Chapter XLV: War of heart 2.0
Malam terasa semakin dingin dan pekat, seolah-olah udara di sekitar mereka berubah menjadi beku oleh kekejaman yang terjadi di hadapan Jisoo. Dengan mata bengkak dan pandangan setengah kabur, dia berusaha memusatkan atensinya pada sosok pria yang bergerak cepat di tengah malam yang dingin. Meski bayangan pria itu menyatu dengan kegelapan, tapi gerakannya terlihat begitu tegas dan dipenuhi amarah yang mengerikan.
Jisoo melihat pemandangan yang hampir tak dapat dia percaya. Potongan-potongan adegan brutal tersaji di depannya, meski samar dan terputus-putus, cukup jelas untuk menimbulkan rasa ngeri dalam dirinya. Sosok pria itu menghajar salah satu dari pria yang tadi menyiksanya, tanpa ampun dan tanpa belas kasihan, seperti seorang algojo yang tengah melaksanakan hukuman mati.
Pria yang menyiksanya tadi tersungkur di tanah, wajahnya penuh ketakutan dan sakit. Namun tak ada sedikit pun simpati di mata penyelamatnya. Dia menarik kerah baju pria itu dengan satu tangan, sementara tangan lainnya menghantam wajahnya keras berkali-kali. Suara tulang yang retak terdengar di antara setiap pukulan. Pria itu mengaduh, merintih, tapi tak ada yang menghentikan gerakan tangan brutal itu.
Jisoo hanya bisa menyaksikan semua itu dengan perut mual, ngeri oleh kebrutalan yang tak ada habisnya itu. Darah mulai berceceran di jalan berbatu, menodai tanah dingin di bawah mereka dengan percikan merah pekat yang terlihat jelas dalam sinar bulan yang pucat. Wajah pria yang disiksa itu mulai bengkak dan tak berbentuk—hidungnya remuk, mata tertutup darah, dan bibirnya robek hampir tidak menyerupai wajah manusia lagi. Setiap kali pukulan itu mendarat, Jisoo merasa getaran dentuman memantul ke dadanya yang menimbulkan sensasi sakit tak kasat mata, tetapi nyata dalam hatinya.
Ketakutan yang semula dia rasakan terhadap para pria yang menyiksanya kini beralih kepada sosok yang dia kira sebagai kakaknya. Rasa ngeri memenuhi dirinya, menelusup hingga ke tulang-tulangnya, membuatnya ingin memalingkan muka tapi tak mampu mengalihkan pandangan. Dia hanya bisa menyaksikan, terjebak antara perasaan lega karena diselamatkan dan kengerian melihat bagaimana pria itu bertindak.
Sembari menarik napas panjang, Jisoo menahan rasa sakit di sekujur tubuh sementara atensi tetap fokus pada pria itu. Dalam benaknya, dia mencoba mengingat wajah kakaknya dan berusaha menyakinkan dirinya bahwa pria itu benar-benar kakaknya, bukan sekadar bayangan atau ilusi yang diciptakan oleh pikirannya yang lelah. Namun, semakin lama dia memandang, semakin samar keyakinannya.
“Kak ... Junghoon?” bisiknya pelan, hampir tak terdengar di antara deru napasnya yang lemah dan suara jeritan parau dari pria yang disiksa.
Pria itu menghampiri salah satu pria terakhir yang tadi menyiksanya. Wajahnya tetap keras, sementara tatapan matanya dingin dan penuh amarah. Dengan gerakan brutal, dia mencengkeram leher pria bertubuh besar yang mulai gemetaran, lalu menghajarnya tanpa ampun. Tinju-tinju berderak keras menghantam wajah dan perut si pria besar. Masing-masing pukulan mendarat dengan lebih keras dari yang sebelumnya, hingga darah mulai berceceran dari bibir dan hidung pria itu, menciptakan noda merah gelap yang semakin memperkuat suasana kekejaman.
Si pria besar mencoba meronta, mengangkat tangannya untuk memohon ampun, tapi tak ada yang mendengarnya. Suaranya tenggelam dalam erangan penuh penderitaan dan tubuhnya terhuyung-huyung setiap kali tinju itu menghantamnya. Matanya memohon belas kasihan, tapi wajah pria yang menyerangnya tetap tak menunjukkan emosi selain kemarahan.
Jisoo menggigil, seluruh tubuhnya bergetar hebat seperti dedaunan yang diterpa angin badai. Keinginannya untuk memalingkan muka seolah terhenti oleh kekuatan yang tak terlihat. Atensinya terpatri pada pemandangan mengerikan di depannya, meski setiap detik yang berlalu hanya semakin menyesakkan dadanya.
Pria yang dia kira sebagai kakaknya, Junghoon, terus menghantam lawannya tanpa ampun. Tinju demi tinju mendarat seperti palu godam yang tak kenal lelah. Setiap pukulan disertai bunyi memekakkan telinga, membuat Jisoo ingin menutup telinga, ingin menutup mata, tapi tubuhnya seakan membatu, tertawan oleh rasa takut dan keterkejutan yang luar biasa. Pria yang disiksa itu kini tak lagi bisa mengeluarkan kata-kata. Hanya desahan lirih penuh kesakitan yang tersisa, tenggelam dalam kehampaan malam.
Namun, saat Jisoo mengira penyiksaan itu sudah selesai, pria itu justru merogoh saku jas mengeluarkan pistol berwarna hitam yang mengkilat di bawah cahaya bulan. Tanpa ragu sedikit pun, dia mengangkat senjata tersebut, mengarahkannya pada kaki pria yang menyiksa Jisoo.
“Tidak ...!” bisiknya tanpa suara, hanya getaran di bibirnya yang mengekspresikan ketakutan mendalam yang menggerayangi hatinya. Tapi sebelum dia sempat memalingkan wajah, suara tembakan pertama menggema di udara, tajam dan memekakkan telinga. Suara itu mengguncang hatinya, membuat jantungnya berdegup kencang hingga terasa sakit. Matanya melebar saat melihat darah memancar dari kaki pria itu, mengalir deras di atas tanah berbatu.
Si pria besar terbaring di tanah berteriak kesakitan, suaranya melengking, memohon ampun. Sementara pria yang memegang pistol hanya menatapnya dengan dingin, sorot matanya tajam dan tanpa belas kasihan.
Suara tembakan kedua terdengar lagi, kali ini menghantam kaki satunya. Darah bercucuran lebih deras, mengotori jalan setapak dengan percikan merah pekat. Si pria bertubuh besar hanya bisa menggeliat tak berdaya, tubuhnya gemetar dalam rasa sakit yang mendera. Tapi penyiksaan itu ternyata belum selesai. Jisoo hanya bisa menyaksikan dengan ngeri saat pria di depannya mengalihkan pistolnya, mengarahkannya ke tangan si pria besar yang kini tak lagi mampu melawan.
Dua tembakan lagi menggema, satu ke pergelangan tangan kiri, satu ke pergelangan tangan kanan. Suara letusan terdengar keras, tapi yang lebih menyakitkan adalah suara erangan putus asa dari si pria besar yang kini benar-benar tak berdaya dan tergeletak di atas genangan darahnya sendiri. Tubuhnya tak lagi bisa bergerak, hanya terkulai lemah, seolah-olah seluruh kehidupannya telah diremukkan oleh kekejaman yang menimpa.
Namun, pria tersebut tampaknya belum merasa cukup. Dengan tatapan semakin tajam, dia melangkah ke pria besar yang terkapar tak berdaya di tanah. Wajahnya masih kaku tanpa emosi, selain kilatan kebencian yang mengerikan. Lalu dengan langkah lambat yang membuat Jisoo semakin membeku, dia mengangkat kaki dan dengan penuh kebengisan menginjak wajah pria yang sudah hancur itu.
Suara retakan terdengar setiap kali sepatu pria tersebut menghantam wajah si pria bertubuh besar, disertai suara gemeretak yang memekakkan telinga. Jisoo melihat dengan perasaan mual yang mendidih di perutnya, bagaimana darah dan serpihan tulang bercampur menjadi satu di atas tanah. Setiap injakan menghasilkan percikan merah yang kian mengotori jalan. Debu-debu di sekitar kaki pria itu beterbangan, bercampur dengan darah, menciptakan pemandangan yang begitu brutal, begitu mengerikan hingga rasanya tak sanggup dia saksikan lagi.
Tubuh Jisoo kini benar-benar bergetar hebat, seperti dahan yang diterpa badai. Napasnya tersengal-sengal, seolah-olah udara di sekitarnya dipenuhi oleh aroma darah yang pekat dan rasa takut yang begitu mencekam. Matanya berkabut, hampir tak sanggup menahan rasa ngeri yang melumpuhkan seluruh tubuhnya. Dalam hati, Jisoo masih memohon agar tubuhnya menyerah, agar kesadarannya lenyap dan dia tak perlu lagi menyaksikan kengerian tersebut. Namun, entah kenapa, matanya tetap terbuka, memaksa dirinya untuk melihat setiap detail kengerian ini, seolah-olah dunia menolak memberinya kelepasan.
Pria itu menghantamkan kakinya ke wajah si pria besar dengan kebencian yang tak terbendung. Setiap tendangannya adalah hukuman atas dosa yang tak terampuni. Kakinya turun dengan keras dan beringas, tanpa jeda, menghancurkan wajah pria besar yang tergeletak di bawahnya. Suara retakan tulang menggema di sepanjang lorong sunyi, memantul di antara dinding-dinding batu, dan menambah suasana mengerikan yang membekap malam itu.
Jisoo gemetar ketakutan, tubuhnya kaku di tempat, terlalu ngeri untuk berpaling, tapi juga terlalu takut untuk terus melihat. Perasaan lega yang sempat muncul ketika pria itu pertama kali datang kini memudar, tergantikan oleh kengerian yang mencengkeram hatinya. Meski tubuhnya sendiri sudah penuh memar, terluka, dan sakit luar biasa, pemandangan brutal di hadapannya menciptakan rasa sakit yang berbeda—sesuatu yang mencekik batinnya, menahan napasnya, dan membuat perutnya bergejolak. Jika benar pria ini adalah kakaknya, mengapa ada sesuatu yang begitu asing dan mengerikan dalam sikapnya?
Wajah pria yang disiksa itu kini sudah nyaris hancur total. Hidungnya patah, bibirnya pecah, dan salah satu matanya bengkak hingga tertutup. Darah mengalir dari setiap luka, menodai jalan berbatu di bawah mereka, dan menciptakan genangan yang meresap ke celah-celah kotor di tanah. Pria tersebut sudah tidak lagi bergerak, hanya mengeluarkan suara erangan lemah yang nyaris tak terdengar, seakan memohon agar penyiksaan ini segera diakhiri. Namun, pria yang diyakini Jisoo sebagai kakaknya itu tetap tak menunjukkan belas kasihan.
Tubuh Jisoo semakin gemetar saat menyaksikan kebrutalan yang tak berujung ini. Jantungnya berdegup kencang, perasaan ngeri dan panik bercampur menjadi satu. Tangannya mencengkeram erat-erat tubuh kecil Zaheer yang terkulai lemah di bawah perlindungannya, mencoba meyakinkan diri sendiri bahwa semua ini hanyalah mimpi buruk yang akan segera berlalu. Setiap tendangan yang dilayangkan pria itu, setiap retakan tulang yang terdengar, membuat rasa takut dalam dirinya semakin dalam dan mencekam.
Dan akhirnya setelah beberapa saat, pria itu berhenti. Dia berdiri tegak sembari mengambil napas panjang yang terdengar berat, sementara bahunya naik turun dalam irama yang lambat nan intens. Wajahnya masih menunjukkan jejak kemarahan, tatapan matanya tajam seperti elang yang baru saja memburu mangsanya. Perlahan dia berbalik dan mulai melangkah ke arah Jisoo, langkah-langkahnya terdengar berat dan penuh dengan kekuatan yang tak terbantahkan.
Jisoo merasa penglihatannya yang semula kabur kini mulai kembali jelas, tapi dengan kejelasan itu hadir juga perasaan takut yang semakin kuat. Dia menatap pria yang kini berjalan mendekat ke arahnya, meskipun hatinya ingin berharap bahwa dia adalah kakaknya, sesuatu di dalam dirinya tahu itu tidak benar. Ketika pria itu akhirnya cukup dekat dan cahaya bulan menyorotkan bayangan yang lebih jelas pada wajahnya, rasa dingin menyelimuti tubuh Jisoo dari ujung kepala hingga ke ujung kaki.
Itu bukan Junghoon. Itu adalah Taeyong.
Kepanikan menjalari tubuhnya seperti gelombang dingin yang membekukan setiap inci kulitnya. Dia mengenal wajah itu—wajah yang selama ini berusaha dia lupakan dan sosok pria yang ingin dia hindari dengan segala cara. Namun, pria inilah yang berdiri di depannya sekarang, baru saja menyelamatkannya dengan kebrutalan luar biasa, membantai orang-orang yang menyiksanya tanpa setitik pun belas kasihan.
Dengan sisa-sisa tenaga yang dia miliki, Jisoo mencoba bangkit. Naluri untuk melarikan diri mendorongnya untuk bergerak, memaksa tubuhnya yang lemah untuk menuruti kehendak hatinya. Namun, setiap gerakan menimbulkan nyeri yang tajam di sekujur tubuhnya, otot-ototnya terasa tegang dan lemah, seperti benang yang siap putus kapan saja. Di sebelahnya, Zaheer masih tak sadarkan diri, terkulai di tanah dalam keadaan lemas dan tak berdaya. Meninggalkan bocah itu bukanlah pilihan, tapi tubuhnya juga terlalu rapuh untuk bisa melawan apa pun yang mungkin akan terjadi.
Pria itu perlahan berjalan mendekat, sorot matanya gelap dan dingin, tidak seperti Taeyong yang selama ini dia kenal. Wajahnya masih menampilkan jejak kebengisan, meski perlahan amarah di matanya mulai mereda. Saat melihat kondisi Jisoo yang berantakan, ada sedikit perubahan pada ekspresinya—tatapan tajam itu berubah menjadi sesuatu yang lebih dalam, lebih sulit diartikan.
“Kau benar-benar membuatku repot, Nona Baek.” Suaranya terdengar rendah, nyaris berbisik, tapi penuh dengan intensitas yang mencekam. Tatapannya seperti pedang yang mengiris setiap lapisan pertahanan Jisoo, menembus kedalaman hatinya dan memaksa dirinya untuk melihat ketakutan dan keputusasaan yang tak ingin dia akui.
Jisoo hanya bisa menatapnya, sementara tubuhnya tak mampu bergerak dan mulutnya sedikit kaku. Di satu sisi, ada rasa lega karena seseorang telah datang menyelamatkannya, seseorang yang mampu mengatasi para pria yang hendak menjualnya seperti barang. Tapi di sisi lain, ketakutan pada sosok di hadapannya begitu kuat hingga hampir melumpuhkannya. Bayangan kebrutalan yang baru saja dilihatnya masih terpatri di benaknya, menggantung di udara seperti hantu yang tak mau pergi.
Taeyong berhenti tepat di hadapannya, diam tak bergerak, hanya menatap Jisoo dengan sorot mata tajam yang memancarkan campuran antara kekesalan dan keprihatinan. Wajahnya tak menunjukkan tanda-tanda belas kasihan atau kelembutan, hanya tatapan dingin yang menembus langsung ke dalam jiwa Jisoo.
Jisoo menelan ludah, napasnya terasa berat dan tak beraturan, sementara rasa panik mulai membuncah dalam dadanya seperti arus deras yang sulit dibendung. Nalurinya memerintahkan untuk lari sejauh mungkin, tapi tubuhnya terlalu lemah dan terlalu sakit untuk berbuat apa-apa. Kakinya terasa seolah ditambatkan ke tanah dan setiap otot di tubuhnya memberontak dalam nyeri yang tak tertahankan. Zaheer yang terkulai tak sadarkan diri di pelukannya tak mungkin dia tinggalkan. Satu-satunya pilihan yang tersisa adalah menatap pria ini, meski hatinya penuh kebingungan.
Pria itu tersenyum—sebuah senyum dingin yang tak menawarkan ketenangan, melainkan hanya menambah ketegangan di udara. Senyum itu mengirimkan getaran ketakutan yang menyusuri di sepanjang tulang belakang Jisoo. Dia berlutut di depannya dengan gerakan pelan, mempersempit jarak di antara mereka hingga Jisoo bisa merasakan aura dominannya semakin kuat. Matanya yang gelap dan penuh rahasia meniliknya dari atas hingga ke bawah, memperhatikan setiap luka dan memar, sementara kedua tangannya mengepal di sisi tubuhnya, seolah menahan sesuatu yang ingin meledak keluar.
“Kenapa kau terlihat begitu takut?” tanyanya dengan suara lembut. “Bukankah aku datang untuk menyelamatkanmu?”
Jisoo hanya bisa menatapnya dengan mata yang membelalak, bibirnya bergetar, tak tahu harus menjawab apa. “K-kenapa kau di sini?” tanyanya, suaranya terdengar serak dan nyaris tak terdengar, penuh kebingungan dan ketakutan yang tak bisa dia sembunyikan.
Taeyong tertawa kecil, tawa yang rendah dan nyaris tak berperasaan, terdengar begitu asing di telinga Jisoo. Suara itu bergema di lorong sempit, menambah kesan mencekam pada suasana. “Kau benar-benar berpikir bisa lari dariku?” ucapnya dengan nada yang semakin rendah dan dingin. Tatapan matanya menyala penuh intensitas, seolah-olah dia sedang menikmati setiap rasa takut yang terpancar dari wajah Jisoo. “Dan membiarkan dirimu dipukuli oleh orang-orang tak berguna itu?” lanjutnya dengan nada mencemooh, memperlihatkan betapa rendahnya dia memandang mereka yang berani menyentuh Jisoo.
Jisoo menggigil, tak tahu harus merespons bagaimana. Di satu sisi, ada perasaan lega karena dia kini terbebas dari ancaman tiga pria kasar itu. Namun di sisi lain, ada sesuatu yang lebih menakutkan dalam diri Taeyong yang semakin dingin dan posesif, seolah-olah dia adalah satu-satunya pria yang berhak atas Jisoo, yang memiliki kendali penuh atas setiap napas dan geraknya. Rasa ngeri menyelimuti hatinya, mencengkeram erat dan memerangkapnya.
Bibirnya bergerak ingin mengatakan sesuatu—ucapan terima kasih, mungkin, atau protes—tapi tak ada kata apa pun yang keluar. Dia hanya mampu menatap pria di depannya dengan sorot mata yang dipenuhi ketidakberdayaan, sembari memeluk erat tubuh kecil Zaheer yang masih tak sadarkan diri, seolah bocah itu adalah satu-satunya pengingat bahwa dia masih berada di dunia nyata.
“Lihat dirimu,” gumamnya dengan suara rendah yang menusuk. “Perlahan-lahan membusuk di tempat kotor seperti ini.” Matanya menelusuri setiap luka dan memar di tubuh Jisoo, tatapan itu seperti menguliti semua ketakutannya yang dia coba sembunyikan.
Taeyong melayangkan pandangannya ke tiga pria yang kini tergeletak tak berdaya di tanah, sementara tubuh mereka ditahan dengan brutal oleh anak buahnya yang baru saja tiba setelah sang tuan menyelesaikan “pekerjaannya”. Kilatan kemarahan yang tak kunjung padam masih membara di matanya, seperti api yang enggan mereda meskipun sudah melahap habis sasarannya. Napasnya berat, dadanya naik-turun seirama dengan amarah yang belum juga terlampiaskan sepenuhnya. Matanya berkilat tajam, penuh dendam yang menyala-nyala, seolah-olah dia ingin menghabisi ketiga pria itu lagi, perlahan-lahan, menikmati setiap detik penderitaan mereka hingga tubuh mereka membusuk di tangannya.
Di sisi lain, Jisoo dipenuhi perasaan bingung dan takut yang saling berkecamuk dalam dadanya. Hatinya berdentam-dentam, otaknya berputar tanpa henti, mencoba mencari keputusan di antara dua pilihan: melarikan diri secepat mungkin atau tetap di tempat dan menyerahkan dirinya pada nasib. Seluruh tubuhnya terasa berat dan remuk, sementara pikirannya berteriak dalam kegamangan.
Namun, sebelum dia sempat memilih, Taeyong bergerak cepat, meraih tubuhnya dalam satu gerakan tegas, lalu mengangkatnya tanpa ampun seakan dia tak lebih dari bulu di tengah badai. Cengkeramannya erat, tak ada celah bagi gadis itu untuk melepaskan diri lagi darinya.
“Taeyong, tunggu!” Suara Jisoo terdengar bergetar, penuh kepanikan. Tangannya yang kecil dan lemah berusaha meraih lengan pria itu, seakan ingin mencari pegangan atau setidaknya sedikit belas kasih. “Zaheer ... tolong, jangan tinggalkan dia.” Tatapannya penuh dengan permohonan, matanya membelalak ketakutan saat dia mengingat bocah kecil yang kini terbaring tak berdaya di tanah dan terabaikan.
Taeyong berhenti sejenak, alisnya terangkat. Tatapannya seketika berubah dingin ketika mendengar sebuah nama meluncur dari bibir Jisoo. Ekspresinya yang semula tegas kini mengeras, seolah nama itu menamparnya dengan kenyataan yang tak dia duga. Mata Taeyong menyipit, menatapnya dengan sorot tajam yang menyelidik, mengintip jauh ke dalam hatinya seakan berusaha memahami alasan di balik permintaan itu. “Zaheer?” gumamnya pelan tapi penuh ketidakrelaan, seakan nama itu sebuah kejahatan yang perlu dibinasakan.
Jisoo merasakan ketegangan dalam diri Taeyong, tapi tekad dalam hatinya untuk menyelamatkan Zaheer tak surut. Dengan napas tertahan, dia berkata, “Aku tidak bisa meninggalkan anak itu.” Matanya penuh dengan kepedihan dan harap, memandang Taeyong tanpa gentar, mencari belas kasihan dari pria yang biasanya tak pernah memberi ampun. “Dia sudah banyak menolongku.”
Wajah Taeyong seketika berubah. Amarah yang tadi membara tampak terkikis oleh kejutan dan sedikit rasa tak percaya. Perlahan-lahan dia menoleh, pandangannya beralih ke arah yang ditunjukkan Jisoo. Di sana terbaring sosok kecil Zaheer, tak bergerak di tanah, terlihat rapuh dan terluka, hampir tak tersentuh di tengah kekacauan ini. Sesuatu dalam tatapan Taeyong tampak melunak, tapi tetap tertutupi oleh selubung dingin dan sikap tak acuh.
“Kau memohon demi anak ini?” Tatapannya tajam selama menelusuri setiap reaksi yang muncul di wajah Jisoo, seolah dia mencari alasan lebih dalam dari sekadar belas kasihan. Dia lalu terdiam beberapa saat, memandangnya dengan mata gelap sebelum mendesah panjang. Desahan itu terdengar seperti sebuah penyerahan, meski kilatan ketidaksetujuan masih jelas di sana.
“Aku akan membawanya. Tapi ingat,” ucapnya, berhenti sejenak, membiarkan ketegangan menggantung di udara. Matanya mengunci tatapan Jisoo, mengunci jiwa gadis itu dalam genggamannya. “Dia hanya akan kuanggap penting karena kau menginginkannya. Tidak lebih.”
Jisoo menghela napas panjang, merasa sedikit lega meski dadanya masih diselimuti kecemasan. Dia tidak punya pilihan lain selain mempercayakan Zaheer pada pria ini, meski hatinya dipenuhi rasa was-was yang tak kunjung mereda. Tatapannya jatuh pada bocah kecil itu yang tergeletak dalam diam dengan wajah pucat dan luka-luka di sekujur tubuhnya.
Tanpa menunggu jawaban lebih lanjut dari Jisoo, Taeyong melambaikan tangan, memanggil salah satu anak buahnya yang segera maju dengan sikap hormat. Dengan suara tegas, dia memerintahkan, “Bawa anak itu.” Pria yang dipanggil segera bergegas mengangkat tubuh kecil Zaheer dengan hati-hati, memastikan bocah itu berada dalam perlindungan yang aman.
Taeyong berjalan dengan langkah mantap, setiap hentakannya menggaung di lorong yang sepi dan dingin. Dia membawa Jisoo dalam pelukannya, tangannya mencengkeramnya erat, sementara salah satu anak buahnya mengikuti di belakang sembari menggendong tubuh kecil Zaheer yang terkulai lemah. Di tengah kesunyian malam, hanya suara langkah kaki mereka yang terdengar. Jisoo bisa merasakan detak jantungnya berdegup semakin cepat, memompa adrenalin dan kecemasan ke seluruh tubuhnya.
Perasaan takut dan tidak nyaman merayap ke dalam hatinya, menyelimuti seluruh kesadarannya. Dia tahu betul Taeyong marah, bukan hanya pada tiga pria yang telah menyiksanya, tetapi juga padanya—marah karena dia berani melarikan diri. Tatapan dingin dan penuh intensitas dari pria itu masih terpatri jelas dalam ingatannya, tatapan yang membuatnya merasa telanjang, rentan, dan sangat kecil.
“Kenapa kau diam saja?” tanyanya dengan suara yang terdengar dingin dan memecah keheningan, membuat Jisoo terkesiap seketika. Dia menatapnya dengan sudut matanya, sekilas senyum terangkat di bibirnya—senyum yang sama sekali tak hangat, malah terasa seperti ancaman tersembunyi. “Tak ada ucapan terima kasih karena aku menyelamatkanmu?”
Jisoo menggigit bibirnya, terjebak di antara rasa takut dan rasa syukur yang berkecamuk dalam dirinya. Dia tahu bahwa dalam keadaan ini, dia harus berterima kasih. Tapi bagaimana bisa berterimakasih pada seseorang yang menatapnya seolah dia adalah miliknya, seolah Taeyong memiliki hak penuh atas dirinya?
Dia mengambil napas dalam, suaranya nyaris tak terdengar, lirih dan penuh kebimbangan, “Hmm,” suaranya nyaris berbisik, lemah dan masih penuh kebimbangan, “terima kasih ... tapi ... caramu—” Kata-katanya terhenti, dia merasa sulit untuk melanjutkan.
“Caraku?” Taeyong mengulangi dengan nada tajam dan wajahnya mengeras. “Aku hanya mengembalikan dua kali lipat apa yang mereka lakukan padamu. Apa itu salah?” Matanya menyala dengan intensitas yang membuatnya terdiam membisu dan tak berani membantah.
Jisoo menelan ludah, berusaha menenangkan dirinya meski tubuhnya masih gemetar. “Tapi kau ... kau terlihat,” gumamnya sambil membuang muka, menghindari tatapan matanya. “Kau terlihat ... menakutkan”
Taeyong tertawa kecil, tapi tawa itu jauh dari kesan ramah. Suaranya bergema di lorong sempit, terdengar dingin dan penuh dengan nada sinis yang membuat udara di sekitar mereka terasa semakin berat. “Apa menurutmu aku akan membiarkanmu dipukuli sampai mati tanpa melakukan apa-apa?” tanyanya dengan bibir yang terangkat membentuk senyum tipis, seolah-olah dia menemukan kejenakaan dalam ketakutan Jisoo padanya.
“Jika aku harus menggunakan cara yang kejam untuk melindungimu, maka aku akan melakukannya tanpa ragu. Karena bagiku, keselamatanmu adalah segalanya. Dan ingat ini baik-baik, Nona Baek ... tidak ada orang lain yang boleh menyentuhmu, selain diriku,” katanya dengan suara rendah yang terdengar jelas, seakan tiap kata adalah sebuah pengingat.
Kata-kata itu membuat Jisoo terpaku. Di balik amarah dan kebrutalan yang baru saja dia saksikan, ada secercah ketulusan yang aneh, sesuatu yang tak mudah dia pahami. Perasaan campur aduk kini menyergapnya—antara ketakutan, kebingungan, dan mungkin, dalam lubuk hatinya yang terdalam, perasaan yang lebih kompleks daripada yang ingin dia akui. Dia merasa bingung dan tak berdaya, seolah diombang-ambingkan antara rasa takut dan keterikatan yang tak dia inginkan.
Taeyong menatapnya lagi, kali ini dengan sorot mata yang sedikit lebih lembut. “Mulai sekarang, berhentilah mencoba melarikan dariku,” katanya tak memberi ruang untuk penolakan. “Aku tidak akan membiarkanmu menghilang lagi. Kau mengerti?”
Jisoo hanya mampu mengangguk pelan, terlalu lelah, bingung, dan terluka untuk membantah. Dia lantas membuang muka, mencoba menghindari tatapan Taeyong yang begitu intens yang bisa menembus langsung ke dalam jiwanya. Di dalam hatinya, ada kekhawatiran yang masih menggelegak, sebuah perasaan asing yang menggerogoti ketenangannya.
Kalian tau lagu war of heart by ruelle? Nah, itu lagu si tuan han dan nona baek 🙂↔️🙂↕️
Gimana caranya nona baek bisa lolos dari si tuan han lagi? Jawabannya ada di chapter besok 🫰
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top