Chapter XLVIII: War of heart 5.0

Sinar matahari siang merembes masuk melalui jendela kecil di sudut penginapan, menyorot debu-debu yang melayang di udara pengap. Di dalam kamar yang sederhana, tiga orang tampak duduk di sekitar meja kayu. Meja itu dipenuhi dengan peta Kota Tarrin, beberapa catatan kecil, dan selembar kertas berisi informasi terbaru yang mereka terima dari guild informasi.

Nilo, Leah, dan Hwan duduk mengelilingi meja itu, wajah mereka penuh dengan kebingungan. Ketiganya terdiam sejenak, seolah masing-masing sedang memutar otak mencari solusi. Misi yang awalnya mereka kira sederhana kini terasa semakin rumit setelah mengetahui bahwa gadis yang harus mereka bawa, Jisoo, ternyata berada di bawah perlindungan seorang pria yang sangat berpengaruh: Taeyong Antoine Han.

Leah menatap dokumen di tangannya dengan kerutan di dahi. Jari-jarinya yang ramping mengetuk pelan permukaan meja, menciptakan irama kecil yang memecah kesunyian di dalam ruangan. Wajahnya menunjukkan tanda-tanda frustrasi, tapi juga ada ketenangan yang mengesankan bahwa dia sedang mencoba menganalisis situasi.

Di sisi lain, Nilo duduk bersandar dengan tangan menyilang di dada. Wajahnya tampak tak sabar dan kesal, alisnya berkerut tajam, sementara kakinya bergoyang-goyang tak tenang di bawah meja. Hwan, yang duduk di samping Leah, terlihat lebih tenang dan serius meskipun matanya yang menyipit menunjukkan bahwa dia juga tak bisa mengabaikan kesulitan yang akan mereka hadapi.

Nilo dengan rambut hitam berantakan dan wajah yang selalu terlihat kurang puas, akhirnya membuka suara “Jadi, bagaimana kalau kita langsung mendatangi gadis itu dan membawanya pergi?” ujarnya dengan nada tidak sabar, matanya memandang kedua rekannya bergantian seolah menantang mereka untuk membantah.

Hwan langsung menggelengkan kepala, memasang ekspresi skeptis sambil melipat kedua tangan di meja. “Apa kau lupa dengan informasi yang diberikan oleh guild?” sahutnya sambil melirik ke arah pria itu dengan heran. “Taeyong Antoine Han, yang melindungi gadis ini, bukan orang sembarangan. Dari informasi yang kita dapat, dia sangat terobsesi pada gadis itu. Tidak akan mudah untuk membawanya pergi tanpa menarik perhatiannya. Kalau kita gegabah, kita bisa saja langsung berakhir di dasar danau.”

Nilo mendengus frustrasi, jemarinya mengetuk-ngetuk meja kayu usang di depan mereka dengan gelisah. “Jadi menurutmu kita harus menunggu di Tarrin tanpa melakukan apa-apa?” Matanya menyapu Leah dan Hwan dengan tatapan tajam. “Apa kau pikir aku bisa sesabar itu? Dan jangan lupa, ketua akan tiba di Tarrin dalam waktu dekat ini. Dia pasti akan marah jika mengetahui kita hanya duduk diam dan tidak melakukan apa pun.”

Leah yang duduk di seberang meja, hanya menggelengkan kepala dengan ekspresi datar. “Tidak. Ketua tidak akan tiba dalam waktu dekat,” jawabnya tetap tenang. “Jika ketua tidak terjebak badai, dia akan tiba di Tarrin dalam waktu sekitar dua minggu. Tapi kalau badai menghantam, perjalanan akan memakan waktu lebih lama. Mungkin sampai satu bulan baru dia tiba di sini.”

“Itu berarti kita memiliki waktu untuk merencanakan dengan matang,” timpal Hwan sambil mengetukkan jarinya pada beberapa titik di peta Kota Tarrin. “Buru-buru mendekati gadis iru tanpa strategi yang jelas hanya akan membuat kita dalam bahaya.”

Nilo yang tampak semakin tak sabar, menggeram kesal sambil memandang Hwan dan Leah dengan tatapan memberontak. “Kalau begitu, kita culik saja orangnya. Datang, ambil, dan langsung kabur sebelum mereka sadar,” ujarnya sambil mengayunkan tangannya di udara, seolah-olah rencana tersebut semudah membalikkan telapak tangan.

Leah mengangkat kepalanya dari dokumen yang sedari tadi diperhatikannya dengan seksama. Pandangannya langsung berubah tajam, melotot pada Nilo dengan intensitas yang membuat pria itu agak terdiam. “Gunakan otakmu untuk berpikir, Nilo!” serunya tajam. “Kita tidak bisa asal menculik seseorang, terutama ketika orang itu memiliki hubungan dengan Han.”

“Dan memangnya kenapa? Kita hanya menjalankan misi. Ketua kita menginginkan gadis itu bersama kita. Apakah kita harus takut hanya karena dia berada di bawah perlindungan keluarga Han?” sahutnya semakin tak sabar.

“Astaga, Nilo, kau benar-benar tidak paham, ya? Apa kau lupa kalau ketua dan Dabin Han memiliki hubungan kerja sama yang cukup baik?” katanya sambil menatap pria termuda di antara mereka lurus-lurus, berharap penjelasannya bisa menembus ketebalan kepalanya itu. “Jika kita melakukan sesuatu yang bodoh di kediaman Han dan keluarga itu mengetahui bahwa kita adalah bawahan Macallister, maka hubungan mereka bisa rusak. Dan percayalah, Dabin Han bukan orang yang akan dengan mudah memaafkan.”

Hwan mengangguk setuju, menambahkan penjelasan Leah dengan nada lebih tenang. “Leah benar, Nilo. Kita tidak bisa asal menculik seseorang dari kediaman Han. Jika Dabin Han mengetahui siapa kita, maka hubungan baiknya dengan ketua bisa hancur. Bukan hanya misi kita yang gagal, tapi juga masa depan organisasi kita yang dipertaruhkan.”

Nilo mendesah keras, lalu mengacak-acak rambutnya dengan frustrasi. “Kenapa rasanya sesulit itu untuk mendekati satu gadis biasa?” keluhnya.

Hwan dan Leah saling bertukar pandang, seolah berbagi pemahaman yang hanya mereka berdua yang mengerti. Mereka tahu bahwa Nilo adalah tipe orang yang lebih suka bertindak cepat dan langsung. Dia bukan orang yang terbiasa menghadapi misi yang membutuhkan perencanaan matang dan hati-hati. Namun, kali ini mereka berdua harus bersikap hati-hati. Ini bukan misi biasa.

Misi yang awalnya mereka anggap sederhana ternyata jauh lebih rumit daripada yang mereka bayangkan. Pada awalnya, ketiganya percaya bahwa ini hanyalah tugas mudah: menemui seorang gadis bernama Jisoo dan membawanya kembali kepada ketua mereka, Arden Macallister. Namun, segalanya berubah saat mereka mengetahui bahwa Jisoo kini berada di bawah pengawasan ketat Taeyong Antoine Han, putra sulung dari keluarga Han—keluarga yang kekuasaan dan pengaruhnya hampir menyamai kerajaan yang telah tumbang.

Keluarga Han bukanlah keluarga biasa. Mereka memiliki kekuatan finansial dan jaringan yang sangat luas, yang memungkinkan mereka mengendalikan banyak sektor dalam pemerintahan dan bisnis. Dabin Han, kepala keluarga, dikenal sebagai sosok yang tak hanya licik dan manipulatif, tetapi juga memiliki reputasi sebagai “raja bisnis” dengan kendali atas ratusan perusahaan. Keberadaan keluarga Han di puncak kekuasaan telah menjadikan mereka hampir setara dengan keluarga kerajaan, bahkan saat kerajaan perlahan kehilangan cengkeramannya.

Di bawah bayang-bayang kekuasaan keluarga Han, misi ini berubah menjadi sesuatu yang penuh risiko, di mana kesalahan sekecil apa pun bisa berakibat fatal.

“Aku tidak tahu orang seperti apa putra pertama Dabin Han itu,” gumam Leah dengan tatapan serius. “Tapi berdasarkan informasi dari guild, dia dikenal licik dan kejam. Sepertinya dia sangat berbeda dari putra kedua Dabin Han, si Noah.”

Nilo menatap Leah dengan alis terangkat, merasa sedikit terkejut. “Kau pernah bertemu Dabin Han, bukan?” tanyanya, suaranya penuh rasa penasaran.

Leah mengangguk pelan, sorot matanya menerawang, kembali pada momen saat ia dan Hwan menemani ketua mereka, Arden Macallister, dalam pertemuan bisnis dengan Dabin Han. Dia menarik napas dalam, mengingat dengan jelas suasana pertemuan itu—ruangan mewah yang penuh ornamen emas dan kayu mahoni, aroma dupa yang halus namun menusuk, serta tatapan dingin Dabin Han yang penuh kalkulasi. Pria itu memiliki aura luar biasa, nyaris mengintimidasi. Tatapan matanya dingin, seolah-olah setiap orang yang berada di sekitarnya hanyalah pion yang bisa dia mainkan sesuka hati.

“Ya, aku pernah bertemu dengannya,” jawabnya sambil mengingat kembali setiap detail dari pertemuan tersebut. “Dabin Han bukan orang biasa. Caranya memandang seperti dia bisa menelanjangi pikiranmu, menghitung harga dan nilai setiap orang di ruangan itu dengan satu tatapan.” Leah berhenti sejenak, wajahnya berubah serius. “Dan Taeyong ... jika dia memang sesuai seperti yang dikatakan oleh guild informasi, maka bisa dipastikan dia bukan orang yang mudah dihadapi. Seperti ayahnya, mungkin bahkan lebih berbahaya.”

“Aku ingat betul bagaimana Dabin Han memperlakukan ketua kita dengan begitu penuh perhitungan. Ada kehormatan di antara mereka, tapi juga ketegangan yang samar,” ujar Hwan kembali mengingat momen itu. “Itulah sebabnya kita harus sangat hati-hati dalam menangani masalah ini. Jika kita bertindak gegabah dan malah memicu konflik dengan keluarga Han, hubungan ketua dengan mereka bisa rusak dan konsekuensinya akan jauh lebih besar daripada yang kita bayangkan.”

Nilo yang duduk di seberang Hwan, meremas jemarinya dengan kesal, wajahnya menampakkan ketidakberdayaan bercampur frustrasi. Misi yang awalnya terlihat sederhana kini menjelma jadi tugas yang penuh intrik, setiap informasi yang muncul malah menambah tingkat kesulitan yang harus mereka hadapi. Dia menghela napas panjang, matanya tajam menatap meja kayu yang dipenuhi peta dan catatan.

Leah tersenyum tipis, tapi senyum itu sama sekali tidak menunjukkan kebahagiaan. “Keluarga Han... memang tak heran mereka disebut keluarga terkaya dan paling terhormat di Tarrin,” ujarnya.

“Berbicara soal putranya. Aku pernah bertemu putra kedua Dabin, Noah. Dia sangat berbeda dari apa yang kita dengar tentang Taeyong. Noah tampak lebih lembut, lebih ramah, dan sepertinya tidak punya kecenderungan kekerasan seperti yang kita dengar tentang Taeyong,” kata Hwan.

Nilo yang semula terdiam, memandang Hwan dengan mata penuh minat. “Lalu, apakah Noah bisa membantu kita mendekati Jisoo?”

Hwan menggeleng perlahan, tampak ragu. “Aku tidak yakin. Noah mungkin memiliki kepribadian yang lebih lembut, tapi itu bukan berarti dia bisa kita manfaatkan. Dan lagi, dia adalah bagian dari keluarga Han. Aku tidak ingin meremehkan siapa pun yang berasal dari keluarga sebesar itu.”

Leah menatap kedua rekannya, lalu menyuarakan pemikirannya. “Dengar, kita di sini bukan untuk mencari masalah dengan keluarga Han, kita di sini untuk menyelesaikan tugas kita. Yang perlu kita lakukan adalah menemukan cara untuk membawa Jisoo tanpa melibatkan mereka atau setidaknya tanpa menarik perhatian Taeyong. Semakin sedikit interaksi kita dengan mereka, semakin baik.”

Mereka bertiga saling bertukar pandang dan sejenak suasana kamar terasa semakin mencekam. Cahaya siang yang menembus tirai tipis hanya membuat bayangan di sekitar mereka tampak lebih gelap, menciptakan suasana yang berat dan menekan. Masing-masing dari mereka menyadari bahwa mereka tidak hanya berhadapan dengan misi biasa, tetapi juga berurusan dengan salah satu keluarga paling berkuasa di Tarrin. Keluarga Han, yang dikenal tidak kenal ampun terhadap siapa pun yang berani mengusik urusan mereka.

Sejenak keheningan menyelimuti mereka, sampai akhirnya Nilo menghela napas panjang, mencoba meredam emosinya. “Baiklah. Jadi, apa rencana kita selanjutnya?”

“Kita akan mulai dengan mengumpulkan informasi lebih lanjut tentang Jisoo dan kondisinya saat ini,” kata Leah dengan sorot mata serius. ”Kita akan mencari tahu sejauh mana Taeyong terlibat dalam hidupnya dan mungkin, kita bisa menemukan celah untuk mendekati Jisoo tanpa terlalu mencolok."

Hwan mengangguk setuju. “Aku bisa menghubungi beberapa kontak di guild informasi. Mereka mungkin punya orang dalam yang bekerja dekat dengan keluarga Han atau setidaknya punya akses untuk mengamati kegiatan sehari-hari Jisoo dan Taeyong,” ujarnya, menjelaskan langkahnya. “Kalau kita tahu kapan Jisoo mungkin sendirian atau setidaknya di luar pengawasan ketat Taeyong, kita bisa mencoba mendekatinya tanpa menarik perhatian yang tak diinginkan.”

Nilo terlihat lebih tenang meski masih ada bayangan frustrasi di wajahnya. Dia menyisir rambut hitamnya dengan kasar, mencoba meredam sisa-sisa kekesalan yang masih mengendap. “Semoga saja rencana ini berhasil,” gumamnya. “Aku tidak mau membayangkan apa yang akan terjadi jika keluarga Han tahu kita mencoba mengambil gadis itu.”

“Itu sebabnya kita harus sangat hati-hati,” jawab Leah, matanya memancarkan keyakinan. “Ini bukan misi biasa. Keluarga Han memiliki mata dan telinga di seluruh Tarrin. Sekali kita melakukan kesalahan, bukan hanya kita yang terancam, tapi juga ketua kita, Arden Macallister. Risiko ini bukan main-main.”

Mendengar nama ketua mereka, Hwan dan Nilo sama-sama tersentak. Arden Macallister adalah satu-satunya alasan mereka berada di sini, sosok yang mereka hormati dan tak ingin kecewakan. Menyadari bahwa keselamatan ketua mereka bisa terancam jika mereka gagal, membuat ketiganya semakin berhati-hati.

Hwan menatap kedua rekannya dan berkata dengan suara mantap, “Kita harus bergerak cepat, tapi tanpa terburu-buru. Aku akan segera menghubungi kontak di guild. Leah, kau mungkin bisa memanfaatkan jaringan informasi lokal untuk mencari tahu aktivitas Taeyong sehari-hari. Semakin banyak informasi yang kita miliki, semakin besar peluang kita untuk berhasil.”

Leah mengangguk dan Nilo yang masih terlihat frustasi akhirnya menghela napas panjang, seolah menerima bahwa tidak ada jalan pintas dalam misi ini. “Baiklah, aku akan membantu mengawasi setiap informasi yang masuk. Kalau ada peluang, kita harus siap bergerak cepat.”

Ketiganya saling mengangguk, memantapkan keputusan mereka. Misi yang tadinya terlihat sederhana kini berubah menjadi tantangan yang penuh risiko. Kota Tarrin yang penuh intrik dan rahasia menanti mereka dan setiap langkah harus dilakukan dengan hati-hati. Dengan suasana hati yang penuh tekad, mereka bersiap melangkah keluar dari kamar penginapan itu, membawa harapan bahwa kecerdikan dan kesabaran mereka cukup untuk menghadapi keluarga Han.

❛ ━━━━━━・❪ breaking her ❫ ・━━━━━━ ❜

Di bawah langit biru yang membentang luas, Jisoo dan Taeyong duduk berdua di sebuah bangku kayu yang terletak tepat di tepi danau. Udara siang itu terasa hangat dan angin sepoi-sepoi dari arah danau membuat suasana semakin nyaman. Permukaan Lotus Lake yang tenang berkilauan terkena cahaya matahari, menciptakan refleksi indah yang seolah-olah ada ribuan bintang kecil bertebaran di atas air. Di sekitar tepi danau, bunga-bunga teratai yang sedang mekar menambah kesan magis. Kelopak-kelopaknya mengembang sempurna, membuat pemandangan yang hampir seperti lukisan, begitu anggun dan memukau.

Angin bertiup sepoi-sepoi, membelai lembut rambutnya yang tergerai. Jisoo mencoba menikmati keindahan di hadapannya, tapi tak bisa sepenuhnya merasa tenang. Duduk sedekat ini dengan Taeyong—pria yang selama ini membuatnya takut dan bingung—membuat hatinya berdebar tak menentu. Apalagi beberapa hari terakhir ini, sikapnya terasa berbeda. Dia jauh lebih perhatian, lebih lembut, tidak pernah memaksa, bahkan suaranya ketika berbicara terdengar tidak biasa. Sesuatu yang sulit diterima Jisoo setelah semua ancaman dan sikap dingin yang pria itu tunjukkan padanya.

Taeyong yang duduk di sampingnya dengan sikap santai, tampaknya menikmati kedekatan ini dengan caranya sendiri. Satu tangannya terkulai di sandaran bangku, sementara matanya sesekali melirik ke arah Jisoo. Sesekali pria itu menatapnya dengan senyuman tipis yang membuat Jisoo semakin tidak tenang.

Sejujurnya, Jisoo menyukai suasana dan lokasi mansion ini. Tempat ini begitu tenang, jauh dari keramaian kota, dan terasa nyaman hampir seperti tempat persembunyian yang sempurna dari hiruk-pikuk dunia luar. Hatinya sedikit terpesona oleh keindahan alam di sekitar mansion, terutama Lotus Lake yang tampak begitu memikat dengan hamparan bunga teratai di permukaannya, memberikan sentuhan keindahan yang magis.

Namun, di balik decak kagumnya, Jisoo tetap tidak bisa menyingkirkan rasa waspada yang ada di dalam dirinya. Matanya yang awalnya terfokus pada keindahan danau perlahan beralih, mulai menelusuri setiap sudut taman, pagar tinggi yang mengelilingi area mansion, serta letak pintu-pintu dan lorong yang mungkin bisa dijadikan jalan keluar. Dia diam-diam memetakan tempat ini dalam benaknya, mengamati lokasi yany sekiranya bisa dijadikan jalur pelarian jika suatu saat dia memutuskan untuk melarikan diri dari sini.

Ketenangan dalam hatinya perlahan berubah menjadi kegelisahan, seiring dengan perasaan terbelenggu yang merayap di dalam dirinya. Tempat ini memang indah dan damai, tapi keindahan itu hanya mempertegas bahwa mansion ini adalah penjara megah yang tak mudah dia tinggalkan.

“Kau menikmati pemandangannya?” tanya Taeyong tiba-tiba, mengejutkannya.

Jisoo sedikit tersentak, terkejut karena perhatian pria itu ternyata tertuju padanya. Dia menoleh dan menemukan Taeyong menatapnya dengan senyum tipis yang seolah menyiratkan bahwa dia tahu lebih banyak daripada yang Jisoo duga. “Uh, ya. Tempat ini sangat indah. Damai sekali,” katanya pelan, berusaha mengalihkan perhatiannya dari tatapan tajam Taeyong.

Namun, senyum di wajah pria itu semakin melebar, menyeringai dengan cara yang membuat Jisoo merasa seperti seorang anak kecil yang tertangkap sedang berbuat nakal. “Atau mungkin,” ucapnya dengan nada sedikit mengejek, “kau sedang mencari jalan untuk melarikan diri lagi?”

Ucapan itu membuat Jisoo membeku sejenak, perasaannya seolah ditelanjangi oleh pria di sampingnya. Dia tak menyangka Taeyong akan menyadari niat tersembunyinya. Tatapan pria itu yang penuh percaya diri membuatnya merasa tertangkap basah, seperti anak kecil yang ketahuan berbuat kesalahan. Dia mencoba mengumpulkan keberanian untuk membalas, meski dalam hati dia tahu dirinya mungkin tampak defensif.

“Kenapa kau selalu berpikir aku akan melarikan diri?” tanyanya, suaranya sedikit gemetar meskipun berusaha terdengar santai.

Taeyong tak langsung menjawab. Sebaliknya, dia bergerak mendekat hingga jarak di antara mereka terasa begitu tipis. Matanya, yang gelap dan dalam, menatap Jisoo dengan intensitas yang membuat napasnya sedikit tertahan. “Karena itulah yang selalu kau pikirkan,” jawabnya datar, seolah tidak memberi ruang untuk penyangkalan. “Dan jangan pernah bermimpi lagi untuk melarikan diri kedua kalinya dariku.”

Detak jantungnya semakin cepat, rasa cemas merayap di balik sikap tenangnya. Tapi dia berusaha keras menahan diri agar tidak terlihat gentar meskipun di balik topeng ketenangannya, ada rasa takut yang mulai muncul. “Bagaimana kalau ... kalau aku menemukan jalan dan berhasil melarikan diri lagi?” tantangnya agak ragu-ragu.

Taeyong tersenyum kecil, sebuah senyum yang justru membuat bulu kuduk Jisoo meremang alih-alih merasa nyaman. Pria itu memiringkan kepalanya sedikit, menatapnya dengan sorot mata tajam dan mendalam, seakan tatapan itu bisa menembus hingga ke dasar hatinya. Mata hitamnya seperti magnet yang penuh teka-teki, memerangkap Jisoo dalam pandangannya dan membuatnya sulit berpaling.

“Kalau begitu,” bisiknya lembut namun mengandung racun yang paling mematikan, “aku akan mengejarmu bahkan sampai ke ujung dunia sekalipun. Dan ketika aku berhasil mendapatimu lagi, aku akan memotong kedua kakimu supaya kau tak bisa melarikan diri lagi dariku.”

Kata-kata itu meluncur dengan pelan, tetapi setiap suku katanya bagaikan pisau yang menusuk perasaan Jisoo. Tubuhnya menegang, jantungnya berdebar keras di dalam dada. Matanya tak bisa lepas dari wajah Taeyong, seolah ingin memastikan bahwa apa yang dia dengar barusan bukanlah sebuah lelucon. Namun, dari ekspresi serius dan dingin di wajah pria itu, Jisoo tahu bahwa ancaman tersebut bukan sekadar omong kosong belaka. Taeyong pernah menunjukkan sisi kebrutalannya dan dia tahu betul pria ini tak segan untuk melakukan hal-hal yang menurutnya perlu, betapa pun kejamnya itu.

“Kau akan tetap menyukaiku bahkan setelah memotong kedua kakiku?” tanyanya mencoba memaksakan diri untuk bicara padanya.

Taeyong menatapnya lekat-lekat. Di matanya tak ada sedikit pun keraguan ataupun rasa bersalah. Tatapan itu penuh dengan tekad dan mungkin, sebuah kejujuran yang mencekam. “Aku akan selalu menyukaimu, Jisoo. Bahkan sekalipun kau cacat,” jawabnya datar, seakan pernyataan itu adalah hal yang paling alami di dunia.

Jawaban itu membuat Jisoo merasakan campuran ngeri dan takjub yang aneh. Ada rasa posesif yang begitu kuat dalam cara Taeyong memandangnya, seolah Jisoo adalah satu-satunya hal berharga di dunia ini yang tak boleh lepas dari genggamannya. Ini bukanlah cinta yang lembut atau penuh perhatian; ini lebih menyerupai obsesi gelap dan mengikat. Sebagian dari dirinya merasa bahwa ketertarikan pria ini adalah sesuatu yang tak bisa diabaikan begitu saja, tetapi di sisi lain, sikap ini begitu menakutkan dan mencekam, seakan-akan dia sedang berhadapan dengan seekor monster yang mengerikan.

“Obsesimu itu ... menyeramkan, Taeyong,” gumamnya lirih, hampir seperti bisikan yang terhempas oleh angin, tetapi cukup jelas untuk didengar.

Taeyong tertawa kecil, tawa itu begitu pelan namun sarat kepuasan, seolah menikmati ketakutan yang tersirat dalam suara Jisoo. “Bukan obsesiku yang menyeramkan, tapi dunia yang kita tinggali,” jawabnya tanpa mengalihkan pandangan darinya. “Aku tidak akan membiarkan siapa pun atau apa pun menyakitimu. Dan kalau aku harus menjadi monster demi itu, maka aku akan melakukannya.”

Jisoo terdiam, merasakan dirinya sedang terjebak di antara dua emosi yang berlawanan. Di satu sisi, dia takut—takut akan obsesi gelap yang Taeyong tunjukkan padanya, takut pada kemungkinan bahwa pria ini akan benar-benar melaksanakan ancamannya jika dia mencoba kabur lagi. Namun, di sisi lain, ada rasa aman aneh yang menyelinap di dalam dirinya. Meskipun tahu Taeyong adalah sosok yang berbahaya, kehadiran pria itu memberikan semacam perlindungan, sesuatu yang sulit dia temukan di dunia yang penuh dengan tipu muslihat dan kebohongan.

Perasaan rasa aman itu mungkin tumbuh dalam dirinya, sejak dia pernah menyelamatkannya. Buru-buru Jisoo menggelengkan kepala, menyangkal apa yang baru saja dia pikirkan.

Angin sore berhembus membawa aroma danau yang segar dan sedikit lembab. Lotus Lake terhampar di hadapan mereka, permukaannya tenang dan damai, menciptakan pemandangan yang kontras dengan badai yang berkecamuk di dalam hati Jisoo. Sejenak, mereka hanya duduk dalam keheningan, sementara matahari perlahan turun di balik cakrawala mewarnai langit dengan semburat oranye dan ungu.

Jisoo menggigit bibirnya, matanya tertuju lurus ke depan pada permukaan danau yang tenang. Dia berusaha menghindari tatapan pria di sampingnya, tatapan yang terasa begitu intens dan menguasai. Suasana di sekitar mereka begitu damai dengan angin sepoi-sepoi yang menerpa lembut wajahnya dan aroma segar danau yang menenangkan. Namun, perasaan di hatinya justru jauh dari tenang, kecanggungan dan kebingungan berkecamuk, membentuk simpul-simpul perasaan yang sulit diurai.

Setelah beberapa saat, Jisoo akhirnya memberanikan diri untuk berbicara meskipun suaranya terdengar lebih seperti bisikan yang hanya dimaksudkan untuk dirinya sendiri. “Taeyong ...,” dia berdeham pelan, mencoba meneguhkan hatinya, lalu melanjutkan, “kenapa kau begitu berlebihan terhadapku? Aku hanyalah wanita biasa. Masih ada banyak wanita di luar sana yang bisa kau miliki.”

Taeyong tidak segera menjawab. Pandangannya teralihkan ke danau di hadapannya, seolah mencari jawaban di tengah ketenangan air yang memantulkan cahaya matahari sore. Wajahnya tampak lebih lembut dari biasanya dan untuk sejenak, Jisoo bisa merasakan ketegangan yang biasanya terpancar dari sosoknya perlahan mereda.

“Kenapa aku harus mencari wanita lain jika aku sudah memiliki dirimu?” ucapnya akhirnya. “Tidak peduli siapa dirimu, jika aku memilihmu, maka pilihanku akan tetap ada pada dirimu.”

Jisoo mengerutkan kening, tidak sepenuhnya mengerti maksud di balik kata-katanya. Dalam hatinya, dia mempertanyakan apakah “pilihan” yang dimaksud oleh pria itu benar-benar didasarkan pada perasaan tulus atau hanya obsesi semata. “Memilih, ya ... itu lebih terdengar seperti kau memaksakan pilihanmu padaku,” katanya dengan nada skeptis. Dia kemudian memberanikan diri untuk menatap pria di sampingnya, mencari kejujuran yang tersembunyi di balik tatapan tajamnya.

Taeyong menoleh, menatapnya langsung, dan untuk sesaat, Jisoo melihat sesuatu yang hampir lembut di balik sorot matanya yang biasanya keras dan tak kenal ampun.

“Jika aku tidak melakukan semua itu, Jisoo, aku yakin kau tidak akan pernah datang kepadaku,” katanya pelan, suaranya berbisik lembut, seolah kalimat itu hanya untuk mereka berdua. “Karena itu, kau harus menjadi milikku. Dan apa pun akan kulakukan untuk mendapatkannya.”

Jisoo terdiam, kata-kata itu membuatnya terpaku, seakan tubuhnya terbelenggu oleh pernyataan Taeyong yang begitu mendalam. Dia sudah beberapa kali mendengar pengakuan pria itu tentang betapa besar dan intens perasaannya, tapi setiap kali mendengarnya, pernyataan itu selalu saja membuatnya bergidik.

Namun, di tengah rasa ngeri dan takjub, Jisoo tetap belum sepenuhnya yakin dengan perasaannya sendiri. Ada kebingungan yang terus berkecamuk dalam dirinya. Meskipun Taeyong memberinya perhatian yang begitu mendalam, pria ini tetap menjadi ancaman terbesar bagi kebebasan yang selama ini diimpikannya.

“Lalu ... jika aku tetap mencoba melarikan diri?” Nada suaranya tidak menantang, tetapi lebih seperti sebuah ujian, ingin mengetahui seberapa jauh kesungguhan pria di hadapannya ini.

Untuk sesaat, dia terdiam sambil menatapnya. Ada kerutan tipis di dahinya saat sedang mempertimbangkan dengan serius setiap kata yang akan diucapkannya. Setelah beberapa detik, Taeyong menghela napas pelan, lalu mengulurkan tangannya, menggenggam tangan Jisoo.

“Maka aku akan terus mengejarmu," jawabnya, sama seperti sebelumnya. “Sampai kau lelah berlari dan akhirnya mengerti bahwa tidak ada tempat di dunia ini yang lebih aman daripada berada di sisiku.”

Genggaman tangannya menguat seiring dengan kata-katanya dan Jisoo merasakan ada kehangatan sekaligus tekanan yang membuat hatinya berdebar tak menentu. Dia ingin menarik tangannya, tapi sesuatu dalam mata Taeyong, sesuatu yang tak terdefinisikan, menahannya untuk tetap di sana.

Menjawab pertanyaan, kenapa taeyong di chapter sebelumnya dibikin “nakal” sama cewek lain.

Hmm, menyesuaikan latar, sifat, dan pergaulannya. Kan sudah dijelaskan si tuan han ini orangnya kayak gimana dan pergaulannya kayak apa. Jadi, gak mungkin dia “bersih” apalagi dia sama teman-temannya sering main sama “kelinci”. Terus dia juga sering kasih “tantangan begituan” sama semua mantan-mantan tunangannya. Jadi, paling tidak, dia pernah main meskipun hanya sebatas “bj” enggak sampai “boombayah”.

Kasus si Tuan Han ini beda sama kasusnya si Hunter. Soalnya si Hunter punya “Hayden” yang bisa stop si “Hunter”—ini termasuk spoiler cerita sebelah bagi yang nggak baca. Nah, kalau si Tuan Han enggak punya sosok “Hayden” dia punyanya si Nona Baek, itupun mereka kudu ketemu dan interaksi dulu.

Soalnya kalau kubuat si Tuan Han ini bersih total, gak main-main kesannya justru karakter dia bersih, yang di kehidupan nyata sangat tidak mungkin dengan kehidupan seperti itu.

Maka kubuatlah karakter si Tuan Han nggak bersih, dia tetap nakal dengan caranya sendiri, tapi enggak sampai boombayah. Nanti ada chapter penjelasannya, tapi di buku kedua 🫢

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top