Chapter XLII: Run 4.0

Fajar baru saja menyingsing ketika Jisoo bangkit dengan hati-hati. Diam-diam dia melangkah mengendap-endap, tak ingin membangunkan Zaheer yang masih terlelap. Kekhawatiran mengusik batinnya saat melihat wajah polos anak itu memerah karena demam. Suhu tubuh Zaheer yang tinggi mendesak Jisoo untuk bergegas mencari ramuan obat penurun panas. Tentu saja, di tempat seperti kawasan kumuh ini, tak ada pertolongan medis atau obat-obatan yang bisa dia dapatkan dengan mudah.

Dengan langkah pelan, Jisoo meninggalkan Zaheer yang masih tergolek lemah. Matahari pagi belum terlalu tinggi, cahayanya masih lembut menyelimuti lorong-lorong sempit kawasan kumuh Tarrin. Jalanan berdebu dengan bau apak yang khas mengiringi setiap langkahnya, tapi dia tak memedulikannya. Fokusnya hanya satu, menemukan tanaman obat dan bunga-bungaan yang bisa dia gunakan untuk meramu penurun demam.

Jisoo bergerak cepat, menyusuri pinggiran Kota Tarrin yang penuh dengan tumbuhan liar. Tangannya dengan cekatan memetik daun-daun kecil dan beberapa bunga berwarna-warni yang dia tahu bisa meredakan panas. Setiap kali dia menemukan tanaman yang tepat, perasaan lega sedikit demi sedikit merayap di hatinya.

Namun, ketika akhirnya dia kembali dengan genggaman penuh bahan ramuan, hatinya seketika mencelos saat melihat ruangan kosong. Zaheer tak ada di sana. Anak laki-laki itu menghilang!

Napasnya terhenti sesaat, perasaan cemas serta panik langsung menyergapnya. “Zaheer?” panggilnya dengan cepat memeriksa setiap sudut ruangan, berharap anak itu sedang bersembunyi untuk mengerjainya.

Sayangnya, tidak ada tanda-tanda anak laki-laki itu. Jisoo mulai merasakan dinginnya ketakutan menyusup ke dalam hatinya. Pikirannya kacau, berbagai skenario buruk melintas di benaknya. Ya Tuhan, dia sedang demam tinggi! Bagaimana jika anak itu jatuh tak sadarkan diri di jalanan? Lalu bagaimana jika dia bertemu ketiga pria kemarin?

Jisoo bergegas keluar, matanya dengan liar memindai setiap sudut jalanan. Dia menyusuri setiap gang-gang sempit dan lorong kumuh yang penuh sampah, dengan harapan melihat sekilas sosok kecil Zaheer.

“Zaheer!”

Kakinya bergerak tanpa henti, berkeliling dari satu lorong ke lorong lain, menyusuri jalan-jalan kecil yang hampir dia hafal semalaman.

“Zaheer! Di mana kamu?” teriaknya lagi, berharap ada jawaban kecil dari bocah itu.

Setelah beberapa waktu mencari, Jisoo tiba di jalan utama yang memisahkan pinggiran dan pusat Kota Tarrin. Di sini jalanan lebih lebar dan padat, dipenuhi kereta kuda dan alat transportasi lain yang melaju cepat, serta pedagang kaki lima yang baru menata dagangan mereka. Di tengah hiruk-pikuk itu, matanya tiba-tiba menangkap sosok kecil Zaheer yang sedang berlari dengan langkah terseok-seok. Tubuhnya tampak lemah dan wajahnya pucat.

Jisoo menarik napas lega sejenak, merasa sedikit tenang karena berhasil menemukannya. Namun, perasaan itu tak bertahan lama ketika dia melihat Zaheer tersandung dan jatuh tepat di tengah jalan yang ramai.

Detik itu juga, sebuah kereta kuda melaju ke arah Zaheer yang terjatuh dan terlalu lemah untuk menghindar. Rasa takut yang memuncak membuat Jisoo bergerak tanpa berpikir. Dengan kecepatan luar biasa, dia berlari menerobos keramaian, berlari sekuat tenaga dan melemparkan dirinya ke arah Zaheer. Dalam satu gerakan kilat, dia menarik tubuh kecil itu dari tengah jalan. Tubuh mereka berguling mundur, nyaris terseret ke pinggir jalan, hanya sesaat sebelum kuda-kuda itu hampir menghantam mereka.

Kereta kuda berhenti mendadak dengan suara derit yang nyaring, memekakkan telinga orang-orang di sekitar. Pengemudi kuda, seorang pria bertubuh besar dengan wajah merah padam, langsung berteriak marah, “Apa yang kau lakukan, perempuan gila?! Kau hampir membuat kudaku menabrak kalian!” Suaranya kasar, penuh kemarahan, dan tatapannya tertuju tajam pada Jisoo yang kini memeluk Zaheer erat-erat di pinggir jalan.

Masih terduduk di atas tanah, Jisoo memeluk Zaheer erat sambil berusaha menenangkan dirinya yang masih terkejut. Napasnya terengah-engah, jantungnya berdebar kencang, sementara dia tidak peduli pada pengemudi kereta yang masih melontarkan kata-kata makian kepadanya. Seluruh fokusnya ada pada bocah di pelukannya. “Zaheer, kau baik-baik saja?” bisiknya lembut seraya menyentuh pipi Zaheer yang terasa panas.

Zaheer mengangguk pelan, meski tubuhnya sedikit gemetar. Tatapannya terlihat lelah, seperti kesakitan, tapi matanya menyiratkan keterkejutan saat mengenali Jisoo. “Kakak? Kau ... tidak pergi?” bisiknya lemah.

Sementara itu, pengemudi kereta masih berteriak-teriak di belakang mereka, mengumpat dengan kasar, hingga menarik perhatian orang-orang yang mulai berhenti untuk menonton. Dengan wajah merah padam, pria itu melangkah cepat menghampiri Jisoo. “Apa kau tidak punya otak? Kau tahu betapa berbahayanya berlari di tengah jalan begitu?!”

Jisoo menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan ketegangan dalam dirinya. Dia bangkit perlahan dengan Zaheer masih di pelukannya, matanya menatap tajam ke arah pria itu. Rasa lelah dan keputusasaan seketika berubah menjadi keberanian yang memancar dari sorot matanya. “Dia hanya anak kecil! Dan aku tak akan membiarkannya terluka hanya karena kau tidak berhati-hati!” jawabnya tegas.

Si pengemudi tampak semakin marah, wajahnya semakin merah seperti tomat matang. Tanpa memedulikan tatapan orang-orang yang mulai mengerumuni mereka, dia melangkah lebih dekat ke Jisoo, matanya menatap tajam dengan amarah yang tak tersembunyi. “Apa kau bilang? Anak kecil atau bukan, dia berlari sembarangan di jalan! Jangan menyalahkan aku hanya karena dia tidak tahu aturan!” bentaknya, suaranya menggelegar, bergema di sepanjang jalan.

Jisoo mengepalkan tangan, rahangnya mengeras saat amarahnya tersulut. Dia tak peduli pada pria kekar di depannya yang memandangnya dengan sorot mata menghina. Hatinya sudah terlalu panas melihat Zaheer hampir celaka. “Anak ini sudah cukup menderita tanpa kau menambahinya dengan bentakan-bentakanmu yang tak berperasaan!” balasnya dengan suara tajam, hampir berteriak.

Keributan mereka dengan cepat menarik perhatian orang-orang di sekitar. Pedagang dan pejalan kaki yang awalnya sibuk dengan urusan masing-masing kini mulai melirik ke arah mereka, beberapa di antaranya berhenti untuk menyaksikan pertengkaran yang tampak semakin memanas.

“Tak berperasaan?” Pria itu melangkah lebih dekat, berdiri tepat di hadapan Jisoo dengan tubuh tegap dan tangan berkacak pinggang, sorot matanya penuh ejekan. “Kau ini bodoh atau pura-pura buta? Anak itu bisa membahayakan semua orang di jalan! Bagaimana jika kuda-kudaku panik dan menabrak orang lain? Kau pikir aku ingin disalahkan hanya karena kau tidak bisa menjaga bocah itu?!”

Jisoo mengangkat dagu, tak gentar sedikit pun meski pria itu berbadan jauh lebih besar darinya. “Dia bukan binatang buas yang perlu ‘dijaga’ seperti kau bilang! Dia anak kecil yang hanya berusaha bertahan hidup! Jika kau punya sedikit saja rasa kemanusiaan, kau akan berhenti menyalahkan seorang anak yang sedang berjuang untuk hidupnya sendiri!” ucapnya dengan nada penuh kemarahan.

Pria itu tertawa sinis, suaranya nyaring dan penuh cemooh yang mengundang beberapa tawa kecil dari kerumunan di sekitar. “Kemanusiaan? Hah! Aku bekerja keras setiap hari untuk menghidupi diriku sendiri, bukan untuk peduli pada anak-anak liar yang berkeliaran di jalan!” Dia melambaikan tangan dengan angkuh, seolah-olah keberadaan Jisoo dan Zaheer tak lebih dari gangguan kecil di hari sibuknya.

Orang-orang di sekitar mereka mulai saling berbisik, beberapa mendukung Jisoo sementara yang lain justru mengangguk setuju pada perkataan pria tersebut. Suara-suara komentar dan tawa kecil mulai terdengar samar, menambah keramaian yang semakin memanas.

Jisoo tak bisa menahan diri lagi. Dia melangkah maju hingga hanya berjarak sejengkal dari pria itu, menatapnya tajam dengan mata yang berkilat penuh tekad. “Kau mungkin berpikir bahwa hanya karena duduk di atas kereta kuda, kau bisa memperlakukan orang sesukamu,” ucapnya dengan nada rendah dan tajam. “Tapi ingat, kesombonganmu ini tak akan membawa kebaikan. Hari ini kau hampir mencelakai seorang anak hanya karena kau merasa lebih berhak dari orang lain.”

Wajah pria itu memerah, berubah nyaris ungu karena amarah yang tak lagi terbendung. “Kurang ajar! Kau pikir kau siapa, mengajarku cara hidup?! Kau cuma perempuan yang jelas-jelas tak tahu aturan!” Dia mengangkat tangan dan menunjuk Jisoo, jarinya nyaris menyentuh wajahnya dengan gerakan kasar. “Jika bocah itu tak tahu cara aman berkeliaran di jalan, seharusnya dia tak berkeliaran di sini! Dan kau, jangan bertingkah seolah dirimu lebih baik dariku!”

Jisoo menepis tangan pria itu dengan kasar, matanya menyala penuh kemarahan. “Dan kau tak berhak bicara soal siapa yang layak berada di sini atau tidak!” serunya lantang. “Kota ini bukan milikmu dan jalanan ini bukan tempatmu memutuskan siapa yang boleh hidup atau mati!”

Pria itu tertawa keras, mencemooh keberanian Jisoo yang baginya tak lebih dari lelucon. “Oh, jadi kau mau berdebat denganku soal moralitas, hah? Hanya karena aku punya kuda dan kereta, kau pikir aku seorang bangsawan yang harus bertanggungjawab pada setiap pengemis yang berkeliaran di jalan?”

Kerumunan semakin padat, beberapa orang terlihat tidak setuju dengan pria itu, sementara yang lain mulai bosan dan beranjak pergi. Namun, sebagian besar tetap tinggal, tertarik dengan keberanian Jisoo yang terus menghadapi pria kekar tersebut tanpa rasa takut.

Jisoo, yang kini tak lagi peduli pada komentar atau tatapan orang-orang di sekitar, membalas dengan nada penuh ketegasan. “Mungkin kau punya kuda dan kereta, tapi itu tak membuatmu lebih baik dari siapa pun di sini. Bahkan anak kecil yang kau sebut pengemis ini lebih berharga daripada dirimu yang angkuh!” katanya dengan tatapan dingin dan menusuk.

Pria itu tampak terdiam sejenak, mungkin karena terkejut oleh keberanian Jisoo. Tapi kemarahannya semakin membara. “Kau pikir kau siapa, hah?! Berani sekali bicara seperti itu padaku? Kau tahu, aku bisa saja menyeretmu ke balai kota dan melaporkan sikap kurang ajarmu ini. Biar kau menyesal telah lancang!”

Jisoo tidak mundur meskipun ancaman itu nyata. Di dalam hatinya, dia sadar situasi ini berbahaya, tetapi pikirannya tak goyah. “Silakan saja. Laporkan aku ke mana pun kau mau. Tapi jangan harap aku berhenti mengingatkanmu tentang betapa rendahnya sikapmu,” jawabnya tajam, matanya tak lepas menatap pria itu, penuh keberanian yang tak tergoyahkan.

Kerumunan mulai bersorak mendukung Jisoo, beberapa orang bahkan bertepuk tangan, terpesona oleh keteguhannya. Situasi makin memanas, seperti percikan api yang siap meledak kapan saja. Wajah pria itu kini merah padam, campuran amarah dan rasa malu tergurat jelas, dan tatapan matanya yang menyipit seolah ingin membakar Jisoo di tempat.

Namun, sebelum pria itu sempat melontarkan kemarahannya, suara lantang dari seorang petugas keamanan tiba-tiba menginterupsi, membuat mereka berdua menoleh. “Apa yang terjadi di sini?! Membuat keributan di jalan seperti ini, apa kalian tak punya urusan lain?” Suara petugas itu memenuhi udara, membuat kerumunan terdiam sesaat.

Pria itu seketika memutar tubuhnya, mengambil kesempatan untuk pergi tanpa banyak bicara lagi. Dengan tatapan penuh kebencian, dia menatap Jisoo sekali lagi sebelum beranjak menuju kereta kudanya. “Dasar wanita tak tahu diri,” gumamnya pelan, tapi cukup terdengar oleh Jisoo.

Jisoo hanya menatapnya dingin, tak mengucapkan sepatah kata pun lagi. Ketika kereta itu mulai bergerak menjauh, dia menarik napas panjang, merasakan rasa lega perlahan meresap meskipun jantungnya masih berdebar cepat karena sisa-sisa amarahnya. Perlahan tatapannya kembali pada Zaheer yang tampak ketakutan dengan mata berkaca-kaca.

“Jangan khawatir, Zaheer. Semua baik-baik saja sekarang,” ujar Jisoo lembut sambil berlutut di samping anak itu dan menyentuh bahunya. Lalu dia mengusap punggungnya, mencoba menghalau ketakutan yang terlihat di mata bocah itu. Meskipun keributan tadi membuat mereka jadi pusat perhatian, Jisoo tak memedulikan tatapan orang-orang di sekitar.

❛ ━━━━━━・❪ breaking her ❫ ・━━━━━━ ❜

Di dalam mobil berwarna gelap yang berkilau di bawah sinar matahari pagi, Wyatt duduk nyaman di kursi belakang sambil menyilangkan kakinya dengan santai. Tangannya menggenggam sebuah tongkat berlapis emas, sementara satu sikunya bersandar di tepi jendela yang sedikit terbuka. Ketika mobilnya hendak melintasi jalan yang menjadi penghubung antara Tarrin dan kawasan kumuh, kendaraan itu mendadak terhenti. Kerumunan orang memenuhi jalan, memaksa mobil berhenti di tengah hiruk-pikuk massa yang tampak bersemangat menonton sesuatu di depan mereka.

Wyatt menghela napas panjang, raut wajahnya memancarkan ketidaksabaran yang bercampur rasa jijik. Bagi pria seperti dia, kawasan kumuh ini selalu jadi tempat yang menyebalkan—gang-gang sempit dengan bau menyengat, bangunan reyot yang nyaris roboh, dan orang-orang lusuh yang tak segan-segan berkumpul di tengah jalan hanya untuk menonton keributan. “Hidup orang rendahan selalu penuh dengan drama murahan yang tak ada habisnya,” gumamnya pelan seraya memutar mata dengan ekspresi menghina.

Dari balik kaca mobilnya, Wyatt menunduk sedikit, berusaha mengintip apa yang menjadi pusat perhatian massa di depan mereka. Mata tajamnya menyipit ketika dia menangkap sosok pria bertubuh kekar tengah berdebat sengit dengan seorang wanita yang tampak lusuh dan berantakan. Untuk sesaat, Wyatt hampir ingin menyuruh sopirnya melajukan mobil dan melupakan semua pemandangan ini, tapi sesuatu membuatnya berhenti.

Wanita itu meski pakaiannya lusuh, rambutnya acak-acakan, dan wajahnya penuh noda kotor, tetap saja, ada sesuatu yang familiar pada sosoknya. Mata Wyatt menajam, tatapannya kini penuh perhatian saat bayangan samar-samar di benaknya mulai membentuk nama. Mungkinkah ...? Dia mengamatinya lebih serius, memperhatikan garis-garis wajah wanita itu, mencoba meyakinkan dirinya bahwa wanita yang tampak seperti gelandangan itu memang seseorang yang dikenalnya.

Wyatt tercengang, matanya membelalak sebelum sudut bibirnya perlahan tertarik membentuk senyuman licik. “Kelinci Taeyong ... di sini?” gumamnya pelan sambil menatap lebih seksama.

Dalam hatinya, dia bertanya-tanya bagaimana mungkin wanita yang mereka tahu sebagai ‘kelinci' kesayangan Taeyong ini bisa berada di tempat yang kumuh dan penuh kotoran seperti ini. Penampilan gadis itu jauh dari apa yang biasa dia lihat—pakaian tidurnya yang sekarang lusuh dan bernoda, tubuhnya tampak kelelahan, dan wajahnya yang dulu cantik kini memancarkan kelelahan serta keputusasaan.

Sebuah tawa kecil keluar dari bibir Wyatt, tawa mengejek yang tak terdengar oleh siapa pun di luar mobil. “Jadi Taeyong sudah bosan dengannya, ya?” pikirnya dengan sinis. Membayangkan Taeyong yang terkenal angkuh dan kejam akhirnya membuang ‘kelinci’ kesayangannya di tempat kotor seperti ini hampir membuatnya geli. Taeyong memang terkenal memiliki selera yang unik, tapi juga gampang bosan—dan Wyatt yakin, inilah akhir bagi wanita itu.

Sebentuk ide iseng melintas di benaknya, membayangkan betapa lucunya saat dia menggoda Taeyong dengan informasi ini ketika mereka bertemu esok hari. “Aku bisa membayangkan wajahnya saat aku tanya, ‘Kau kehilangan kelinci liar yang kabur ke kawasan kumuh, ya?’” gumam Wyatt sambil tersenyum penuh kemenangan.

Namun, alih-alih menyuruh sopirnya melajukan mobil, Wyatt menatap wanita itu dari balik kaca mobil dengan rasa ingin tahu dan sinisme yang tajam. “Jadi ini wajah seorang wanita yang berani melarikan diri dari Taeyong Antoine Han,” pikirnya, hampir tak percaya bahwa gadis itu—kelinci kesayangan temannya—kini terlihat bak gelandangan hilang arah.

Di luar mobil, keributan masih bergema dan Jisoo tampaknya tidak menyadari bahwa dia sedang diamati dari balik jendela hanya beberapa meter darinya. Wyatt mengamati ekspresi keras kepalanya saat beradu mulut dengan seorang pengemudi kereta. Ada sesuatu yang menggelitik hatinya; meski wanita itu tampak kotor dan letih, nyalinya yang besar serta sorot matanya yang penuh tekad membuatnya semakin terlihat menarik.

“Lucu sekali, dia bahkan terlihat lebih menarik dengan penampilan menjijikkan itu,” bisik Wyatt tanpa sadar, sedikit terpesona. Meski tampilannya kini lusuh dan tampak tak terawat, ada sesuatu yang justru membuatnya terlihat lebih menarik di mata Wyatt. “Haruskah aku mengambilnya untuk diriku sendiri?” Dia terkekeh pelan, menikmati ironi yang terhampar di hadapannya.

Namun, pikiran itu segera dibuangnya. Jika teman-temannya tahu bahwa dia mengambil wanita yang telah ‘dibebaskan’ oleh Taeyong, tentu mereka akan menertawakannya habis-habisan. Meski dia merasa sedikit tergelitik oleh Jisoo, Wyatt tidak ingin merusak reputasinya demi seorang wanita yang telah dibuang oleh Taeyong.

Akhirnya, Wyatt menghela napas panjang, merasa sudah cukup menyaksikan drama pagi ini. Dengan sikap santai, dia kemudian menyuruh sopirnya untuk melajukan mobil, meninggalkan kerumunan dan sosok Jisoo yang semakin mengecil di kaca spion. Namun, momen singkat ini memberinya bahan lelucon yang bisa dia jadikan amunisi ketika bertemu Taeyong nanti.

Wyatt membayangkan betapa menyenangkan melihat ekspresi kesal Taeyong ketika dia dengan santai menyebut soal ‘kelinci’ kesayangannya yang sepertinya sudah lepas kendali. Saat mobilnya melaju kembali menuju pusat kota, senyum di wajah Wyatt tidak pudar sedikit pun. Kepuasan dingin dan rasa kemenangan menyelimutinya—dia membawa senjata baru untuk menggoda Taeyong dan dia tak sabar untuk melihat bagaimana semua ini akan berakhir.

❛ ━━━━━━・❪ breaking her ❫ ・━━━━━━ ❜

Jisoo menggenggam tangan kecil Zaheer saat mereka berjalan menyusuri gang-gang sempit, melindunginya dari orang-orang yang berlalu lalang. Di tengah suara langkah kaki di jalan berdebu dan suara hiruk-pikuk kota yang samar terdengar dari kejauhan, Jisoo menunduk, menatap Zaheer yang tampak sedikit cemberut dengan kepala tertunduk.

“Kenapa kau pergi begitu saja tadi pagi, Zaheer?” tanyanya.

Zaheer menghela napas pelan, lalu mendongak, menatap Jisoo dengan mata polos yang sedikit ragu. “Aku ... aku mengira Kakak pergi diam-diam tanpa berpamitan,” ucapnya lirih. “Jadi aku berlari keluar untuk mencarimu. Aku hanya ... ingin bilang terima kasih karena Kakak sudah melindungiku semalaman.”

Mendengar perkataannya, Jisoo tertegun seketika, seolah ada kehangatan yang tiba-tiba menjalar di dadanya. Kata-kata jujur Zaheer menusuk sisi lembut hatinya, membuatnya merasakan ikatan yang lebih dalam dengan bocah ini, lebih dari yang dia kira.

Dia tersenyum tipis, lalu menunduk dan menyibakkan beberapa helai rambut kusut di kepala Zaheer dengan lembut. “Aku tidak pergi, Zaheer. Aku hanya keluar sebentar untuk mencari obat untukmu,” jelasnya sambil menunjukkan beberapa tanaman dan bunga-bunga kecil yang dia kumpulkan di dalam kantung kainnya.

Zaheer menatapnya, matanya membesar karena takjub. “Untukku?” tanyanya, terdengar tak percaya bahwa seseorang mau bersusah payah sejauh itu demi dirinya.

Jisoo mengangguk, senyum lembut masih menghiasi wajahnya. “Tentu saja. Badanmu panas semalam, jadi aku harus mencari cara untuk menurunkan demammu. Aku tidak bisa membiarkanmu sakit begitu saja.”

Zaheer hanya bisa menatapnya dengan mata yang penuh kekaguman. Dalam hidupnya yang singkat dan penuh perjuangan, tak banyak orang yang peduli padanya sejauh ini. Dia menggosok-gosok hidungnya yang memerah, berusaha menyembunyikan perasaan terharu yang mendadak muncul. “Kakak, kau sangat baik padaku,” gumamnya pelan, suaranya sedikit bergetar.

Jisoo tersenyum hangat dan tertawa kecil, lalu menepuk bahu bocah itu dengan lembut. “Nah, hari ini kau harus istirahat,” katanya. “Biar aku yang mengurus semuanya, termasuk mencari makanan untuk kita. Kau hanya perlu tidur dan mengumpulkan tenaga, oke?”

Zaheer mengangguk patuh, meski ada keraguan yang terpancar di matanya. Langkahnya sedikit melambat, tatapannya jatuh ke tanah seolah ada sesuatu yang berat di dalam benaknya. Dia menggigit bibirnya, mencoba menyusun kata-kata, sebelum akhirnya bertanya dengan suara lirih, “Kau ... kau tidak jadi pergi, Kak?”

Pertanyaan itu membuatnya terdiam sejenak. Dia lantaz menunduk, menatap Zaheer sebelum menggeleng pelan. “Tidak. Aku tidak akan pergi sekarang,” jawabnya lalu berlutut untuk menyamakan tinggi badan mereka dan menatap langsung ke mata bocah itu. “Sementara ini, aku akan tinggal bersamamu. Aku akan menemanimu sampai kakakku datang menjemputku. Atau ... kau mungkin bisa ikut bersama kami.”

Mendengar hal itu, wajah Zaheer seketika berubah cerah, dan senyum kecil perlahan terbentuk di bibirnya. “Kakak punya saudara?” tanyanya dengan suara penuh antusias, seolah tak percaya. Bagi Zaheer, yang hidup sendirian di tengah kerasnya jalanan Tarrin, memiliki seseorang yang bisa disebut saudara adalah impian yang jauh dari jangkauannya. “Dan apa aku benar-benar boleh ikut bersama kalian?”

“Iya, aku punya seorang kakak laki-laki. Dia orang yang sangaaaaat baik ...!” Kata-katanya membawa perasaan nostalgia, membuat senyum di wajahnya mencerminkan cinta serta rasa rindu pada kakaknya yang sudah lama tidak dia temui. “Dan tentu saja, kau boleh ikut. Kakakku pasti akan senang saat tahu adiknya punya teman kecil yang menggemaskan sepertimu.”

Mata Zaheer berbinar, pipinya memerah karena malu namun penuh antusias. “Wah, itu pasti menyenangkan punya saudara,” katanya pelan.

Jisoo merasakan ada sesuatu yang mencubit hatinya saat mendengar kata-kata Zaheer. Dia meletakkan tangannya di bahu anak itu, lalu menariknya lebih dekat. “Sekarang kau punya aku sebagai kakakkmu,” ucapnya lembut, penuh dengan kasih sayang. “Selama ada aku, kau akan selalu punya seseorang yang akan menjagamu. Jadi, kau tidak usah takut lagi.”

Zaheer menatapnya, seolah tak percaya dengan perkataannya, dia bertanya ragu, ”Benarkah, Kak? Aku boleh memanggilmu kakak ... selamanya?”

Jisoo tersenyum hangat, menahan perasaan haru yang mulai mengalir di dadanya. “Tentu saja, Zaheer. Selamanya,” jawabnya sambil menepuk bahu bocah itu dengan lembut. Dalam matanya, tersirat sebuah janji yang tulus sementara Zaheer pun merasakan sebuah kehangatan yang belum pernah dia rasakan sebelumnya.

Mereka pun melanjutkan perjalanan, berjalan berdampingan di antara jalanan kumuh yang berdebu dan lorong-lorong sempit penuh sampah dengan dinding-dinding bangunan tua yang mulai lapuk. Meski suasana sekitar terasa suram, ada kehangatan di antara mereka, harapan yang membuat langkah-langkah mereka terasa lebih ringan. Zaheer tak bisa berhenti melirik Jisoo, memandangnya dengan kagum.

Sesampainya di depan pintu rumah kumuh yang mereka sebut sebagai tempat tinggal, Jisoo berhenti mendadak. Matanya terpaku pada sebuah amplop kusam yang tergeletak begitu saja di lantai tanah tepat di depan pintu. Amplop itu terlihat sederhana, tapi sesuatu pada permukaannya membuat Jisoo langsung merasakan degupan jantungnya meningkat.

Di bagian depan amplop tersebut, terlihat sebuah simbol kecil yang tercetak di sudut kanan atas. Simbol yang tak asing baginya: sebuah tanda melingkar dengan bayangan belati di tengahnya—simbol milik guild informasi. Guild yang dia kunjungi belum lama ini, tempat dia mengirimkan pesan untuk saudara laki-lakinya.

Dia berjongkok, mengambil amplop itu dengan hati-hati, sementara Zaheer yang berada di sebelahnya memandang dengan penasaran. Namun, sebelum bocah itu sempat mengajukan pertanyaan, Jisoo menyentuh pundaknya dengan lembut. “Masuklah dulu, Zaheer. Kau perlu istirahat,” ujarnya meski matanya masih terpaku pada amplop di tangannya.

Zaheer mengangguk patuh lal7 membuka pintu perlahan dan melangkah masuk ke dalam ruangan tanpa membantah.

Setelah memastikan Zaheer sudah masuk dan menutup pintu di belakangnya, Jisoo membuka amplop itu dengan hati-hati. Di dalamnya, terdapat selembar kertas kasar dengan tulisan tangan yang berantakan, seperti coretan pena seorang yang terbiasa bekerja di lapangan, cepat dan tanpa banyak basa-basi. Meski tulisan tangan itu terlihat buruk, tapi Jisoo masih bisa memahami pesan yang tersampaikan dengan jelas.

▪▪▪

Pesan Anda sudah kami teruskan kepada orang yang bersangkutan. Arden Macallister, penerima pesan Anda, telah mendapatkannya dan menanggapi dengan segera. Namun, mengingat posisinya saat ini jauh dari Tarrin, dia tidak dapat langsung menemui Anda.

Ada seseorang yang akan datang menemui Anda dalam beberapa hari. Orang itu adalah bawahan langsung Tuan Macallister. Begitu surat ini sampai ke tangan Anda, ketahuilah bahwa saat ini Tuan Macallister dalam perjalanan ke arah Tarrin.

▪▪▪

Jisoo menarik napas dalam-dalam, merasakan perasaan lega yang begitu besar meresap ke dalam dirinya. Surat yang baru saja dia baca masih terasa hangat di tangannya dan kata-kata di dalamnya berulang-ulang terngiang di pikirannya: Tuan Macallister sedang dalam perjalanan ke arah Tarrin.

Arden Macallister ... atau yang lebih dia kenal sebagai Junghoon, kakaknya.

Perasaan haru yang begitu dalam tiba-tiba menyeruak di dadanya, menghanyutkan segala rasa cemas yang selama ini ia pendam. Tak mampu menahannya, air mata pun perlahan mengalir di pipinya. Dia mengusapnya dengan tangan yang sedikit bergetar, seolah tak percaya akan kenyataan ini.

Akhirnya, dia tak perlu lagi bersembunyi dari Taeyong dan orang-orangnya. Tak perlu lagi hidup di tempat kumuh ini. Dia bisa pergi ke tempat yang lebih baik dan aman, bersama Zaheer di sisinya. Di hadapannya kini terhampar secercah harapan yang nyata. Junghoon, satu-satunya saudara laki-lakinya yang bisa dia percayai dan minta bantuan, sedang dalam perjalanan untuk menjemputnya.

Akhirnya ... akhirnya aku bisa kembali.

Coba tebak, ketemu sama siapa dulu 🙂‍↔️🙂‍↕️

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top