Chapter XVII: Mine

Taeyong akhirnya menarik diri sedikit, tatapan matanya masih menghujam dalam dan tak teralihkan. “Apa benar-benar tidak ada laki-laki yang kau suka, Nona Baek?” tanyanya sekali lagi.

Jisoo merasakan dirinya semakin terjepit. Dia mengepalkan tangan erat, kuku-kukunya hampir mencengkeram telapak tangannya sendiri dalam upaya menenangkan diri. Tidak ada pilihan lain, tidak ada jalan keluar dari situasi ini. Dengan suara yang hampir patah, dia menjawab, “Tidak ada... Tuan.”

Kata-kata itu keluar dengan susah payah, seperti memaksanya untuk mengakui sesuatu yang tidak pernah dia pikirkan sebelumnya. Hatinya berdenyut penuh dengan campuran perasaan yang sulit dijelaskan—kebingungan, kemarahan, rasa malu, dan sesuatu yang lain, yang bahkan tidak ingin dia akui.

Taeyong perlahan menarik tangannya dari wajah Jisoo, tetapi tatapan matanya tetap tajam, memantau setiap reaksi kecil dari tubuhnya. Ruangan yang tadi terasa begitu sempit oleh keintiman kini mengembang sedikit, meski ketegangan tetap menggantung di udara, lebih berat dari sebelumnya.

Jisoo merasa napasnya kembali sedikit normal, tetapi hatinya masih berdebar kencang. Sentuhan lembut tapi tegas dari jari-jari Taeyong di bibirnya, serta gesekan ringan bibir mereka, meninggalkan bekas yang tak hanya di kulitnya, tapi juga di pikirannya. Ada sesuatu yang terus menekan di dalam dirinya, sebuah ketidakpastian dan rasa malu yang terus bercampur dengan kebingungan, menciptakan pusaran emosi yang tak bisa dia kendalikan.

Taeyong, yang masih berdiri dekat dengannya, mendadak tertawa kecil lagi, kali ini lebih pelan, hampir seperti tawa yang tidak memiliki niat untuk menghibur. “Kau benar-benar tidak punya siapa pun, ya?” tanyanya lagi, kali ini ada nada yang berubah, terdengar ada keingintahuan yang tersembunyi di balik ejekan halus.

Jisoo hanya bisa mengangguk pelan, tak mampu menemukan kata-kata yang tepat untuk menjawab. Pikirannya terus berputar, mencoba mengolah kejadian yang baru saja terjadi, tapi tidak juga menemukan penjelasan yang memadai. Perasaannya bercampur aduk, antara bingung, marah, dan sedikit ketakutan.

“Kenapa begitu?” Taeyong bertanya lagi, kali ini dengan suara yang pelan tapi sangat jelas, seakan setiap kata yang ia ucapkan memiliki tujuan untuk menyusup masuk ke dalam pikiran Jisoo. “Apa kau tidak pernah berpikir untuk menemukan seseorang? Seseorang yang bisa kau cintai ... atau bahkan hanya sekadar bermain-main?”

Pertanyaan itu menggantung di udara, membuat suasana semakin berat. Jisoo menggigit bibir bawahnya, merasa tak nyaman. Sentuhan lembut bibirnya sendiri mengingatkannya pada jari-jari Taeyong yang tadi menyentuhnya, sebuah perasaan yang tak bisa ia singkirkan dari pikirannya.

“Saya tidak .…” Jisoo mencoba berbicara, namun suaranya terdengar goyah. Ia menghela napas pelan, berusaha meredakan getaran di dadanya. “Saya tidak pernah punya waktu untuk itu, Tuan.”

Taeyong menyunggingkan senyum samar, wajahnya sedikit melunak, meski tetap menyimpan intensitas yang membuat Jisoo sulit bernapas lega. “Waktu?” Dia mendekat lagi, memperkecil jarak yang sudah cukup sempit di antara mereka.  “Atau ... kau tidak pernah diizinkan untuk merasakan itu?”

Jisoo tak menjawab. Kata-kata Taeyong menusuk lebih dalam, menyingkap kenyataan yang selama ini berusaha dia hindari. Benar, selama ini hidupnya memang terkekang—oleh keluarganya, oleh tugas-tugas yang diembannya, oleh status yang dia sandang, dan oleh dendam yang selalu ada di hatinya. Tidak pernah ada ruang untuk sesuatu seperti cinta atau keinginan. Segalanya selalu tentang memenuhi peran dan tentang menjaga jarak. Bahkan, perasaan itu sendiri tampak seperti hal yang tak boleh dia miliki.

Jisoo teringat betul ketika ibunya selalu berpesan agar dia tidak pernah mendekati laki-laki mana pun. “Jika ayahmu tahu, dia akan membunuh laki-laki itu,” kata ibunya suatu waktu. Jisoo, masih muda saat itu, bertanya dengan polos,“Kenapa? Apa aku tidak boleh memiliki seseorang yang bisa kucintai, seperti Ibu mencintai ayah?”

Ibunya hanya tertawa pelan sebelum menjawab, “Bukan tidak boleh, Sayang. Tapi kau tahu sendiri, ayahmu, kakak-kakakmu, dan keluarga kita seperti apa. Jika laki-laki yang kau cintai lebih lemah dari mereka, akan terjadi ketimpangan yang hanya membawa masalah."

Ayahnya mungkin tidak akan pernah rela membiarkan putrinya bersama laki-laki mana pun, karena itulah ibunya memperingatkan Jisoo. Namun, bukan berarti cinta itu dilarang. Sepertinya orang tuanya memiliki rencana lain—sesuatu yang tidak akan pernah dia ketahui karena pengkhianatan keluarganya.

Taeyong menatap wajah Jisoo dengan intens, seakan mencoba membaca setiap pikiran yang tak pernah bisa terucap. Tanpa berkata-kata, dia mengulurkan tangan lagi, kali ini jemarinya menyentuh pipi Jisoo dengan lembut namun tegas. Jisoo menahan napas ketika ibu jarinya kembali bergerak menyusuri garis bibirnya, kali ini dengan sentuhan yang lebih lambat dan penuh perhatian, seolah-olah dia sedang mengukir sesuatu yang tak terlihat.

“Kau tahu .…” Taeyong berhenti sejenak, bibirnya melengkung membentuk senyum yang sulit ditebak. “Kadang-kadang, seseorang perlu diingatkan tentang hal-hal sederhana dalam hidup—seperti bagaimana rasanya disentuh, diperhatikan, atau bahkan diinginkan.”

Kata-kata itu menusuk hati Jisoo, membuat dadanya terasa semakin sesak. Sentuhan jari Taeyong di bibirnya sekarang terasa lebih dalam, lebih intim, membuat pikirannya semakin kacau. Dia berusaha untuk tetap tenang, tapi tubuhnya bereaksi dengan cara yang tidak bisa dia kendalikan—wajahnya memerah dan napasnya mulai tersendat.

“Kenapa, Jisoo? Kau merasa tak layak dicintai?” tanya Taeyong, suaranya tetap lembut, namun ada kekuatan yang tak bisa diabaikan yang menyentuh langsung ke jiwanya.

“Saya .…” Jisoo berusaha bicara, tapi suara itu terhenti di tenggorokannya. Bagaimana dia bisa menjawab? Selama ini dia memang tidak pernah memikirkan tentang cinta atau tentang perasaan yang lebih dalam terhadap seseorang. Itu semua terasa jauh dari hidupnya, seperti sesuatu yang tak pernah dia anggap miliknya.

Taeyong mendekat lagi, lebih dekat dari sebelumnya. Bibir mereka hampir bersentuhan, dan kali ini Jisoo benar-benar bisa merasakan kehangatan yang lebih jelas. Panik menyebar di tubuhnya, tapi dia tetap diam, terperangkap dalam kebekuan yang aneh. Kedekatan ini begitu asing baginya namun dia tak mampu menolak, tak mampu menghindar.

“Kau tak perlu takut,” bisik Taeyong tepat di bibirnya, suaranya lebih rendah dari sebelumnya, tapi terasa lebih dalam, menusuk langsung ke dalam pikiran Jisoo. “Hanya ada kita di sini. Kau dan aku. Tidak ada yang lain.”

Jisoo mencoba menarik napas, tapi udara terasa begitu berat, seakan setiap molekul oksigen tersedot keluar dari ruangan ini, meninggalkan mereka berdua dalam keintiman yang menyesakkan. Bibirnya sedikit terbuka kemudian di saat itu, dia bisa merasakan napas Taeyong yang hangat menyapu wajahnya, begitu dekat dan begitu intim. Dia ingin menjauh, tapi tubuhnya menolak bergerak, terjebak dalam perangkap yang tak nampak.

Tangan Taeyong kini memegang tengkuknya dengan lembut tapi tegas, membuat Jisoo tak punya pilihan selain menerima kedekatan itu. Bibir Taeyong bergerak lebih dalam, menggesek bibirnya dengan kehangatan yang perlahan-lahan membakar seluruh tubuhnya. Setiap gesekan, setiap sentuhan, hanya menambah kebingungannya, dan meruntuhkan pertahanan yang dia tak pernah sadar telah dia bangun.

“T-tuan .…” Suara Jisoo keluar dengan susah payah, penuh ketegangan dan kebingungan yang semakin mendalam. Namun sebelum dia bisa melanjutkan, tatapan Taeyong menghentikannya, mata tajamnya berbicara lebih banyak daripada kata-kata yang terucap.

“Kau harus jujur, Jisoo,” bisiknya lagi, suaranya tenang namun penuh kendali. “Apakah ada pria lain yang pernah kau sukai?”

Pertanyaan itu menggema di kepalanya, membuat segalanya semakin kabur. Tidak ada. Tak ada seorang pun yang pernah memenuhi hatinya. Tak ada ruang dalam hidupnya untuk cinta, apalagi seorang pria. Sejak kecil, hidupnya hanya dipenuhi oleh tugas sebagai putri keluarga pembunuh yang ditakuti. Tapi kenapa Taeyong terus menanyakan hal ini? Kenapa dia seolah memaksa?

Jisoo mengepalkan tangannya erat, mencoba mencari kekuatan di tengah kebingungan yang semakin menumpuk. Akhirnya, dengan napas yang masih tersendat, dia menjawab, “Tidak ada, Tuan. Tidak ada laki-laki yang pernah saya sukai.”

Jawaban itu keluar begitu lemah, seperti pengakuan yang tak ingin dia buat namun harus. Bibirnya masih terasa hangat dari sentuhan Taeyong, napasnya terasa pendek, dan ketegangan dalam tubuhnya belum juga hilang.

Taeyong menatapnya lagi, kali ini dengan senyum yang lebih lebar, lebih puas, seakan dia menemukan jawaban yang memang dia cari. Namun, senyum itu tidak memberi rasa lega kepada Jisoo. Sebaliknya, itu hanya membuat kebingungan dan ketakutannya semakin membesar.

“Bagus,” ucap Taeyong akhirnya, suaranya rendah dan penuh makna. "Setidaknya kau jujur."

Taeyong menatap Jisoo lebih lama, senyumnya yang penuh kepuasan semakin membuatnya merasa kecil dan terperangkap. Suasana di dalam ruang kerja itu begitu sunyi, hanya diisi oleh desahan napas yang teratur tapi berat, sementara waktu seakan melambat di sekeliling mereka.

Tanpa peringatan, Taeyong mencondongkan tubuhnya lagi, mendekat ke arah Jisoo, lebih cepat dan lebih pasti daripada sebelumnya. Bibirnya menyambar bibir Jisoo dan sentuhan itu tidak lagi sekadar lembut atau menggoda. Ciuman ini sarat dengan intensitas yang membara, memaksa, dan mendominasi. Tidak ada keraguan—keintiman ini menguasai sepenuhnya, membuat Jisoo terjebak di antara kebingungan dan kepanikan.

Tubuh Jisoo langsung menegang, seperti tersengat oleh listrik yang tak terlihat. Jantungnya berdetak keras, tapi napasnya justru tersendat. Pikirannya seolah mati rasa, tenggelam dalam kekacauan yang tak mampu dia kendalikan. Ruangan di sekitarnya lenyap, terserap dalam ciuman yang membuatnya seolah tidak ada lagi dunia selain bibir Taeyong yang menguasai miliknya, mengisi setiap celah dengan kehangatan yang membuat tubuhnya semakin kaku. Segalanya terasa kabur. Bagaimana mungkin dirinya berada dalam situasi seperti ini? Apakah ini nyata?

Saat ciuman itu semakin dalam, kesadaran Jisoo perlahan kembali. Dia mencoba bergerak, tubuhnya memberontak meski pikirannya masih terperangkap. Tangannya yang mengepal mencoba mendorong dada Taeyong, mencari celah untuk melepaskan diri. Namun, usahanya sia-sia. Tangan Taeyong dengan cepat merespons, mencengkeram pinggangnya dengan kuat, lalu menariknya lebih dekat. Tubuh Jisoo kemudian terdorong ke meja di belakang, membuatnya terpojok di antara Taeyong dan meja. Setiap inci tubuhnya seakan dikendalikan oleh kehadiran Taeyong yang mendominasi, tanpa memberinya kesempatan untuk bernapas lega.

Rasanya seperti tidak ada jalan keluar. Bibir Taeyong tidak pernah memberi ruang, terus menguasai setiap inci dari bibirnya, dan menikmati kekuasaan yang dia miliki atas dirinya. Panik mulai meresap lebih dalam di dalam tubuhnya. Napas Jisoo menjadi lebih pendek, dadanya semakin sesak karena intensitas ciuman itu, dan ketegangan yang dirasakannya semakin mencekik kesadarannya.

Ciuman itu terasa berlangsung selamanya—waktu seolah berhenti di antara mereka. Semakin lama tubuh Jisoo semakin melemas, tak lagi mampu mempertahankan pertahanannya yang rapuh. Hingga akhirnya, tepat saat dia merasa benar-benar tenggelam dan tak berdaya, suara derit pintu yang pelan membelah keheningan.

Bunyi derit pintu seketika membuat ciuman itu terhenti.

“Taeyong?” Suara berat itu muncul dari ambang pintu, mengejutkan keduanya.

Taeyong langsung melepaskan ciumannya, tapi tidak benar-benar melepaskannya. Tangan pria itu tetap berada di pinggang Jisoo, seolah enggan untuk membebaskannya. Tubuh Jisoo bergetar hebat, napasnya terengah-engah, dan dadanya naik-turun saat dia berusaha mengontrol kepanikan yang belum sepenuhnya sirna.

Noah Antoine Han, saudara laki-laki Taeyong, berdiri di pintu dengan mata terbelalak. Ekspresinya penuh keterkejutan dan kebingungan. Matanya bolak-balik menatap saudara laki-lakinya dan seorang gadis yang tampak seperti pelayan di mansion—seolah tidak bisa memercayai apa yang baru saja dilihatnya. Wajahnya memancarkan campuran antara keterkejutan dan keraguan yang jelas.

“Hmm ... apa aku mengganggu?” Noah bertanya, nada suaranya terdengar setengah bercanda, meski ada keraguan di balik kata-katanya yang tidak bisa disembunyikan. Pria itu tahu bahwa kehadirannya di momen ini bukanlah hal yang biasa dan situasi ini pasti membawa ketidaknyamanan yang mendalam bagi semua yang terlibat.

Taeyong menggertakkan giginya, jelas sekali dia merasa kesal dengan kedatangan sang adik yang tak diundang. Suara geraman samar keluar dari mulutnya, lalu dengan enggan dia melirik ke arah Noah tanpa benar-benar melepaskan Jisoo dari genggamannya. “Noah,” gumamnya pelan namun dengan nada tegas, mencoba mempertahankan kendali atas situasi. “Sejak kapan kau pulang?”

Noah, yang tampak sedikit canggung, balas menatap kakaknya sejenak sebelum matanya melirik ke arah si pelayan, yang terjepit di antara Taeyong dan meja. Kemudian matanya dengan cepat kembali menatap kakaknya. “Hm, setengah jam lalu... kurasa?” jawabnya dengan nada ragu sambil kembali mengalihkan pandangannya ke Jisoo dengan rasa penasaran yang jelas terlihat.

Kehadiran Noah membuat suasana di ruangan itu semakin canggung. Jisoo masih berdiri kaku di tempatnya, napasnya tak beraturan setelah ciuman yang intens barusan. Bibirnya masih terasa panas, seolah ciuman itu masih menempel, membuatnya sulit untuk berpikir jernih. Dia terperangkap, tubuhnya berada di antara meja kerja yang dingin di belakangnya dan Taeyong yang berdiri begitu dekat di depannya, mendominasi ruang pribadinya dengan kehadiran yang besar dan tak terhindarkan.

Matanya terpaku pada lantai, tak berani mengangkat pandangan. Dia tak bisa menatap Noah, pria yang baru saja menyaksikan sesuatu yang tak seharusnya dilihat, dan dia tentu tak sanggup menatap Taeyong, pria yang baru saja menghancurkan rasa aman dan kontrol dirinya. Rasa malu, marah, dan panik terus berseliweran di pikirannya, memadati ruang yang seharusnya dipenuhi dengan logika. Setiap napas terasa lebih berat, seolah udara di ruangan ini menguap, meninggalkannya tanpa cukup oksigen untuk berpikir atau bergerak.

Kehadiran Noah memperburuk segalanya, menciptakan atmosfer yang sarat dengan ketidaknyamanan dan kebingungan. Dia tidak tahu bagaimana harus bereaksi. Semua perasaan itu—malu, takut, kebingungan—terus berputar dalam dirinya saling berebut untuk menguasai. Apa yang baru saja terjadi? Dan lebih penting lagi, bagaimana dia bisa keluar dari situasi ini?

Noah melangkah maju sedikit, tatapannya berubah lebih serius. “Apa ini, Kak?” tanyanya dengan nada lebih tegas kali ini, menuntut penjelasan. “Sejak kapan kau melakukan ini? Dan ....”

Taeyong mengangkat dagunya sedikit, matanya menatap Noah dengan tajam. “Ini bukan urusanmu,” dengan nada dingin, setiap kata terucap tanpa sedikit pun rasa bersalah atau malu. Bagi Taeyong, situasi ini tampak seperti hal sepele, tidak layak untuk dianggap serius, apalagi diinterupsi. Tatapan Noah tak mempengaruhinya; dia hanya merasa terganggu karena kedatangannya menganggu kesenangannya.

Namun, Noah tidak mundur. Dia tetap berdiri tegak, mengawasi kakaknya dengan tatapan penuh arti, mencoba menembus kedok ketenangan yang Taeyong tunjukkan. Matanya sesekali melirik si gadis pelayan yang masih berdiri kaku di samping saudaranya dengan wajah menunduk dan napasnya tak menentu. “Aku tak peduli apa urusanmu, tapi yang jelas, kau harus berhenti sekarang,” ujarnya dengan nada peringatan.

Taeyong mendecakkan lidahnya, menunjukkan ketidakpedulian. Peringatan Noah tidak lebih dari sebuah gangguan baginya. Namun, setelah beberapa detik berlalu, dia akhirnya melepaskan Jisoo meskipun tangannya masih menyentuh lengan gadis itu dengan ringan, seakan memberi tahu bahwa kendalinya belum sepenuhnya hilang. “Keluar,” gumam Taeyong akhirnya pada Jisoo, suaranya rendah namun penuh otoritas. "Sekarang."

Jisoo mengangguk cepat, napasnya masih terputus-putus, tenggorokannya terasa kering. Dia tak berani mengucapkan sepatah kata pun. Dengan langkah goyah, dia mundur, mencoba menghindari tatapan kedua pria itu, terutama Taeyong, yang auranya masih begitu kuat bahkan setelah dia melepaskannya. Setelah beberapa langkah ragu-ragu, dia berbalik dan berlari keluar dari ruangan, membiarkan pintu menutup dengan bunyi yang nyaris tak terdengar di belakangnya, membawa sedikit kebebasan yang terasa singkat.

Noah menatap pintu yang tertutup dengan mata penuh kekhawatiran, lalu beralih menatap kakaknya dengan tatapan yang lebih serius. “Dia Nona Baek pelayan baru Ibu, bukan?” Ibunya pernah menceritakan tentang “Nona Baek”, si pelayan baru, di telepon. “Apa yang sebenarnya kau lakukan?” tanyanya, kali ini dengan nada lebih serius. “Dia hanya pelayan … dan kau tahu lebih baik dari itu.”

Taeyong tetap diam, membiarkan keheningan menggantung di antara mereka. Tatapan tajamnya menembus Noah tanpa memberikan jawaban langsung, seolah sedang menimbang-nimbang apa yang harus diungkapkan. Namun, setelah beberapa detik, dia menghela napas panjang, mengendurkan sedikit ketegangan di dalam dirinya. “Dia milikku sekarang,” jawabnya, penuh misteri.

Noah menatap kakaknya dengan curiga, kata-kata itu langsung menimbulkan lebih banyak pertanyaan di benaknya. Apa maksudnya? Ucapan “dia milikku” membawa nuansa yang membuatnya gelisah, tetapi dia menahan diri untuk tidak langsung merespons. Dalam keheningan itu, Noah mencoba mencerna situasi aneh yang baru saja terjadi di hadapannya. Dia mengenal Taeyong lebih baik daripada siapa pun, tahu betapa licik saudaranya bisa bersikap, tetapi ini … ini bukan tindakan yang biasa. Terutama dengan seorang pelayan.

“Kau serius mengatakan itu?” Noah akhirnya bertanya, suaranya rendah tapi penuh ketidakpercayaan. Langkahnya mendekat, mencoba mencari jawaban lebih jelas di wajah saudaranya. “Apa yang sebenarnya kau rencanakan dengan gadis itu?”

Taeyong tak langsung menjawab. Pandangannya beralih sejenak ke arah pintu tempat Jisoo baru saja menghilang, sebelum dia dengan tenang berjalan ke arah meja kerjanya. Seolah-olah insiden tadi hanyalah gangguan kecil yang tak berarti, dia duduk perlahan, mengambil alih ruang yang seolah hanya miliknya. “Aku tidak berutang penjelasan padamu, Noah,” gumamnya pelan namun tegas. Dia mengulurkan tangan, mengambil sebatang rokok dari meja, lalu menyalakannya dengan gerakan yang begitu tenang, hampir tidak terganggu oleh perdebatan yang akan terjadi.

Asap pertama mengalir perlahan dari bibirnya, menciptakan lapisan tipis di antara mereka. Meskipun gerakannya terlihat anggun dan santai, ada kekerasan tersirat di balik ketenangan itu. Atmosfer di ruangan masih terasa panas, meskipun Jisoo telah pergi. Noah berdiri tegak, tubuhnya menegang dengan kemarahan yang semakin sulit dia kendalikan. Dia tahu kakaknya pandai menyembunyikan sesuatu, dan dia membenci kenyataan bahwa dia tidak pernah bisa benar-benar menebak apa yang ada di benak Taeyong. Tangannya terkepal erat, berusaha menahan diri agar tidak meledak.

“Kau bermain dengan api lagi,” ucap Noah sambil berusaha mengendalikan emosinya. Dia menggigit setiap katanya dengan ketegasan, mencoba menyalurkan kemarahannya. “Dan sekarang dengan seorang pelayan? Kau gila? Kau tahu apa yang akan terjadi jika ini terungkap. Ayah tidak akan membiarkan hal seperti ini berlalu begitu saja. Perempuan itu hanya seorang pelayan, Taeyong. Dan jangan lupa, kau akan segera menikah!”

Taeyong mendengar peringatan Noah tanpa menunjukkan perubahan yang nyata di wajahnya. Ekspresinya tetap tenang, sementara matanya menyipit sedikit, menampakkan kilatan dingin yang berbahaya di balik senyum tipis yang perlahan menghiasi bibirnya. “Nona Baek mungkin seorang pelayan di rumah ini,” katanya penuh teka-teki. “Tapi dia jauh lebih dari itu, Noah. Dia milikku, barusan sudah kukatakan, bukan?” Dia menghembuskan asap rokok, menatap adiknya dengan tatapan yang penuh keyakinan. “Dan soal pernikahanku ... Ayolah, apa aku terlihat seperti seseorang yang akan berubah hanya karena pernikahan?”

Noah merasakan darahnya semakin mendidih. “Lebih dari itu?” Dia menyeringai kecil, nada skeptis terdengar tajam dalam suaranya. “Apa sekarang kau mulai berbicara omong kosong, Kak? Atau kau hanya mencari alasan untuk tindakan tidak masuk akal yang baru saja kulihat?”

Taeyong mendengus pelan, merasa terganggu oleh desakan Noah. Dengan gerakan santai, dia mematikan rokoknya di asbak perak yang terletak di atas meja, lalu berdiri dengan tenang. Meskipun lebih tenang, aura dominasi tetap terpancar dari posturnya, seolah seluruh ruangan tunduk padanya. “Ini bukan soal apa yang kau lihat,” ucapnya pelan, tapi mengandung ancaman halus. “Ini tentang apa yang terjadi selanjutnya.”

Noah melangkah lebih dekat, tatapannya tidak surut sedikit pun. “Apa yang terjadi selanjutnya?” Dia bertanya serius. “Apa kau sungguh berpikir untuk menjadikan dia … sesuatu yang lebih dari sekadar pelayan? Apa kau serius dengan ini?”

Senyum kecil tersungging di wajah Taeyong, kali ini lebih lebar, tapi senyum itu justru membawa ketidaknyamanan bukan kelegaan. “Tidak semua hal sesederhana yang terlihat, Noah. Dia tidak akan tetap seperti ini selamanya. Aku punya rencana besar untuknya

“Kau tidak serius.” Noah mendengus tak percaya sambil menggelengkan kepala. “Dia tidak tahu apa-apa. Dia hanyalah gadis polos yang tidak pernah melihat lebih jauh dari tugas-tugasnya di rumah ini.”

Taeyong melangkah mendekati jendela, pandangannya tertuju ke taman yang tenang di luar. “Kau terlalu meremehkannya,” ujarnya, tanpa berpaling. "Dia memang tidak tahu banyak sekarang, tapi waktu akan mengubahnya. Kau akan lihat. Dia akan menjadi ‘kelinciku’ yang paling menarik.”

Kerutan muncul di dahi Noah. Ada sesuatu yang aneh dalam cara Taeyong berbicara, seolah-olah dia telah lama memperhatikan Jisoo dengan lebih dari sekadar minat biasa. “Apa yang kau maksud dengan ‘kelinciku’ itu?” Noah bertanya lagi, perasaan tidak nyaman semakin merayapi dirinya. Jelas ini bukan hanya soal ketertarikan fisik yang sederhana.

Taeyong berbalik, menatap Noah dengan ekspresi yang sulit diartikan. "Dia menarik," katanya dengan nada rendah, hampir seperti berbicara pada dirinya sendiri. “Kau mungkin belum menyadarinya, tapi aku sudah melihatnya sejak awal. Ada sesuatu dalam dirinya yang membuatku ingin memilikinya. Dan, Noah, dia bukan pelayan.”

Noah menyipitkan mata, semakin tak mengerti arah pembicaraan kakaknya. “Menarik? Bukan pelayan?” ulangnya, mencoba menangkap maksud dari kata-kata aneh Taeyong. "Apa yang kau bicarakan ini terdengar tidak masuk akal. Kau berbicara seolah dia bukan manusia, seolah dia hanya pion dalam permainanmu.”

Taeyong mendekat dengan langkah yang mantap, kali ini dengan ekspresi yang lebih serius, tekad terpancar jelas di wajahnya. “Kau benar, Adikku,” gumamnya. “Dia manusia. Tapi terkadang, seseorang yang tampak biasa bisa menjadi sesuatu yang jauh lebih dari yang kita bayangkan. Anggap saja, dia adalah boneka manusiaku yang berharga. Jadi jangan coba-coba menyentuhnya.”

Kata-kata itu membuat Noah merasakan tubuhnya menegang. Ada sesuatu yang salah, sesuatu yang sangat mengganggunya dalam ucapan saudaranya. “Kau mengancamku?” Suaranya dipenuhi ketidakpercayaan. "Kau serius berpikir aku akan menyentuh wanita itu? Ini konyol!"

Taeyong tidak langsung menjawab. Dia hanya menatap Noah dalam keheningan yang mengganggu, sebelum akhirnya mengeluarkan kata-kata yang membuat bulu kuduk Noah berdiri. “Bonekaku ... sesuatu yang hanya aku yang bisa mengendalikannya.”

Sekilas ucapan itu terdengar ringan, namun maknanya jauh lebih dalam dan gelap. Noah merasakan ada sesuatu yang sangat salah dengan pemikiran saudaranya, sesuatu yang melampaui sekadar ketertarikan pribadi. Ada misteri dan ambisi yang tersembunyi di balik kata-katanya. “Kau benar-benar gila,” gumam Noah, suaranya sedikit bergetar, cerminan dari kecemasan yang merayap di benaknya. “Apakah kau bahkan mendengarkan dirimu sendiri?”

Taeyong hanya menyeringai tipis, tanpa merespons lebih jauh. Dia berjalan melewati Noah, meninggalkan pertanyaan dan kekhawatiran adiknya begitu saja, seolah pembicaraan ini tak lagi penting baginya. “Kita lihat saja nanti,” katanya sambil membuka pintu ruang kerja. “Tapi untuk saat ini, biarkan aku yang mengurusnya. Jangan ikut campur.”

Noah tetap diam, tubuhnya membeku di tempat. Dia hanya bisa menyaksikan Taeyong keluar dari ruangan, perasaan tak nyaman menjalari pikirannya. Apa pun yang sedang direncanakan Taeyong, ini jelas bukan masalah kecil. Pikirannya dipenuhi pertanyaan yang tak terjawab, sementara kekhawatirannya tentang apa yang akan terjadi semakin membesar. Sesuatu yang lebih besar sedang bergerak dan Noah tahu, ini tak akan berakhir dengan baik.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top