Chapter XLIII: Run 5.0
Empat hari berlalu terasa seperti empat abad bagi Taeyong. Waktu seolah melambat, setiap detik hanya menambah bara di dalam dirinya. Kehilangan jejak Jisoo adalah penghinaan yang tak termaafkan, sebuah tanda ketidakmampuan yang membuat darahnya mendidih. Tak ada petunjuk, tak ada informasi, hanya kegagalan demi kegagalan yang dilaporkan oleh bawahannya, dan itu semua hanya memperkeruh amarahnya. Setiap kali seseorang datang tanpa kabar baik, kemarahannya meledak, meninggalkan ketegangan yang tebal di udara.
Dua penjaga dan seorang pelayan hotel yang gagal menjaga Jisoo malam itu menjadi korban pertama dari amarahnya yang tak terkontrol. Mereka kini berlutut di hadapannya dengan tubuh penuh memar dan luka, sementara napas terengah-engah tengah menahan rasa sakit yang terus menyerang tanpa jeda. Mata Taeyong menyala dingin dan penuh kebencian, membuat para pegawai yang menyaksikan dari jauh menggigil. Dia berdiri tegak di depan mereka, sosok yang tak segan-segan menghukum dengan brutal.
“Tidak ada alasan.” Suaranya rendah dan begitu tajam hingga membuat udara di sekitar terasa semakin berat. “Kalian telah gagal. Ini adalah akibat dari kelalaian yang kalian lakukan.” Pandangannya menyapu ketiga orang di depannya dengan jijik, seperti predator memandang mangsanya yang lemah.
Bagi Taeyong kelalaian mereka adalah dosa yang tak terampuni. Setiap jerit kesakitan yang terdengar dari mereka hanyalah pengingat akan tekadnya bahwa dia tidak akan berhenti sampai Jisoo ditemukan. Tidak ada yang berani melawan tindakan semena-menanya yang semakin hari semakin mengerikan. Setiap orang telah menerima setidaknya satu kali pelampiasan kemarahan tuan mereka.
Selama empat hari ini, Taeyong menutup dirinya dari dunia luar. Dia tak memedulikan siapa pun kecuali satu hal: menemukan gadis yang berani melarikan diri darinya. Panggilan dari teman-temannya, pesan dari rekan bisnis, bahkan permintaan sang ibu yang mendesaknya untuk pulang dan menjelaskan soal rumor kekasihnya—semuanya tak diindahkan. Bahkan ketika ibunya bersikeras membahas pernikahan yang semakin dekat, Taeyong tak memberi jawaban. Semua hal di luar misi ini terasa tak berarti. Hanya ada satu hal penting dalam hidupnya ini dan dia tak akan berhenti sebelum berhasil mendapatkannya kembali.
Malam itu seperti malam biasa, Taeyong kembali ke kamar hotel yang terasa begitu hampa tanpa kehadiran Jisoo. Kamar yang dulu penuh dengan kehadiran gadis itu kini berubah menjadi ruangan dingin dan sunyi, dipenuhi bayang-bayang dan kenangan yang menusuk hati. Dia berdiri di dekat jendela, memandang kegelapan Kota Tarrin sementara bayangan Jisoo terus terlintas di benaknya tanpa henti.
Di setiap sudut kamar ini menyimpan jejak gadis itu—aroma samar yang tertinggal di bantal, gaun tipis yang pernah dia tinggalkan di kursi, bahkan gelas di meja yang pernah disentuh bibirnya. Pikirannya melayang ke senyum samar Jisoo, senyum yang kadang muncul ketika dia berpura-pura acuh. Dia teringat bagaimana Jisoo sering melamun di meja kecil di samping jendela, menatap kota dengan pandangan yang sulit ditebak, seolah-olah ada dunia lain yang hanya dia yang bisa lihat.
Rasa rindu menggerogoti hatinya, sebuah perasaan yang tak pernah Taeyong duga akan dia rasakan. Setiap kali membayangkan Jisoo, ada desakan aneh di dadanya—perasaan yang begitu asing, membuatnya gelisah namun tak mampu dia singkirkan. Dia merindukan tatapan dingin gadis itu, tatapan penuh kebencian yang sekaligus membangkitkan hasrat dan tantangan dalam dirinya. Di bawah kendali ketat dan egonya yang besar, ada dorongan yang terus berbisik, memaksanya untuk mengakui betapa gadis itu telah mempengaruhi seluruh hidupnya.
Namun, kerinduan itu dengan cepat berubah menjadi bara api ketika mengingat kenyataan bahwa Jisoo telah berani melarikan diri darinya. Gadis itu tidak hanya meninggalkannya, tapi juga mempermainkannya.
“Jisoo,” gumamnya dalam kegelapan kamar, suaranya serak dengan emosi yang bercampur aduk antara rindu dan kebencian. “Kau bisa melarikan diri sejauh mungkin, tapi kau tetap milikku.”
Bagi Taeyong, Jisoo bukan sekadar wanita biasa, bukan pula sekadar seorang kekasih atau kelinci peliharaan. Gadis itu adalah sesuatu yang harus dimilikinya sepenuhnya, tak peduli apa pun harga yang harus dibayar. Dia menginginkan Jisoo seperti seseorang yang haus menginginkan seteguk air di gurun. Sebuah hasrat yang menggerogoti rasionalitasnya, mengikis batas antara kebutuhan dan obsesi. Tidak ada kompromi, tidak ada kebebasan, tidak ada pilihan bagi Jisoo untuk menolak.
Malam semakin larut, tetapi Taeyong tak beranjak dari tempatnya berdiri di depan jendela. Tangannya terkatup erat di sisi tubuhnya, otot-ototnya menegang hingga buku-buku jarinya memutih. Dia bisa merasakan amarah yang mendidih, mengalir dalam setiap aliran darahnya, dan meresapi setiap bagian tubuhnya. Matanya terpaku pada kilauan Kota Tarrin, lautan cahaya yang seakan bersekongkol melawan dirinya, menyembunyikan gadis itu di balik selubung kegelapan. Taeyong bersumpah seluruh kota ini akan dia obrak-abrik jika itu yang diperlukan untuk menemukan Jisoo.
Suara pintu yang terbuka perlahan menarik perhatiannya, meskipun dia tak berpaling. Benjamin melangkah masuk dengan gerakan hati-hati. Dia bisa merasakan atmosfer tegang yang menggantung di udara, nyaris membuatnya tercekik.
“Tuan,” panggilnya pelan seraya menghindari kontak mata dengan sang tuan muda yang hanya menunjukkan ekspresi marah. “Kami telah memeriksa sebagian besar kawasan Tarrin, terutama daerah kumuh, tapi belum ada hasil.”
Kedua kelopak mata Taeyong menutup sejenak, rahangnya mengeras menahan ledakan emosi. Dia meremas tangannya semakin erat, mencoba menahan badai amarah yang siap meledak kapan saja. Bibirnya tertarik menjadi garis tipis dan ketika dia berbicara, suaranya terdengar dingin dan penuh ancaman, bagai pisau yang baru diasah. “Kalian memang tidak becus,” gumamnya seperti desisan ular yang siap menyerang.
Benjamin menelan ludah, mengumpulkan keberanian untuk menyampaikan hal yang mungkin bisa menenangkan sedikit amarah tuannya. “Kami sudah memperluas area pencarian ke luar kota dan mengerahkan lebih banyak orang, Tuan. Namun, kami mungkin perlu waktu lebih lama untuk hasil yang memadai.”
Taeyong membalikkan tubuhnya dengan gerakan cepat, tatapannya menusuk langsung ke arah Benjamin. “Lebih lama, katamu?” desisnya dengan nada rendah. “Waktu sudah cukup lama terbuang sia-sia hanya untuk satu orang.”
Di balik tatapan marahnya, ada sesuatu yang lebih dalam. Sebuah obsesi yang mencengkeram jiwanya dan sebuah dorongan yang melampaui logika. Bayangan Jisoo melintas dalam benaknya, menciptakan luka yang kian dalam setiap kali mengingat wajah gadis itu. Tak peduli berapa banyak pengorbanan yang harus dilakukan, dia akan mendapatkan gadis itu kembali dan mengikatnya agar tak bisa lagi melarikan diri.
Benjamin menunduk, menyadari bahwa majikannya berada di ujung batas kesabaran. “Saya akan memastikan kami berusaha lebih keras, Tuan,” katanya mencoba meredakan suasana meski tahu kata-katanya tak akan banyak berpengaruh. “Kami tidak akan berhenti hingga Nona Baek ditemukan.”
Taeyong hanya mendengus dingin, lalu kembali menatap keluar jendela. Matanya menyusuri hamparan kota yang terhampar di bawahnya, di mana ribuan bayangan bersembunyi dalam kegelapan, tempat di mana Jisoo mungkin berada, jauh dari jangkauannya saat ini. Tapi tidak selamanya. Dia berjanji pada dirinya sendiri bahwa saat gadis itu kembali dalam genggamannya, dia tidak akan pernah membiarkannya pergi lagi. Kota Tarrin mungkin besar, tapi baginya, tak ada tempat yang cukup luas untuk menyembunyikan gadis itu dari dirinya.
Malam itu, Taeyong tak tidur sama sekali. Langit di luar jendela hotel terlihat kelam dan tak berbintang, seakan menyatu dengan suasana hatinya yang gelap dan dipenuhi kemarahan. Di dalam kamar yang sunyi, hanya terdengar suara langkah-langkahnya yang berat dan resah, berputar-putar tanpa henti di lantai berkarpet. Wajah Jisoo, tatapan dinginnya, senyum samar yang dulu hanya dia lihat sesekali kini terpatri jelas di benaknya. Setiap detail gadis itu terukir dalam pikirannya, menari di depan matanya seperti bayangan yang tak bisa dia usir.
Berulang kali Taeyong berhenti di depan jendela besar kamar hotel, menatap Kota Tarrin yang membentang di bawahnya. Gedung-gedung tinggi, jalanan sempit, dan sudut-sudut gelap yang tak terhitung jumlahnya tampak sedang mengejeknya, menawarkan sejuta kemungkinan tempat persembunyian untuk gadis itu. Kota Tarrin yang biasanya terasa biasa saja di matanya kini berubah menjadi medan perang pribadi.
Pagi menjelang dengan langit yang kelabu, awan tebal menggantung rendah di atas kota, menambah nuansa muram yang mencerminkan kekelaman di dalam hati Taeyong. Ketika matahari belum benar-benar menampakkan diri, Taeyong memanggil Benjamin dan semua penjaga ke ruang pertemuan. Dia berdiri di tengah ruangan dengan ekspresi dingin. Para penjaga berkumpul di sekelilingnya, ekspresi mereka tegang dan penuh ketakutan.
Taeyong menatap mereka satu per satu, tatapannya menusuk, penuh dengan kemarahan yang hanya menunggu waktu untuk meledak. “Mulai sekarang,” suaranya rendah, dingin dan mengancam, “kalian tidak akan berhenti sampai Nona Baek ditemukan. Hentikan semua pekerjaan lainnya, batalkan semua jadwal, dan kerahkan setiap orang yang kita punya.”
“Siapa pun yang terlihat membantu atau melindunginya,” lanjutnya tanpa belas kasih, “akan dihabisi. Tak peduli siapa mereka.”
Para penjaga menundukkan kepala mereka lebih rendah lagi. Wajah semua orang terlihat pucat, tapi tak ada satu pun yang berani menunjukkan rasa takut lebih dalam. Mereka tahu, ini bukan perintah biasa. Ini adalah titah tanpa kompromi, perintah yang datang dari seseorang yang dilanda oleh obsesi dan kemarahannya. Gagal menemukan Jisoo berarti nasib mereka berada di ujung tanduk.
Benjamin mencoba memberanikan diri untuk memberikan saran. “Tuan, kami bisa mencoba bekerja sama dengan pihak luar. Mungkin ada beberapa guild informasi yang bisa memberikan petunjuk baru.”
Tatapan tajam Taeyong langsung tertuju pada Benjamin. Lalu dia terdiam tampak berpikir sejenak, mempertimbangkan saran itu. Akhirnya, setelah jeda seperkian menit, dia mengangguk perlahan. “Lakukan,” katanya dingin. “Dan pastikan guild itu tahu bahwa kita tidak akan menerima apa pun kecuali hasil yang memuaskan. Jika mereka gagal, mereka akan menghadapi konsekuensinya.”
Benjamin mengangguk cepat kemudian keluar dengan langkah yang teratur, menyembunyikan kegelisahan di balik wajahnya yang tenang.
Setelah semua orang pergi, Taeyong akhirnya duduk kembali ke kursinya dan merasakan sejumput kelegaan sementara di balik ambisinya yang semakin menuntut. Namun, kelegaan itu tak cukup untuk menghilangkan bayangan Jisoo yang terus menghantui pikirannya. Dan keheningan di ruangan yang begitu sunyi, seolah-olah menertawakan keputusasaan yang mulai merayap di hatinya.
Ketika akhirnya dia kembali ke kamar, segala sesuatu di dalam ruangan seakan memanggil kenangan akan gadis itu. Taeyong memejamkan mata, membiarkan bayangan Jisoo membanjiri pikirannya. Dia membayangkan gadis itu berdiri di sudut kamar, menatapnya dengan senyum tipis yang ambigu. Cahaya lampu kamar yang hangat seolah-olah menghidupkan kembali sosok Jisoo di dalam bayangannya.
Dalam diam, Taeyong berbisik pada dirinya sendiri, berulang kali, seakan berjanji pada kegelapan yang melingkupinya. Gadis itu harus kembali. Dia tak akan pernah merasa tenang sampai Jisoo kembali berada di sisinya, di bawah kendali penuh, meski harus mengorbankan segala yang dia punya untuk mencapai itu.
Dia berdiri diam di dekat jendela besar di kamarnya, matanya menatap keluar dengan tatapan kosong. Kamar hotel itu terasa begitu sunyi dan hampa, seakan seluruh ruangan tersebut kehilangan kehidupannya sejak Jisoo melarikan diri. Setiap benda yang disentuh atau ditatap gadis itu kini hanya menjadi pengingat bisu akan ketidakhadirannya, seolah-olah benda-benda itu mengejek kegagalannya untuk mempertahankan gadis yang telah begitu dia klaim sebagai miliknya.
Taeyong merasakan kegilaannya terhadap Jisoo semakin mendalam, seperti bara api yang terus disiram bensin, semakin membara seiring dengan setiap detik yang berlalu tanpa kehadiran gadis itu. Hatinya bergolak, dikuasai oleh campuran rindu yang menyakitkan dan kemarahan yang membara. Jisoo telah menjadi bagian dari dirinya yang tak bisa dia lepaskan, sosok yang kini hidup di pikirannya seperti bayangan yang tak terhapus.
Tiba-tiba suara ketukan keras di pintu kamar memecah lamunannya. Wajah Taeyong langsung mengeras, rahangnya menegang, merasa terganggu oleh siapa pun yang berani datang tanpa izin. Dengan napas tertahan, dia berbalik menatap pintu, amarahnya memuncak, siap untuk melampiaskan kekesalannya pada siapa pun yang berdiri di balik pintu itu.
Namun, sebelum dia sempat berkata apa pun, pintu terbuka perlahan, dan sosok yang tak asing melangkah masuk dengan santai. Wyatt, salah satu teman dekatnya, muncul dengan senyum lebar di wajahnya, tampak tak peduli dengan atmosfer dingin yang memenuhi kamar. “Taeyong! Aku akhirnya menemukamu, saudara!” serunya riang.
Taeyong hanya menatapnya tanpa ekspresi, enggan untuk membalas sapaan itu. Mood-nya sedang buruk dan Wyatt datang di saat yang salah.
Namun, Wyatt sepertinya tak peduli. Pria itu erus melangkah masuk dengan penuh percaya diri, mengabaikan tatapan dingin sang teman. “Hei, kenapa kau tidak datang ke perjamuan kemarin? Semua orang bertanya-tanya di mana kau! Bahkan Gray sempat berpikir kau sedang sakit atau mungkin sibuk dengan pernikahanmu.”
Taeyong tetap diam, hanya menatap Wyatt tanpa banyak respons. Dalam benaknya, segala cerita tentang perjamuan dan teman-temannya itu terasa tak berarti. Satu-satunya hal yang memenuhi pikirannya hanyalah Jisoo.
Wyatt melanjutkan tanpa henti, tak menyadari bahwa Taeyong sama sekali tidak mendengarkannya. “Oh, kau tahu? Rubin dan Johnny baru saja mendapatkan ‘kelinci’ baru. Dua wanita yang benar-benar menarik perhatian banyak orang! Mereka mengundang semua orang untuk melihat dan semua teman kita bahkan bertaruh siapa yang bisa menangkap kelinci itu lebih dulu. Kau pasti akan menyukainya kalau saja datang. Mereka benar-benar membuat suasana jadi lebih hidup. Sayang sekali kau melewatkannya,” katanya sambil tertawa kecil.
Taeyong mendengus, tetap enggan merespon. Dia sama sekali tidak tertarik dengan cerita Wyatt tentang kelinci-kelinci baru atau apa pun yang mereka bicarakan di perjamuan itu.
“Ah, ya! Dan jangan lupa soal bisnis! Kau ingat Mark, yang dulu pernah berbisnis di Tarrin? Dia datang kemarin, membicarakan soal perluasan bisnis di Utara. Aku dengar dia punya peluang besar di sana. Kau tak tertarik untuk berinvestasi?” tambah Wyatt dengan wajah penuh antusiasme, seakan berita itu sangat penting.
Taeyong tetap diam, matanya hanya menatap Wyatt dengan ekspresi yang sulit diterjemahkan. Dia tak mendengar sebagian besar dari yang dikatakan temannya. Setiap ucapan Wyatt terasa seperti kebisingan yang tak berarti di telinganya, menambah lapisan frustrasi yang sudah menumpuk dalam dirinya.
Namun tiba-tiba, Wyatt berhenti bicara dan menatap Taeyong dengan tatapan yang penuh keisengan. “Oh, ngomong-ngomong soal kelinci,” katanya sambil tersenyum mengejek. “Aku sempat melihat kelinci kecilmu beberapa hari yang lalu di kawasan kumuh di pinggiran Tarrin.”
Taeyong mengerutkan dahi, bingung dengan maksud perkataan Wyatt. Untuk sesaat, dia hanya memandang temannya dengan tatapan tidak percaya, sebelum akhirnya mengangkat satu alis, menuntut penjelasan. “Apa maksudmu?” tanyanya tak sabaran.
Wyatt tertawa kecil, menikmati setiap detik melihat ketidaktahuan Taeyong. “Ya, kelinci kesayanganmu itu. Aku pikir kau sudah bosan dan membuangnya di tempat kumuh itu. Kasihan sekali dia terlihat lusuh seperti gelandangan, padahal dia dulu tampak begitu ... menarik.”
Taeyong tercekat, detak jantungnya tiba-tiba berdebar lebih keras. Matanya menyipit penuh kemarahan sekaligus kejutan. “Kau melihat siapa, Wyatt?” desisnya dengan nada tajam, penuh tekanan.
Wyatt mengangkat bahu, masih tak menyadari seriusnya situasi. “Siapa lagi? Kelinci kecilmu. Gadis itu terlihat begitu berbeda sekarang. Sungguh mengejutkan kalau kau benar-benar membuangnya.”
Tanpa mengucapkan sepatah kata pun, Taeyong langsung mendekati temannya itu, wajahnya berubah drastis menjadi penuh tekad dan amarah. “Di mana kau melihatnya?” tanyanya, nyaris memaksa, sorot matanya membara penuh intensitas yang membuat Wyatt terkejut.
Wyatt mundur selangkah, terkejut oleh perubahan drastis temannya. Selama ini dia belum pernah melihat Taeyong begitu terobsesi pada sesuatu atau seseorang. Setelah meredam keterkejutannya, dia akhirnya menjawab, “Di kawasan kumuh di pinggiran Tarrin. Dekat perbatasan kota.”
Taeyong tidak memberikan Wyatt kesempatan untuk menyelesaikan kalimatnya. Tanpa sepatah kata pun, dia berbalik dengan gerakan cepat, bahunya tegang dan rahangnya mengeras—cerminan amarah yang menggelegak di dalam dirinya. Sementara itu, Wyatt hanya bisa menatap punggung Taeyong dengan kebingungan yang kian mendalam, tidak sepenuhnya mengerti apa yang tengah terjadi.
Dia memberi perintah tegas kepada setiap penjaganya, mengerahkan mereka untuk menyisir kawasan kumuh. Benjamin yang baru datang setelah mendapat panggilan, langsung menerima instruksi tanpa bertanya meskipun wajahnya menunjukkan kekhawatiran. Tak ada lagi kompromi; bagi Taeyong, ini adalah perang. Kota Tarrin, dengan segala lorong dan bayangannya, tak akan cukup luas untuk menyembunyikan Jisoo dari dirinya.
Begitu keluar dari kamar, Taeyong langsung memberi isyarat kepada Benjamin. “Kumpulkan semua orang,” ucapnya dengan nada dingin, suaranya rendah namun mengandung kekuatan yang membuat Benjamin tak berani menatapnya langsung. Kalimat itu bukan sekadar perintah; di baliknya tersirat ancaman nyata bagi siapa pun yang gagal memenuhi kehendaknya. “Kita akan menuju kawasan kumuh. Aku tak peduli berapa banyak waktu atau tenaga yang dibutuhkan. Temukan dia sebelum matahari terbenam.”
Benjamin menelan ludah, sedikit terkejut dengan intensitas dan ketegasan perintah itu. “Baik, Tuan,” jawabnya dengan nada penuh kepatuhan. Tanpa berani menanyakan lebih jauh, dia segera bergerak untuk mengumpulkan para penjaga dan informan yang selama ini ada dalam jaringan mereka.
Taeyong melangkah cepat menuju mobil yang terparkir di luar hotel, mengabaikan tatapan heran dari orang-orang di sekitarnya yang terkesima melihat kecepatan dan kegusaran dalam setiap langkahnya. Napasnya pendek dan berat, dadanya terasa penuh oleh campuran kemarahan dan kecemasan yang membakar, dan membentuk obsesi yang tak bisa ia tahan lagi. Sesampainya di dalam mobil, dia duduk di kursi belakang dengan punggung tegak. Matanya tertuju lurus ke depan, sementara tangan kirinya mencengkeram sandaran kursi dengan kuat, seolah-olah cengkeraman itu mampu menahan badai yang berkecamuk di dalam dirinya.
Pikirannya melayang tak menentu, terpusat pada satu bayangan: Jisoo. Dia bisa membayangkan gadis itu berkeliaran di tengah wilayah kumuh yang penuh bahaya, dikelilingi oleh bayang-bayang kelam yang tak bersahabat. Tidak seharusnya Jisoo berada di sana, tidak seharusnya dia berkeliaran tanpa perlindungan di tempat yang keras dan kotor. Bayangan itu membuat darah Taeyong mendidih, bukan hanya karena amarah, tetapi juga karena ketakutan yang diam-diam menyelinap di hatinya—takut kehilangan Jisoo untuk selamanya.
Saat mobil melaju melewati jalan-jalan Kota Tarrin, Taeyong terus memandang keluar dengan sorot mata tajam. Setiap detik yang berlalu terasa seperti siksaan baginya. Dalam diam, Taeyong berjanji bahwa kali ini ketika dia menemukan Jisoo, dia tidak akan membiarkan gadis itu memiliki kesempatan untuk melarikan diri lagi. Tidak ada lagi kebebasan, tidak ada lagi kelengahan. Hanya ada satu jalan bagi Jisoo, bersamanya, di bawah pengawasannya, dan sepenuhnya berada dalam genggamannya.
Obsesi yang selama ini terpendam kini berputar dengan intensitas yang tak lagi bisa dia kendalikan. Tidak ada ruang untuk keraguan atau kompromi. Jisoo bukan hanya seorang wanita yang pernah dia kenal, bukan sekadar objek keinginan. Dia adalah miliknya dan Taeyong bertekad untuk memastikan bahwa tidak ada satu pun hal di dunia ini yang bisa merenggut gadis itu darinya.
Di sisi lain, Benjamin yang duduk di kursi depan hanya bisa menatap jalan di depan dengan ekspresi khawatir. Dia memahami bahwa perintah tuannya bukanlah sekadar pencarian biasa. Kali ini tuannya bergerak dengan obsesi yang nyaris tak waras dan Benjamin tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi jika gadis itu benar-benar ditemukan.
Sementara itu, di kawasan kumuh suasana terasa tenang namun penuh dengan keheningan yang mencekam. Jalan-jalan sempit dipenuhi oleh bayangan gelap, dinding-dinding bangunan lapuk memancarkan bau lembap dan kotor yang khas, menambah suasana suram di tempat itu. Orang-orang berlalu-lalang dengan pandangan curiga dan menghindari tatapan orang lain, seolah-olah setiap orang di sana menyimpan rahasia gelap yang tak ingin dibongkar.
Ketika mobil berhenti di pinggir jalan yang agak lapang di dekat batas kawasan kumuh, Taeyong turun dengan langkah tergesa-geas. Di sekitarnya, anak buahnya sudah siap menunggu, berbaris dengan tubuh tegap dan wajah serius. Tidak ada satu pun dari mereka yang berani berbicara ketika Taeyong berjalan melewati mereka dengan tatapan penuh ketegasan.
“Dengar baik-baik,” ucapnya, memecah keheningan yang menyelimuti tempat itu. Sorot matanya tajam dan penuh perintah, membuat setiap orang di situ langsung memusatkan perhatian padanya. “Aku tidak peduli berapa lama kalian harus mencari. Pergilah ke setiap gang, periksa setiap sudut, dan temukan Nona Baek. Jika kalian gagal, kalian sendiri yang akan menanggung akibatnya.”
Para anak buahnya mengangguk patuh. Ada ketegangan yang mencengkeram tempat itu, seperti badai yang siap meledak kapan saja. Tanpa membuang waktu, mereka segera berpencar, berlari ke arah gang-gang gelap dan jalanan sempit.
Benjamin melangkah mendekat, mencoba berbicara dengan nada hati-hati. “Tuan, kawasan ini sangat luas dan penuh dengan tempat persembunyian. Mungkin ini akan memakan waktu lebih lama dari yang kita harapkan.”
Taeyong memutar kepala perlahan, menatap Benjamin dengan tatapan yang tajam dan dingin. “Aku tidak peduli seberapa lama atau sulitnya, Benjamin. Gadis itu harus ditemukan hari ini.” Suaranya begitu rendah dan penuh ketegasan, membuat Benjamin tak berani membalas lagi.
Sementara pencarian terus berlangsung, Taeyong merasakan kegelisahan yang semakin kuat di dalam dirinya. Setiap detik yang berlalu tanpa kabar hanya menambah kemarahannya. Dia membayangkan kemungkinan-kemungkinan buruk yang bisa saja menimpa Jisoo—gadis itu mungkin tersesat, terluka, atau bahkan dikelilingi oleh orang-orang jahat yang tidak segan-segan menyakitinya.
Di dalam pikirannya, bayangan Jisoo berubah-ubah. Wajahnya yang dulu penuh keberanian kini tergantikan oleh ketakutan yang seolah-olah nyata di depan matanya. Rasa bersalah dan obsesi yang mendalam bercampur menjadi satu, membuat dada Taeyong semakin sesak. Gadis itu bukan sekadar seseorang yang dia inginkan; dia adalah bagian dari dirinya, sesuatu yang dia anggap sebagai miliknya. Dan kehilangan gadis itu adalah sesuatu yang tak bisa diterima oleh egonya.
Tiba-tiba salah satu penjaga yang berpencar kembali berlari ke arahnya dengan napas terengah-engah. “Tuan!” serunya, berusaha menormalkan napasnya. “Kami mendapatkan petunjuk. Seorang anak di sini mengatakan melihat gadis yang sesuai dengan deskripsi Nona Baek. Dia terakhir kali terlihat di gang dekat pasar kumuh.”
Dia mengangguk, tanpa berpikir panjang langsung melangkah cepat menuju arah yang ditunjukkan. Hatinya berdegup keras, campuran antara harapan dan kemarahan membuncah di dalam dirinya. Jika benar Jisoo ada di sana, maka kali ini dia akan memastikan gadis itu tidak akan pernah bisa melarikan diri lagi.
Setiap langkahnya terasa berat dan derap kakinya menggema di antara bangunan tua serta dinding kotor yang berdiri di sepanjang gang sempit. Cahaya remang dari lampu jalanan hampir tidak bisa menembus kegelapan di tempat itu, membuat suasana semakin mencekam. Taeyong semakin jauh masuk ke dalam kawasan kumuh, matanya menyapu setiap lorong dengan ketelitian seorang pemburu. Dia tidak berbicara banyak, hanya memberi isyarat kepada anak buahnya untuk menyebar dan memeriksa setiap sudut.
Sekarang, Kota Tarrin terasa seperti sarang jebakan bagi Jisoo. Dalam pikirannya, hanya satu kalimat yang terus berulang seperti mantra yang memacu tekad.
Dia harus kembali padaku. Dia tidak akan pernah bisa lari lagi!
Tidak akan ada satu pun yang dapat menghalanginya dari menemukan Jisoo dan membawanya kembali. Tidak peduli betapa luasnya kawasan ini atau berapa banyak waktu yang dibutuhkan, dia akan terus mencari hingga gadis itu kembali dalam genggamannya.
Sementara itu di suatu tempat, Jisoo dan Zaheer yang terus berlari di antara bayangan lorong kini bersembunyi di balik tong-tong sampah yang menumpuk di sudut jalan. Malam terasa begitu mencekam dengan udara yang terasa berat dan dingin menelusup ke dalam tulang mereka. Jisoo memeluk Zaheer erat-erat, menenangkan anak itu yang mulai gemetar ketakutan.
“Jangan takut, Zaheer. Kita akan baik-baik saja,” bisiknya meskipun dia sendiri ragu akan kata-kata itu.
Sembunyi dari siapa jisoo ... dari taeyong kah? Atau dari lainnya? 👀
Kapan-kapan tak double update, yg pasti enggak sekarang 🙂↔️🙂↕️
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top