Chapter XLVII: War of heart 4.0

Keheningan di ruangan itu pecah oleh ketukan pelan di pintu. Benjamin muncul di ambang pintu, diikuti oleh seorang dokter tua yang membawa tas medis hitam. Dokter itu tampak sedikit gugup, langkahnya terasa ragu ketika memasuki ruangan dan mendapati Taeyong menatapnya dengan sorot mata dingin dan tak bersahabat. Tanpa menunggu perintah lebih lanjut, dokter tersebut segera mendekati ranjang, meletakkan tasnya dengan hati-hati di samping, dan mulai membuka tas itu untuk mengeluarkan peralatan medisnya.

Namun, ketika sang dokter mengulurkan tangan hendak menyentuh pergelangan tangan Jisoo untuk memeriksa denyut nadinya, Taeyong langsung menghentikannya dengan satu gerakan tegas. Tangan Taeyong terulur, menahan dokter itu dengan ekspresi tajam dan sikap protektif yang tak biasa.

“Jangan menyentuhnya sembarangan,” desisnya dengan nada peringatan. “Jika kau membuatnya terluka lebih parah atau membangunkannya dari tidurnya, kau akan berurusan denganku.”

Dokter itu menelan ludah seketika, wajahnya memucat panik dan tampak gugup, tapi dia berusaha mempertahankan ketenangan. “T-tentu, Tuan. Saya akan berhati-hati,” jawabnya sambil berusaha mengendalikan tangannya yang gemetar. “Nona ini tampaknya sangat kelelahan dan mengalami beberapa cedera serius. Saya hanya perlu memastikan kondisinya stabil.”

Setiap gerakan dokter itu diperhatikan dengan saksama oleh Taeyong. Tatapannya tajam seperti elang yang siap menerkam kapan saja jika dokter itu melakukan sesuatu yang tidak sesuai dengan kehendaknya. Dia berdiri tegak di samping ranjang, kedua lengannya terlipat di depan dada, dan memancarkan aura ancaman yang membuat suasana di ruangan itu semakin tegang. Benjamin yang berdiri di dekat pintu, memperhatikan dengan cemas, tak berani bergerak atau mengeluarkan suara sedikit pun.

Setelah beberapa saat, Ronald—sang dokter—selesai memeriksa luka-luka Jisoo dengan teliti. Dia menghela napas lega, lalu bergumam sambil membereskan peralatannya, “Nona ini sangat beruntung. Sepertinya dia diberkati oleh Dewi Pelindung. Dengan luka-luka seperti ini, masih bisa bertahan—”

“Keberuntungan?” sahut Taeyong sinis. “Menurutmu ini keberuntungan, Dokter? Sementara dia babak belur, dibiarkan sendirian melawan tiga pria brengsek itu? Apa yang beruntung dari keadaan seperti ini?”

Ronald terkejut mendengar nada keras dari Taeyong. Dia menatap pria itu dengan wajah bingung, merasa terpukul oleh ledakan emosi yang tiba-tiba. “M-maaf, Tuan,” katanya terbata-bata, suaranya gemetar di bawah tatapan matanya yang tajam. “Yang saya maksud bukan keberuntungan dalam arti seperti itu ... tapi mungkin ada alasan lain ....”

Taeyong menyipitkan mata, ekspresinya berubah makin dingin. “Aku tidak peduli dengan maksud-maksudmu yang rumit,” balasnya. “Lakukan saja tugasmu dan hindari bicara omong kosong.”

Ronald menelan ludah, wajahnya memucat kemudian. Namun, dia tahu ada hal yang tak bisa diabaikan begitu saja dan jika tidak disampaikan sekarang, konsekuensinya bisa lebih buruk. Dia menarik napas dalam mencoba mengumpulkan keberanian, lalu menundukkan kepala sedikit, berharap mendapatkan simpati meski hanya secuil.

“Maafkan saya, Tuan. Tapi ini sangat penting untuk kondisi Nona Baek,” katanya dengan suara yang gemetar namun dipaksakan tegas. “Saya harus memberitahukan ini demi kesehatannya.”

Sejenak Taeyong terdiam. Sorot matanya masih dingin, tapi ada sesuatu yang meresap perlahan membekukan amarahnya untuk sesaat. Dia mendengus pelan sebelum akhirnya memberi anggukan kecil yang menunjukkan persetujuannya. Ekspresi wajahnya masih menunjukkan ketidaksabaran, tapi setidaknya dia bersedia mendengar.

“Baiklah,” katanya singkat. “Kita bicara di luar.”

Dengan satu pandangan terakhir pada Jisoo yang masih tertidur di atas ranjang, Taeyong langsung berbalik dan melangkah keluar kamar. Benjamin yang berdiri di ambang pintu segera menggeser tubuh, memberi jalan bagi Taeyong dan sang dokter. Begitu pintu kamar tertutup, mereka bertiga kini berdiri di lorong yang sepi.

Dokter tua itu menundukkan kepalanya sejenak, tengah menimbang-nimbang kata-katanya sebelum akhirnya mengangkat pandangannya, menatap Taeyong dengan sorot mata yang serius meski masih diliputi ketakutan. Tangannya sedikit gemetar saat mengusap tengkuknya, mencoba meredakan ketegangan yang membuat dadanya berdebar.

Taeyong menunggu tanpa mengucapkan sepatah kata pun, hanya memandang dokter itu dengan tatapan menuntut, seolah-olah dia tak memiliki kesabaran sedikit pun untuk basa-basi. “Jadi, apa yang ingin kau katakan?” desaknya, setiap kata terdengar dingin dan terkontrol, mengisyaratkan bahwa dia tidak menginginkan jawaban setengah-setengah.

Sang dokter menelan ludah, merasa gugup di bawah tatapan tajam Taeyong yang tampak tak sabar. Dia menundukkan pandangan sejenak, mengambil napas panjang sebelum berbicara. “Nona Baek mengalami banyak luka dalam dan luar. Cedera di bagian rusuk dan pergelangan tangannya cukup serius dan beberapa luka tampaknya akibat trauma tendangan,” jelasnya dengan nada pelan namun terukur. “Sejujurnya, kalau bukan karena daya tahan tubuhnya yang luar biasa, mungkin luka-luka itu sudah membawa dampak fatal.”

Taeyong mengangguk singkat, tatapan matanya sedikit melunak. “Dan?”

Dokter menghela napas pelan, merasa sedikit lega karena Taeyong belum meledak. “Yang membuat saya heran adalah meskipun tubuhnya berada di bawah tekanan fisik yang begitu besar, dia masih bertahan dengan kondisi sekuat ini. Itu bukan hal yang biasa,” lanjutnya dengan nada penuh kekaguman, tapi buru-buru meluruskan ucapannya ketika melihat alis Taeyong yang terangkat. “Saya hanya bermaksud ... Nona Baek jelas memiliki kekuatan luar biasa untuk tetap hidup dalam keadaan seperti itu.”

Taeyong mendengus kecil, seolah tak peduli pada pujian itu. Ekspresinya tetap dingin, datar, dan sulit ditebak. “Aku tidak butuh pujianmu untuknya,” ucapnya dingin. “Katakan saja langsung apa yang perlu kulakukan untuk membuatnya pulih.”

Sang dokter tampak sedikit terkejut oleh nada tajam itu, tapi dia mengangguk patuh. “Baik, Tuan. Saya akan memastikan Nona Baek mendapatkan perawatan dan obat-obatan terbaik untuk pemulihannya. Tapi—” Dia terhenti sejenak, wajahnya menunjukkan keraguan yang tiba-tiba.

Alis Taeyong berkerut, tatapan tajamnya kembali memancarkan ketidaksabaran. “Apa lagi?” desaknya dengan suara yang mulai penuh dengan kecurigaan.

Ronald lagi-lagi terlihat gugup. Dia melirik Taeyong sejenak, lalu mengalihkan pandangannya kembali ke lantai, seolah takut mengatakan hal yang salah. Dengan ragu-ragu, dia menarik napas dalam, sebelum berbicara dengan hati-hati, “Ada sesuatu yang mungkin Tuan perlu ketahui tentang kondisi Nona Baek.”

Ketidaksabaran di wajah Taeyong semakin terlihat. Matanya menyorot tajam, hampir menuntut jawaban. “Katakan saja, tanpa perlu berputar-putar,” ucapnya tegas, seperti sebuah cambukan.

Sang dokter tampak menelan ludah, kemudian berbicara dengan nada serius. “Nona Baek ... dia ... dia tampaknya sedang mengandung. Berdasarkan tanda-tanda awal yang saya periksa, dia mungkin berada di awal masa kehamilannya.”

Sejenak waktu di sekitarnya seakan berhenti. Suasana yang semula sudah tegang kini berubah menjadi keheningan yang begitu mencekam. Taeyong terdiam, matanya menatap sang dokter dengan tatapan kosong, seolah mencoba mencerna kata-kata yang baru saja didengarnya.

Wajah Taeyong tampak membeku, ekspresi dingin di wajahnya mulai berubah—keterkejutan dan ketidakpercayaan menyusup perlahan ke dalam sorot matanya, tapi hanya sekilas. Beberapa detik kemudian, ekspresinya kembali ke dingin dan keras, meski ada kilatan emosi yang tak bisa dia sembunyikan sepenuhnya.

“Ulangi,” bisiknya, hampir tak terdengar. Nada itu bukanlah permintaan, melainkan perintah yang mengandung ancaman.

Sang Dokter Ronald menunduk lebih dalam, merasa keringat dingin mengalir di tengkuknya. “Ya, Tuan,” katanya dengan suara nyaris berbisik, “Nona Baek tampaknya sedang mengandung. Berdasarkan kondisi fisiknya, kemungkinan kehamilan ini masih sangat awal.”

Taeyong mengalihkan pandangannya ke arah pintu kamar, di baliknya Jisoo terbaring tak sadarkan diri dan tubuhnya yang lemah terlihat begitu rentan. Seketika hatinya terasa mencelus, diliputi oleh perasaan yang berputar hebat dan tak bisa dia uraikan satu per satu.

Kehamilan.

Satu kata itu menggema di benaknya, menciptakan gelombang perubahan yang bahkan belum dia pahami sepenuhnya. Bagaimana mungkin? Bagaimana sesuatu yang begitu kecil mampu mengguncang dunianya yang selama ini begitu terkendali?

Dia tetap terdiam, tatapan matanya berubah menjadi jauh, seolah mencoba memahami kenyataan baru ini. Wajahnya tak menunjukkan ekspresi yang jelas, tapi Benjamin yang berdiri di belakangnya bisa merasakan aura mengerikan yang melingkupi dirinya. Emosi yang begitu kuat dan tertahan, seperti badai yang siap menghancurkan segalanya.

“Tuan, dengan kondisinya saat ini, Nona Baek membutuhkan perawatan yang sangat teliti,” ujar Ronald pelan setelah memilih setiap kata dengan hati-hati. “Luka-lukanya, baik yang terlihat maupun yang mungkin tersembunyi di dalam tubuhnya, harus diperiksa lebih mendalam agar tidak membahayakan janinnya.” Dia terhenti sejenak, tampak ragu, sebelum melanjutkan, “Saya sangat menyarankan agar dia dijauhkan dari segala bentuk stres dan mendapatkan istirahat penuh.”

Taeyong berdiri diam, tak satu pun reaksi yang tampak di wajahnya selain ekspresi dingin yang menghantui. Mata gelapnya menatap ke arah lantai seolah mencoba mencerna setiap kata yang baru saja dia dengar. Hening melingkupi lorong, begitu tegang hingga napas dokter yang gelisah pun terdengar.

Akhirnya setelah beberapa saat, Taeyong menarik napas dalam. Perlahan dia mendongak, menatap dokter itu dengan pandangan tajam yang membuat pria tua itu tanpa sadar mundur setengah langkah. Wajah Taeyong tetap tenang, tapi sorot matanya mengandung sesuatu yang intens, sesuatu yang mengintimidasi.

“Aku ingin kau memastikan kesehatannya dan juga ... calon anak itu.” Setiap kata diucapkannya dengan dingin dan terukur, seperti ancaman halus yang tak terucap. “Pastikan tidak ada satu pun hal yang terlewat. Tidak ada kesalahan yang diperbolehkan.”

Ronald  menelan ludah lagi, lalu mengangguk cepat, tampak sedikit lega namun tetap gelisah. “Tentu, Tuan. Saya akan memastikan yang terbaik untuk Nona Baek dan janinnya,” jawabnya dengan nada hormat dan suara sedikit bergetar.

Taeyong mengangguk pelan, tapi matanya tetap terpaku pada pintu kamar itu. Pikirannya terasa kabur, terombang-ambing antara kebingungan, kekhawatiran, dan bahkan … ketakutan. Emosi-emosi itu melandanya seperti badai, tak memberikan ruang baginya untuk bernapas. Dia yang selalu begitu tenang dan terkendali, kini mendapati dirinya hampir tak mampu berpikir jernih.

Beberapa saat kemudian, dengan upaya keras, dia menarik napas panjang untuk menenangkan diri. Dia kembali memulihkan ketenangannya yang nyaris retak dan tatapan tajam yang biasa dia kenakan kembali menghiasi wajahnya. Dia berbalik menatap dokter itu sekali lagi, sorot matanya penuh dengan peringatan yang tak tersurat.

“Jangan sampai ada orang lain yang mengetahui ini, terutama Jisoo,” katanya dengan nada yang begitu tegas dan tak bisa dibantah. “Tidak sampai aku memutuskan kapan dan bagaimana caranya memberitahunya. Kau mengerti?”

Sang dok5er segera mengangguk cepat, ekspresi di wajahnya menunjukkan ketakutan sekaligus kepatuhan. “Tentu saja, Tuan. Saya akan menjaga kerahasiaan ini sepenuhnya.”

“Dan pastikan dia mendapatkan semua yang dibutuhkan untuk menjaga kondisi kesehatannya. Aku tidak ingin ada satu pun risiko pada kehamilan ini. Kau mengerti?” lamjutnya dengan suara tidak meninggi, tetapi kekuatan di balik setiap kata membuat sang dokter merinding hebat.

Ronald langsung membungkuk dalam-dalam, menyembunyikan ekspresi lega yang muncul di balik ketakutannya. “Tentu, Tuan. Saya akan memastikan yang terbaik untuk Nona Baek,” jawabnya dengan suara yang hampir berbisik, seakan takut bahwa berbicara terlalu keras akan memancing amarah yang terpendam dari pria di hadapannya.

Setelah mengurus hal-hal yang diperlukan Ronald pun pergi dan keheningan kembali melingkupi lorong. Taeyong tetap berdiri di tempatnya, tubuhnya seakan membeku, sementara atensinta mengarah lurus pada pintu kamar di mana Jisoo tengah beristirahat dalam ketidaksadaran. Wajahnya tampak tenang, tapi di balik kedalaman matanya, terlihat gejolak emosi yang jarang dia biarkan muncul ke permukaan. Di dalam sana, Jisoo terbaring rapuh dan kesakitan, menyimpan kehidupan baru yang begitu tiba-tiba mengubah segalanya.

Benjamin yang sejak tadi diam memperhatikan, menatap tuannya dengan penuh kehati-hatian. Dalam banyak kesempatan, dia pernah melihat tuannya menunjukkan sisi lembutnya meski diselimuti kekerasan, tetapi kali ini berbeda. Kali ini dia bisa merasakan campuran ketidakpastian dan ketakutan yang jarang dia lihat dari pria ini.

Dengan suara lembut dan penuh kehati-hatian, Benjamin memberanikan diri untuk bertanya, “Tuan, apakah Anda baik-baik saja?”

Taeyong tak segera menjawab. Tatapannya masih terpaku pada pintu kamar, wajahnya menyimpan kilatan yang sulit diterjemahkan—seperti seseorang yang berada di persimpangan jalan dan tak tahu ke mana harus melangkah. Akhirnya dengan suara nyaris tak terdengar, dia bergumam pelan, seolah berbicara pada dirinya sendiri, “Aku bahkan tidak tahu apa yang harus kurasakan sekarang.”

Benjamin menatap tuannya dengan penuh empati, memilih untuk tidak menambah bebannya dengan kata-kata yang tak perlu. Dalam hening, dia dapat merasakan pergulatan batin Taeyong—antara ketakutan akan tanggung jawab yang tiba-tiba menyergap dan keinginan yang selama ini selalu terpendam untuk memiliki dan menjaga. Pria itu, yang selama ini dikenal sebagai sosok dingin dan tak tergoyahkan, kini tampak rapuh meski hanya untuk sesaat.

Setelah beberapa saat, Taeyong menarik napas panjang, berusaha mengembalikan ketenangan yang hampir hilang dari dirinya. Wajahnya kembali tegas, tatapan dingin yang biasa kini menghiasi wajahnya saat dia menoleh ke arah Benjamin. “Kau dengar yang kukatakan tadi, Benjamin? Pastikan Jisoo tidak tahu tentang kehamilannya. Setidaknya, sampai aku memutuskan kapan dan bagaimana caranya memberitahunya,” ujarnya tegas. “Dan beri tahu semua orang untuk berhati-hati saat merawatnya.”

Benjamin mengangguk dalam-dalam, patuh pada instruksi tuannya. “Tentu, Tuan. Saya akan memastikan semua pelayan memberikan perhatian penuh pada kesehatan Nona Baek.”

Taeyong hanya menanggapi dengan anggukan singkat, sedangkan perhatiannya hanya tertuju pada pintu kamar. Di balik segala kekerasan dan dominasi yang biasanya menjadi tameng dirinya, ada sesuatu yang lebih dalam dan mendalam yang mengisi hatinya—sebuah perasaan tanggung jawab yang baru dan murni, sebuah ikatan yang kini lebih dari sekadar hasrat untuk memiliki.

Dengan langkah perlahan, Taeyong mendekati pintu kamar lalu membukanya perlahan. Dia masuk, berdiri di tepi ranjang di mana Jisoo terbaring lelap. Wajahnya yang pucat dan luka-luka di tubuhnya mengingatkannya pada harga yang telah dibayar gadis ini, betapa rapuh dan kuatnya dia pada saat yang bersamaan. Taeyong duduk di tepi ranjang, menatapnya dengan tatapan yang jauh lebih lembut dari sebelumnya.

Perlahan, dia mengulurkan tangannya, sesaat ragu-ragu menyentuh perut Jisoo yang masih datar. Ada kehidupan di dalamnya—sebuah kehidupan kecil yang tak pernah dia bayangkan akan hadir dalam hidupnya.

“Ada kehidupan di sini,” bisiknya pelan, seolah belum sepenuhnya bisa mempercayai kenyataan itu. Sentuhan tangannya di perut Jisoo terasa lembut, hati-hati, seakan takut akan melukai sesuatu yang begitu rapuh.

“Kau akan baik-baik saja,” ucapnya, lebih kepada janji yang dia buat untuk dirinya sendiri. “Aku akan melindungimu ... dan anak kita.”

Taeyong duduk di sana dalam keheningan, matanya tetap tertuju pada Jisoo. Perlahan perasaan posesif yang selama ini mendominasi pikirannya mulai bergeser menjadi sesuatu yang lebih murni. Ada dorongan kuat untuk melindungi, untuk menjaga, dan untuk memastikan bahwa tidak ada yang akan menyakiti mereka lagi.

Untuk pertama kalinya, dia merasa bahwa dirinya bukan lagi hanya terikat pada Jisoo sebagai milik, tapi juga pada kehidupan kecil yang mungkin sedang tumbuh di dalam dirinya. Dan perasaan itu, meski masih baru dan asing, mulai mengisi hatinya dengan keinginan untuk melindungi, untuk memberikan sesuatu yang belum pernah dia berikan pada siapa pun—perlindungan tanpa syarat.

❛ ━━━━━━・❪ breaking her ❫ ・━━━━━━ ❜

Saat Jisoo membuka mata, kilau terang dari chandelier besar yang menggantung di langit-langit menyambut pandangannya. Namun, hal pertama yang melintas di benaknya adalah Zaheer. Apakah anak itu baik-baik saja? pikirnya dengan hati yang mencelos saat mengingat apa yang terjadi pada mereka beberapa waktu lalu.

Mereka yang seharian penuh berlari dan bersembunyi dari buruan tiga pria yang ingin menangkap dan menjual mereka sebagai budak. Kemudian terjebak di gang buntu dan ketiga pria itu mulai menyakiti mereka tanpa ampun setelah mereka melakukan perlawanan tanpa kenal takut. Jisoo mengira hidupnya akan berakhir di sana saat itu juga, tapi ternyata takdir berkata lain.

Dengan hati-hati, dia mencoba menggerakkan tubuhnya yang masih lemah dan remuk di mana-mana. Tapi begitu kepalanya menoleh ke samping, detak jantungnya langsung meningkat pesat menghantam dadanya dengan cepat.

Di sudut kamar, Taeyong berdiri dengan sikap dingin. Tangan pria itu terlipat di depan dada dan menatapnya dengan ekspresi yang sulit ditebak. Matanya yang gelap dan tajam membuat Jisoo refleks menahan napas saat merasakan ketegangan menyelimuti seluruh tubuhnya. Dia merapatkan punggungnya ke kepala ranjang yang empuk, mencoba menciptakan jarak sebanyak mungkin dari sosok yang mengintimidasi tersebut. Ketakutan bahwa Taeyong mungkin akan menghukumnya karena upayanya melarikan diri, menyesakkan dada dan memicu rasa panik.

“Kau ... takut?” Pria itu bertanya dengan suara rendah yang menembus dinding tak kasat mata bernama hening.

Jisoo tidak menjawab. Dia hanya bisa menelan ludah sambil melirik ke sekeliling, menghindari tatapan tajam Taeyong. Barulah dia menyadari dirinya berada di kamar yang sama sekali berbeda dari sebelumnya. Matanya menyusuri setiap detail ruangan itu dengan perasaan terkejut sekaligus bingung.

Kamar ini begitu luas, bahkan lebih besar dari ruangan mana pun yang pernah dia tempati. Langit-langitnya tinggi, dihiasi ukiran-ukiran rumit berlapis emas yang berkilauan di bawah cahaya siang yang menerobos masuk dari jendela-jendela besar. Sebuah chandelier kristal raksasa menggantung di tengah langit-langit, menjuntai dengan kemegahan yang memantulkan cahaya ke seluruh ruangan, dan menciptakan permainan bayangan yang indah di lantai marmer mengkilap di bawahnya.

Dinding-dinding ruangan ini dipenuhi pilar-pilar emas, yang menopang tirai-tirai tebal berwarna krem dengan lipatan lembut. Di balik tirai itu, Jisoo bisa melihat sekilas pemandangan bukit-bukit hijau yang menjulur hingga ke danau di kejauhan. Ranjang tempatnya terbaring tampak seperti sebuah singgasana seorang ratu, dengan kerangka emas berukir rumit di kepala ranjang, dan selimut tebal dari bahan sutra yang terasa dingin dan halus di kulitnya.

Namun, kemewahan ini tak membawa ketenangan. Bagi Jisoo, ruangan ini seperti penjara indah yang menyimpan hawa dingin dan ketakutan, membelenggu tanpa rantai namun begitu kuat untuk membatasi kebebasannya.

“Kau tidak menjawab.” Suara pria itu kembali memecah keheningan. Nadanya sedikit lebih lembut, tapi tetap membawa intensitas yang membuatnya cemas. Dia tahu pria itu menuntut jawaban, sebuah respons yang tak bisa dia abaikan.

Jisoo menelan ludah, berusaha menenangkan diri sebelum akhirnya memberanikan diri untuk berbicara. “Apa ... apa yang akan kau lakukan padaku?” tanyanya lirih, pertanyaannya sarat dengan ketakutan dan kebingungan.

Taeyong menyipitkan mata, ekspresinya masih tak terbaca, seperti lapisan es yang tak bisa ditembus. “Mengapa kau selalu berpikir aku akan menyakitimu?” tanyanya dengan nada yang hampir terdengar seperti ejekan.

Jisoo merapatkan punggungnya ke headboard, mencoba memberikan dirinya rasa aman di hadapan pria yang selama ini selalu membuatnya merasa kecil. “Karena … kau selalu menekankau. Karena aku tahu kau tak suka jika ada yang berani menentangmu,” jawabnya jujur walau suaranya bergetar.

Taeyong menarik napas panjang, seakan sedang menahan sesuatu di dalam dirinya. “Untuk seseorang yang telah menyelamatkanmu, kau benar-benar tak tahu terima kasih,” ucapnya. “Dan jangan berpikir aku akan membiarkanmu lepas begitu saja setelah semua yang terjadi.”

Jisoo mengepalkan kedua tangan di atas selimut, merasa bingung dan kesal pada saat yang sama. Dia menunduk, mencoba meredam emosinya sendiri, tapi kata-kata itu keluar dari bibirnya tanpa bisa dia tahan. “Aku hanya ingin bebas,” gumamnya pelan, nyaris seperti bicara pada dirinya sendiri, tapi cukup jelas untuk didengar.

“Bebas? Dari apa?” tanya pria itu, seolah tak mengerti maksudnya. “Apakah kau mengira kebebasan itu seindah yang kau bayangkan?”

“Setidaknya aku bisa hidup tanpa terus menerus merasa dikendalikan. Tanpa selalu merasa ketakutan,” balasnya dengan keberanian yang masih dimilikinya.

Taeyong mendengarkan, tetapi bukannya tersentuh, dia malah tertawa kecil. Tawa dingin dan menusuk, penuh ejekan yang langsung menghancurkan keberanian Jisoo yang baru saja tumbuh. “Ketakutan? Apakah yang kau maksud dengan ketakutan adalah saat kau memilih berkeliaran di tempat kumuh dan akhirnya babak belur dipukuli oleh tiga pria tak berguna?” sindirnya, sudut bibirnya terangkat membentuk seringai dingin, seperti menikmati ketidakberdayaan Jisoo di hadapannya.

Kata-katanya menusuk tepat ke pusat ingatan Jisoo, memicu kilasan kenangan yang tak ingin dia ingat kembali. Bayangan gang sempit yang gelap, bau lembab yang menguar, suara tawa kasar tiga pria yang mengelilinginya, dan rasa sakit ketika pukulan mereka menghantam tubuhnya. Semuanya melintas begitu cepat, seolah peristiwa itu terjadi lagi di hadapannya. Dia bisa merasakan kembali darah hangat yang mengalir di sudut bibirnya dan rasa sakit yang mencekam serta ketakutan yang menyesakkan.

Namun, di tengah semua itu muncul sosok Taeyong dalam bayangannya dengan wajahnya tampak marah. Tanpa banyak bicara, dia langsung menghajar ketiga pria itu satu per satu. Pukulannya cepat, tajam, dan tak mengenal ampun. Jisoo yang kala itu masih tersadar hanya bisa memandang dengan perasaan campur aduk. Ada rasa takut dan takjub karena untuk pertama kalinya, dia melihat sisi kebrutalan Taeyong yang anehnya malah membuatnya merasa aman, meskipun dia sendiri tak mau mengakui perasaan itu.

Ketika kenangan itu perlahan memudar, dia menarik mata dan langsung bertemu dengan mata Taeyong yang terus mengawasinya. Ada rasa malu dan ketakutan yang bercampur menjadi satu di dalam hatinya, tapi juga ada perasaan lain yang tak bisa dia ungkapkan. Dia merasa tertarik pada sosok pria ini yang tak hanya membuatnya takut, tapi juga—anehnya—membuatnya merasa dilindungi.

Saat dia kembali dari lamunannya, Taeyong ternyata sudah berada di tepi ranjang dan kini memandanginya dengan tatapan tajam namun sedikit melunak. Taeyong mengulurkan tangan, jari-jarinya menyentuh pipi Jisoo dengan lembut, mencoba menenangkan ketakutan yang masih membayang di wajahnya.

“Hei ... tidak apa-apa,” bisiknya pelan, suaranya dalam dan menenangkan, bertentangan dengan semua ketakutan yang selama ini membelenggunya. “Sekarang, tidak ada lagi yang akan menyakitimu.”

Gadis itu langsung tersentak saat menyadari betapa dekatnya Taeyong sekarang. Rasa takut dan naluri untuk menjauh membuncah di dalam dirinya. Namun, ada sesuatu yang menahannya kali ini, sesuatu yang tak bisa dia mengerti. Aroma khas Taeyong, aroma yang dia kenali dan tanpa sadar dirindukannya selama masa pelariannya. Bau itu perlahan menyelubungi inderanya, merayap masuk ke dalam pikirannya, dan menciptakan rasa nyaman yang tak bisa dia tolak.

Selama masa pelariannya, ketika dia berada jauh dari Taeyong, aroma ini terus terlintas di benaknya, membawa kilasan-kilasan memori yang campur aduk antara ketakutan dan ketenangan. Aroma itu adalah campuran kehangatan dan ketegasan, sesuatu yang khas dari pria di depannya ini. Dia benci mengakuinya, tapi tak bisa menyangkal bahwa wangi khas Taeyong membangkitkan sesuatu dalam dirinya. Seolah-olah aroma itu membungkusnya dengan rasa aman, rasa yang hampir dia yakini hanya sebuah ilusi. Namun sekarang, saat wangi itu nyata dan begitu dekat, dia merasa ... tenang.

Untuk sesaat, dia membiarkan dirinya larut, matanya memejam sejenak, menikmati ketenangan yang jarang dia rasakan. Namun, kesadaran segera menyentaknya kembali, membuatnya menggelengkan kepala perlahan untuk mengusir pikiran-pikiran itu. Ini adalah Taeyong, orang yang selama ini dia takuti dan hindari. Dia tak boleh membiarkan perasaannya menguasainya.

Jisoo menarik pandangannya begitu terbebas dari pikirannya. Matanya langsung bertemu dengan mata Taeyong yang masih memandangnya tanpa ekspresi jelas. Dia menelan ludah, mencoba menata pikirannya lagi, sebelum bertanya dengan suara yang sedikit bergetar, “Apa Zaheer baik-baik saja?”

Mata pria itu berkedip dan garis rahangnya mengeras sesaat sebelum mengeluarkan dengusan pendek. “Kau benar-benar menanyakan kondisi orang lain ketika kondisimu sendiri lebih mengenaskan?” jawabnya, sedikit sarkastis.

Meski begitu, Jisoo tetap tak bisa menangkap sedikitpun kekhawatiran tersembunyi di sana. Dia hanya terkejut mendapati pria ini, yang selalu tampak dingin dan tak tergoyahkan masih peduli akan keselamatannya meski dengan caranya yang keras.

Taeyong tampak seperti hendak bangkit, mungkin berniat meninggalkan percakapan ini sebelum semakin dalam. Tiba-tiba Jisoo mengulurkan tangannya, meraih ujung pakaiannya dengan cengkeraman ragu-ragu. “Taeyong,” panggilnya pelan seperti sebuah bisikan. Dia menatapnya dengan mata memohon, penuh harap yang sulit disembunyikan. “Bolehkah aku ... bolehkah aku menjenguknya?”

Taeyong menatap tangannya yang mencengkeram pakaiannya, lalu kembali menatap ke matanya. Tatapan pria itu sedikit melunak dan sejenak dia hanya terdiam, memandangi wajahnya yang penuh kekhawatiran seperti anak kecil yang meminta sesuatu yang sederhana. “Tidak,” jawabnya dengan tegas. “Kau harus tetap di sini dan beristirahat.”

“T-tapi anak itu ....”

“Kubilang tidak, maka tidak.” Nada suaranya kini tak menyisakan ruang untuk perdebatan. “Kau tidak diizinkan meninggalkan kamarmu sampai kondisimu membaik.”

Jisoo terdiam sejenak, tapi tak bisa menahan diri. Dia kembali mengangkat wajah, menatap pria itu dengan sorot mata memohon. Matanya sedikit berkilau dengan harapan yang nyaris putus asa. Meski kata-katanya tadi masih menggaung di telinganya, dia tetap tak bisa mengabaikan keresahan di hatinya. “Taeyong, kumohon. Hanya sebentar,” ujarnya dengan suara bergetar halus. “Aku hanya ingin memastikan dia baik-baik saja. Anak itu ... dia tidak memiliki siapa-siapa selain aku.”

Ekspresi pria itu berubah, menunjukkan ketidaksabaran.
“Aku sudah bilang tidak, Jisoo. Jangan keras kepala!” ujarnya begitu tegas dan tak terbantahkan.

“Tapi ini penting bagiku,” desaknya, masih terus mencoba. “Aku tidak bisa tenang kalau tidak melihatnya sendiri. Tolong ...!”

Taeyong mendengus, wajahnya mengeras, menampakkan kelelahan dan kekecewaan yang mulai menguar. “Kau baru saja nyaris kehilangan nyawamu sendiri, Jisoo. Apa kau tidak mengerti bahwa tubuhmu butuh istirahat? Memaksakan diri hanya akan memperburuk kondisimu.”

“Tapi aku kuat,” bantahnya cepat. “Aku hanya ... aku tidak bisa memikirkan hal lain sekarang. Kumohon, Taeyong. Biarkan aku menjenguknya.”

Untuk sesaat, Taeyong hanya menatapnya dengan sorot mata tajam, seakan sedang menimbang-nimbang seberapa tulus permohonannya. Keheningan yang tercipta di antara mereka mengalir berat, nyaris menyesakkan, sementara Jisoo menahan napas dan berharap bahwa tatapan penuh keteguhan itu akan sedikit melunak. Akhirnya dia melihat pria itu menghela napas dan ada keraguan samar yang muncul di matanya—sebuah retakan kecil yang memberi Jisoo sedikit harapan.

Menangkap momen itu, dia mempererat genggamannya pada ujung pakaiannya, memanfaatkan kesempatan tersebut. Suaranya merendah, hampir seperti bisikan yang penuh ketulusan. “Taeyong … tolong.” Kata-katanya penuh permohonan yang tulus, matanya memohon tanpa suara. “Aku janji, aku tidak akan lama. Hanya ingin melihatnya dan memastikan dia baik-baik saja.”

Taeyong akhirnya mengangguk pelan dan saat itu, mata Jisoo berkilat dengan harapan baru. Dia menahan diri untuk tidak tersenyum terlalu lebar, tetapi perasaan lega mulai menjalari tubuhnya.

“Baiklah,” kata pria itu pada akhirnya, menyerah. “Tapi dengan satu syarat.”

Jisoo langsung mengangguk penuh semangat, seakan bersedia menerima apa pun yang diminta pria itu darinya. “Apa pun syaratnya, aku akan menurut.”

“Kau tidak boleh berjalan kaki sendiri,” jawab Taeyong singkat, tatapannya tak terbantahkan, membuat Jisoo terdiam sesaat.

Jisoo menatapnya dengan bingung, alisnya berkerut dan mulutnya sedikit terbuka, menandakan ketidakpahaman. “Tidak boleh berjalan kaki sendiri? Maksudmu ....”

Tanpa menunggu penjelasan lebih lanjut, Taeyong melangkah mendekatinya, lalu membungkuk. Sebelum Jisoo sempat menyadari apa yang akan terjadi, dia merasakan lengan kokoh Taeyong menyelip di bawah punggung dan lututnya, mengangkat tubuhnya dari ranjang dengan satu gerakan yang lembut. Tubuh Jisoo mendadak kaku dan jantungnya berdegup cepat saat kehangatan tubuh Taeyong menyelimuti dirinya.

Jisoo terkesiap, napasnya tertahan. Kedekatan ini terlalu tiba-tiba dan keintimannya membuatnya bingung sekaligus gelisah. Wajahnya memerah saat dia menyadari betapa dekatnya mereka. Aroma Taeyong yang hangat menguar, menciptakan rasa nyaman yang dia benci untuk akui namun tak bisa dia tolak. Ada sesuatu dalam genggaman pria ini yang anehnya terasa aman dan nyaman, seolah tak akan ada bahaya yang mampu mendekatinya selama pria itu ada di sisinya.

“Jangan protes,” gumam Taeyong cepat, menghentikan apa pun itu sebelum Jisoo sempat bersuara. “Ini adalah syaratnya. Aku tidak akan mengambil risiko kau jatuh atau terluka lagi.”

Jisoo hanya bisa mengangguk pelan, menahan desiran perasaan aneh yang memenuhi dadanya. Tangannya secara refleks melingkar di leher Taeyong, mencari keseimbangan, sementara matanya mencuri pandang ke wajah pria itu yang terlihat begitu fokus.

Saat mereka melewati pintu besar yang terbuka ke koridor luar, sinar matahari siang menyambut mereka, menerobos jendela tinggi dengan pancaran hangat yang menyoroti ukiran-ukiran dinding megah di sekitar. Udara terasa sejuk dan segar, membawa aroma bunga mawar samar dari taman di luar. Jisoo menghela napas pelan, menikmati momen ini saat rasa cemas dalam hatinya perlahan-lahan mereda.

Dengan suaranya yang nyaris berbisik, Jisoo menatapnya sambil mengatakan, “Taeyong, terima kasih karena sudah mengizinkanku melihat Zaheer.”

Taeyong hanya mengalihkan pandangannya sedikit, menatapnya dari sudut matanya dengan ekspresi yang sukar ditebak. Ada senyum tipis di sudut bibirnya, meski begitu samar hingga hampir tak terlihat. “Jangan terlalu senang dulu,”  jawabnya. “Aku akan memastikan kau tidak menghabiskan waktu lama di sana. Kau harus kembali ke kamarmu dan beristirahat setelah ini."

Jisoo mengangguk kecil, senyum tipis terbit di wajahnya yang masih terlihat lelah. Ada kehangatan aneh yang mengalir dalam dirinya saat mendengar kalimat itu. Mungkin orang lain hanya akan mendengar nada keras dalam suara Taeyong, tapi baginya, kata-kata itu menyimpan perhatian tersembunyi—sebuah kepedulian yang diutarakan dengan cara yang kaku namun nyata.

Dalam dekapannya yang kokoh, dia merasa terlindungi. Tangan Taeyong yang menopang tubuhnya seakan memberi jaminan bahwa dia akan menjaga Jisoo dari segala hal yang mengancam. Meski dia tahu dirinya seharusnya menjaga jarak, terutama mengingat ketegangan yang sering terjadi di antara mereka. Ada sisi dalam diri Jisoo yang tak bisa memungkiri bahwa di pelukan ini, perasaan aman perlahan-lahan menyelubungi hatinya, menciptakan kehangatan yang sulit dijelaskan.

Dia bisa mendengar napas teratur Taeyong, merasakan denyut nadinya, seolah mereka berbagi momen yang melampaui kata-kata. Mungkin dia takkan pernah berani mengakui rasa nyaman ini, bahkan pada dirinya sendiri, tapi untuk saat ini, Jisoo memutuskan untuk menikmati perlindungan Taeyong dan membiarkan perasaan tenang ini menghapus sejenak segala ketakutannya.

Harusnya jam 9 update, tapi tadi ketiduran dan kebangun gara-gara nyamuk 🙂‍↔️🙂‍↕️

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top