Chapter XLIV: War of heart

Warning 🔞
[Banyak adegan kekerasan. Siapkan mental kalian dulu sebelum baca]

Di lorong-lorong sempit yang berliku, Jisoo dan Zaheer terus berlari sekuat tenaga. Suara langkah kaki mereka bergema, berbaur dengan detak jantung mereka yang berpacu dalam ketakutan. Sudah hampir seharian mereka bersembunyi, menghindar dan melarikan diri dari tiga pria yang terus membuntuti mereka dengan pantang menyerah, seperti pemburu yang tak akan tenang sebelum berhasil menangkap buruannya.

Udara malam terasa berat dan pekat di pinggiran Tarrin, dingin dan lembap menelusup hingga ke tulang. Bau busuk dari tumpukan sampah yang membusuk di sudut-sudut gang bercampur dengan aroma logam dan karat dari pipa-pipa tua yang merembeskan air kotor. Lorong-lorong yang mereka lewati gelap dan sunyi, hanya diterangi sesekali oleh lampu jalan yang berkedip-kedip, memberikan sedikit cahaya yang hampir tak berarti, seolah-olah kota itu enggan memberikan secercah harapan bagi mereka yang terperangkap dalam keputusasaan.

Zaheer menggenggam erat-erat tangan Jisoo, tangan kecilnya basah oleh keringat dan dingin seperti es. Tatapan bocah itu penuh ketakutan, matanya yang besar memandang Jisoo dengan harapan yang rapuh, seolah Jisoo adalah satu-satunya tameng yang bisa melindunginya dari buruan orang-orang dewasa itu.

Sementara Jisoo terus berusaha menahan rasa paniknya meskipun jantungnya berdebar kencang. Dia tahu mereka tak bisa terus-terusan berlari tanpa arah seperti ini. Tapi apa pilihan mereka? Setiap kali dia menoleh ke belakang, dia masih bisa melihat siluet ketiga pria itu, bergerak cepat dan gigih seperti predator yang mengincar mangsanya.

“Zaheer, berlarilah sekuat tenagamu,” bisiknya dengan suara yang berusaha terdengar tenang. “Kita hampir sampai di ujung lorong.” Kata-katanya lebih sebagai upaya untuk menenangkan bocah itu dan mungkin juga dirinya sendiri. Namun, dalam hatinya, keraguan tumbuh semakin besar. Ke mana mereka akan pergi setelah ujung lorong ini? Apakah ada tempat yang cukup aman untuk bersembunyi dari mereka?

Hampir sepanjang hari ini mereka terus bergerak, menyelinap dari satu sudut gelap ke sudut lainnya, bersembunyi di balik tumpukan kardus, tong-tong sampah, dan celah sempit di antara bangunan kumuh. Lorong-lorong kawasan kumuh yang suram terasa semakin menyesakkan dengan bau busuk dari sampah yang menggunung dan udara lembap yang membuat napas terasa berat. Setiap kali mereka berhenti untuk bersembunyi dan beristirahat sejenak, mereka menahan napas, berharap dengan cemas agar para pengejar melewati lorong yang salah.

Namun, ketiga pria itu tampaknya tak semudah itu untuk dikelabui. Dari kejauhan, suara langkah kaki berat dan gelak tawa mereka yang kasar semakin mendekat, menghantam udara malam yang tenang dengan nada ancaman tak kentara.

“Hei, bocah! Kau pikir bisa bersembunyi lagi dariku?” Salah satu dari mereka berteriak, suaranya penuh nada mengejek, menyiratkan rasa senang yang mengerikan. “Aku ingat wajahmu dan temanmu itu, anak tengik.” Pria itu tertawa, suara tertawanya bergaung membuat suasana semakin menegangkan.

Ketiga pria ini adalah orang-orang yang dulu pernah memukuli Zaheer hanya karena sepotong roti. Tadi siang, saat mereka sedang berkeliaran mencari makan, Jisoo tanpa sengaja melihat mereka di tengah jalan. Begitu mengenali wajah-wajah itu, dia langsung menarik Zaheer, berbalik arah, dan berlari cepat menjauh. Namun, sialnya, salah satu dari mereka menangkap sekilas bayangan Zaheer yang melintas dan langsung mengenalinya.

Mereka segera menyusul dan menghalangi jalan mereka di sebuah gang. Tatapan mereka yang penuh nafsu dan kebencian tampak menakutkan, menambah ketegangan yang telah mencekam hati Jisoo. Mereka tak lagi hanya mengincar Zaheer untuk ‘membalas dendam’, tetapi kini mata mereka juga tertuju padanya dengan tatapan yang meresahkan.

“Jadi ini teman barumu, Bocah?” Salah satu pria itu bertanya, matanya berkilat saat melihat Jisoo yang berusaha melindungi Zaheer. “Sepertinya temanmu bisa bernilai lebih dari sekadar roti,” ujarnya sambil menyeringai. Niat jahat mereka tak tersembunyi lagi. Rencana mereka kini berubah: mereka tak hanya ingin membalaskan dendam pada si kecil Zaheer, tapi juga menjadikan Jisoo sebagai barang untuk dijual, dijadikan budak di pasar gelap.

Mendengar perkataan mereka, membuat darah si kecil Zaheer membeku. Tubuh kecilnya merapat pada Jisoo, sementara tangannya menggenggam erat lengan gadis itu seakan-akan dia tak ingin terpisah sedetik pun.

“Jangan takut, Zaheer. Aku akan melindungimu,” gumam Jisoo meskipun suaranya nyaris terdengar bergetar. Dia tahu kata-katanya tak mampu mengusir ketakutan yang mencekam, baik pada Zaheer maupun dirinya sendiri.

Jisoo menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan gemuruh ketakutan yang mengaduk-aduk perutnya. Dia adalah satu-satunya orang dewasa yang dimiliki anak ini. Maka apa pun yang terjadi, dia tak boleh terlihat lemah meskipun detik demi detik semakin sulit baginya untuk menyembunyikan ketakutannya.

Tatapan Jisoo beralih ke tiga pria yang berdiri tidak jauh di hadapannya dengan ekspresi licik dan niat buruk yang begitu jelas terpancar di mata mereka. Bagaimana caranya dia bisa melawan mereka? Berpura-pura lagi sebagai petugas keamanan seperti yang pernah dia lakukan dulu? Itu ide yang mustahil. Mereka sudah melihat wajahnya dan mustahil untuk bermain peran di situasi ini.

Pikiran Jisoo berpacu, mencoba mencari solusi. Berkelahi dengan mereka? Kalau ini pertarungan satu lawan satu, mungkin dia masih memiliki peluang. Tapi melawan ketiganya sekaligus? Dia tidak cukup gila untuk berpikir bisa menang dengan kemampuan bela diri seadanya. Lagi pula, dia bukan seorang ahli yang bisa melawan tiga orang sekaligus. Meskipun dia pernah belajar cara melindungi diri dan merupakan keturunan langsung dari keluarga assassin, dia tetap bukan seorang ahli. Jisoo hanyalah seorang anak perempuan yang menjalani hidup sebagian besar sebagai gadis biasa, jauh dari kesadisan dunia assassin yang dijalani saudara-saudaranya.

Dengan bibir yang bergetar, Jisoo menggigit bibirnya dalam-dalam, menahan gejolak putus asa yang mulai merayap di dalam dirinya. Matanya melirik sekeliling berharap menemukan sesuatu, apa saja, yang bisa memberinya peluang untuk melarikan diri bersama Zaheer. Namun, lorong itu begitu sepi, seperti wilayah terasing yang ditinggalkan orang-orang. Tak ada satu pun wajah yang terlihat, tak ada satu pun suara langkah kaki yang mendekat untuk membantu. Mereka telah menghabiskan nyaris sepanjang hari bersembunyi, menghindari pria-pria ini dari lorong ke lorong, dari sudut gelap ke sudut yang lebih gelap lagi, hanya untuk tetap tertangkap di sini.

Hari telah beranjak malam dan jalanan kini terasa semakin sunyi. Kegelapan membentang di sekeliling mereka, mempertebal rasa mencekam yang menggantung di udara. Bayangan bangunan tua di kanan-kiri lorong itu berdiri kaku, menambah perasaan terisolasi dan tak ada jalan keluar. Jisoo tahu mereka tak punya tempat untuk meminta perlindungan di sini. Tak ada tempat untuk berlindung dan tak ada seseorang pun yang bisa diandalkan.

Ke mana mereka harus mencari perlindungan? Jisoo berharap orang-orang kiriman kakaknya dapat segera tiba dan menyelamatkannya. Tapi berdasarkan isi surat yang baru diterimanya pagi tadi, orang-orang itu baru akan memasuki perbatasan Tarrin saat fajar. Maka tidak ada pilihan lain, selain mengandalkan diri sendiri dan insting untuk bertahan hidup.

Jisoo langsung mengenggam erat tangan Zaheer, lalu membawanya berlari lagi. Mereka tidak boleh berdiam di satu tempat terlalu lama, cukup berbahaya, orang-orang itu pasti akan langsung menyadari keberadaan mereka. Terus berlari menjauh hanyalah satu-satunya cara yang dapat mereka lakukan.

Dengan langkah cepat, mereka menyusuri lorong demi lorong menghindari bayangan yang bergerak di kejauhan. Jisoo terus menyeret Zaheer, meski bocah itu sudah mulai kelelahan dan napasnya semakin tersengal. Di dalam hatinya, Jisoo memohon agar ada jalan keluar atau setidaknya seseorang yang bisa membantu mereka. Pikiran tentang pusat Kota Tarrin melintas di kepalanya—mungkin di sana mereka bisa menemukan lebih banyak orang, lebih banyak keramaian yang bisa menjadi perlindungan alami dari para pengejar mereka.

Namun, harapan itu segera terasa kosong. Dia tak mengenal siapa pun di Tarrin yang bisa dimintai bantuan. Tak ada tempat untuk berlindung di tengah kota asing dan penuh bahaya ini. Tak ada ... kecuali satu orang.

Nama Taeyong tiba-tiba terlintas dalam benaknya, membawa serta perasaannya yang bercampur aduk. Pria itu adalah satu-satunya orang di Tarrin yang dia kenal. Tetapi setelah apa yang terjadi, setelah dia melarikan diri darinya, Jisoo tak yakin apakah pria itu akan benar-benar menyambutnya kembali dengan tangan terbuka. Dia bisa membayangkan tatapan marah Taeyong saat melihatnya kembali dan memintanya perlindungan. Tatapan marah sekaligus dingin yang dipenuhi rasa penghinaan.

Namun, di sisi lain, Jisoo tahu bahwa Taeyong tak akan membiarkannya terluka. Bagaimanapun caranya, pria itu telah menunjukkan perasaan posesif yang begitu kuat padanya, cukup untuk membuatnya merasa bahwa dia memiliki hak atas Jisoo. Meski hal itu membuatnya tak nyaman, sekarang ini, dia mulai merasa bahwa sikap itu bisa menjadi satu-satunya penyelamat baginya dan Zaheer.

Oh, tidak, tidak. Hatinya menjerit dalam diam, mencari celah untuk kabur dari pikirannya sendiri. Kenapa dari semua orang, dia justru memikirkan pria itu? Taeyong? Apa yang sedang dipikirkannya? Jisoo merasa hampir tertawa sinis pada dirinya sendiri. Yang benar saja, Jisoo! Apa kau sudah gila berpikir untuk kembali dan meminta bantuannya setelah semua usaha kerasmu melarikan diri darinya?

Dia menarik napas dalam-dalam, berusaha membuang jauh-jauh bayangan Taeyong dari pikirannya. Taeyong sama gilanya seperti ketiga pria itu, sama berbahayanya. Tapi kemudian, pikiran lain yang lebih menyiksa berbisik dalam benaknya. Namun, setidaknya dia tak akan menculik dan menjualku sebagai budak pelacur. Kalimat itu bergema dalam benaknya, membuatnya menggigit bibir bawahnya dengan cemas berusaha mengalihkan pikirannya dari kebodohan yang merayap pelan-pelan

Berhenti, Jisoo! Dia memarahi dirinya sendiri dalam hati, mencoba menegakkan kembali tekadnya. Kau harus bertahan. Orang-orang kakakmu akan tiba di Tarrin. Kau hanya perlu bertahan hingga saat itu. Dia melirik ke arah Zaheer yang masih memegang erat tangannya, wajah bocah itu penuh ketakutan dan lelah. Itu memberikan Jisoo sedikit keberanian supaya tak menyerah.

Mereka terus berlari di antara lorong-lorong yang makin gelap dan sunyi. Udara malam yang dingin menyusup ke dalam tulang, sementara bulan bersinar redup di atas kepala, sinarnya tertutup oleh kabut tipis seolah menjadi saksi bisu atas keputusasaan yang kini membayangi mereka. Di sekeliling mereka gedung-gedung tua dengan dinding penuh lumut tampak seperti bayangan yang mengintai, menambah kesan suram di lorong yang kian terasa menyesakkan.

Di depan mereka, sebuah gang sempit yang gelap dan terlantar muncul di antara bangunan-bangunan kumuh. Jisoo menarik tangan Zaheer, menuntunnya menuju kegelapan itu dengan harapan bahwa lorong itu bisa menjadi tempat persembunyian sementara. Dia mengintip ke balik bahunya, memastikan bahwa ketiga pria itu belum terlalu dekat. Dengan napas yang tersengal-sengal, dia dan Zaheer menyelinap ke dalam lorong, menyatu dengan bayangan.

Namun, takdir tampaknya belum berpihak pada mereka. Di tengah kegelapan yang pekat, Jisoo tak menyadari bahwa lorong itu berujung pada sebuah tembok batu tinggi dan kokoh, menghalangi jalan keluar. Tembok itu menjulang, dingin dan tak berbelas kasihan, mengurung mereka tanpa ampun. Harapan yang sempat tumbuh perlahan hancur dan dadanya terasa semakin sesak saat menyadari bahwa mereka telah terperangkap tanpa jalan keluar.

Hati Jisoo tenggelam dalam keputusasaan, perasaan getir seketika membanjiri dirinya. Dia meremas tangan Zaheer lebih erat meskipun tahu genggamannya tidak akan mengubah nasib mereka. Zaheer menatapnya dengan mata lelah dan penuh kecemasan; Jisoo hanya bisa menunduk, mencoba menyembunyikan ketakutannya agar bocah itu tetap memiliki secuil harapan.

Dan seolah-olah alam semesta sedang bermain-main dengan penderitaan mereka, suara langkah kaki yang berat dan penuh dendam terdengar semakin dekat. Ketiga pria itu muncul dari balik bayang-bayang, senyum licik tersungging di wajah mereka. Mereka tak perlu mengatakan apa-apa, kehadiran mereka sudah cukup untuk membuat Jisoo dan Zaheer menyadari betapa terpojoknya mereka saat ini.

“Nah, nah, lihat siapa yang akhirnya kehabisan tempat untuk melarikan diri,” ucap salah satu pria itu dengan senyum miring yang membuat wajahnya tampak lebih menyeramkan dalam bayangan lampu remang. Matanya menyapu Jisoo dari atas hingga bawah, menelanjangi dirinya dengan tatapan penuh niat buruk. “Gadis pemberani seperti kau, aku rasa kau harus diajari untuk mengenal batas, ya?”

Jisoo merasakan jantungnya berdebar semakin kencang, hampir seperti pukulan keras di dalam dadanya. Kakinya terasa lemas, tetapi dia berusaha berdiri tegak, menutupi Zaheer dengan tubuhnya. Dia menatap pria itu dengan pandangan penuh kebencian, walaupun di dalam hatinya ketakutan menggerogoti setiap inci keberaniannya.

“Pergilah. Jangan ganggu kami!” serunya mencoba terdengar berani dan tegas meskipun ancamannya tak akan berpengaruh pada para pria ini yang berdiri di depannya.

Pria kedua, yang terlihat paling muda di antara mereka, hanya tertawa kecil. “Lihat ini, dia masih punya nyali rupanya,” katanya, matanya bersinar dalam kegelapan. “Sayangnya, nyalimu itu tidak ada gunanya di sini, Nona. Kau sudah terjebak dan tidak ada yang akan datang menyelamatkanmu.”

Jisoo menggigit bibirnya lebih keras, mencoba menahan ketakutan yang semakin mencekam. Dia tahu dia tak bisa melawan mereka semua. Keahliannya dalam bela diri tidak cukup untuk menghadapi tiga pria ini dalam perkelahian. Di belakangnya, Zaheer semakin merapat, tubuhnya gemetar ketakutan, dan tangannya menggenggam erat Jisoo.

“Pergilah, sialan! Jangan ganggu kami atau—”

“Atau apa?” tanyanya dengan tawa mengejek. “Kenapa kami harus pergi, kalau kami bisa mendapat sesuatu yang lebih berharga di sini? Gadis cantik sepertimu pasti akan menghasilkan banyak uang.”

“Tepat sekali,” timpal pria pertama yang berwajah seram. “Permintaan budak seperti dirimu sedang tinggi-tingginya. Kau bisa menjadi investasi yang menguntungkan bagi kami.”

Rasa takut mulai merambat di dada Jisoo, tapi dia tak membiarkan wajahnya menunjukkan kepanikan. Jisoo menyadari bahwa ketiga pria ini melihatnya sebagai barang, sebagai sesuatu yang bisa diperjualbelikan tanpa nilai kemanusiaan. Rasa jijik dan marah menyelimuti dirinya, tapi dia tetap berdiri tegak sambil memegangi Zaheer yang menggigil ketakutan di belakangnya.

“Sentuh aku dan aku pastikan kalian akan menyesal!” serunya mengancam mereka dengan mata berkilat penuh kebencian.

Namun, ancamannya hanya membuat ketiga pria itu tertawa. Suara tawa mereka menggema, keras dan penuh ejekan, seolah ancaman Jisoo tak lebih dari lelucon konyol yang tak layak dianggap serius.

“Dia masih saja berani melawan,” ujar si pria ketiga bertubuh besar yang dulu tidak mudah percaya pada tipuan Jisoo ketika dia berpura-pura menjadi petugas keamanan. Pria itu kini menghampiri mereka dengan langkah pelan. “Sayang sekali, Nona. Kami tidak takut dengan ancamanmu itu.”

Dia menjulurkan tangan hendak meraih lengan Jisoo. Namun, dengan gerakan cepat, Jisoo menginjak kakinya keras-keras, membuat pria itu meringis kesakitan dan mundur sedikit. Tindakan itu mengejutkan kedua pria lainnya, membuat mereka semakin marah.

“Brengsek!” umpat si pria ketiga, wajahnya merah padam karena amarah dan malu. Dia mengusap kakinya yang sakit, lalu memandang Jisoo dengan tatapan siap membunuh. “Aku akan membuatmu menyesal karena berani melawanku!”

Di belakangnya, Zaheer menggigil ketakutan, matanya terbelalak saat melihat bagaimana ketiga pria itu semakin mendekat dengan tatapan penuh niat buruk. Udara terasa semakin berat, menguarkan bau lembap dari dinding batu yang dingin di sekeliling mereka.

Pria bertubuh besar, yang kakinya tadi diinjak oleh Jisoo, melangkah maju lagi. Wajahnya semakin merah, penuh amarah dan rasa hina karena dipermalukan oleh seorang wanita. “Kau pikir bisa melawanku, hah? Kau cuma perempuan tak berguna!” serunya dengan senyum mengejek. “Wanita sepertimu seharusnya tahu tempatnya, jangan sok berani.”

Zaheer meremas lengan Jisoo, suaranya bergetar saat dia berbisik, “Kak ....”

Jisoo menoleh cepat ke arah Zaheer, matanya penuh dengan tekad yang kuat, meskipun di dalam hatinya ia juga dihantui oleh ketakutan yang sama. “Tidak apa-apa, Zaheer. Aku tidak akan biarkan mereka menyakiti kita,” katanya dengan keyakinan yang dipaksakan.

Pria yang lebih muda maju mendekat, menatap Jisoo dari atas ke bawah dengan tatapan merendahkan. “Lindungi dari apa? Memang apa yang bisa kau lakukan?” Dia mendengus, seakan menikmati perlawanan kecil Jisoo hanya sebagai hiburan belaka. “Kau pikir hanya dengan menginjak kaki temanku, kau bisa lolos begitu saja? Jangan mimpi!” katanya sambil mengulurkan tangan berusaha meraih lengannya.

Namun, sebelum pria itu sempat menyentuhnya, Jisoo bergerak dengan cepat dan lincah. Dengan gerakan yang pernah dia pelajari dulu, dia meraih pergelangan tangan pria itu, memutarnya ke belakang dengan kuat, dan dalam hitungan detik lututnya menghantam perut pria tersebut. Pria itu terhuyung, wajahnya menegang karena rasa sakit yang mendadak. Dia kemudian terbatuk keras, mengerang dengan ekspresi yang terkejut sekaligus terluka.

Jisoo segera mundur, mengambil jarak dan mengatur napasnya, posisinya siaga dengan kedua tangan terangkat sedikit di depan, siap untuk bertahan. Meski tubuhnya gemetar dan jantungnya berdebar kencang, dia tak menunjukkan tanda-tanda akan menyerah.

“Pergilah, sialan!” teriaknya dengan suara yang terdengar gemetar. Dia tahu bahwa dia mungkin tak bisa bertahan lama melawan mereka, tetapi dia takkan menyerah tanpa perlawanan.

Kedua pria lainnya saling bertukar pandang, raut wajah mereka yang awalnya dipenuhi kesenangan berubah menjadi dingin. Si pria bertubuh besar menatapnya dengan tatapan gelap, wajahnya mengeras dengan senyum sinis yang menghilang digantikan oleh kilatan marah. “Berani sekali kau,” ucapnya dengan marah. “Dasar jalang tak tahu diri!”

Mereka mulai bergerak, perlahan mengelilingi Jisoo, mencoba mengepungnya agar tak ada celah untuk kabur. Zaheer yang menyaksikan semua ini, makin ketakutan dan menggigil sambil terus berdiri di belakang Jisoo.

Jisoo bergerak mengikuti arah mereka, berputar pelan agar tetap bisa melihat keduanya sambil melindungi Zaheer di belakangnya. “Kalian mau apa dari kami?” serunya, berusaha keras untuk membuat suaranya tetap terdengar tegas. “Pergi dari sini! Jangan coba-coba mendekat lagi!”

Pria bertubuh besar itu tertawa kecil, suaranya dalam dan dingin, seperti suara binatang buas yang melihat mangsanya tak berdaya. “Mau apa, kau tanya?” ujarnya sambil melangkah mendekat. “Tentu saja menjual kalian, terutama kau! Kau akan menjadi barang dagangan yang menguntungkan.”

Hatinya berdegup keras, menahan rasa takut dan kemarahan yang bercampur jadi satu. Ancaman dan niat keji pria-pria itu menggema di pikirannya, membuat jantungnya berdebar semakin cepat. “Aku bukan barang yang bisa kalian perdagangkan!” balasnya lantang dengan suara nyaring, penuh ketegasan yang berusaha menutupi ketakutannya. Tangannya mengepal erat, kuku-kukunya hampir menusuk telapak tangan, tapi dia tahu di dalam hatinya bahwa ancamannya mungkin tak akan berarti apa-apa bagi mereka. Pria-pria ini tak akan berhenti sebelum mereka berhasil menangkapnya.

Saat pria yang lebih muda kembali melangkah maju, mencoba meraih lengannya, Jisoo segera bereaksi.  Dia meraih tangan pria itu, memelintirnya dengan keras ke belakang hingga terdengar bunyi retakan halus, lalu menghantam tengkuknya dengan siku. Pria itu terhuyung ke depan, wajahnya menyeringai menahan rasa sakit. Dia menggeram marah, tapi sebelum sempat bangkit, kedua temannya bergerak serempak, menyerang gadis itu.

Jisoo merasakan ketegangan meningkat. Kedua pria itu mendekat dari sisi kanan dan kiri, menyempitkan ruang geraknya dan membuatnya sulit menghindar. Pria besar yang kakinya pernah diinjak oleh Jisoo, berhasil meraih pergelangan tangannya dengan kasar. Jemarinya yang besar dan kuat menggenggamnya, seolah dia tak lebih dari sehelai daun yang lemah. Sekali tarikan, pria itu berhasil menyeretnya hingga tubuh Jisoo terdorong ke depan dan hampir kehilangan keseimbangan.

“Lepaskan aku!” Jisoo meronta dengan suara penuh putus asa sambil mencoba menarik tangannya, tapi genggaman pria itu seperti jerat besi yang tak bisa dia lepaskan. Sementara rasa sakit mulai menyebar di lengannya, membuatnya menggigit bibir untuk menahan erangan agar tidak terdengar. Dia tidak ingin menunjukkan kelemahan apa pun di hadapan mereka.

Di saat itu, Zaheer yang melihat Jisoo ditangkap tiba-tiba mengumpulkan keberaniannya. Meskipun tubuhnya kecil dan gemetar, matanya menyala penuh tekad. Dengan suara kecil penuh keberanian, bocah itu berteriak marah, “Jangan sakiti Kak Jisoo!” Lalu tanpa pikir panjang, dia menerjang ke arah pria besar tersebut yang langsung dihalangi oleh temannya. Zaheer tetap menerjang, memukuli tubuh pria lainnya dengan tangan-tangan kecilnya yang gemetar dan tanpa ragu mengigit tangan pria itu sekuat tenaga.

Tindakan Zaheer membuat ketiga pria itu tersentak sejenak, tak menyangka bahwa bocah kecil ini akan begitu berani. Namun, reaksi mereka tak bertahan lama. Salah satu dari pria itu hanya menyeringai sinis, lalu menepis tubuh Zaheer dengan kasar, membuat bocah itu jatuh tersungkur ke tanah.

Pria yang tadi digigit oleh Zaheer kini memuncak amarahnya, wajahnya memerah penuh kebencian. Dia menatap bocah itu dengan tatapan mengancam, jemarinya mengusap bekas gigitan yang perih di tangan. “Dasar bocah tengik!” serunya marah.

Tanpa ampun, dia melayangkan tinjunya ke tubuh Zaheer, menghantamnya keras hingga bocah itu menggeliat kesakitan. Zaheer berusaha menutupi tubuhnya, tapi tubuh kecilnya tak bisa menahan serangan brutal tersebut. Pria itu terus menghujaninya dengan pukulan tanpa ampun. Setiap hantaman membuat tubuh kecilnya menggeliat, tangis dan rintihannya terdengar memilukan.

Jisoo melihat kejadian itu dengan mata melebar, tubuhnya gemetar di bawah cengkeraman pria yang menahannya. Hatinya mencelos melihat Zaheer diperlakukan begitu kejam, kemarahan dan kepedihan berkecamuk dalam dirinya. “Berhenti! Kumohon, berhenti!” serunya mencoba melepaskan diri dari cengkeraman pria itu, tapu sia-sia. Air mata mulai menggenang di pelupuk matanya, amarah bercampur dengan rasa tidak berdaya membuat dadanya terasa sesak. Dia menggigit bibirnya kuat-kuat, menahan tangis dan frustrasi yang memuncak. “Jangan sakiti dia! Dia cuma anak kecil, kumohon ....”

Pria yang memegang Jisoo menatapnya dengan tawa dingin, senyum jahat terukir di wajahnya. “Kenapa? Kau tidak suka melihat bocah ini menderita?” katanya sambil menyeringai, menikmati rasa putus asa di matanya. “Mungkin seharusnya kau pikir dua kali sebelum menantang kami.”

Jisoo meronta semakin keras, tapi genggaman pria ini begitu kuat. Napasnya semakin tak beraturan, dipenuhi rasa marah dan tak berdaya. Dia tahu tenaganya tak sebanding dengan mereka, tapi melihat Zaheer dijahar seperti itu, hatinya tersayat dan dipenuhi kepanikan.

“Lepaskan aku! Kumohon, lepaskan! Jangan sakiti dia!” teriaknya lagi, kini suaranya terdengar pecah dan putus asa.

Pria yang memukuli Zaheer akhirnya berhenti sejenak, menoleh ke arah Jisoo dengan seringai kejam di wajahnya. “Kau pikir permohonanmu ada gunanya?” katanya sambil meludah ke tanah. “Anak ini harus diberi pelajaran seperti dirimu.”

Zaheer yang tersungkur di tanah mencoba membuka mata yang semakin berat. Melalui tatapan sayu, dia melihat Jisoo yang masih berusaha meronta untuk menolongnya. Meski tubuhnya penuh luka dan kesakitan, Zaheer berusaha tersenyum tipis, seakan memberi isyarat pada Jisoo untuk tidak perlu khawatir padanya. “Kak ...,” bisiknya lemah sebelum akhirnya dia terkulai lemas.

Melihat kondisi Zaheer yang semakin mengenaskan, Jisoo merasakan kemarahan yang membara di dalam dadanya. Dia menggertakkan gigi, menahan tangisannya, lalu sekali lagi mencoba mengerahkan seluruh tenaga yang tersisa untuk melawan. “Lepaskan aku!” jeritnya dengan suara penuh emosi.

Pria besar yang mencengkeramnya tertawa kasar, seolah menikmati penderitaan Jisoo dan Zaheer. “Lihat dirimu, begitu tak berdaya. Apa yang bisa kau lakukan sekarang, hah?” katanya sambil mencengkeram bahunya lebih keras hingga membuatnya mengerang kesakitan.

Meski demikian, tekad di mata Jisoo tak pernah memudar. Bahkan di bahwa cengkeraman dan hinaan mereka, dia tak berhenti berjuang demi Zaheer yang kini tergeletak tak berdaya. Lalu dengan sekuat tenaga, dia menyerang pria itu lagi, kali ini dengan menghantam bagian vital pria itu sekeras mungkin. Pria itu berteriak kesakitan dan akhirnya melepaskan Jisoo yang segera berlari ke arah Zaheer.

“Zaheer!” Jisoo merunduk, menarik bocah itu dalam pelukannya seraya menutupi tubuh anak itu dengan tubuhnya sendiri.

Ketiga pria itu terlihat semakin marah, salah satu dari mereka mengumpat kasar. “Dasar gadis keras kepala! Kau benar-benar tidak tahu diuntung!” Si pria besar langsung mengayunkan kakinya, menendang Jisoo dengan keras di sisi tubuhnya.

Rasa sakit menjalar ke seluruh tubuh Jisoo, tapi dia tetap menahan tubuhnya agar tidak jatuh untuk melindungi Zaheer dengan sekuat tenaga. Sementara ketiga pria itu terus melampiaskan kemarahan mereka tanpa ampun dengan menendangi tubuhnya. Setiap tendangan yang menghantamnya membuat tubuhnya semakin lemah. Rasa sakit luar biasa menjalar ke seluruh tubuhnya, bahkan kepalanya kini mulai terasa pusing dan berdarah akibat pukulan dan tendang yang mendarat keras berulang kali.

“Sialan! Dia sangat keras kepala!” seru salah satu pria yang berwajah seram dengan suara geram. “Pisahkan mereka!”

Si pria bertubuh besar segera maju, meraih rambut Jisoo dengan kasar, lalu menjambaknya dengan kuat hingga tubuhnya terangkat sedikit dari tanah. Jisoo mendesis kesakitan, tapi dia tetap memeluk Zaheer dengan sisa-sisa tenaganya dan tak mau melepaskannya. Kedua lengannya menutupi tubuh kecil Zaheer, memastikan tidak ada yang bisa menyentuh anak itu.

“Pergilah! Aku tidak akan membiarkan kalian menyentuhnya!” serunya dengan napas tersengal, meski suara itu mulai terdengar samar dan lemah.

Pria besar itu mendengus kesal, lalu meraih rambut Jisoo dan menariknya dengan keras, mencoba memisahkan paksa dirinya dari Zaheer. Namun, Jisoo tak menyerah begitu saja. Dengan tubuh yang penuh luka dan wajah yang berlumuran darah, dia tetap mempertahankan pelukannya pada bocah itu, memegangnya seolah hidupnya bergantung padanya.

“Dasar keras kepala!” Pria itu menggeram frustrasi, wajahnya memerah oleh amarah. Dia menarik rambut gadis itu lebih keras lagi, membuat lehernya tertarik ke belakang, dan kali ini Jisoo tak bisa menahan jeritan yang lolos dari bibirnya. Rasa sakit itu begitu tajam, seolah kulit kepalanya hendak tercabut. Meski jeritannya menggema di lorong yang sunyi itu, pelukannya pada Zaheer tak sedikit pun mengendur.

Merasa semakin geram, salah satu pria lain maju dan menghantam kepala Jisoo dengan tendangan keras hingga tubuhnya tersentak ke samping. Pandangannya mulai kabur, bintang-bintang gelap memenuhi matanya, tapi dia tetap berusaha menghalangi tubuh Zaheer dari serangan berikutnya.

“Hei, jangan merusaknya! Dia tidak akan laku kalau kau membuatnya cacat!” Si pria muda yang berada di belakang memperingatkan dengan nada tak sabar, matanya melirik ke arah Jisoo dengan campuran keserakahan dan kesal.

Si pria berwajah seram mendengus, wajahnya semakin masam. “Ck! Dasar jalang, sialan! Kalau kau ingin mati demi bocah ini, mati saja!” ejeknya dengan nada keji sambil mengangkat kakinya lagi, bersiap untuk mengayunkan tendangan berikutnya. Amarahnya memuncak melihat Jisoo yang terus melawan, seolah tidak takut dengan ancaman mereka.

Si pria muda kembali meneriakinya, “Berhenti! Kalau kau membuatnya rusak, siapa yang mau membeli? Kita tak akan dapat untung apa-apa!” Namun, pria berwajah seram tak mendengarkan, sudah terlanjur terbakar oleh amarahnya.

Tendangan demi tendangan menghujam tubuh Jisoo, membuatnya terhuyung dan gemetar. Setiap pukulan dan tendangan mendarat keras di tubuhnya yang sudah terluka, sementara Jisoo tetap bertahan, melindungi Zaheer di bawah tubuhnya dengan seluruh kekuatan yang tersisa. Rasanya seperti dipukul oleh palu besi, setiap tendangan menghancurkan sedikit demi sedikit ketahanan fisiknya yang membuatnya menolak untuk menyerah.

Tubuhnya kini hampir tak bergerak, lemah dan terluka, tapi kedua lengannya masih terentang di atas tubuh kecil Zaheer, melindungi bocah itu. Darah menetes dari luka-luka di wajahnya, mengalir perlahan di sepanjang pipi dan jatuh ke tanah yang dingin membentuk genangan kecil berwarna merah pekat. Meski tubuhnya hampir menyerah, hatinya tetap teguh, bertekad melindungi anak kecil ini hingga akhir.

Si pria besar memandangnya dengan tatapan beringas, rahangnya mengeras melihat keteguhan Jisoo yang tak kunjung menyerah, bahkan dalam kondisi yang begitu mengenaskan. Wajahnya memerah karena amarah yang bercampur frustrasi. Dengan kasar, dia meraih rambut Jisoo dan menariknya lebih kuat dari sebelumnya, membuat lehernya tertarik ke belakang dengan paksa. “Dasar keras kepala!” raungnya, suaranya penuh amarah yang hampir seperti raungan binatang.

Rasa sakit membakar kulit kepalanya, membuat Jisoo meringis, tapi dia tak mengendurkan pelukannya pada Zaheer. Bahkan saat tubuhnya ditarik dengan kasar, dia tetap berusaha melindungi kepala bocah itu dengan tubuhnya, menangkis setiap ancaman dengan sisa-sisa kekuatan yang ada. Dalam hatinya, dia merasa sedikit lega, bersyukur bahwa Zaheer sudah tak sadarkan diri dan tak perlu menyaksikan penderitaan yang harus dia alami untuk melindunginya

Dengan suara lemah, Jisoo berbisik, suaranya seperti serpihan angin di tengah keheningan malam, “Sampai aku mati pun, kalian tidak akan bisa membawa kami pergi.” Meski ucapannya terdengar lemah, ada seringai kecil di wajahnya—sebuah ejekan terakhir untuk pria keji di hadapannya.

Pria itu menyeringai dingin, matanya menyala marah. “Lihatlah dirimu, Nona tangguh,” katanya mengejek dan suaranya dipenuhi oleh kebencian. “Berpura-pura kuat, padahal tak lama lagi kau akan menyerah juga.” Dia mengangkat kakinya tinggi, seolah siap menghajarnya lagi dengan tendangan yang akan menghancurkan sisa-sisa kekuatan yang masih tersisa dalam tubuhnya.

Jisoo merasakan ancaman itu seperti bayangan gelap yang semakin mendekat, menghantui setiap helaan napasnya. Menyadari serangan yang akan datang, dia menarik napas dalam, lalu dengan sisa-sisa tenaga yang ada, berusaha menggerakkan tubuhnya yang hampir lumpuh untuk melindungi Zaheer. Rasa sakit di tubuhnya seperti aliran listrik yang membakar setiap saraf, tapi dia mengabaikannya. Dia segera memiringkan tubuhnya hingga bisa menjadi perisai terakhir bagi bocah kecil itu.

Malam semakin pekat, lorong sepi itu sunyi, menyaksikan pemandangan brutal yang terjadi dalam bayang-bayang kegelapan. Tidak ada suara lain selain napas tersengal Jisoo dan tawa sinis pria-pria di sekelilingnya. Jisoo memejamkan mata sejenak untuk merasakan dinginnya tanah di bawahnya, darah yang terus mengalir, dan tekad yang masih menguatkan hatinya. Meski tubuhnya mulai menyerah, hatinya tetap bertahan, dan terbesit di benaknya sebuah harapan kecil bahwa ini bukanlah akhir.

Namun, di tengah kegelapan dan rasa putus asa yang hampir merenggutnya, Jisoo mendengar sesuatu. Sebuah suara—kasar, penuh kemarahan dan nyaris tak terdengar—seolah datang dari jauh. Entah imajinasi atau kenyataan, tetapi itu cukup untuk memberinya sedikit kekuatan terakhir. Dia membuka matanya perlahan, kelopak matanya terasa berat, dan pandangannya kabur, tapi dia berusaha keras untuk mengenali keributan yang terjadi di hadapannya.

Dalam pandangannya yang buram, dia melihat sosok bayangan seorang pria bergerak cepat, menerjang tanpa ragu ke arah salah satu pria yang masih memukulinya. Dengan kekuatan yang tak terduga, pria itu menghantamkan tinjunya, memukul pria terakhir yang menyiksanya hingga terhuyung jatuh ke tanah. Tindakan itu begitu liar, penuh emosi, seperti badai yang tak bisa dibendung.

Jisoo berkedip, mencoba memfokuskan pandangannya. Siluet itu perlahan semakin jelas, meski setiap gerakan di hadapannya terasa lambat, seperti potongan adegan yang diputar dalam mimpi. Pria itu terus melancarkan serangan, tubuhnya bergerak dengan ketegasan dan kekuatan yang membuat musuh-musuhnya mundur ketakutan. Sesekali terdengar erangan kesakitan dan sumpah serapah dari mereka, tapi sosok pria itu tak berhenti, melawan dengan seluruh amarah yang terlihat seperti bara api di malam yang dingin.

Hati Jisoo berdebar. “Kakak ...?” bisiknya lirih, nyaris tak terdengar di tengah kekacauan. Dia tidak yakin, pikirannya masih terselimuti kabut, tapi ada sesuatu yang familiar dari cara pria itu berdiri. Punggung yang tegap itu, postur yang kokoh, semuanya mengingatkannya pada seseorang yang telah lama dia rindukan.

Dia mencoba mengangkat tangannya, meskipun seluruh tubuhnya terasa berat seperti ditimbun batu. “Junghoon ...?” panggilnya pelan, harapan bercampur ragu menyelimuti suaranya. Meski tahu mungkin ini hanya ilusi yang diciptakan oleh pikirannya yang rapuh, dia tetap membiarkan harapan kecil itu menyala demi meredakan sedikit ketakutannya.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top