiri? Perasaan kecewa pada dirinya sendiri semakin menyesakkan dada.

“Kau pengecut, Jisoo! Kau harusnya membunuhnya saat itu juga!” teriaknya penuh amarah. Jisoo memeluk lututnya, kepalanya jatuh ke pangkuan. Tubuhnya bergetar karena rasa marah yang semakin membara. Dia belum pernah berciuman dengan siapa pun sebelumnya dan kini ciuman pertamanya hilang begitu saja karena pria—sialan—itu. Dan hal itu membuatnya semakin marah.

“Taeyong ...,” gumamnya penuh kebencian. “Aku bersumpah, aku akan membunuhmu.” Dia mengepalkan tangan lebih erat, kukunya hampir menembus kulit. “Kau akan membayar ini ... bukan hanya untuk Daisy, tapi untuk apa yang kau lakukan padaku.”

Butuh waktu lama baginya untuk menenangkan diri. Dia duduk di sana dalam kebisuan, pikirannya penuh dengan rencana balas dendam. Malam semakin larut, tetapi kemarahan di dalam dirinya belum sepenuhnya padam. Dia tahu bahwa suatu saat, dia akan mendapat kesempatan untuk membuat Taeyong menyesali setiap perlakuannya.

Keesokan paginya, Jisoo merasa lega karena tidak perlu langsung berurusan dengan Taeyong. Nyonya Laura memanggilnya lebih awal untuk meminta bantuannya dalam menyiapkan pesta kecil menyambut kepulangan Kepala Keluarga, Dabin Han, dan putra keduanya, Noah Antoine Han. Jisoo merasa sedikit terhibur dengan kesibukan ini, setidaknya dia bisa mengalihkan pikirannya dari kejadian mengerikan semalam.

Seluruh mansion sibuk dengan persiapan. Para pelayan bergerak cepat membersihkan setiap sudut rumah besar itu, mengatur bunga-bunga segar di setiap vas, dan memastikan bahwa semuanya sempurna untuk menyambut kepulangan kepala keluarga. Piring-piring perak yang mengilap disusun dengan rapi di atas meja makan yang panjang, dihiasi taplak sutra halus dan lilin-lilin beraroma mawar yang sudah disiapkan sejak kemarin. Tirai-tirai berat yang tergantung di jendela besar dibuka, membiarkan cahaya matahari masuk ke dalam ruangan yang luas dan megah.

Jisoo sendiri sibuk di dapur, membantu para pelayan lain menyiapkan hidangan-hidangan mewah yang akan disajikan untuk jamuan makan siang. Tangannya cekatan menata buah-buahan segar di atas piring besar, memastikan setiap irisannya terlihat sempurna. Dia memotong daging dengan hati-hati, mengikuti standar yang diajarkan oleh kepala koki, seolah-olah ini adalah hal terpenting di dunia.

Di luar dapur suasana semakin sibuk. Para pelayan bergegas ke sana kemari, membawa minuman, menata gelas anggur, dan mengatur meja makan dengan detail khas aristokrat—semua harus tampak sempurna, mulai dari susunan pisau, garpu, hingga gelas kristal yang berkilau di bawah cahaya chandelier. Semua orang bergerak cepat, memastikan setiap elemen sesuai standar tinggi keluarga Han.

Saat semua keluarga besar berkumpul di ruang makan—ada Taeyong, Noah, Sunhee, Nyonya Laura, dan Dabin Han, kecuali Hwall yang masih di akademi—Jisoo tetap berada di belakang, membantu menyiapkan makanan dan melayani mereka dengan penuh kehati-hatian. Meski dia berusaha menjaga jarak, dia bisa merasakan tatapan Taeyong yang terus mengawasinya dari sudut ruangan. Ketika mereka sempat bertatapan, tubuhnya langsung menegang, lalu dengan cepat menunduk dan berpura-pura sibuk dengan tugasnya.

Namun, yang lebih membuatnya terguncang adalah saat pandangannya bertemu dengan Noah Antoine Han, pria yang kemarin memergoki kejadian ciuman di ruang kerja saudara laki-lakinya. Hatinya langsung melonjak, rasa malu membanjiri dirinya, mengingat bagaimana dia terlihat dalam situasi itu. Noah memperhatikannya dalam diam, tidak mengatakan sepatah kata pun, tapi matanya seperti membaca setiap gerakannya.

Jisoo segera memalingkan wajah, menunduk dalam-dalam, berusaha menghindar dari tatapan itu. Dia tidak berani menatap Noah lebih lama, takut bahwa pria itu akan melihat ketidaknyamanan dan rasa malu yang membanjiri wajahnya.

Sementara itu, Noah memandangi Jisoo dengan pandangan yang lebih lembut. Meski dia tahu gadis itu hanyalah seorang pelayan di mansion keluarganya, ada sesuatu yang menarik dari gadis itu. Terutama wajah itu. Wajah yang tidak terlihat seperti seorang pelayan biasa—dan entah karena alasan apa, Noah merasa pernah melihat wajah itu di suatu tempat atau seseorang dari lingkungan kenalannya terlihat mirip dengannya.

Tapi siapa? Ada terlalu banyak nama di kepalanya, tapi tidak ada satupun nama yang keluar. Apa mungkin kita pernah bertemu? Hal itu jelas tidak mungkin karena Noah sama seperti Hwall, sama-sama bersekolah di akademi yang dipenuhi laki-laki. Dan teman wanita Noah hanya sedikit, tidak sebanyak teman wanita saudara laki-lakinya.

Noah menyipitkan mata, rasa penasaran membuat perhatiannya hanya fokus pada pelayan wanita yang dipanggil “Nona Baek” oleh ibu dan saudaranya. Untuk beberapa detik kemudian, dia menyadari beberapa hal tentang Nona Baek. Gadis itu cantik. Wajahnya bersinar dengan kecantikan yang alami, kulitnya sehalus porselen, dan bibirnya yang tipis tampak berkilau di bawah cahaya lampu. Noah tidak bisa menahan diri untuk berpikir bahwa gadis itu adalah sosok yang luar biasa cantik. Matanya yang dalam memancarkan ketulusan, meski diselimuti oleh ketakutan dan kekhawatiran yang tak pernah hilang. Jisoo bukanlah kecantikan biasa—dia adalah bunga yang mekar di tengah badai, halus namun penuh kekuatan.

Taeyong yang duduk di ujung meja menyadari tatapan Noah yang hanya tertuju pada Jisoo. Matanya menyipit tajam, wajahnya tampak tidak senang. Dia tidak suka bagaimana adiknya memperhatikan “miliknya”. Dengan nada yang tenang dan penuh otoritas, dia memanggil Jisoo di tengah pertemuan keluarga, membuat gadis itu terkejut dan menegang. Semua mata seketika tertuju padanya.

Tanpa menjelaskan apa-apa, dia langsung memberinya perintah, “Pergi ke ruanganku. Ada sesuatu yang perlu kau cari untukku.”

Jisoo merasa gugup dan bingung. “Tuan, benda apa yang Anda maksud?”

“Cari saja. Jangan kembali sampai kau menemukannya.”

Dia tidak punya pilihan lain selain menuruti perintah itu. Dengan hati yang berdebar, dia keluar dari ruang makan, langsung menuju ruang kerja pribadi Taeyong. Pikirannya dipenuhi dengan kebingungan. Benda apa yang harus dia cari? Pria itu tidak memberikan instruksi yang jelas, hanya menyuruhnya pergi mencari sesuatu yang bahkan tidak ada.

Sesampainya di ruangan itu, dia berdiri di tengah-tengah ruangan luas yang dipenuhi oleh buku-buku tebal, dokumen-dokumen, dan barang-barang mewah. Matanya menyapu sekeliling, mencari sesuatu yang mungkin dimaksud Taeyong, tapi tidak ada petunjuk yang jelas. Semua tampak acak.

“Barang apa yang dia suruh aku cari?” gumamnya, merasa frustrasi. Dia mulai membuka laci-laci meja, memeriksa setiap sudut, tetap saja tidak ada apa-apa yang tampak penting. Setelah beberapa saat mencari tanpa hasil, kemarahan Jisoo mulai muncul kembali. “Ini pasti hanya alasan untuk mengusirku. Bajingan!”

Jisoo menendang kaki meja dengan frustrasi, sebelum akhirnya dia duduk di kursi besar di belakang meja kerja Taeyong. Tidak ada gunanya mencari benda yang tidak ada. Namun, di tengah rasa frustasinya, sebuah ide muncul di benaknya—ini mungkin kesempatan. Kesempatan untuk menemukan sesuatu yang bisa digunakannya untuk balas dendam.

Benar! Kenapa aku tidak memikirkan itu?

Jisoo bergegas mengaduk-aduk setiap sudut ruang kerja Taeyong, tangannya bergerak cepat, penuh dengan amarah dan frustrasi. Ruang kerja itu luas dan megah, penuh dengan rak-rak buku kayu ek yang tinggi menjulang, lemari kaca dengan benda-benda antik, serta meja besar yang ditempatkan di tengah ruangan. Jendela besar di satu sisi ruangan memungkinkan sinar matahari menyelinap masuk, menyinari tumpukan buku dan dokumen yang berserakan di meja. Di sudut ruangan, ada sofa kulit yang elegan, sementara permadani Persia menghiasi lantai marmer yang dingin.

Perintahnya untuk mencari sesuatu tanpa petunjuk jelas hanyalah alasan untuk menjauhkan Jisoo dari pertemuan keluarga. Mungkin dia ingin memastikan Jisoo tidak dekat dengan keluarganya atau mungkin hanya sekadar ingin membuktikan kekuasaannya atas dirinya. Apa pun alasannya, dia sudah cukup muak dengan permainan ini.

Dia membuka laci-laci meja dengan kasar, menarik keluar beberapa dokumen, tapi tak ada yang tampak mencurigakan. Buku-buku di rak tampak rapi, terlalu rapi, seperti tak pernah disentuh. Jisoo memeriksa laci di bawah meja, mencoba mencari sesuatu yang bisa mengungkap rahasia Taeyong. Tangannya menggerakkan pena, amplop-amplop, dan dokumen-dokumen lama, tapi tidak ada yang tampak mencurigakan.

Frustrasi memuncak. “Apa yang dia sembunyikan di sini?” gumamnya, suaranya penuh amarah. Matanya bergerak liar ke seluruh ruangan, mencari sesuatu yang tampak tidak biasa.

Di salah satu sudut meja, sebuah kotak peti menarik perhatiannya. Kotak itu tampak tua namun elegan, terbuat dari kayu hitam dengan ukiran rumit di sisi-sisinya. Bentuknya tidak terlalu besar, tapi terlihat solid, dengan lubang kunci emas yang menghiasi bagian depannya. Ukiran di peti itu sangat halus, menyerupai simbol-simbol yang asing bagi Jisoo, tapi ada sesuatu yang memikat di balik misteri kotak itu. Dia mendekat dan mencoba membukanya, tapi kotaknya terkunci.

Jisoo memutar kotak itu di tangannya, mencari petunjuk. “Tentu saja, terkunci!” gerutunya marah. Dia memutuskan untuk mencari kunci di setiap rak, di bawah tumpukan buku, dan di dalam laci meja. Barangkali benda itu tersimpan di ruangan ini, pikirnya sambil terus mencari. Satu demi satu laci dia periksa dengan cepat, sayangnya tak ada kunci yang dia temukan. Jisoo kembali menatap kotak itu dengan pandangan rumit. Pikirannya berputar-putar, bertanya-tanya apa rahasia yang mungkin disimpan di dalam peti itu. Apa yang disembunyikan Taeyong?

Saat dia masih terpaku menatap kotak, tiba-tiba terdengar suara pintu yang terbuka.

Jisoo terkejut lalu buru-buru meletakkan kotak itu kembali di atas meja, gerakannya terlalu cepat, tapi Taeyong sudah terlanjur melihatnya.

“Sepertinya kau tertarik pada hal-hal lainnya,” ucap pria itu dengan nada dingin. Dia menutup pintu perlahan di belakangnya, tapi tatapannya mengunci Jisoo yang sekarang berdiri mematung di tengah ruangan.

Jisoo merasa jantungnya berdetak lebih cepat. Panik melanda dirinya saat Taeyong melangkah masuk. Dia tahu pria itu melihat apa yang dipegangnya tadi dan lebih dari itu, pria itu sepertinya tahu persis apa yang ada di pikirannya. Taeyong berjalan mendekat setelah mengunci pintu ruangan. Suara kunci yang berputar menggetarkan hati Jisoo. Seluruh tubuhnya menegang, perasaannya seolah dihantam gelombang ketakutan yang tak bisa dia kendalikan. Ruangan besar itu mendadak terasa sangat kecil.

“Tuan—” Jisoo mencoba berbicara, tapi kata-katanya tertahan di tenggorokan.

“Tetap di situ!" perintah Taeyong dengan nada yang lebih keras dari sebelumnya. ”Aku melarangmu meninggalkan ruanganku.”

Panik kembali melanda dirinya. Pikirannya melayang ke kejadian semalam—ciumannya, tatapannya yang mendominasi, dan perasaannya yang tidak berdaya saat itu. Apa yang ingin dilakukan pria ini sekarang? Perlahan dia melangkah mundur, setiap langkahnya terasa berat sementara Taeyong terus mendekat. Namun, bukannya mendekatinya, pria itu justru berjalan menuju kursinya dan duduk di balik meja besar itu.

Melihat itu, Jisoo hampir saja tertawa dalam kelegaan yang begitu mendalam. Napasnya terhembus keras-keras tanpa sadar, seolah seluruh beban di pundaknya terangkat. Suara napasnya yang keras cukup untuk menarik perhatian Taeyong. Pria itu kemudian tertawa kecil, mengejek.

“Kau merasa lega karena aku tidak mendekatimu?” tanyanya dengan nada mengejek.

“Saya … saya hanya ….” Kata-katanya tersendat, suaranya gemetar karena gugup. Setiap kata terasa sulit keluar, tertahan oleh kecemasan yang semakin membelit.

“Diam.” Taeyong memotongnya dengan tegas. Tatapannya mengunci mata gadis itu dan ruangan kembali dipenuhi ketegangan yang berat. “Mendekatlah.”

Jisoo tidak bergerak. Tubuhnya membeku di tempat, ingatannya kembali pada saat terakhir kali Taeyong menyuruhnya mendekat—kejadian itu masih segar di pikirannya. “Tuan, saya pikir lebih baik—”

“Aku bilang, mendekat!” Nada suaranya menggelegar, penuh perintah yang tak bisa diabaikan. Tatapannya tak bergeser sedikit pun dari wajah Jisoo, sorot matanya begitu kuat dan tak terelakkan, membuatnya tak punya pilihan selain menurut.

Rasa takut merayap di seluruh tubuh Jisoo, dingin dan menyesakkan, seperti kabut gelap yang menyelubungi setiap inci dirinya. Dia terjebak di antara keinginan untuk melarikan diri dan ketakutan yang menancapkan kakinya di tempat. Matanya melirik ke arah pintu yang terkunci rapat—satu-satunya jalan keluar yang terasa semakin jauh, seperti mimpi yang tak pernah bisa diraih. Di balik semua itu, ingatan akan ciuman mereka kembali menghantui pikirannya, berputar-putar tanpa henti, membuat napasnya semakin berat dan dadanya semakin sesak.

“Lebih dekat.”

Jisoo menarik napas dalam-dalam, berusaha mengumpulkan keberanian. Dengan gemetar dia melangkah maju, meski setiap langkah terasa seperti mendekati jurang yang gelap dan tak berujung. Jantungnya berdetak semakin cepat, hampir tak terkendali, sementara dia berusaha mati-matian mengabaikan kehadiran Taeyong yang begitu mendominasi. Seolah pria itu memiliki kendali penuh atas setiap detik yang bergerak di dalam ruangan ini.

“Lebih dekat lagi.” Suara pria itu terdengar sekali lagi, tenang dan penuh otoritas.

Jisoo terhenti tepat di depan meja kerja Taeyong. Meja adalah penghalang jarak di antara mereka. Sejujurnya, Jisoo bersyukur karena dengan adanya benda ini, dia aman. Taeyong duduk di kursinya dengan santai, tapi ada sesuatu dalam cara dia menatap Jisoo—tatapannya tajam dan penuh kendali, seolah dia memegang tali yang mengikat jiwa Jisoo, menariknya semakin dalam ke dalam permainan yang tak terucap.

Mata mereka terkunci dalam diam, berbicara lebih banyak daripada yang bisa diungkapkan dengan kata-kata. Ruangan itu begitu hening namun ketegangan terasa tebal dan berat, seolah-olah dinding di sekeliling mereka terus menyempit, menghimpit segala sesuatu kecuali rasa takut dan ketidakpastian yang membelenggu hati Jisoo.

Bayangan ciuman kemarin masih menggantung di udara, meski tak terucap, namun begitu nyata dalam ingatan mereka. Bagi Jisoo, ciuman itu adalah ancaman—sebuah tanda betapa rapuh dan tidak berdayanya dia di hadapan Taeyong. Sentuhan itu bukan sekadar fisik; ada kedalaman lain di baliknya, sesuatu yang lebih gelap dan berbahaya: kekuatan Taeyong untuk mengendalikan, untuk membuatnya goyah, tersesat di antara kenyataan dan ilusi. Setiap ingatan tentang ciuman itu hanya mempertegas bagaimana pria di hadapannya ini bisa menghancurkan keseimbangan dirinya dengan begitu mudah.

Bagi Taeyong, ciuman itu adalah pernyataan dominasi. Itu bukanlah tindakan impulsif; itu adalah penegasan bahwa Jisoo, terlepas dari segala perjuangan batinnya, hanyalah pion dalam permainan besar yang dia kendalikan sepenuhnya. Tatapan pria itu sekarang semakin mengukuhkan hal tersebut—mata hitamnya penuh perhitungan, membaca setiap detak halus, setiap gerakan kecil di wajahnya.

Pikiran Jisoo terasa kabur, terseret dalam arus ketidakpastian yang tak tertahankan. Tatapannya kembali bertemu dengan Taeyong, dan momen itu terasa panjang, menyesakkan. Tatapan pria itu tajam, menusuk, seolah bisa menembus langsung ke dalam jiwanya.

“Kau terlalu banyak berpikir, Jisoo.”

Suara Taeyong terdengar rendah, tapi ada sesuatu di dalam nada itu yang membuat detak jantung Jisoo semakin liar. Setiap kata yang keluar dari bibirnya terasa seperti jerat yang semakin mengikat, samar, tetapi mustahil untuk diabaikan.

Jisoo menelan ludah dengan susah payah, berusaha menguasai diri. Sementara napasnya semakin berat, seakan-akan udara yang seharusnya menenangkan justru berubah menjadi beban yang menghimpit paru-parunya. Tatapan Taeyong masih terkunci pada wajahnya, matanya begitu tajam, seperti predator yang sedang memperhatikan mangsanya.

“Mendekatlah lagi.”

Kata-kata itu diucapkan dengan tenang, bergema kuat di kepalanya, dan menyeruak seperti ancaman yang tak terbantahkan. Kakinya terasa berat, seperti dirantai oleh sesuatu yang tak terlihat, sedangkan tubuhnya bergerak, mengikuti perintah itu dengan rasa tak berdaya. Setiap langkah yang diambil terasa semakin lambat, penuh keraguan, dan dengan setiap langkah, dia merasa dirinya tenggelam lebih dalam ke dalam pusaran yang tidak bisa dia kendalikan.

Keheningan ruangan semakin tegang, hanya terdengar suara langkah kakinya yang bergema di lantai kayu, mengisi ruangan besar dengan ketidakpastian yang semakin menghantui. Ketegangan di udara semakin pekat, menghimpit, hingga hampir tidak ada ruang tersisa untuk berpikir jernih.

Jisoo tahu bahwa mata Taeyong tak pernah lepas darinya, mengamati setiap gerakannya dengan intensitas yang menakutkan seperti predator yang menikmati saat mangsanya semakin terpojok. Tatapan pria itu dingin dan penuh kendali, merayakan ketakutan yang merayap di seluruh tubuh gadis itu, dan memperkuat cengkeraman tak kasat mata yang dia rasakan.

Saat Jisoo akhirnya sampai di ujung meja kerja yang besar, dia berhenti, merasa bahwa jarak itu sudah cukup. Napasnya tersengal-sengal, dadanya naik turun dengan cepat, sementara jantungnya berdetak begitu keras seakan ingin melompat keluar. Namun, bagi Taeyong, itu belum cukup. Dengan satu gerakan tangan yang lambat dan otoritas, dia memberi isyarat yang tak terbantahkan.

“Lebih dekat lagi.” Kata-kata itu melayang di udara seperti perintah yang tak bisa dilawan.

Jisoo menahan napas, berusaha mengumpulkan sisa-sisa keberanian yang dia miliki untuk melangkah lebih jauh. Kakinya bergerak perlahan melintasi meja kerja besar dari kayu mahoni yang menjulang di antara mereka, hingga akhirnya dia berdiri tepat di hadapan Taeyong. Pria itu duduk santai di kursinya, tapi kehadirannya begitu mendominasi hingga seluruh ruangan terasa tertunduk di bawah pengaruhnya. Degup jantung Jisoo semakin cepat, nyaris menenggelamkan suara napasnya yang tersengal-sengal. Udara di sekeliling terasa semakin padat, berat oleh ketegangan yang menggantung di antara mereka.

Taeyong menatapnya tanpa berkedip, mata hitamnya penuh dengan ketenangan yang menakutkan. Tangannya bertumpu dengan santai di sandaran kursi, tapi tatapannya memperlihatkan sesuatu yang jauh lebih dalam yang sepenuhnya dalam kendalinya.

“Berlutut!” perintah Taeyong, tak terbantahkan.

“Tuan, kenapa—"

“Diam! Berlutut.” Taeyong memotongnya lagi, tatapan dinginnya tidak memberi ruang untuk pertanyaan. “Pintu itu akan tetap terkunci sampai kau mengikuti perintahku.”

Rasa takut membanjirinya. Pintu terkunci, tidak ada jalan keluar, dan pria ini tidak akan membiarkannya pergi sebelum dia menurut. Napasnya semakin pendek dan tubuhnya terasa semakin berat di bawah tekanan suasana yang mencekam ini. Dengan gemetar, Jisoo akhirnya berlutut di depan Taeyong.

Taeyong tersenyum kecil, puas melihat gadis itu tunduk di hadapannya. “Sekarang, buka mulutmu.”

Jisoo semakin bingung, tapi kali ini dia tidak berani bertanya. Apa yang dia inginkan? Pikirannya berputar-putar penuh dengan kebingungan dan ketakutan. Namun, rasa takut diancam lagi membuatnya menurut. Perlahan, dengan enggan, dia membuka mulut sedikit.

Lalu tanpa memberinya peringatan, Taeyong tiba-tiba memasukkan jarinya ke dalam mulut Jisoo, membuat gadis itu panik seketika. Jari itu dingin namun kuat, menyentuh bagian dalam mulutnya dengan gerakan perlahan, dan penuh kendali. Matanya seketika melebar saat perasaan tak nyaman menyebar di seluruh tubuhnya.

Jisoo merasakan dunia seolah-olah runtuh di sekitarnya ketika jari Taeyong menyusup ke dalam mulutnya. Rasa dingin dari jari-jari pria itu terasa asing sehingga membuatnya mual. Mulutnya terasa kaku dan tubuhnya menegang begitu keras hingga hampir tidak bisa bernapas. Pikirannya kacau, penuh dengan kepanikan dan ketakutan yang berputar tak karuan.

Sialan. Sekarang apalagi yang ingin dia lakukan? Pikirnya, terperangkap dalam situasi di luar kendalinya.

Taeyong tidak mengatakan apa pun, tapi matanya yang tajam terus mengunci matanya. Mata gelapnya tak pernah beranjak sedikit pun dari wajah Jisoo, seperti sedang menikmati setiap reaksi ketakutan yang terpancar dari gadis itu. Dan wajah tanpa ekspresi itu meninggalkan sebuah kesan kekuasaan mutlak dalam gerakannya yang membuat Jisoo semakin terpuruk.

Menarik sedikit jari-jarinya, dia kembali mendorongnya masuk ke dalam, kali ini gerakannya lebih lambat, seolah menikmati kontrol penuh yang dia miliki atas situasi ini. Jisoo bisa merasakan jari-jari itu menyentuh bagian dalam mulutnya, bergerak dengan keheningan yang menyesakkan.

Jisoo ingin berteriak, ingin berontak, tapi entah kenapa tubuhnya tidak mendengarkan. Semakin dia mencoba untuk bergerak, semakin dia merasa tak berdaya di bawah kekuatan pria itu. Taeyong hanya tersenyum tipis saat melihat kepanikan di matanya, senyum itu penuh dengan kemenangan yang membuat gadis itu merasa terperangkap lebih dalam.

Setelah beberapa saat yang terasa seperti berjam-jam baginya, Taeyong akhirnya menarik jari-jarinya keluar sepenuhnya dari mulut Jisoo. Air liur gadis itu membasahi jari-jarinya, tapi pria itu tampak tidak peduli sama sekali. Sebaliknya, Taeyong mengusap bibir Jisoo dengan ibu jarinya, meninggalkan sensasi panas yang semakin membuat gadis itu merasakan kekosongan dan tertekan.

“Kau tahu, Jisoo ...,” Taeyong berkata pelan, suaranya nyaris seperti bisikan yang bergema di dalam ruangan besar itu, “kau seharusnya belajar untuk lebih patuh karena itu akan jauh lebih mudah bagimu.”

Jisoo hanya bisa menunduk, berusaha menghindari tatapannya. Tubuhnya terasa semakin lemah, seperti tak ada tenaga tersisa untuk melawan atau bahkan untuk mempertanyakan apa yang sebenarnya terjadi. Ruangan itu terasa semakin kecil, semakin mencekik, sementara tubuhnya gemetar oleh rasa takut yang semakin tak tertahankan.

Taeyong kemudian berdiri dari kursinya, meninggalkan Jisoo yang masih berlutut di depannya. Mata itu masih tajam, mengawasi setiap inci tubuh Jisoo yang tampak rentan di lantai layaknya sebuah boneka yang tak berdaya di bawah kendalinya.

“Berdiri!” perintahnya dengan nada rendah.

Jisoo ragu sejenak, tapi akhirnya menurut. Tubuhnya masih gemetar ketika dia berusaha berdiri, kakinya lemas, nyaris tidak mampu menopang berat tubuhnya sendiri.

Saat dia berdiri dengan canggung, pria itu mendekat lagi, berdiri begitu dekat hingga napasnya terasa di wajahnya. ”Kau tahu,” ucapnya pelan sambil menyentuh pipi Jisoo dengan lembut, “aku bisa membuat hidupmu jauh lebih mudah ... atau jauh lebih sulit.”

Jisoo merasakan panas dari sentuhan itu, tapi di balik kelembutan itu ada ancaman yang jelas. Tidak ada yang benar-benar lembut dari pria ini. Semua tindakannya penuh perhitungan, penuh kendali, dan Jisoo merasa semakin terjebak dalam jerat yang tidak bisa dia hindari.

“Tuan ...,” panggilnya dengan suara bergetar, “tolong... cukup.”

Taeyong mengangkat satu alis, terkejut mendengar permohonan itu. “Cukup?” tanyanya sambil menyentuh dagu Jisoo, mengangkat wajah gadis itu agar matanya bertemu dengan matanya. “Kita baru saja memulai, Nona Baek.” Suaranya penuh dengan nada misterius, seakan-akan ada sesuatu yang lebih dalam yang menunggu di balik kata-kata itu.

Jisoo memalingkan wajah, tidak sanggup melihat mata yang penuh dengan niat tersembunyi. Sementara bayangan ciuman mereka kemarin terus berputar di kepalanya dan dia merasa tubuhnya tak bisa melepaskan diri dari kekuasaan pria itu.

Haruskah kubunuh dia sekarang? Pikiran itu berputar-putar di kepala Jisoo, semakin mendesak setiap detiknya. Tangannya sedikit bergetar, rasa panik membayang di sudut pikirannya. Tapi bagaimana kalau aku gagal? Jisoo menatap Taeyong dengan perasaan dilema. Sejujurnya, dia menakutkan.

“Bisakah kita berhenti, Tuan?” Suara Jisoo terdengar lemah, nyaris pecah. “Saya ... saya ingin melindungi diri saya karena ....” Kalimatnya terputus, tenggelam dalam ketakutan yang semakin membungkam. Napasnya pendek dan jantungnya berdebar kencang, menyadari bahwa kata-katanya mungkin saja tak berarti bagi pria di depannya.

Taeyong tersenyum lagi, kali ini senyumnya lebih licik, memperlihatkan kesombongan yang tersembunyi di balik wajahnya. “Berhenti? Melindungi dirimu?” Tawanya terdengar pelan namun penuh penghinaan. “Jisoo, kau bahkan tidak bisa melindungi dirimu dari diriku. Apa yang bisa kau lakukan? Aku sudah mendominasi setiap pikiran dan gerak-gerikmu.”

Kata-kata itu terasa seperti duri tajam yang menusuk dalam, menambah rasa terjebak yang sudah begitu kuat membelenggunya. Dia merasa kecil, dikuasai oleh ketakutan, tapi ada dorongan dalam dirinya yang menolak menyerah. “Aku tidak akan tunduk padamu!” jawabnya, suaranya lebih berani daripada yang dia rasakan. Napasnya terasa berat, sementara dia berusaha mengumpulkan kekuatan yang tersisa meski rasa takut terus menghantui pikirannya.

Taeyong menyipitkan mata, mengamati reaksi Jisoo dengan tatapan yang lebih dingin. Napasnya ditarik panjang, perlahan-lahan, seolah menimbang-nimbang apa langkah selanjutnya. “Kita lihat saja,” ujarnya dingin, suaranya rendah, penuh ancaman yang terbungkus rapi.

Sejujurnya, aku pengen unpub ceritanya 😐🙏🏻

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top