Chapter XV: Sebuah Tawaran

Ruangan duduk Nyonya Laura terasa jauh lebih dingin dari biasanya. Cahaya matahari sore yang seharusnya memberikan kehangatan justru memudar di balik tirai tebal, menyisakan cahaya temaram yang samar-samar di ruangan yang dipenuhi dengan aroma teh dan kayu tua. Jisoo duduk tegak di kursi empuk berlapis sutra, tangannya yang terlipat di pangkuan terasa kaku. Tatapannya tertuju pada Nyonya Laura, wanita anggun yang duduk di seberangnya dengan wajah tenang, seolah tidak menyadari badai kecemasan yang berputar di dalam pikiran Jisoo.

“Apakah saya melakukan kesalahan, Nyonya?” Matanya menatap Nyonya Laura penuh kebingungan, mencari jawaban atas keputusan mendadak yang terasa seperti pukulan. Dia merasa cemas, tak ada pertanda sebelumnya, tak ada peringatan atau teguran yang diterima. Mengapa tiba-tiba Nyonya Laura memindah tugaskannya?

Selama ini dia menjalankan tugasnya dengan baik, tanpa cela, tanpa satu pun kesalahan yang mencoreng reputasinya sebagai pelayan. Dia mengurus semua yang diminta Nyonya Laura dengan teliti, tidak pernah lalai dan tidak pernah teledor. Lalu mengapa?

“Tidak, Jisoo, kau tidak melakukan kesalahan.” Nyonya Laura menatapnya sejenak sebelum tersenyum tipis. “Sebaliknya, kau bekerja dengan sangat baik. Itu sebabnya aku memutuskan untuk memindahkanmu.”

Kepala Jisoo terasa berputar. Kata-kata Nyonya Laura semakin menambah kebingungannya. Dia bekerja dengan baik, tapi justru dipindahkan? Bukankah itu terdengar sangat aneh? Lebih dari itu, yang paling mengganggu pikirannya adalah fakta bahwa dia akan dipindahkan ke Taeyong—putra sulung Nyonya Laura, seseorang yang sangat ingin dihindari.

“Kenapa saya, Nyonya?” tanyanya pelan, berusaha mengumpulkan keberanian untuk mendapatkan penjelasan lebih. “Dari semua pelayan yang ada, mengapa harus saya yang dipilih?”

Nyonya Laura tidak langsung menjawab, hanya menatap Jisoo dengan tatapan yang sulit diartikan, seolah-olah dia sedang mengukur sejauh mana Jisoo bisa bertahan di bawah beban yang akan dia hadapi. “Putraku yang memintamu secara langsung,” jawabnya dengan tenang. “Dia membutuhkan seseorang yang bisa dia percayai. Dan aku percaya, kau adalah orang yang tepat untuk tugas itu. Selain itu, pelayan pribadiku yang sebelumnya sudah kembali, jadi tugasmu denganku sudah selesai.”

Jisoo tak tahu harus berkata apa. Permintaan putranya? Kenapa pria itu tiba-tiba menginginkannya menjadi pelayan pribadinya? Apa dia ingin mengawasinya dari dekat? Apa dia masih belum puas memojokkannya di setiap kesempatan? Ada sesuatu yang terasa salah, tapi dia tak bisa mengungkapkannya di depan Nyonya Laura. Perasaan campur aduk melanda dirinya.

Taeyong selalu membuatnya tegang dengan setiap langkah dan kata yang penuh dengan maksud tersembunyi, laly sekarang dia harus berhadapan dengannya setiap hari?

“Apakah ... apakah saya bisa menolak?” Pertanyaan itu terlepas dari bibir Jisoo tanpa dia sadari. Ketika menyadarinya, dia terlambat menghentikan dirinya sendiri.

Nyonya Laura tersenyum lagi. Senjatanya adalah ketenangan. “Aku tidak berpikir itu perlu. Kau sudah melakukan pekerjaanmu dengan baik di sini, dan aku yakin kau akan melakukan hal yang sama dengan Taeyong. Percayalah, ini untuk kebaikanmu juga.”

Kebaikan jenis apa? Keputusannya justru semakin memperumit situasinya. Setelah beberapa kali terlibat ketegangan dengan pria itu, Jisoo merasa tidak yakin dengan kemampuannya untuk balas dendam. Rasanya dulu dia telah salah mengambil keputusan itu. Dia lebih ingin segera meninggalkan rumah ini daripada dipindah tugaskan.

“Besok kau akan mulai bekerja dengan putraku,” lanjut Nyonya Laura dengan santai, seperti mengakhiri percakapan tanpa memikirkan protes. “Nona Baek, pastikan kau mempersiapkan dirimu dengan baik, seperti ketika bekerja untukku.”

“Ya, Nyonya.” jawabnya, suaranya nyaris tenggelam dalam kegelisahan. Suaranya terdengar lemah, lebih seperti bisikan yang mati sebelum sempat keluar.

Setelah pertemuan mengejutkan dengan Nyonya Laura, besoknya dia langsung diarahkan ke Benjamin, kepala pelayan pribadi Taeyong yang akan menjelaskan tugas-tugas barunya. Benjamin adalah pria tua yang berwibawa, dengan rambut perak rapi dan tatapan mata tajam namun tenang. Pria tua itu menatap Jisoo dengan sikap formal, seperti sudah terbiasa mengurus banyak hal di Kediaman Han tanpa menunjukkan emosi berlebihan.

“Jadi, mulai hari ini kau akan bertugas melayani Tuan Taeyong secara pribadi,” kata Benjamin dengan nada datar. “Ada beberapa tugas utama yang harus kau lakukan setiap hari dan kau harus menanganinya sendiri tanpa bantuan dari pelayan lain.”

Jisoo mengerutkan kening, bingung. “Bukankah biasanya ada beberapa pelayan yang menangani tugas-tugas berbeda untuk Tuan?” tanyanya, berusaha mencari alasan untuk tidak terlibat begitu dekat dengan sang Tuan Muda Han. Dia tahu mansion ini dipenuhi dengan pelayan-pelayan yang terbiasa melayani keperluan pribadi pria itu. Lantas mengapa sekarang semuanya dibebankan kepadanya?

Benjamin hanya mengangguk kecil, tak menunjukkan ekspresi apa pun. “Biasanya, iya. Tapi ini adalah permintaan khusus dari Tuan Taeyong. Kau akan mengurus semuanya: pakaian, sarapan, persiapan air mandinya, dan segala keperluan lainnya.”

Jisoo menelan ludah, merasakan ketegangan semakin bertambah. Dia tahu ini bukan tugas biasa. Taeyong menginginkannya berada di dekatnya dan itu bukanlah hal yang baik.

“Kenapa begitu banyak tugas yang harus saya lakukan sendiri?”

Benjamin tidak memberikan jawaban yang jelas. Dia hanya memandang Jisoo dengan mata yang sulit dibaca sebelum akhirnya berkata, “Tuan menginginkanmu yang melakukannya. Hanya kau.” Lalu setelah sejenak terdiam, Benjamin menambahkan, "Satu hal lagi. Tuan suka kopi hitam tanpa gula di pagi hari. Dan dia tidak suka diganggu ketika sedang sibuk dengan pekerjaannya."

Jisoo mengangguk perlahan meskipun pikirannya penuh dengan kebingungan dan sedikit rasa was-was. Permintaan ini sangat aneh. Kenapa Taeyong ingin dia menangani semuanya sendiri? Apakah ini bagian dari permainan liciknya? Tugas-tugasnya terasa semakin banyak dan semakin berat, tapi dia tak punya pilihan selain menerimanya.

Benjamin kemudian pergi, meninggalkannya sendiri, setelah mengantarkannya sampai di depan pintu ruang kerja Taeyong. Jisoo merasa seluruh tubuhnya tegang saat berdiri kaku di depan pintu. Lorong-lorong panjang Kediaman Han yang biasanya terasa begitu luas kini seolah menyempit, membuatnya merasa seperti terjebak dalam jalur sempit yang tak bisa dia hindari. Dia tahu bahwa setelah pintu itu terbuka, hidupnya akan semakin terikat dalam permainan yang dimainkan oleh Taeyong Antoine Han.

Pintu kayu gelap di depannya berdiri dengan anggun, kokoh dan megah, menghalangi pandangannya terhadap pria yang kini menjadi tuan barunya. Dengan tangan gemetar, Jisoo mengetuk pintu dengan lembut.

”Masuk,” suara pria itu terdengar dari dalam, dalam dan penuh kendali, seperti biasa.

Jisoo membuka pintu dengan hati-hati lalu masuk. Dia berdiri dengan tegak di hadapan Taeyong walaupun tubuhnya terasa kaku dan dingin. Udara di ruangan kerja itu seakan-akan lebih berat dari biasanya, dipenuhi oleh aura yang mengintimidasi, aura yang selalu muncul setiap kali pria itu berada di dekatnya. Cahaya matahari yang masuk melalui jendela besar di belakangnya, membuat bayangan panjang pria itu jatuh di atas meja kerjanya yang besar. Meja itu penuh dengan tumpukan dokumen, peta-peta, dan barang-barang pribadi yang tertata rapi.

Suara detik jam dinding yang lembut mengisi keheningan di antara mereka, setiap detiknya terasa seperti palu kecil yang menambah ketegangan. Dinding ruangan itu dipenuhi dengan rak-rak buku berisi volume tebal dengan sampul kulit, mengeluarkan aroma samar dari kertas tua yang lembap, bercampur dengan bau kayu mahoni dari furnitur-furnitur berat di dalam ruangan. Di salah satu sudut, sebuah patung perunggu kecil berdiri di atas lemari kayu, pantulan cahaya keemasan dari jendela membuatnya tampak hidup, seolah mengawasi interaksi di dalam ruangan.

Taeyong duduk di balik meja, punggungnya tegak, pandangannya fokus pada dokumen-dokumen di depannya. Wajahnya terlihat sangat serius, alisnya sedikit berkerut, menunjukkan bahwa dia tengah tenggelam dalam pikirannya. Sepertinya kehadiran Jisoo tidak terlalu mengganggu konsentrasinya.

Jisoo mengamati pria itu sejenak, tanpa suara. Pria itu tampak seperti sosok yang tak tersentuh, begitu fokus dan mendominasi ruangan, seolah-olah dia adalah pusat dari segala yang ada di sana. Ruangan itu sendiri memancarkan wibawa yang sama dengan penghuninya—dingin, penuh kontrol, dan teratur dengan sempurna.

Akhirnya, Taeyong mendongak dan tatapan matanya langsung tertuju pada Jisoo. Mata hitamnya tampak penuh perhatian, seolah tahu Jisoo akan datang dan sekarang dia siap menyambutnya.

“Kau di sini.” Taeyong tersenyum tipis, senyum yang tidak pernah benar-benar menyentuh matanya. “Bagus. Mulai hari ini, kau akan berada di bawah pengawasanku.”

Kata-kata itu menggantung di udara, memberikan tekanan yang tidak terlihat tapi sangat nyata. Taeyong mengucapkannya dengan ringan, tapi di balik kalimat sederhana itu tersembunyi maksud yang jauh lebih dalam. Jisoo bisa merasakannya, seperti jerat halus yang perlahan-lahan mulai menjerat lehernya. Tidak ada cara untuk mengelak.

Taeyong bukanlah majikan yang mudah dipahami. Dia adalah sosok yang manipulatif, penuh teka-teki, dan licik. Jisoo menelan ludah pelan, rasa tegang masih menggulung di dalam perutnya. Rasanya seperti terjebak di dalam sangkar emas yang mewah, tempat yang terlihat indah dan mempesona dari luar, tapi di dalamnya penuh dengan aturan dan ketakutan

“Saya mengerti, Tuan,” jawabnya dengan suara yang lebih datar daripada yang dia harapkan. Setengah hatinya merespons, sementara separuh lainnya ingin lari sejauh mungkin.

Pria di depannya memiringkan kepalanya sedikit, senyum tipis yang penuh misteri terlukis di bibirnya. “Baik. Kita akan lihat seberapa baik kau bisa bertahan.”

Jisoo menundukkan kepala sedikit, mencoba menyembunyikan rasa takut dan ketidakpastian yang menggerogoti pikirannya. Pikirannya masih berkecamuk sementara wajahnya berusaha tetap tenang. Berada di sini, di bawah pengawasan langsung pria ini, berarti dia harus terus waspada. Setiap langkah, setiap kata yang keluar dari mulutnya bisa menjadi bumerang yang menghancurkan semua yang sudah dia rencanakan.

Sementara itu, detik jam terus berdentang di latar belakang menambah tekanan pada suasana yang sudah menyesakkan. Angin lembut dari luar jendela menggerakkan tirai tipis, membawa suara dedaunan yang bergesekan dari taman di luar. Namun, keindahan alam di luar jendela terasa jauh dan terisolasi dari dunia yang mereka tempati di dalam ruangan ini—ruangan yang penuh dengan ketegangan dan permainan psikologis yang tak terlihat oleh orang luar.

Taeyong masih duduk santai di kursi kulitnya, memandang Jisoo dengan tatapan penuh teka-teki, senyum tipis menghiasi wajahnya, seolah menyimpan senjata tersembunyi di balik kata-kata. Mata hitamnya, yang selalu tampak mampu melihat lebih dalam dari permukaan, terus memeriksa setiap reaksi kecil yang Jisoo tunjukkan. Tatapannya memiliki intensitas tertentu, seperti sedang menimbang-nimbang berapa lama Jisoo bisa bertahan di bawah tekanannya.

“Kau tampak bingung, Nona Baek,” ujarnya dengan suara datar yang mengandung nada licik. “Apa kau tidak menyangka akan bekerja langsung denganku?”

Jisoo menelan ludah, berusaha menenangkan detak jantung yang semakin cepat. “Saya hanya tidak menduga perubahan ini, Tuan.”

“Benarkah?” Taeyong mengangkat alis, menatapnya sejenak.

Gadis itu mengangguk cepat, meski rasa tegang masih terasa di sekujur tubuhnya.

“Bagus.” Nada suara Taeyong sedikit lebih lembut, tapi tetap tak kehilangan ketegasan. “Aku menghargai kejujuranmu.” Dia berhenti sejenak, memeriksa reaksi Jisoo sebelum melanjutkan, “Ada banyak hal yang harus kita urus bersama dan aku ingin semuanya dikerjakan dengan sempurna. Seperti yang sudah kau lakukan selama ini.”

“Tentu, Tuan. Saya akan berusaha sebaik mungkin.” Dia merasakan tekanan di dadanya mulai mereda, tetapi tetap waspada terhadap setiap kata yang keluar dari mulut Taeyong.

Sementara itu, Taeyong akhirnya bangkit dari kursinya, gerakannya halus dan penuh kendali. Dia berjalan perlahan mengitari meja, langkahnya tanpa suara di atas lantai kayu yang berkilau, sebelum berhenti di depan Jisoo. Keheningan yang mengikuti langkahnya membuat jantung Jisoo berdetak semakin cepat.

“Ayo kita mulai,” ucap Taeyong sambil memiringkan kepalanya sedikit, cahaya redup dari lampu meja memantul di wajahnya membuat bayangan tegas di sepanjang rahangnya. “Mulai hari ini, kau akan bertanggung jawab penuh atas semua keperluanku. Tidak ada pelayan lain yang akan mengganggumu. Aku ingin semuanya diurus olehmu.”

Jisoo menggigit bibirnya pelan berusaha menenangkan dirinya, tapi rasa dingin yang menjalar di punggungnya tak kunjung hilang. Dia semakin tertekan. Ruangan ini, dengan segala kemewahannya terasa lebih seperti perangkap. Setiap sudutnya, setiap benda di dalamnya, tampak seperti bagian dari permainan licik yang pria ini mainkan. Dan sekarang, Jisoo berdiri tepat di tengah-tengahnya.

"Saya mengerti, Tuan," balasnya mencoba menutupi kegelisahannya. “Apakah ada hal khusus yang harus saya perhatikan?”

Taeyong mengangkat satu alis, senyumnya masih tidak hilang. “Selain memastikan semuanya berjalan sempurna?” Dia menyeringai, lalu melanjutkan, “Aku suka kopi hitam di pagi hari, tanpa gula. Pastikan itu disajikan tepat waktu. Jangan sampai terlambat.”

Jisoo mengangguk. Ini adalah informasi yang sudah diberikan oleh Benjamin, tapi Taeyong menekankan pentingnya tugas kecil itu seolah-olah itu adalah hal yang paling penting di dunia.

“Dan,” lanjutnya lagi dengan tatapan mata yang menusuk, “aku tidak suka diganggu saat sedang sibuk bekerja. Pastikan kau memahami itu. Aku bisa sangat tidak sabar ketika seseorang mengganggu fokusku.”

Jisoo menahan napas, menundukkan kepala sedikit sebagai tanda hormat. “Saya akan memastikan untuk tidak mengganggu Anda, Tuan.”

Pria itu tertawa kecil, suaranya rendah dan sedikit menggema di ruangan yang sunyi. “Baiklah, kita lihat saja nanti. Untuk sekarang, mulai dengan menyiapkan apa yang kubutuhkan untuk sore ini.”

Jisoo mengangguk lagi dan bergegas keluar ruangan, mencoba mengendalikan kecemasannya. Setiap perintah dari Taeyong terasa seperti beban yang semakin menumpuk di pundaknya, tapi Jisoo tidak bisa menunjukkan kelemahannya. Pria ini sedang mengawasinya dan satu kesalahan bisa menjadi akhir dari permainannya di rumah ini—bahkan mungkin juga hidupnya.

━━━━━━ ◦ breaking her ◦ ━━━━━━

Seperti biasa, setiap pagi Jisoo menyiapkan semua keperluan Taeyong. Ritual ini telah menjadi bagian dari rutinitas yang melelahkan, tapi dia tak punya pilihan selain menjalankannya. Di masa ketika dia bekerja untuk Nyonya Laura, tugasnya lebih ringan—sekadar menemani dan membantu hal-hal sederhana. Pekerjaan kasar selalu didelegasikan kepada pelayan lain. Namun, semenjak berada di bawah pengawasan Taeyong, semuanya berubah drastis.

Kini setiap tugas mulai dari hal-hal kecil seperti menyiapkan pakaian hingga pekerjaan yang lebih berat, semua berada di bawah tanggung jawabnya. Tiap malam selesai bekerja, Jisoo langsung tertidur tanpa mandi atau makan malam. Tubuhnya yang ringkih kini terbalur oleh kelelahan yang menyakitkan sementara setiap pagi dia harus mengumpulkan kekuatan untuk menghadapi hari baru.

Seperti biasa, dia menyiapkan pakaian kerja Taeyong—jas hitam yang dijahit sempurna dan kemeja yang menjadi ciri khas pria itu. Jisoo bekerja dengan cermat meskipun lelah masih melekat pada tulangnya. Dia berdiri di samping pria itu yang sedang duduk di tepi tempat tidurnya, tubuhnya begitu dekat hingga dia bisa merasakan kehangatan yang memancar dari sosoknya.

“Tolong, bantu aku dengan dasiku,” pintanya dengan lembut.

Jisoo mengangguk, lalu bergerak tanpa berkata-kata. Tangannya yang kecil sedikit gemetar saat mulai bekerja membenarkan dasi di leher Taeyong. Selama sibuk dengan tugasnya, dia bisa merasakan tatapan pria itu terus menerobos dirinya, tatapan berat penuh yang sesuatu tak terduga.

Tiba-tiba pria itu mencodongkan tubuhnya sedikit, mendekatkan wajahnya dengan jarak yang nyaris tak nyaman. Jisoo menahan napas, otot-ototnya menegang dalam posisi berdiri. Taeyong selalu bermain-main dengan ruang, seolah-olah sengaja menciptakan ketegangan setiap kali mereka bersama.

“Sudah berapa lama kau mengenal Daisy?” tanyanya tiba-tiba, memecah keheningan.

Jisoo terhenti, seolah waktu membeku. Nama itu—Daisy—menghantam kesadarannya seperti badai yang menerjang pantai. Dia tertegun, kedua tangannya masih mengenggam dasi di leher Taeyong, merasakan kainnya yang lembut namun menekan. Seketika dunia di sekelilingnya berputar lebih lambat, seperti saat sinar matahari terbenam memanjangkan bayangan.

Matanya melebar, tak percaya. Detak jantungnya memukul dadanya lebih keras, berusaha merespons pertanyaan yang tak pernah dia duga akan keluar dari mulut pria ini. Suasana di ruangan terasa kaku, dengan aroma kayu yang menyengat dan cahaya lembut menyinari wajah Taeyong, mengungkapkan ekspresi penuh perhatian dan ketegasan. Jisoo berjuang menenangkan pikirannya, tetapi gelombang emosi tak terduga membanjiri dirinya.

Pria itu tahu. Dia benar-benar tahu tentang hubungannya bersama Daisy Levinia. Padahal, selama ini dia tidak pernah menyinggung soal Daisy meskipun mencurigainya. Namun sekarang, pertanyaan itu pertanyaan itu meluncur dari bibir Taeyong, membuat punggungnya meremang. Waktu seakan berhenti sejenak, dikelilingi hening yang menggigit.

Menarik napas dalam-dalam, Jisoo berusaha menjaga suaranya tetap netral meskipun perasaannya bergejolak seperti ombak di tengah badai. “Tidak begitu lama, Tuan.”

Taeyong menatapnya dengan tatapan tajam yang sulit ditebak, seolah sedang mengurai jalinan rahasia di balik wajah Jisoo. Senyum kecil di sudut bibirnya mengandung teka-teki, senyuman yang menari di antara keanggunan dan kebingungan. “Meskipun tidak lama,” gumamnya, “kau tampak sangat memedulikannya.”

Setiap kata Taeyong terasa seperti aliran listrik, meresap ke dalam dirinya, menggugah perasaan yang berusaha dia sembunyikan. Dia merasakan jantungnya berdetak lebih cepat dan suara detak itu bersatu dengan hening di ruangan, menciptakan simfoni keraguan dan ketegangan. Jisoo mengepalkan tangan, jemarinya mengencang di atas dasi yang masih dia pegang. Kemarahan yang selama ini dia tekan mulai merayap ke permukaan. Taeyong, pria yang telah menghancurkan hidup Daisy, bertanya dengan nada ringan seolah-olah mereka hanya membicarakan cuaca. Kebencian mulai berkumpul di dadanya seperti api yang semakin lama semakin membakar.

“Apa kabar Daisy?” lanjutnya dengan suara ringan dan penuh makna. “Dia tak pernah membalas surat-suratku lagi.”

Jisoo menahan diri untuk tidak meremas dasi itu lebih keras. Matanya bergetar, napasnya semakin berat. Hatinya menggelegak, tapi saat ini bukan waktu yang tepat untuk menyerang. Dalam hati, Jisoo mengumpat. Dia ingin menghancurkan pria ini, membunuhnya dengan kedua tangannya sendiri. Pria ini tidak layak hidup setelah semua yang dia lakukan.

Apa kau hanya berpura-pura tidak tahu bahwa Daisy sudah mati? pikir Jisoo penuh kemarahan. Atau mungkinkah dia memang tidak tahu? Kematian Daisy adalah rahasia yang hanya diketahui segelintir orang—Hilda, Byeol, dan keluarga Count. Tapi apa benar Taeyong tidak mengetahui tentang kematian Daisy?

Dengan suara yang dipaksa tenang, dia akhirnya menjawab, “Nona Daisy baik-baik saja.”

Pria di depannya mengernyit, alisnya terangkat sedikit, seolah jawaban itu tidak sesuai dengan dugaannya. “Oh, benar begitu?” tanyanya pelan, menurunkan nada suaranya menjadi lebih tajam. “Apa dia memberimu kabar?”

Jisoo sengaja tidak menjawab, bibirnya tertutup rapat, dia berusaha mengendalikan emosinya yang mulai meletup. Tangannya yang tadi sibuk dengan dasi kini terhenti. Pekerjaannya sudah selesai, Jisoo siap melangkah mundur untuk mengambil jarak dari Taeyong.

Namun, saat dia hendak bergerak, pria itu dengan cepat meraih pergelangan tangannya. Cengkeramannya kuat meskipun tidak menyakitkan. Jisoo membeku seketika, matanya melebar dalam keterkejutan.

“Kenapa kau memilih bekerja di sini dan bukannya bersama Daisy?”

Pertanyaan itu meluncur seperti anak panah, menembus ketenangan Jisoo. Dia menelan ludah, berusaha menekan amarah yang hampir meluap. Seluruh tubuhnya menegang, setiap otot berkontraksi, tetapi wajahnya tetap dijaga tanpa ekspresi, seperti batu di tengah badai. “Karena saya butuh uang,” jawabnya dengan suara tenang yang berusaha menghalau gelombang emosi yang bergolak. Karena aku ingin membunuhmu!

Taeyong mendekatkan wajahnya sedikit, matanya membelalak seakan meneliti reaksi Jisoo dengan lebih dalam. “Uang?” Senyum kembali terbit di sudut bibirnya, senyuman yang menciptakan kesan misterius dan menggoda. “Kau butuh uang?”

“Semua orang butuh uang, Tuan,” Jisoo berkata, suaranya sedikit lebih tenang meskipun jiwanya masih bergetar. “Begitu pun saya.”

Tatapan Taeyong berubah, dingin seperti angin malam yang menerpa kulit tanpa ampun. “Berapa banyak yang kau butuhkan?”

Kebingungan menyergap Jisoo. Apa maksudnya? Kenapa tiba-tiba bertanya soal uang? Detak jantungnya bertambah cepat, terasa memukul keras di dadanya.

Taeyong menatapnya tanpa berkedip, matanya tajam seperti pisau yang tengah mencari celah. “Kenapa kau diam saja, Nona Baek?”

Terjebak dalam kebisuan, Jisoo akhirnya menyebutkan angka yang cukup besar walaupun dia tahu nominal itu mungkin tak sebanding dengan kekayaan pria ini. “Sepuluh libur lira emas.”

Senyum tipis muncul di sudut bibir Taeyong, bukan senyum hangat, melainkan senyum dingin yang penuh sindiran “Itu sedikit sekali,” katanya. “Aku bisa memberimu uang sebanyak itu, bahkan lebih, kalau itu yang kau inginkan.”

Jisoo semakin tak mengerti ke mana arah percakapan ini. Dia tidak membutuhkan uang dari Taeyong—itu bukan tujuannya. Meski uang itu mungkin bisa membantunya membeli identitas baru setelah misinya selesai, setelah dia membunuhnya.

“Saya tidak membutuhkan uang Anda, Tuan,” jawabnya hati-hati, berusaha terdengar sopan. “Tolong, jangan khawatirkan masalah saya, dan ....” Jisoo menarik napas dalam, berusaha menjaga kontrol diri. “Lepaskan tangan saya.”

Untuk sesaat, mata Taeyong menelusuri wajah Jisoo, mencari sesuatu yang tak terucap. Ketegangan menggantung di udara, membuat setiap detik terasa seperti selamanya. Akhirnya cengkramannya melonggar, tangan pria itu terlepas dari lengan Jisoo.

Namun, sebelum dia sempat berbalik, Taeyong berkata pelan, tapi penuh tekanan, “Pikirkan tawaranku. Jangan terburu-buru menolaknya.”

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top