Chapter XVI: Pertanyaan
Setelah Taeyong melepaskan pergelangan tangannya, Jisoo menghela napas dalam-dalam, mencoba meredakan ketegangan yang masih menekan dadanya. Ruangan kerja Taeyong yang dipenuhi dinding kayu mahoni gelap, rak-rak buku tinggi yang menjulang hingga langit-langit terasa semakin sempit, seakan dinding-dinding itu bergerak lebih dekat, membatasi ruang geraknya. Cahaya matahari pagi yang masuk melalui jendela besar di sudut ruangan hanya membuat suasana semakin mengintimidasi, menciptakan bayangan panjang yang merayap di lantai, seperti tangan-tangan gelap yang berusaha menjebaknya dalam lingkaran tanpa akhir.
Wangi kayu hangus dari perapian yang hampir padam masih samar-samar terasa, bercampur dengan aroma tajam kopi hitam yang selalu Taeyong minum di pagi hari. Ruangan ini tampak teratur sempurna, setiap sudutnya mencerminkan ketertiban dan kendali yang Taeyong pegang erat-erat dalam hidupnya, bertolak belakang dengan hidup Jisoo yang kini bagaikan perahu kecil terombang-ambing di lautan badai. Tidak ada ketertiban, hanya kekacauan dan ketidakpastian yang terus membayangi.
“Pikirkan tawaranku,” ulang Taeyong dengan suara lembut, penuh dengan kendali. Tatapannya seperti menelusuri pikiran Jisoo, mencari retakan yang mungkin bisa dia manfaatkan. “Jangan terlalu cepat menolaknya. Uang itu bisa menyelesaikan banyak hal.”
Jisoo menahan napas, memaksakan diri untuk tetap tenang. Tentu, dia bisa menggunakan uang itu untuk rencananya—membeli identitas baru setelah misinya selesai—namun menerima tawaran dari pria yang ingin dia bunuh adalah hal terakhir yang dia inginkan. Rasa benci yang telah lama dia pendam kepada Taeyong kini terasa makin menggelegak, seperti bara api yang terus menyala dan tak pernah padam. Pria ini berbicara tentang uang dengan mudah, sementara dia telay menghancurkan hidup orang-orang yang seharusnya dia sayangi, termasuk Daisy.
Dengan tangan yang berusaha tenang, Jisoo menunduk sedikit, menunjukkan sopan santun yang hanya sekadar formalitas. “Terima kasih atas tawarannya, Tuan. Tapi saya lebih suka bekerja untuk mendapatkan uang saya sendiri.”
Taeyong tertawa pelan, suara rendah yang nyaris terdengar seperti ejekan halus. “Tentu saja, bekerja keras memang mulia. Tapi aku cukup penasaran ....” Matanya menyipit, mengunci pandangannya pada Jisoo seperti seekor elang yang menunggu mangsa bergerak. “Mengapa kau begitu bersikeras untuk tetap di sini, padahal kau bisa mendapatkan kehidupan yang jauh lebih baik di tempat lain?”
Jisoo merasa sedang berada di ambang jurang, berjuang untuk menahan diri agar tidak jatuh ke dalam perangkap licik yang ditenun oleh Taeyong. Perutnya menegang dan tangannya masih sedikit bergetar meskipun dia berusaha keras menahannya. Bagaimana dia bisa menjawab itu tanpa memberi Taeyong alasan untuk semakin mencurigainya?
“Saya hanya butuh pekerjaan yang stabil,” jawabnya setelah memilih kata-kata dengan hati-hati. “Dan saya sudah merasa nyaman di sini.”
Taeyong mendengarkan dengan seksama, wajahnya tampak tenang namun sorot matanya mengisyaratkan sesuatu yang jauh lebih dalam. Dia tidak mudah percaya. Pria itu seperti serigala yang menunggu mangsanya membuat satu langkah yang salah.
“Nyaman, ya?” Taeyong mencondongkan tubuhnya sedikit ke depan, membuat jarak di antara mereka semakin sempit. “Tapi kenapa dari cara kau berbicara dan bertingkah, aku merasa kau selalu tegang di dekatku, Nona Baek. Kau terlihat seperti seseorang yang selalu waspada.”
Perut Jisoo semakin menegang, rasa tidak nyaman itu tumbuh seperti akar pohon yang mencengkeram tanah dengan kuat, siap menariknya jatuh kapan saja. “Tentu saja, itu karena saya ingin melakukan tugas saya dengan baik, Tuan.”
“Ah, ya.” Taeyong tersenyum tipis, tapi senyum itu tidak menghangatkan suasana malah terasa lebih seperti jebakan yang tersembunyi di balik kedok keramahan. “Tugasmu, ya? Bagus sekali, Nona Baek, aku suka kesungguhanmu.”
Ruangan terasa lebih sunyi setelah kalimat itu terucap, hanya terdengar suara jam antik di dinding yang berdenting pelan setiap detiknya. Detik-detik itu semakin terasa lambat, seperti waktu yang ditarik oleh suasana tegang di antara mereka.
Setelah jeda beberapa detik yang terasa seperti selamanya, Taeyong berbalik kembali duduk di kursi kerjanya. Tangannya terulur ke atas meja, meraih salah satu dokumen yang tersusun rapi di depannya. “Baiklah,” ucapnya, nada suaranya kembali tenang seperti tak pernah ada ketegangan di antara mereka. “Aku akan mulai bekerja. Tetap di sini. Aku ingin kau ada di ruangan ini untuk berjaga-jaga jika aku membutuhkan sesuatu.”
Jisoo terkejut mendengar perintah itu. “Tuan, saya masih punya pekerjaan lain yang harus diselesaikan di tempat lain,” ujarnya, mencoba mencari alasan untuk keluar dari situasi yang semakin tidak nyaman ini.
Namun, Taeyong tidak mengangkat wajahnya dari dokumen yang dia baca, hanya mengangkat satu tangannya ke udara untuk menghentikan segala bantahan. “Kalau kau pergi sebelum aku selesai, akan ada konsekuensi.”
Gadis itu terdiam seketika, merasa tidak punya pilihan lain selain menurut. Menolak bisa berarti bencana dan dia belum siap menghadapi apa pun yang mungkin Taeyong rencanakan jika dia melawan. Jadi, dia berdiri di sana, di tengah ruangan yang dingin meski matahari pagi menyinari jendela besar.
Suasana di dalam ruangan terasa semakin mencekik. Ruangan kerja itu meski besar dan penuh cahaya, terasa seperti perangkap yang tak kasat mata. Meja kayu besar, rak buku, dan sofa yang empuk—semuanya terlihat mewah, tapi tak ada yang bisa melawan energi suram yang menggantung di antara mereka berdua. Udara terasa berat dan setiap detik yang berlalu tanpa percakapan terasa semakin tegang.
Detik jam di dinding terdengar sangat keras di telinga Jisoo. Setiap tik yang terucap dari jam antik itu bagaikan palu yang memukul-mukul kesadarannya, mengingatkannya betapa tegang suasana ini, betapa rapuh situasinya sekarang.
Jisoo berdiri di samping meja, pandangannya menatap lantai. Matanya sesekali melirik ke arah Taeyong, melihat bagaimana pria itu menunduk di atas tumpukan dokumen, tapi dia tahu bahwa pria itu selalu memperhatikannya. Pria itu tidak pernah lengah. Setiap gerakan kecil yang dia lakukan, setiap tarikan napas, semua diawasi olehnya seperti seekor kucing yang terus memantau pergerakan seekor tikus.
Perasaan tegang itu semakin terasa di setiap serat otot Jisoo. Dia berusaha menjaga pernapasannya tetap tenang, tapi di dalam hati, dia bergulat dengan banyak pikiran yang berputar-putar. Taeyong sudah terlalu sering mendekatinya, memojokkannya dengan pertanyaan-pertanyaan licik yang menyelubungi kebenaran. Kapan pria ini menunjukkan bahwa dia sebenarnya mengetahui tujuan Jisoo kemari? Kapan topeng dinginnya itu runtuh dan memperlihatkan niat sesungguhnya?
Detik demi detik berlalu dalam keheningan yang mencekik. Ketegangan semakin menggerogoti Jisoo dari dalam. Pikirannya berputar-putar memikirkan berbagai hal—bagaimana dia bisa keluar dari ruangan ini, bagaimana dia bisa menyelesaikan misinya, dan apakah dia bisa membunuh Taeyong?
Setiap suara kecil, detak jam, lembaran kertas yang dibolak-balik pria itu, bahkan deru napasnya sendiri, semakin memperkuat ketegangan yang menggerogoti dirinya dari dalam.
Kemudian tiba-tiba Taeyong mendongak, matanya yang tajam seperti pisau menembus udara tebal di antara mereka, menghentikan aliran pikiran Jisoo yang kalut. “Kau masih di sini, Nona Baek?” tanyanya dengan nada main-main.
Jisoo hanya bisa mengangguk meskipun seluruh tubuhnya ingin melarikan diri dari tempat ini.
“Bagus,” gumamnya. “Kita akan sering seperti ini. Kau dan aku di ruangan yang sama, berdua saja.”
Kata-kata itu menjalar seperti racun yang mengalir perlahan, menyusup masuk ke dalam pikirannya, dan meresap ke dalam setiap inci tubuhnya. Jisoo bisa merasakan perangkap itu semakin mengencang, membelitnya dengan cara yang tak kasatmata. Pria itu tidak hanya berbicara tentang pekerjaan. Ada sesuatu yang lebih gelap di balik kata-katanya, sesuatu yang membuat Jisoo merinding meskipun dia berusaha keras untuk menenangkan dirinya.
Dia mencoba memecah keheningan dengan suara yang lebih tegas. “Apakah ada lagi yang bisa saya lakukan, Tuan?”
“Belum. Tapi nanti ... mungkin akan ada sesuatu yang lebih menarik.”
Kata-katanya menggantung di udara, dan keheningan yang mengikuti semakin menegaskan ketegangan yang memenuhi ruangan. Jisoo tahu bahwa hari-hari di depan tidak akan mudah. Taeyong sedang bermain-main dengannya maka dia harus lebih waspada dari sebelumnya.
Dengan sedikit menunduk sebagai tanda hormat, Jisoo kembali mengambil tempat di sudut ruangan, mencoba menenangkan detak jantungnya yang masih berpacu cepat. Dia harus kuat, harus bertahan dalam permainan psikologisnya ini. Sementara itu, di balik meja kerjanya, Taeyong tetap tersenyum, menikmati setiap detik dari kekacauan yang dia ciptakan di dalam kepala Jisoo.
“Jadi, Nona Baek.” Taeyong berbicara lagi, kali ini nadanya lebih ringan dan tidak ada yang bisa dianggap remeh dalam kata-katanya. “Aku penasaran ... berapa banyak yang sudah kau dapatkan di sini? Maksudku, apakah semua upaya kerasmu ini sebanding dengan apa yang kau terima?”
Jisoo mengernyit dalam kebingungan. Pertanyaan itu terasa aneh, keluar dari konteks, tiba-tiba beralih ke topik yang tidak relevan. Mengapa Taeyong berbicara soal uang lagi? Jisoo menghindari tatapan pria itu sejenak, mencoba merangkai kata yang tepat sebelum akhirnya menjawab, “Saya mendapatkan cukup untuk kebutuhan saya, Tuan.”
Pria itu tertawa kecil, tawa yang rendah dan pelan, terdengar jelas di tengah keheningan yang mencekam ruangan itu. “Cukup untuk kebutuhanmu? Kau terlalu rendah hati, Nona Baek.” Dia menggeleng, senyum tipis masih menghiasi wajahnya, tetapi matanya menatap tajam, menusuk Jisoo dengan perasaan tidak nyaman.
Taeyong kemudian berdiri dari kursinya. Langkahnya perlahan, nyaris tak bersuara saat dia mendekatinya. Udara di sekitar mereka tampak bergetar dengan ketegangan yang semakin membesar. Setiap langkahnya semakin dekat, membuat Jisoo merasa ruang yang ada di antara mereka semakin menyempit dan menyesakkan.
Jisoo mencoba menahan napas, tapi semakin pria itu mendekat, dadanya terasa semakin sesak. Taeyong berhenti hanya beberapa inci di depannya, jarak yang begitu dekat hingga Jisoo bisa merasakan kehadirannya yang mendominasi. Aroma wangi kulit dan kayu yang biasa mengelilinginya kini terasa lebih kuat, semakin memperkuat kehadiran pria itu.
“Kau bisa mendapatkan lebih, jauh lebih banyak.” Suara Taeyong berbisik, nada rendah yang hanya bisa didengar oleh mereka berdua. “Aku bisa memberimu apa saja, Nona Baek. Uang, kekuasaan, apa pun yang kau inginkan.” Pria itu berhenti sejenak, kemudian memiringkan kepalanya untuk lebih dekat dengan wajah Jisoo.
Tatapannya yang begitu tajam membuat Jisoo merasa telanjang, seperti semua rahasianya terkuak di depan pria ini. Dia menahan desah napasnya yang terasa semakin berat. “Saya tidak butuh itu, Tuan. Saya hanya ingin bekerja dengan baik.”
Taeyong mengangkat alisnya sedikit, tatapannya berubah menjadi lebih tajam, lebih tertarik. Senyum yang penuh arti menghiasi bibirnya, seolah-olah jawaban itu memberinya lebih banyak pertanyaan daripada jawaban. “Benarkah? Sejujurnya, aku pikir kau punya ambisi yang lebih dari sekadar bekerja di sini.”
Jisoo menatapnya, kebingungan melintas di wajahnya. “Ambisi?”
Taeyong bergerak lebih dekat, jarak mereka sekarang hampir tak ada lagi. Napas pria itu terasa di wajah Jisoo, hangat namun penuh ketegangan. “Setiap orang punya ambisi, Nona Baek,” ujarnya dengan nada rendah, menyudutkannya. “Bahkan kau. Hanya saja, kau terlalu pandai menyembunyikannya.”
Senyum tipis muncul di bibir Taeyong, senyum yang penuh dengan makna tersembunyi, senyum yang membuat Jisoo semakin merasakan bahaya yang mengelilinginya. Dia tidak tahu apa yang sebenarnya direncanakan pria ini, tapi dia bisa merasakan bahwa semua ini hanyalah awal dari sesuatu yang jauh lebih berbahaya.
“Saya tidak punya ambisi selain bekerja di sini, Tuan.” Jisoo menundukkan kepala, mencoba menyembunyikan kegelisahan yang semakin memuncak di dalam dirinya. Dia tidak ingin pria ini tahu apa yang sebenarnya dia rencanakan.
Taeyong tiba-tiba menyentuh dagu Jisoo, jari-jarinya yang dingin namun lembut mengangkat wajahnya perlahan hingga mata mereka kembali bertemu. Sentuhan itu terasa seperti sengatan listrik halus, merayap di kulit Jisoo dan membuat seluruh tubuhnya tegang. Naluri dalam dirinya berteriak untuk menjauh, tetapi dia berusaha keras untuk tidak mundur, meski setiap serat dalam tubuhnya menolak kedekatan ini.
“Lihat aku!” perintah Taeyong dengan dada suara memaksa yang tak memberi ruang bagi Jisoo untuk menolak.
Dengan berat hati, Jisoo mematuhi meskipun di dalam dadanya, ada desakan kuat untuk menghindari tatapan tajam pria itu. Matanya bertemu dengan mata Taeyong, lalu dalam sepersekian detik, dia merasakan berbagai emosi bercampur aduk—ketakutan, kebingungan, dan kemarahan yang berusaha dia tekan. Tatapan pria itu penuh rahasia, seolah-olah dia tahu sesuatu yang Jisoo belum pahami, atau setidaknya, dia bermain-main dengan kemungkinan itu.
“Kau begitu pandai menutupi sesuatu,” bisik Taeyong, suaranya seperti angin yang merayap dingin di kulit. Tangannya masih memegang dagu Jisoo, lalu perlahan, jari-jarinya meluncur ke lehernya, meninggalkan jejak sentuhan yang membuat udara di sekitar terasa semakin menipis. Jisoo merasa seperti ada sesuatu yang mencekik lehernya, walaupun sentuhan Taeyong begitu halus dan lembut, ancaman itu terasa jelas. “Tapi seperti yang aku katakan, kau tidak bisa menyembunyikan apa pun dariku, Jisoo.”
Napas Jisoo tersendat, perasaannya bergejolak, dan tubuhnya menegang di bawah kekuasaan yang memancar dari pria di depannya. Dia ingin sekali menjauh, menarik diri dari cengkeraman halus yang mengancam itu. “Saya tidak menyembunyikan apa pun, Tuan.”
Senyum Taeyong merekah lagi, kali ini lebih tajam dan lebih dominan, seperti seseorang yang tahu dia telah mengendalikan segalanya. Dia menundukkan wajahnya sedikit lebih dekat, hingga Jisoo bisa merasakan deru napasnya yang hangat di wajahnya. Jarak di antara mereka begitu tipis, terlalu dekat, dan udara di ruangan terasa semakin pekat. “Kau bisa terus berpura-pura, Nona Baek. Tapi aku punya banyak kesabaran. Dan aku akan menemukan apa yang kau sembunyikan. Cepat atau lambat.”
Tatapan gadis itu membeku, tubuhnya terkunci dalam cengkeraman mata Taeyong yang menyelami hingga ke dalam jiwanya. Matanya membelalak, merasa cemas pria itu mampu melihat ke dalam setiap sudut gelap rahasianya. Napasnya tertahan karena dia tahu bahwa ini bukan sekadar kata-kata kosong—ini adalah ancaman yang nyata. Waktu seakan berhenti dan dalam detik-detik yang membara itu, Jisoo menyadari bahwa jika Taeyong menemukan kebenaran tentang Daisy, tentang rencana balas dendamnya, maka semua yang dia perjuangkan akan hancur seketika.
Namun, dia tidak berencana membiarkan ketakutannya terlihat. Dengan seluruh kekuatan yang tersisa, Jisoo mencoba mempertahankan kendali walau jantungnya berdetak liar di dalam dada. Dengan suara yang hampir tenggelam oleh ketegangan di ruangan, dia akhirnya membalas, “Saya tidak menyembunyikan apa pun, Tuan.”
Taeyong tertawa kecil, tapi tawa itu tidak mengundang kehangatan. Sebaliknya, ada nada dingin yang terselip di baliknya dan matanya tetap setajam belati yang siap menusuk kapan saja. “Kau tahu, Jisoo ....” Suaranya hampir seperti bisikan yang menggema dalam ruang yang terasa semakin sempit oleh ketegangan.
Tangannya perlahan mengangkat dagu Jisoo, sentuhannya lembut, tetapi terasa seperti beban tak kasatmata yang menekan dirinya. Jari-jarinya yang dingin menyusuri bibir Jisoo, mengusapnya perlahan. Diam yang mencekam menggantung di antara mereka, tanpa sepatah kata pun, hanya keheningan yang terus memperdalam ketidaknyamanan itu. Setiap usapan menciptakan gelombang halus yang menjalar di tubuh Jisoo, rasa aneh yang membuatnya bingung, tak nyaman, tapi juga memaku dirinya di tempat dan tak mampu bergerak.
Udara di antara mereka semakin tebal, membuat napas Jisoo terasa berat. Jantungnya berdetak kencang, beradu dengan kebingungan yang kini menguasainya. Kenapa dia terus menyentuh bibirku? Pikirannya terus berputar, mencoba mencari jawaban di balik gerakan perlahan Taeyong. Apa yang dia inginkan?
Keheningan itu akhirnya pecah oleh suara Taeyong. “Apa kau punya kekasih, Nona Baek?”
Pertanyaan itu menghantam Jisoo dengan keras, melintas di benaknya dengan kebingungan. Dari segala hal yang bisa dia tanyakan, kenapa itu? Matanya menatap Taeyong, mencoba membaca maksud di balik pertanyaan itu, tapi jari-jari pria itu masih terus menyapu bibirnya, mengganggu fokusnya, membuat pikirannya semakin kacau. Tanpa berpikir panjang, dia menggelengkan kepala pelan, tak tahu apa lagi yang bisa dia katakan dalam situasi seperti ini.
Taeyong menaikkan satu alis, matanya semakin menyelidik. “Benarkah itu?” tanyanya, seolah meragukannya.
Jisoo mengangguk lagi, meskipun dalam hatinya ada keraguan yang tiba-tiba muncul. Apakah seharusnya aku berbohong? Pikirnya tiba-tiba. Mengatakan bahwa aku punya kekasih? Tapi itu akan terdengar konyol. Kenyataan bahwa dia tak pernah memiliki kekasih terasa lebih mencolok sekarang. Sejak kecil, hidupnya hanya dikelilingi oleh ayah dan saudara laki-lakinya. Tidak ada laki-laki lain yang pernah mendekatinya. Bahkan, pria yang paling sering berinteraksi dengannya sekarang hanyalah Taeyong—dan itu membuatnya semakin marah. Marah karena kenyataan ini kini begitu nyata di hadapannya, memaksa dirinya untuk mengakui hal yang selama ini dia abaikan.
“Hm, aneh,” gumamnya, matanya tak bisa lepas dari Jisoo, seolah-olah dia bisa membaca setiap pikiran yang bergejolak dalam dirinya. Sementara ibu jarinya masih terus mengusap bibir gadis itu, usapan itu tak berhenti, justru mengikatnya dalam keheningan yang semakin menyesakkan. “Kenapa kau tidak punya kekasih? Kau tidak jelek, Nona Baek. Apa kau sadar kalau kau cantik?”
Kata-kata itu menghantam Jisoo seperti ombak yang menghantam karang. Seluruh tubuhnya membeku sejenak dan entah bagaimana, wajahnya terasa panas. Darah mengalir ke pipinya, membuatnya tersipu malu. Dia terkejut mendengar pujian yang begitu terang-terangan dan tak pernah membayangkan pria seperti Taeyong akan mengatakan hal semacam itu padanya. Di matanya, dirinya hanyalah seorang wanita lemah dalam keluarga yang dipenuhi oleh pria-pria kuat dan lebih tangguh darinya. Dia tidak pernah berpikir dirinya istimewa dalam cara seperti itu.
Dalam sekejap ekspresi gadis itu berubah: matanya melebar, bibirnya sedikit bergetar, dan tanpa sadar dia menundukkan kepala, berusaha menghindari tatapan tajam pria ini. Jisoo menggelengkan kepala lemah, mencoba memudarkan rasa malu yang tiba-tiba muncul, lalu berkata dengan suara pelan, “Saya hanya seorang pelayan, Tuan.”
Taeyong tak mengalihkan pandangannya sedikit pun. Matanya justru semakin tajam, mengawasinya. “Tidak peduli apakah kau pelayan atau bukan,” ucapnya, terus terang, “di mataku, kau tetap cantik.”
Mata Taeyong yang dalam dan tajam terus mengunci matanya. Jisoo bisa merasakan sorotan itu seolah-olah menusuk jiwanya, menghantam hatinya dengan kekuatan yang tak bisa dia pahami. Mata itu tidak hanya sekadar melihat—mereka menelusuri, menyelidik, dan menguasai. Jisoo merasa terperangkap, tidak bisa berpaling, bahkan jika dia mencoba.
Jari Taeyong yang semula mengusap bibir Jisoo kini bergerak lebih intens, menelusuri tepi bibirnya dengan tekanan yang lebih dalam. Setiap sentuhan seperti menyimpan maksud yang tersembunyi, tapi Jisoo tidak tahu apa itu. Yang dia rasakan hanyalah ketegangan yang tak kunjung mereda, seolah dunia di sekelilingnya menyempit, hanya tersisa dia dan Taeyong, dalam keheningan yang penuh dengan makna-makna tak terucapkan.
“Jadi,” bisik pria itu lagi, kali ini dengan suara lebih pelan dan mendominasi, “kau tidak punya kekasih? Atau ... apakah ada laki-laki yang kau suka?”
Pertanyaan itu seperti sebuah jebakan. Jisoo tidak mengerti mengapa dia menanyakan hal-hal ini, yang baginya tampak tidak relevan, tapi tetap membuatnya merasa terpojok. Tubuhnya semakin tegang saat Taeyong mendekatkan tubuhnya. Dia bisa merasakan napas pria itu sekarang—hangat, lembut, namun mengancam. Bibir mereka hanya berjarak beberapa senti, hampir bersentuhan, dan Jisoo bisa merasakan seluruh sarafnya menegang. Jantungnya berdebar kencang dan dadanya terasa sesak. Dia ingin mundur, tapi tangan Taeyong dengan lembut menahan bahunya, membuatnya tetap di tempat.
“T-tuan?” Suaranya terdengar gugup dan bergetar. Ada ketakutan, ada kebingungan, tapi juga perasaan yang tidak dia mengerti.
“Kau belum menjawab pertanyaanku,” bisik Taeyong lagi, mendekatkan wajahnya hingga bibir mereka benar-benar bersentuhan. Suasana di antara mereka kini terasa semakin panas, ketegangan itu hampir tak tertahankan. Jisoo merasakan sentuhan lembut dari bibir Taeyong, begitu ringan, namun penuh kekuatan yang tak bisa diabaikan.
Sensasi itu menghentak kesadarannya—bagaimana bibirnya bisa merasakan kehadiran pria itu, seolah waktu berhenti hanya untuk merasakan momen tersebut. Bibir pria iru terasa hangat, tapi ada ketegangan di baliknya yang dia tidak mengerti. Rasa bingungnya bercampur dengan perasaan tak terdefinisi yang semakin membelitnya.
Taeyong mengulangi pertanyaannya dengan suara yang lebih pelan dan tegas. “Apa kau punya laki-laki yang kau suka, Nona Baek?”
Jisoo merasakan kekuatan di tubuhnya menghilang. Dia mengepalkan tangannya, berusaha menemukan sedikit kendali di tengah kebingungan yang semakin mendalam. Lalu, dengan suara pelan dan nyaris tak terdengar, dia menjawab dengan ketidakberdayaan, “Tidak ada, Tuan.”
Taeyong tersenyum tipis, senyum yang tidak membawa ketenangan, melainkan justru menambah lapisan ketegangan yang menggantung di antara mereka. Bibir mereka masih bersentuhan ringan, Taeyong dengan sengaja mempertahankan jarak tipis yang membuat gadis itu terperangkap dalam kebingungannya. Udara di antara mereka terasa semakin berat, seperti kabut tebal yang menutupi setiap pikiran jernih yang Jisoo coba pertahankan. Hanya ada napas mereka, saling berdesir lembut, namun di baliknya, perasaan kacau itu semakin membesar.
“Benar-benar tidak ada?” Taeyong bertanya lagi, suara itu hampir seperti bisikan, penuh misteri. Nada suaranya seolah menyimpan rahasia, sebuah rahasia yang hanya Taeyong tahu, meninggalkan Jisoo dengan ketidakpastian yang semakin menekan.
Jisoo menelan ludah, suaranya tercekat di tenggorokan. Keberanian yang tadi dia coba kumpulkan perlahan memudar, tenggelam di bawah tekanan pria yang berdiri begitu dekat dengannya. “Tidak... tidak ada,” ulangnya dengan nada hampir tak terdengar, bibirnya masih terasa hangat oleh sentuhan halus bibir Taeyong.
Taeyong menatapnya lama, matanya seperti mencari sesuatu di dalam diri Jisoo, sesuatu yang bahkan Jisoo sendiri tidak mengerti. “Hmm,” gumamnya sedikit lebih lama, sementara matanya tak pernah lepas dari wajah Jisoo. Ibu jarinya masih menyapu bibirnya, lembut tapi mantap, seperti tengah mengecap tekstur bibir itu, memaknai setiap sentuhan dengan intensitas yang dalam.
“Kenapa kau tak pernah punya kekasih?” tanyanya lagi, kali ini sedikit lebih keras, dalam dan menekan, seolah pertanyaannya adalah hal yang paling penting di dunia saat ini. “Apakah karena kau terlalu sibuk menjadi pelayan? Atau... apakah kau takut pada pria?”
Jisoo tidak tahu harus menjawab apa. Mulutnya terasa kering, sementara pikirannya berputar-putar mencoba merasionalisasi situasi aneh ini. Tapi tidak ada logika yang bisa dia temukan dalam pertanyaan Taeyong. Kenapa dari semua hal, Taeyong justru terfokus pada hal yang paling pribadi dan membingungkan?
Taeyong semakin mendekat, napasnya kini benar-benar terasa di bibirnya, menciptakan detak jantung yang menggema di telinga Jisoo sendiri. Jemarinya yang dingin menekan bibir Jisoo lebih keras, membuat wajah pria itu hanya berjarak beberapa senti dari wajahnya. Tubuh Jisoo kaku, terjebak di antara jarak yang begitu tipis.
Dia bisa merasakan panas tubuh Taeyong, meski jari-jari pria itu tetap dingin, menciptakan kontras yang semakin membuatnya merasa tercekik. Napas mereka saling bercampur dalam jarak dekat, menciptakan perasaan sesak yang mendominasi seluruh pikirannya. Semua ini terasa salah, sangat salah, tapi tubuh Jisoo seolah menolak untuk bergerak. Dia ingin menjauh, ingin mundur, tetapi tangan Taeyong dengan halus dan kuat menahannya tetap di tempat.
“Tuan ... saya tidak mengerti,” kata Jisoo dengan suara bergetar, hampir seperti gumaman. Bibirnya bergerak sedikit di bawah sentuhan jari Taeyong, tapi itu hanya menambah rasa tegang yang menekan dadanya.
“Kau tidak perlu mengerti,” jawab Taeyong, masih dengan suara lembut yang penuh dengan otoritas, mengendalikan setiap detik yang berlalu “Yang perlu kau lakukan hanyalah menjawab pertanyaan-pertanyaanku.”
Jisoo ingin mengatakan sesuatu lagi, tapi suara Taeyong terlalu mendominasi pikirannya. “Tidak ada laki-laki yang kau suka? Tak satu pun?”
Wajah Jisoo semakin memerah, darah terasa mengalir panas di pipinya. Pikirannya meloncat-loncat, mencoba mencari jawaban yang tepat. Haruskah dia berbohong? Apakah Taeyong sedang memancingnya? Apa yang sebenarnya diinginkan pria ini?
“Tidak... tidak ada,” ulangnya lagi, kali ini suaranya nyaris tenggelam dalam keheningan.
Taeyong tersenyum kecil, matanya memandang Jisoo dengan cara yang aneh, seolah menikmati keterkejutan yang muncul di wajahnya. “Tidak ada, ya?” gumamnya sambil memandangi bibir Jisoo yang masih bergetar halus di bawah sentuhannya.
“Hm, kau begitu cantik, Nona Baek,” lanjutnya, kali ini suaranya terdengar lebih serius. “Bahkan aku bisa melihatnya. Kau tak pernah berpikir soal itu, bukan? Tak ada yang pernah memberitahumu?”
Jisoo hanya bisa menggeleng pelan, rasa panas di wajahnya semakin bertambah. Kata-kata Taeyong terasa seperti serangan yang halus, tapi begitu dalam. Kenapa semua ini begitu penting baginya? Kenapa dia mengungkit hal-hal yang bahkan Jisoo tak pernah pikirkan sebelumnya? Rasa malu, bingung, dan marah berputar di dalam dirinya, tetapi tak ada kata yang bisa dia ucapkan untuk melawan situasi ini.
Taeyong kemudian mencodongkan tubuhnya ke depan lebih jauh, membuat jarak di antara mereka nyaris tak ada lagi. Bibir mereka kini benar-benar bersentuhan, meski hanya sejenak, hanya gesekan ringan, tapi baginya itu seperti lonceng peringatan yang menggetarkan seluruh tubuhnya. Bibir Taeyong terasa lembut, sementara sentuhannya begitu penuh kontrol, seolah dia tahu betul apa yang dia lakukan dan bagaimana efeknya terhadap Jisoo.
Jisoo menahan napas, tubuhnya kaku, tapi bukan karena takut—lebih karena campuran dari emosi yang tak pernah ia rasakan sebelumnya. “T-tuan ...” Dia berusaha memanggil namun kata-katanya tak lebih dari bisikan yang tersapu oleh napas Taeyong.
“Kau belum menjawab dengan jelas, Jisoo,” ucapnya dengan suara lebih rendah, begitu dekat dan begitu intim. Bibir mereka kini benar-benar saling menempel, tidak ada ruang lagi di antara mereka. Rasanya aneh bagi Jisoo. Bibir Taeyong terasa panas dan menekan, sementara pikirannya berusaha memahami semua ini. Dia tidak pernah merasakan hal seperti ini sebelumnya—sentuhan yang begitu dekat, begitu langsung, dan begitu membuatnya bingung.
Jisoo merasakan rasa asing saat bibir mereka bersentuhan, seolah panas dari tubuh Taeyong mengalir ke dalam dirinya, menyebar seperti api yang lambat namun membakar. Bibirnya kaku, tetapi seluruh tubuhnya bereaksi dengan cara yang tak dia duga. Jantungnya berdebar semakin cepat, sementara rasa panas menjalar dari bibirnya ke seluruh wajah, membuatnya semakin tegang.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top