Chapter XL: Run 2.0

Kegelapan telah menyelimuti seluruh sudut Kota Tarrin ketika kesadaran Jisoo perlahan kembali. Bayangan malam menari di dinding bata, disinari cahaya samar dari lentera yang tergantung di kejauhan. Dia mengerjapkan mata, mencoba memahami keadaan di sekelilingnya. Begitu kabut kantuk mulai sirna dari pikirannya, kepanikan seketika menyusup ke dalam hati—dia baru menyadari telah tertidur di tempat terbuka, tak berdaya dan tak terlindungi.

Jantungnya berdegup kencang memikirkan kecerobohannya tertidur di tempat seperti ini, di wilayah yang terkenal sebagai sarang masalah. Bagaimana jika ada orang yang mengganggunya selama dia tak sadarkan diri? Dia menggigil, bukan hanya karena udara malam yang menusuk, tapi juga karena bayangan-bayangan mengerikan yang berkelebat dalam benaknya. Wilayah pinggiran Tarrin di malam hari bukanlah tempat yang ramah, terutama bagi perempuan muda yang sendirian dan tak bersenjata seperti dirinya.

Dengan tubuh yang masih gemetar, Jisoo memaksakan diri untuk bangkit. Namun belum sempat dia berdiri tegak, perutnya berbunyi keras, mengingatkannya pada rasa lapar yang telah menggerogoti sejak pagi. Tak ada uang sepeser pun di sakunya, tak ada yang bisa dibeli, dan tak ada yang bisa diandalkan di tengah situasi seperti ini. Dia menggigit bibir, menahan rasa lapar yang semakin menusuk, sementara atensinya mengitari sekeliling, berharap menemukan sesuatu—apa pun yang bisa dimakan.

Akhirnya setelah pergulatan batin, Jisoo menelan harga dirinya dan melangkah tertatih ke ujung lorong. Sebuah tong sampah menarik perhatiannya—bukan pilihan yang dia inginkan, tapi satu-satunya harapan yang tersisa. Matanya bergerak waspada mengawasi sekitar, memastikan tak ada saksi mata yang akan melihat kehinaannya. Hatinya diliputi rasa hina, tetapi perutnya yang kosong mengalahkan segalanya. Dengan tangan gemetar, dia perlahan-lahan meraih ke dalam tong sampah, mengais sisa-sisa makanan di antara tumpukan sampah seraya berharap bisa menemukan apa pun yang bisa dimakan.

Ketika dia sedang sibuk mengais dengan harapan menemukan sesuatu untuk dimakan, tiba-tiba sebuah suara kecil terdengar di sampingnya. Jisoo menoleh, terkejut melihat seorang anak kecil berdiri tak jauh darinya. Anak itu mungkin berumur enam atau tujuh tahun, tampak lebih lusuh daripada dirinya. Rambutnya berantakan, pakaiannya compang-camping, dan wajahnya yang kecil tampak penuh dengan debu. Mata anak itu besar dan bulat, menatap Jisoo dengan rasa ingin tahu yang polos, bercampur sedikit belas kasihan.

Mereka saling menatap dalam keheningan yang aneh. Rasa malu menjalari wajah Jisoo ketika tertangkap basah dalam kondisi paling memalukan oleh seorang anak kecil. Sebelum dia sempat mengucapkan apa pun, anak itu tiba-tiba mengulurkan tangan kecilnya ke arahnya. Di tangannya terdapat sepotong roti, meski sudah mengeras dan tampak tidak segar, masih jauh lebih baik dari apa pun yang mungkin dia temukan dalam tong sampah.

Mata besar anak itu melembut saat dia menggerakkan tangannya lebih dekat ke arah Jisoo. “Ini ... untukmu,” ucapnya dengan suara kecil, tapi terdengar cukup jelas.

Jisoo terpaku, tersentuh oleh kemurahan hati yang datang dari sosok yang mungkin lebih membutuhkan dari dirinya. Air mata menggenang di pelupuk matanya tanpa bisa ditahan. Dia meraih roti itu dari tangan anak kecil tersebut dengan tangan gemetar, hatinya tercabik antara rasa terima kasih dan rasa bersalah.

“Terima kasih,” bisiknya pelan, hampir tidak terdengar.

Sebuah senyum kecil tersungging di wajah kotor anak itu—senyuman tulus yang seolah mengatakan bahwa berbagi adalah hal wajar, bahkan di tengah kesulitan. Dia mengangguk singkat sebelum berbalik dan melangkah pergi, meninggalkan Jisoo yang masih terpana dengan roti di genggamannya.

Jisoo menggenggam roti itu erat-erat, merasakan kehangatan aneh menyelimuti hatinya. Di tengah kelamnya Kota Tarrin dan segala kesulitannya, sedikit kebaikan dari seorang anak tak kenal telah memberinya harapan kecil untuk bertahan. Dia menatap roti itu sesaat, lalu dengan perlahan mulai menggigitnya, merasakan paduan rasa asin dan manis yang bercampur dengan rasa haru di hatinya. Setiap gigitan dia nikmati dengan penuh penghayatan, memperlakukan roti sederhana itu bagai hidangan paling berharga.

Setelah menghabiskan roti pemberian anak kecil tadi, dia langsung berdiri dengan tekad baru. Meski malam semakin larut dan udara semakin menusuk tulang, dia merasa lebih kuat untuk melanjutkan perlariannya. Dengan hati-hati, dia menyusuri jalanan sepi, mencari tempat berlindung untuk melewati sisa malam. Kebaikan tak terduga yang dia terima malam ini menjadi pengingat bahwa bahkan di tempat seperti ini, harapan masih bisa ditemukan dalam bentuk yang paling sederhana.

Jisoo terus bersikap waspada, matanya tajam mengawasi setiap sudut gelap dan bayangan yang bergerak. Sesekali dia menghindari gang-gang yang terlihat ramai atau diisi oleh pria-pria berwajah kasar dan tampak berbahaya. Namun, saat dia hendak berbelok ke sebuah gang yang lebih sunyi, sesuatu menghentikan langkahnya. Suara itu datang dari arah berlawanan—jeritan seorang anak kecil, disusul isakan lirih, dan bunyi pukulan yang membuat jantungnya mencelos. Jisoo langsung menoleh ke arah sumber suara tersebut, lalu seketika tubuhnya menegang saat mendengar tawa-tawa kasar yang mengiringi tangisan anak kecil itu.

Dengan langkah seringan mungkin, dia mendekati sumber suara lalu mengintip dari balik dinding bata yang retak. Pemandangan yang dilihat membuat Jisoo terperangah. Di sana, tersudut di antara tembok dan tiga orang dewasa bertampang kejam adalah anak kecil yang baru saja menyelamatkannya dari kelaparan. Bocah malang itu meringkuk kesakitan sementara para pria kejam itu bergantian melayangkan tendangan dan pukulan.

“Dasar anak tak berguna!” Salah satu dari pria itu mendesis sambil menendang tubuh anak kecil tersebut. “Beraninya kau mencuri dari kami!”

Jisoo merasakan rasa panas menjalar di dadanya. Tangannya terkepal erat hingga buku-buku jarinya memutih.

Untuk beberapa saat, Jisoo membeku di tempat, pertarungan batin berkecamuk dalam dirinya. Bagian rasional otaknya menjerit agar dia segera pergi—apa yang bisa dilakukan seorang gadis lemah sepertinya melawan tiga pria dewasa? Namun setiap pukulan yang mendarat di tubuh mungil itu, setiap isakan yang terdengar, mengingatkannya pada roti yang dia terima.

“Masih berani kau menangis?” Suara kasar salah satu pria memecah keheningan, diikuti tendangan keras yang membuat sang anak terpelanting. “Harusnya kau bersyukur kami tidak membunuhmu!”

Apa yang harus dia lakukan sekarang? Dia tidak bisa terus bersembunyi di sini dan menyaksikan semua ini.

Pikirannya berpacu, bergulat antara rasa takut dan dorongan untuk bertindak. Jika dia terus bersembunyi, anak itu mungkin akan terluka lebih parah atau bahkan lebih buruk. Namun, melawan orang-orang yang jauh lebih kuat darinya terasa seperti keputusan yang mustahil.

Jisoo mengepalkan tangan sembari menarik napas dalam-dalam untuk menenangkan kegugupannya. Dia tahu risiko yang harus dihadapinya, tapi rasa kemanusiaannya tidak bisa dia abaikan begitu saja. Dengan hati yang berdebar keras, dia melangkah maju, berharap keberaniannya tidak akan goyah saat berhadapan langsung dengan ancaman.

Aku harus menyelamatkannya, apa pun yang terjadi! batinya dengan tekad kuat.

❛ ━━━━━━・❪ breaking her ❫ ・━━━━━━ ❜

Suasana ruang makan di Kediaman Han malam itu memancarkan kemewahan dan ketenangan nan anggun. Lampu-lampu kristal yang menggantung megah di langit-langit bersinar lembut, menerangi meja makan panjang yang dipenuhi hidangan mewah. Daging panggang berkilau dengan bumbu khas, sayuran segar tersaji dalam piring-piring porselen, dan anggur mahal mengalir hati-hati ke dalam gelas kristal, menciptakan kilauan yang elegan di bawah cahaya temaram.

Di meja tersebut, dua keluarga—keluarga Han dan keluarga Cove—berkumpul dalam suasana penuh kehormatan untuk membahas pernikahan antara Taeyong Antoine Han dan Aimi Cove.

Nyonya Laura Antoine Han, ibu Taeyong, duduk di salah satu ujung meja dengan anggun, senyumnya ramah dan lembut, menunjukkan ketenangan seorang wanita bangsawan yang sudah berpengalaman menghadapi berbagai situasi. Di sampingnya, Viscount Cove dan istrinya, Lady Cove, duduk dengan ekspresi serius namun penuh harap, sesekali melirik ke arah putri mereka, Aimi Cove, yang duduk di samping Taeyong dengan kepala sedikit tertunduk, tampak malu-malu namun tetap menampilkan aura anggun seorang putri bangsawan.

“Saya sangat menghargai kesediaan Keluarga Han untuk mempertimbangkan mempercepat pernikahan ini,” kata Viscount Cove sambil menatap Laura Antoine Han yang mewakilkan suaminya dengan senyuman persetujuan. “Anak laki-laki bungsu kami juga akan menikah dalam waktu dekat dan saya ingin Aimi menikah terlebih dahulu, sebagai putri keluarga kami. Ini masalah kehormatan keluarga, tentu saja.”

Nyonya Laura mengangguk setuju, senyumnya tetap tenang dan diplomatis. “Tentu saja, Viscount. Kami sepenuhnya memahami keinginan Anda dan kami yakin ini akan menjadi yang terbaik bagi kedua keluarga.”

Lady Cove menambahkan dengan suara lembut, “Lagi pula, Aimi dan Taeyong tampak begitu serasi, bukan? Sungguh pasangan yang ideal.”

Aimi, duduk dengan canggung di samping Taeyong, tersenyum tipis sambil berusaha menyembunyikan kegugupannya. Namun, Taeyong tetap diam sementara ekspresinya datar dan tak menunjukkan minat. Tatapan pria itu tampak kosong, seolah pikirannya berada di tempat nan jauh dari meja perjamuan, mengisyaratkan ketidakhadirannya dalam percakapan tersebut meskipun tubuhnya ada di sana.

Viscount Cove berusaha mengarahkan percakapan ke topik keturunan dengan nada bersemangat. “Ah, dan setelah pernikahan ini, tentu saja kami berharap segera melihat cucu kami. Bisa kubayangkan betapa menggemaskannya anak-anak dari pasangan sehebat Aimi dan Taeyong.”

Lady Cove tersenyum ceria, tampak ikut terbawa dalam bayangan indah itu. “Anak-anak yang tampan dan berbakat, tentu akan menjadi kebanggaan bagi kedua keluarga.”

Wajah Aimi memerah seketika saat topik bergeser ke soal anak dan keturunan. Dia menunduk tersipu, lalu melirik sekilas ke arah Taeyong, berharap menemukan antusiasme yang sama. Namun, ekspresi pria itu tetap datar, dingin, seolah topik ini tak ada artinya baginya

Viscount Cove melanjutkan, membayangkan masa depan dengan nada bangga, “Saya bisa membayangkan cucu yang memiliki kecerdasan dan keanggunan dari Keluarga Han, serta ketenangan dan kebijaksanaan dari Keluarga Cove.”

Namun, di tengah percakapan yang penuh harapan itu, Taeyong tiba-tiba berdehem keras, memotong percakapan. Suaranya menggema di ruangan besar, menghentikan semua tawa kecil dan gumaman riang. Tatapan semua orang kini tertuju padanya, beberapa tampak terkejut, terutama Nyonya Laura yang langsung menangkap nada tegas dalam suara putranya.

Taeyong menatap hadirin di meja makan dengan tatapan tajam dan dingin. “Cukup,” ujarnya dengan suara rendah namun penuh ketegasan. “Apa yang sebenarnya sedang kalian bicarakan? Anak?” Senyum sinis terbentuk di bibirnya, membuat suasana ruangan menjadi canggung. “Jangan konyol. Tidak akan ada anak dalam pernikahan ini.”

Keheningan mendadak menyelimuti ruangan. Wajah-wajah yang tadinya penuh senyum kini dipenuhi keterkejutan dan kebingungan. Nyonya Laura, yang duduk di ujung meja segera bereaksi. Wajahnya memucat, matanya menunjukkan rasa panik. “Taeyong!” teriaknya, mencoba mengalihkan arah pembicaraan atau setidaknya menghentikan putranya sebelum mengatakan hal yang lebih buruk.

Namun, Taeyong tampak tak peduli. Tatapannya tetap dingin sementara wajahnya menunjukkan ketidakpedulian yang jelas. Dia mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan, seolah menantang siapa pun yang berani menentangnya. “Bukankah pernikahan ini hanya formalitas belaka?” tanyanya dengan suara dingin dan tidak bersahabat sambil menatap satu per satu wajah orang-orang di meja.

Aimi menundukkan kepala lebih dalam, wajahnya memucat mendengar ucapan Taeyong yang begitu tegas. Rasa malu dan sakit hati tercampur dalam hati, tetapi dia tidak berani menatap pria yang akan menjadi suaminya ini.

“Taeyong, cukup!” Nyonya Laura kembali mencoba meredam situasi yang semakin memanas, suaranya bergetar di tengah keheningan yang mencekam.

Akan tetapi, putranya itu terus mengabaikan peringatannya.

“Tidak, Ibu,” jawabnya lalu menatap ibunya dengan mata penuh ketegasan. “Aku perlu memperjelas sesuatu di sini agar semua orang paham. Pernikahan ini hanyalah formalitas. Aku tidak mencintai Aimi dan aku tidak menikahinya karena keinginan pribadi.” Taeyong lalu menoleh ke arah Aimi, matanya menunjukkan sedikit pun empati. “Jika kau ingin seorang anak, carilah pria lain atau seorang gundik untuk memenuhi keinginanmu. Aku tidak peduli.”

Suara tajam itu bagaikan pecahan kaca di tengah keheningan, menyisakan rasa sakit dan keterkejutan. Wajah Viscount Cove memerah, amarahnya terlihat dari bagaimana kepalan tangannya menggenggam sendok hingga menimbulkan dentingan kecil. “Kurang ajar!” seru Viscount dengan suara penuh kemarahan. “Beraninya kau berbicara seperti itu!”

Taeyong menatap balik Viscount Cove, sama sekali tidak menunjukkan tanda-tanda gentar atau merasa bersalah. “Jangan coba-coba melawanku, Viscount,” katanya dengan suara rendah namun penuh ancaman. “Aku menghormatimu karena kau adalah teman baik ibuku. Namun, jangan berpikir kau bisa menekanku hanya dengan gelarmu.”

Viscount Cove terdiam, rahangnya mengeras, jelas bahwa kemarahannya nyaris tak bisa dia sembunyikan lagi. Namun, dia tak langsung membalas, menyadari betapa seriusnya nada bicara putra sulung Dabin Han ini.

Taeyong tersenyum tipis, penuh rasa superioritas yang hampir menyebalkan. “Gelar bangsawan sudah tidak lagi berarti di era ini. Di masa ini, kekuatan didapat dari pengaruh nyata, dari kepemilikan, bukan sekadar warisan atau gelar. Jadi, jangan pernah berasumsi kau bisa memaksaku melakukan sesuatu hanya karena statusmu.”

Matanya beralih kembali ke Aimi, yang duduk membeku di kursinya, tampak semakin tenggelam dalam rasa malu dan keterpurukan. “Dan ingat ini baik-baik, Viscount,” lanjutnya dengan nada lebih keras, membuat semua orang yang mendengar merasa terancam. “Jangan mencoba memaksakan kehendak atau mendikte hidupku. Karena jika kau melakukannya, aku bisa mengambil tindakan yang tak pernah kau bayangkan terhadap putrimu. Kau mengerti maksudku?”

Keheningan membekukan seluruh ruangan. Nyonya Laura tampak terpukul, wajahnya pucat, dan matanya memancarkan ketakutan serta kebingungan. Dia sama sekali tidak menyangka bahwa putranya bisa berbicara sedingin ini kepada seorang Viscount dan lebih dari itu, kepada calon mertuanya.

Viscount Cove menatap Taeyong dengan tatapan penuh kebencian, tetapi dia menyadari posisi dan keterbatasannya. Dengan suara yang tertahan, dia hanya berkata, “Kau ... kau tidak tahu batas!”

Taeyong hanya tersenyum sinis, membiarkan ucapannya tadi menggantung di udara, menambah ketegangan yang sudah begitu pekat di ruangan itu. “Sudah cukup?” tanyanya dengan nada acuh tak acuh. “Atau masih ada yang ingin dibicarakan?”

Nyonya Laura segera meraih lengan Taeyong, berusaha keras menenangkan suasana yang memanas meski dia sendiri tampak terguncang. “Taeyong, cukup. Kita semua berkumpul di sini untuk merencanakan pernikahanmu. Hormatilah keluarga Aimi,” katanya, berharap putranya akan mengerti.

Taeyong menghela napas panjang, menampakkan ekspresi bosan. “Baiklah,” jawabnya akhirnya, tapi nadanya jelas-jelas menunjukkan ketidaksenangan. “Tapi ingat, pendirianku tetap. Pernikahan ini hanyalah formalitas. Jangan ada yang mengharapkan lebih.”

Aimi menunduk semakin dalam, kedua tangannya saling menggenggam erat di pangkuan. Matanya mulai berkaca-kaca, tapi dia mencoba sekuat tenaga menahan diri, tidak ingin menunjukkan kelemahan di hadapan keluarga besarnya. Sementara itu, Viscount Cove dan istrinya saling bertukar pandang, wajah mereka menyiratkan kekecewaan dan luka yang mendalam. Namun, tidak ada satu pun dari mereka yang berani berbicara lebih jauh. Mereka sadar bahwa meski status mereka bangsawan, kekuatan Keluarga Han berada jauh di atas keluarga mereka.

Makan malam itu berakhir dalam keheningan yang menyesakkan. Suasana terasa berat, seolah-olah badai telah menyapu ruangan, meninggalkan kegetiran dan luka. Nyonya Laura, yang duduk dengan punggung tegak, memandangi putranya dengan kecewa. Bibirnya sedikit bergetar, ingin mengungkapkan perasaannya, tapi dia menahan diri, sadar bahwa apa pun yang dia katakan mungkin akan sia-sia.

Sementara itu, ekspresi Viscount dan Lady Cove terlihar tegang dan kaku. Keduanya berusaha keras untuk mempertahankan sopan santun meskipun jelas terlihat kemarahan dan rasa sakit di wajah mereka.

Aimi yang sudah tak tahan lagi, menggenggam sudut rok gaunnya erat. Dia memandang Taeyong dengan perasaan campur aduk, antara luka dan rasa tidak percaya. Di mata Aimi, sosok Taeyong yang awalnya dia kagumi kini telah berubah sepenuhnya menjadi orang asing, dingin, dan tanpa perasaan. Pernikahan yang dia bayangkan penuh dengan kebahagiaan dan cinta berubah menjadi formalitas kosong tanpa arti.

Setelah semua hal yang dia lakukan untuknya, inikah balasannya?

“Taeyong,” panggilnya pelan, suaranya nyaris berbisik. “Aku tidak mengerti, kenapa kau melakukan ini? Apa masih belum puas dengan semua permintaan yang kau berikan padaku, hanya supaya kau mau menerimaku sebagai istrimu? Jika kau begitu membenciku, mengapa kau menyetujui pernikahan ini sejak awal?”

“Aku tidak pernah menyetujuinya karena alasan yang kau pikirkan, Aimi. Ini hanya perjanjian bisnis antara keluargaku dan keluargamu. Jangan berharap lebih dari itu,” balasnya dingin.

Rasa sakit jelas terpancar di wajah Aimi. Dia menggigit bibirnya, berusaha menahan emosinya. “Meskipun ini hanya perjodohan. Aku ingin kita bisa menjalani hidup dengan damai bersama.”

Taeyong hanya mengangkat bahu, tak menunjukkan sedikit pun rasa simpati. “Sayangnya, aku tidak punya keinginan yang sama,” balasnya lebih dingin lagi.

Nyonya Laura berusaha menengahi, suaranya sedikit bergetar saat mencoba meredakan ketegangan. “Aimi, Taeyong mungkin sedang tertekan. Pernikahan ini akan tetap berjalan sesuai rencana. Jangan biarkan kata-kata tadi mengganggumu.”

Namun, Viscount Cove yang sedari tadi berusaha menahan amarahnya, tak lagi bisa diam. Dia menatap Nyonya Laura dengan tatapan tajam dan penuh marah. “Dengan segala hormat, Nyonya Laura, putramu telah menghina keluarga kami secara terang-terangan. Jika dia tidak menghormati putriku, bagaimana kami bisa melanjutkan rencana ini?”

Nyonya Laura tampak terguncang. Meski ekspresinya berusaha tenang, ketegangan terlihat di wajahnya saat ia menjawab, “Percayalah, Viscount. Taeyong hanya butuh waktu untuk menyesuaikan diri.”

Viscount Cove mendesah panjang, jelas merasa frustasi. Namun, demi reputasi keluarga, dia memilih untuk tidak memperpanjang masalah. “Baiklah. Tapi kami akan membicarakan ini lebih lanjut secara pribadi nanti.”

Lady Cove yang duduk di sampingnya menggenggam tangan suaminya dengan lembut, mencoba meredam emosi Viscount Cove. “Tenanglah, Sayang. Kita ada di sini demi kehormatan keluarga bukan untuk memperkeruh keadaan.”

Aimi hanya bisa menundukkan kepala, wajahnya masih memerah karena rasa malu dan sakit hati akibat kata-kata Taeyong. Dia mencoba tersenyum, meski samar, dan menguatkan dirinya. “Ayah," bisiknya pelan, “mungkin Taeyong hanya ... sedang tertekan. Kita bisa menyelesaikan ini tanpa memperbesar masalah.”

Viscount Cove menarik napas dalam-dalam, lalu mengangguk sambil berusaha menahan diri. “Baiklah,” katanya, lebih kepada dirinya sendiri. “Demi kehormatan keluarga, kita akan mencoba melanjutkan pembicaraan ini dengan kepala dingin.” Tatapannya terarah pada Nyonya Laura, berusaha menunjukkan bahwa dia masih bersedia mempertimbangkan pernikahan ini meski kejadian tadi mengusik hatinya.

Hanya beberapa detik setelah mereka mencoba kembali ke pembahasan pernikahan—mendiskusikan tanggal, tamu undangan, dan persiapan lainnya—pintu ruang makan tiba-tiba terbuka. Suasana yang baru saja mulai kembali tenang langsung berubah ketika Benjamin, kepala pelayan pribadi Taeyong, masuk dengan langkah cepat. Wajahnya tampak tegang dan dia langsung mendekati Taeyong, membungkuk hormat sebelum berbisik ke telinga majikannya.

Ruangan hening sejenak, setiap orang yang ada di meja menatap dengan penasaran dan sedikit cemas. Jelas bahwa kedatangan Benjamin di saat seperti ini bukanlah hal yang biasa.

Wajah Taeyong seketika berubah serius, matanya melebar sedikit, sorot ketidaksenangan terpancar jelas di wajahnya. “Apa maksudmu?” tanyanya dengan nada tajam, tapi tetap berusaha menahan diri agar tak terlalu menarik perhatian. “Bagaimana bisa dia pergi?”

"Kami tidak tahu pasti bagaimana dia berhasil melakukannya, Tuan. Namun, saat ini dia telah meninggalkan hotel tanpa ada yang menyadari,” balas Benjamin masih berbisik di dekat telinganya.

Taeyong mengatupkan rahangnya, menahan amarah yang mendidih di dalam dirinya. Tak ingin membuang waktu, dia langsung berdiri dari kursinya, menarik perhatian semua orang di ruang makan. Semua mata langsung tertuju padanya, bertanya-tanya apa yang terjadi.

Nyonya Laura, yang duduk di sebelahnya, menatap putranya dengan khawatir. “Taeyong, ada apa? Kenapa kau tiba-tiba berdiri?”

Taeyong tidak langsung menjawab, matanya masih terfokus pada Benjamin, mempertimbangkan jawaban apa yang harus dia beritahukan ke ibunya. Namun, desakan ibunya dan tatapan penuh tanya dari semua tamu membuatnya tak punya pilihan selain menjelaskan.

Dengan nada frustrasi yang tak bisa dia sembunyikan, dia berkata lantang, “Kekasihku hilang! Apa Ibu pikir aku akan duduk tenang di sini, mendengarkan obrolan kalian, sementara itu terjadi?”

Ruangan itu langsung membeku dalam keheningan yang aneh. Ekspresi terkejut tampak di wajah setiap orang yang ada di sana, terutama Nyonya Laura. Wajahnya mendadak pucat, bibirnya bergetar tak percaya. Selama ini, dia tak pernah mendengar putranya menyebut tentang seorang kekasih.

“Taeyong, kau tidak pernah mengatakan apa-apa tentang memiliki seorang kekasih,” ujarnya masih mencoba mencerna informasi yang baru didapatkannya.

“Sekarang Ibu tahu," jawabnya dengan nada dingin. “Aku memilikinya.”

Viscount Cove mengerutkan kening, merasa semakin frustasi dengan situasi yang semakin rumit ini. “Tapi kau akan menikah dengan putriku!” serunya dengan nada mendesak, seolah berusaha mengembalikan logika ke dalam situasi ini.

Taeyong mengangkat bahu, tidak menunjukkan sedikit pun rasa peduli terhadap kegelisahan di sekitar mereka. “Mau ada atau tidak pernikahan ini, itu tidak ada hubungannya dengan apakah aku memiliki seorang kekasih atau tidak,” ujarnya dengan nada datar. “Silakan lanjutkan obrolan kalian sesuka hati. Kekasihku sedang menungguku dan aku tidak akan duduk diam di sini sementara dia di luar sana.”

Tanpa menunggu tanggapan dari siapa pun, Taeyong berbalik dengan tegas dan mulai berjalan keluar ruangan, meninggalkan keheningan di belakangnya.

Nyonya Laura tertegun, mencoba memanggil putranya, “Taeyong, tunggu! Kau tidak bisa pergi begitu saja!” serunya dengan suara yang hampir memohon, tetapi Taeyong tidak menoleh sedikit pun. Langkahnya tetap mantap, penuh tekad dan tanpa keraguan, seakan-akan seluruh dunia bisa dia abaikan demi menemukan kekasihnya.

Aimi hanya bisa menatap punggung Taeyong yang semakin menjauh dengan ekspresi terluka, hatinya hancur karena kenyataan yang baru saja terungkap. Dia menggigit bibirnya, berusaha menahan air mata yang ingin jatuh. Apa yang selama ini dia kira adalah perjodohan yang setidaknya bisa menghasilkan perasaan, kini berubah menjadi mimpi buruk.

Viscount Cove berdiri dengan amarah yang jelas terpancar di wajahnya. “Laura, kau harus mengendalikan putramu! Dia tidak bisa bersikap seenaknya seperti ini. Kami tidak akan menerima perlakuan seperti ini!”

Nyonya Laura menggeleng pelan, tampak bingung dan tertekan. “Percayalah, Viscount, aku sendiri tidak memahami sikap Taeyong malam ini. Aku akan berbicara dengannya, dia tidak biasanya bersikap seperti ini.”

Sementara itu, Taeyong melangkah cepat di sepanjang koridor besar mansion diikuti oleh Benjamin yang masih tampak khawatir. “Tuan, apakah kita akan langsung ke hotel untuk mencari Nona Baek?”

Taeyong mengangguk, rahangnya masih mengeras. “Ya, siapkan mobil dan pastikan pengawal kita siap berjaga di setiap sudut jalan. Aku tidak akan membiarkan dia melarikan diri terlalu jauh.”

Benjamin mengangguk dengan cepat, segera bergegas untuk mempersiapkan segalanya sesuai perintah Taeyong. Dia tahu betapa pentingnya Nona Baek bagi majikannya meskipun majikannya tidak pernah mengatakannya secara langsung. Sementara bagi Taeyong, kehilangan Jisoo adalah kegagalan yang tak bisa dia terima.

Taeyong menatap ke depan dengan penuh tekad, langkah kakinya menggema di sepanjang koridor kosong yang dingin. Dalam dirinya ada api kemarahan yang tengah membara, bukan hanya karena kehilangan kontrol atas Jisoo, tapi juga karena perasaannya sendiri yang semakin sulit dikendalikan setiap kali memikirkan gadis itu. Jisoo telah menyusup ke dalam hidupnya, menyulitkannya untuk berpikir jernih, dan kali ini, dia akan memastikan gadis itu tidak akan pernah lepas dari genggamannya lagi.

Di tengah kota yang gelap dan penuh dengan bahaya, Jisoo mungkin saja dalam kondisi sulit. Taeyong tidak akan berhenti mencari sampai menemukan gadis itu. Bagaimanapun Taeyong adalah satu-satunya yang boleh memegang kendali atas hidup Jisoo dan dia tidak akan membiarkan siapa pun, bahkan gadis itu sendiri, merusak rencana-rencana yang telah dia susun.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top