Chapter XIX: Hide and seek
Kata-kata itu terasa seperti duri tajam yang menusuk dalam, menambah rasa terjebak yang sudah begitu kuat membelenggunya. Dia merasa kecil, dikuasai oleh ketakutan, tapi ada dorongan dalam dirinya yang menolak menyerah. “Aku tidak akan tunduk padamu!” jawabnya, suaranya lebih berani daripada yang dia rasakan. Napasnya terasa berat, sementara dia berusaha mengumpulkan kekuatan yang tersisa meski rasa takut terus menghantui pikirannya.
Taeyong menyipitkan mata, mengamati reaksi Jisoo dengan tatapan yang lebih dingin. Napasnya ditarik panjang, perlahan-lahan, seolah menimbang-nimbang apa langkah selanjutnya. “Kita lihat saja,” ujarnya dingin, suaranya rendah, penuh ancaman yang terbungkus rapi.
Pria itu mendekat lagi dengan langkah pelan namun penuh keyakinan, dan setiap kali dia bergerak maju, Jisoo melangkah mundur secara refleks, sementara rasa takut kian mencengkeram hatinya. Ruangan yang luas kini terasa sempit, seakan tidak ada tempat baginya untuk melarikan diri.
Tubuhnya akhirnya terjebak, tersudut tanpa ruang untuk melangkah mundur. Tatapan penuh ketakutan terpaku pada pria di depannya. Mata Taeyong penuh kontrol, bagaikan seorang pemburu yang telah menjebak mangsanya.
“Kau bilang tidak akan tunduk padaku?” Suara tawa pelan yang keluar dari bibirnya dipenuhi ejekan. Jarak antara mereka kian memudar, hanya menyisakan beberapa inci. Pandangan tajamnya mengunci mata Jisoo, menatap begitu dalam hingga membuatnya merasa semakin kecil di hadapannya. “Benarkah?”
Air liur terasa susah ditelan, tubuhnya bergetar hebat. Ketakutan bercampur dengan amarah dan frustrasi, sebuah perasaan yang membuatnya ingin melawan, namun tubuhnya terasa membeku di bawah tatapan yang begitu mendominasi. Pikirannya buntu, tertutup oleh rasa takut yang mendesak. Pandangan matanya mencari sekeliling ruangan, berharap menemukan sesuatu untuk menyelamatkan diri, tapi tak ada jalan keluar yang bisa dilihatnya.
Taeyong dengan jelas menyadari kepanikan Jisoo dan upaya samar gadis itu untuk mencari jalan keluar, lantas mengangkat kedua tangannya dan menangkup wajah gadis itu dengan sentuhan dingin namun kuat. Jisoo tertegun, tubuhnya membeku di tempat, lalu seketika kehilangan fokus sejenak dalam cengkeraman pria itu.
Sebelum Jisoo bereaksi, Taeyong menunduk cepat, bibirnya menyambar milik Jisoo dengan keras. Ciuman itu lebih agresif daripada sebelumnya, mendominasi setiap inci dari ruang di antara mereka. Tidak ada celah bagi gadis itu untuk berpikir apalagi melawan. Tekanan bibir Taeyong terasa begitu panas, hampir membakar, sementara tubuh pria itu menekannya semakin erat, menjebaknya di antara dinding yang dingin dan tubuhnya yang kuat. Jisoo merasa seluruh dunia telah menyempit di sekeliling mereka, hanya menyisakan ketakutan dan ketidakberdayaan yang mencekiknya.
Jisoo ingin berteriak, ingin mendorong pria itu menjauh, tetapi tubuhnya terasa lemas di bawah kendalinya. Tangan yang memegang kepalanya begitu erat, membuatnya tak mampu menggerakkan wajah, dan tak ada jalan untuk melarikan diri dari ciuman yang seakan tak pernah berhenti. Ciuman itu berlangsung lama, terlalu lama, bibir pria itu bergerak dengan intensitas yang menguasai dan rakus. Lalu perlahan-lahan, semua kekuatan dalam dirinya terkuras habis.
Napasnya mulai habis, dada terasa sesak, dan tubuhnya mulai bergetar karena kekurangan udara. Ciuman itu membuat kesadarannya perlahan memudar, tapi cengkeramannya tidak mengendur sedikit pun. Tidak ada lagi seseorang seperti Noah yang datang untuk menghentikan mereka, sementara Taeyong tampak sangat menyadari hal ini sehingga memanfaatkan situasi dengan penuh kendali.
Jisoo berusaha sekuat tenaga untuk mendorongnya, tapi tangan dan tubuhnya terlalu lemah. Tekanan dari ciuman itu menguras semua energi yang tersisa di dalam tubuhnya. Jantungnya berdebar kencang dan matanya berair karena kurangnya oksigen.
Ketika Taeyong akhirnya menarik diri sedikit, Jisoo menghirup udara dengan cepat, napasnya terputus-putus berusaha memulihkan diri dari ciuman yang hampir membuatnya pingsan. Bibirnya masih terasa panas, sementara wajahnya memerah, bukan hanya karena ciuman itu, tapi juga karena campuran rasa marah, malu, dan ketakutan yang melingkupi dirinya.
Taeyong tersenyum kecil, senyum penuh kemenangan yang membuat Jisoo semakin tertekan karena merasa kalah dan dipermaimkan. Mata Taeyong yang tajam tak pernah lepas dari wajah Jisoo, sementara ibu jarinya mengusap bibir gadis itu dengan gerakan licik yang meninggalkan jejak sentuhan sensual.
“Kau lihat?” bisiknya lembut, “kau tidak pernah bisa menolakku, Jisoo.”
Setelah memberinya kata-kata yang menohok, Taeyong tidak memberi Jisoo kesempatan untuk bernapas sejenak, setelah ciuman pertama mereka yang telah merampas setiap kekuatannya. Ruangan terasa semakin sempit, udara semakin menekan, dan keheningan di luar hanya menambah berat suasana yang ada di antara mereka. Lampu gantung kristal di atas mereka memancarkan cahaya lembut, tapi kehangatan dari cahaya itu tidak pernah mencapainya yang kini terperangkap dalam permainan Taeyong.
Bibir itu kembali menguasai bibirnya sebelum Jisoo sempat menarik napas. Apakah dia ingin aku mati kehabisan napas? pikirnya, tersentak oleh kenyataan pahit bahwa tidak ada ruang untuk melawan. Dalam situasi ini, Jisoo merasa tak berdaya. Taeyong terlalu cerdik, selalu selangkah di depan, mempermainkan pikiran dan emosinya dengan kejam sehingga menjebaknya tanpa ada cara untuk membela diri.
Taeyong meraih pinggang Jisoo, menariknya mendekat hingga tubuh mereka bersentuhan dengan keras. Ketakutan mencekam Jisoo semakin kuat, tubuhnya kehilangan kendali sehingga dia tak bisa melawan balik. Panas tubuhnya terus naik sementara detak jantungnya berpacu liar, selaras dengan genggaman Taeyong yang semakin menguat.
Dengan gerakan cepat dan kasar, Taeyong mendorongnya menjauh dari dinding, membawanya menuju meja kerja besar di tengah ruangan. Permukaan kayu meja itu terasa dingin di punggung Jisoo, begitu kontras dengan panas tubuh Taeyong yang mendekapnya erat. Dia menempatkan Jisoo di tepi meja, mendorong tubuhnya hingga terjebak di antara meja dan tubuhnya.
Saat ciuman mereka terhenti sejenak, Jisoo mencoba menarik napas panjang. Tapi udara yang masuk ke dalam paru-parunya terasa seperti bara di tenggorokannya, menyiksa. Matanya membara dengan kemarahan, memandang pria di hadapannya dengan napas terengah dan dada yang terasa berat. Di sisi lain, Taeyong hanya tersenyum tipis, seringai licik bermain di bibirnya, seolah-olah kemenangan sudah mutlak berada di tangannya.
“Taeyong ... cukup!” Jisoo memohon dalam hati, tapi kata-kata itu tidak berarti apa-apa. Kata-katanya hanyalah bisikan tak bermakna dalam kekosongan. Taeyong tak mendengarkan—tidak pernah mendengarkan. Ini permainan yang sepenuhnya dikuasainya.
Ketika Taeyong kembali mendekat untuk menciumnya lagi, rasa panik menguasai tubuh gadis itu. Tanpa berpikir, tangannya meraba-raba meja, mencari sesuatu—apa saja yang bisa dia gunakan untuk melawan. Jari-jarinya menyentuh jarum perak dari tatakan pena. Benda itu kecil, dingin, dan tajam di genggamannya. Dalam sekejap, Jisoo mengangkatnya dan menghantam kepala Taeyong dengan sekuat tenaga.
Jarum itu mungkin kecil, tapi cukup untuk membuat pria itu terkejut. Wajahnya terangkat sejenak, matanya membelalak karena terkejut. Namun, hanya beberapa detik berlalu sebelum tawa keluar dari bibirnya. Tawa rendah, dingin, dan penuh ketidakpastian.
“Kau cukup berani untuk seorang wanita,” katanya sambil menatapnya dengan mata yang kini semakin gelap. “Menarik.” Tidak ada kemarahan dalam suaranya, hanya rasa kagum yang menakutkan, seolah tindakan Jisoo hanyalah bagian dari permainan yang dia nikmati.
Dengan cepat, Taeyong menangkap pergelangan tangan Jisoo, memutarnya dengan gerakan halus namun penuh tenaga, lalu memiting lengannya ke belakang. Jisoo tersentak, rasa sakit merambat dari bahunya, tapi Taeyong tak memberinya waktu untuk mengeluh. Dengan satu tangan lainnya, dia mencengkeram dagu Jisoo, memaksanya menatap langsung ke matanya.
“Kau memang harus begini, Nona Baek,” gumam pria itu, sarat akan ancaman terselubung. Tekanan di dagunya semakin kuat, sementara Jisoo tak punya pilihan selain menahan rasa sakit dan ketakutan yang mendidih dalam dirinya. Matanya berkobar dengan amarah yang tak bisa dia lampiaskan.
Taeyong menunduk, pandangannya kembali ke bibir Jisoo. “Menarik,” ulangnya sebelum bibirnya kembali menghantam milik Jisoo—lebih kuat, lebih menuntut, seolah mencaplok seluruh kehendak gadis itu.
Taeyong menarik Jisoo lebih dekat, cengkeramannya begitu kuat hingga tak ada celah untuk melarikan diri. Ciumannya kali ini jauh lebih dalam, lebih menuntut, seolah berusaha menghapus sisa perlawanan dalam diri gadis itu. Bibirnya menghantam bibir Jisoo dengan kekuatan yang tak bisa dilawan, menekan hingga napas Jisoo tersendat, dan tubuhnya kaku dalam ketegangan. Sementara jari-jari pria itu mencengkeram dagunya semakin erat, memaksanya tunduk dalam kendalinya.
Punggung Jisoo bersandar pada meja kerja yang dingin, tapi panas tubuhnya terus meningkat, terperangkap dalam atmosfer tegang yang menyelimuti ruangan. Hanya suara napas berat mereka yang menggema, mengisi kesunyian yang menekan dinding-dinding besar ruangan. Lampu gantung kristal di atas mereka bergoyang perlahan, bayangannya berayun, seakan menjadi saksi dari ketegangan yang memuncak di antara mereka.
Taeyong tak memberi jeda sehingga tak ada waktu bagi Jisoo untuk bernapas. Ciuman itu berlangsung tiada henti, lebih keras, lebih serakah, dan lebih bernafsu, seolah-olah dia bertekad untuk menundukkan seluruh kehendaknya. Taeyong melepaskan dagunya, berpaling ke pinggang Jisoo, melingkari dan menariknya lebih dekat lagi, memastikan tubuh itu sepenuhnya terkunci dalam genggamannya.
Jisoo mencoba melawan, tangannya yang dipiting di belakangnya berusaha melepaskan diri, tapi Taeyong dengan mudah menahannya. Tekanan tubuh pria itu semakin kuat, mengurungnya tanpa ampun. Jantung Jisoo berdetak liar—bukan karena cinta, melainkan ketakutan yang mencekam.
Setiap kali dia ingin berteriak, bibir Taeyong datang kembali semakin menguasainya. Jisoo tahu dia harus melakukan sesuatu, tapi setiap gerakan perlawanan hanya memperkuat cengkeraman pria ini. Rasa putus asa langsung menguasai dirinya.
Ketika ciuman itu akhirnya terlepas, Jisoo terengah-engah, napasnya tersengal dan tidak teratur. Wajahnya memerah, bukan hanya karena kontak fisik yang intens, tapi karena amarah yang mendidih di dalam dirinya. Tubuhnya terasa lelah, kesakitan karena perlawanan yang tak menghasilkan apa pun. Tatapan matanya penuh dengan kebencian yang mendalam, tapi pria di hadapannya ini hanya tersenyum tipis, seakan menikmati ketidakberdayaan yang telah dia ciptakan.
Seringai di wajah Taeyong semakin memperjelas siapa yang memegang kendali di antara mereka berdua. “Kau bisa melawan sekeras yang kau mau, Jisoo,” katanya dengan nada santai, “tapi kau takkan pernah menang melawanku.”
Jisoo masih terengah-engah, berusaha mengendalikan napas yang memburu, sementara rasa takut dan amarah berkecamuk di hatinya, nyaris tak tertahankan. “Kau ... kau tidak punya hak untuk melakukan ini padaku!” Akhirnya Jisoo bersuara, suaranya bergetar di antara kemarahan dan rasa takut.
Taeyong hanya tertawa kecil, seperti menganggap kata-kata Jisoo hanyalah lelucon. Dia sedikit melonggarkan cengkeramannya, namun tetap cukup kuat untuk memastikan Jisoo tak bisa pergi. “Hak?” gumamnya, mendekatkan wajahnya ke arah Jisoo lagi, napasnya hangat menyapu wajah Jisoo. “Hak adalah sesuatu yang kita ambil, Nona Baek. Dan aku sudah mengambilnya darimu.”
Kata-katanya menghantam Jisoo seperti tamparan keras. Sekali lagi, dia diingatkan betapa kecil dirinya di hadapan Taeyong, betapa tak berdaya dia di bawah kendali pria ini. Air mata mulai berkumpul di sudut matanya, bukan karena kelemahan, melainkan frustrasi yang begitu mendalam—frustrasi karena tak mampu melawan, tak bisa melepaskan diri dari cengkeraman yang menakutkan ini.
Taeyong menyadari air mata itu dan mendekat lebih jauh, hingga wajahnya hanya beberapa inci dari Jisoo. “Lihat? Kau menangis,” katanya, suaranya melembut sedikit, tetapi masih sarat dengan dominasi. “Tangisanmu hanya membuatku semakin tertarik, Jisoo.”
Jisoo ingin berteriak, ingin mengusir Taeyong dari hidupnya namun kata-kata itu terjebak di tenggorokannya, tertahan oleh ketakutan yang mencekam. Tubuhnya masih kaku, bahkan ketika cengkeraman Taeyong sedikit melonggar. Hanya ada napas terputus-putus, suara hatinya yang berteriak dalam diam, dan ketakutan yang kian menjeratnya, seakan tak ada jalan keluar.
Ketika Taeyong mendekat lagi, siap mencium Jisoo sekali lagi, ada sesuatu yang bangkit dari dalam dirinya. Bukan sekadar ketakutan atau kemarahan—ini adalah naluri bertahan hidup yang selama ini tersembunyi. Naluri yang telah diasahnya bertahun-tahun dari pelatihan bersama ayahnya. Meskipun dia tahu bahwa secara fisik tak mungkin mengalahkan Taeyong, Jisoo sadar ada cara lain untuk keluar dari situasi ini.
Saat Taeyong semakin dekat, naluri itu mengambil alih. Setiap gerakan yang dia pelajari dari ayahnya kembali mengalir dalam benaknya, seolah-olah tubuhnya mengingatnya lebih baik dari pikirannya. Tepat ketika bibir itu hampir menyentuh bibirnya lagi, Jisoo bertindak. Kakinya bergerak cepat, menendang lutut Taeyong dengan keras, menggunakan seluruh kekuatan yang bisa dia kumpulkan.
Tendangan itu berhasil. Tubuh Taeyong terhuyung ke belakang, matanya terbelalak karena terkejut. Itu adalah momen yang berharga—kesempatan yang Jisoo tahu harus dimanfaatkan. Dengan tubuh yang masih gemetar, dia mendorong Taeyong lebih jauh, lalu bergerak ke samping, mencoba melepaskan diri dari cengkeraman pria itu. Detik-detik yang berlalu terasa seperti ledakan energi di tengah ketakutannya.
Taeyong, masih dalam kebingungan akibat serangan mendadak itu, kehilangan keseimbangan sejenak. Namun, tak butuh waktu lama sebelum senyum licik kembali menghiasi wajahnya, kali ini disertai kilatan kemarahan yang lebih jelas di matanya. “Kau berani melawan?” Dia tertawa kecil, meskipun lututnya terasa nyeri akibat tendangan itu. “Kau semakin menarik, Nona Baek.”
Jisoo mundur, punggungnya menempel erat pada meja, napasnya tersengal-sengal. Keringat dingin mengalir di dahinya, tubuhnya gemetar dalam ketegangan yang tak tertahankan. Dia tahu dia tak bisa berhenti sekarang, tapi rasa takut mencekam masih menggantung di dadanya. Setiap saraf di tubuhnya berteriak untuk kabur namun ada sisi lain dari dirinya yang ketakutan—takut bahwa Taeyong tidak akan menyerah, tidak peduli seberapa keras dia melawan.
Langkah Taeyong kembali mendekat, lambat namun pasti, penuh ancaman yang tak bisa diabaikan. “Kau tahu apa yang membuatku semakin menginginkanmu, Jisoo?” katanya, suaranya berubah menjadi bisikan yang menusuk, matanya mengunci pandangannya ke dalam mata Jisoo, seolah menelannya bulat-bulat. “Ketika kau melawan... kau terlihat lebih hidup.”
Jisoo merasakan darahnya membeku mendengar kata-kata Taeyong. Ketakutan dan adrenalin bercampur menjadi satu, membuatnya mundur lebih dekat ke meja. Tangannya menyentuh permukaan kayu dengan panik, mencari sesuatu—apa pun yang bisa digunakan untuk membela diri. Tapi tidak ada yang tampak cukup kuat di dekatnya.
“Tuan, jangan mendekat lagi!” Perintahnya dengan suara gemetar meskipun tahu kata-kata itu tidak cukup kuat untuk menghentikan Taeyong. “Saya tidak akan ... tidak akan membiarkan Anda terus melakukan ini!”
Taeyong tersenyum sinis, mengabaikan ancaman kecil itu. Langkahnya terus maju, tubuhnya yang lebih besar dan lebih kuat darinya memenuhi setiap ruang yang tersisa di antara mereka. “Kau tidak bisa lari dari ini, Nona Baek,” katanya penuh keyakinan. “Kau bisa mencoba melawan, tapi aku selalu di sini, menunggumu untuk menyerah.”
Saat Taeyong hampir mencapainya lagi, Jisoo mengambil napas panjang, dalam, dan penuh keputusan. Ini saatnya, batinnya berteriak. Jika dia tidak bertindak sekarang, selamanya dia akan terjebak dalam cengkeraman pria ini. Dalam sekejap, tangannya menyambar salah satu benda di atas meja—sebuah pena perak dengan ujung tajam.
Tanpa pikir panjang, Jisoo mengayunkan tangannya dengan kekuatan yang tersisa, menusukkan pena itu ke lengan Taeyong. Ujung logam itu menembus kulitnya, merobek daging dengan luka yang dalam. Darah mengalir seketika, membasahi lengan baju pria itu dan menetes ke lantai, meninggalkan noda merah yang mencolok.
Taeyong tersentak, wajahnya seketika berubah. Untuk pertama kalinya, ekspresinya menunjukkan lebih dari sekadar kendali; ada keterkejutan di sana—tidak hanya dari rasa sakit, tetapi juga dari keberanian Jisoo yang tiba-tiba. Mata yang sebelumnya dipenuhi kepastian, kini diliputi kebingungan, mungkin juga kekaguman. Dia tak pernah menyangka gadis yang terlihat begitu rapuh ini mampu melawan balik, apalagi menyerang dengan cara yang begitu langsung dan efektif.
Beberapa langkah ke belakang, Taeyong mundur, darah masih mengalir dari lengannya, menodai lantai dengan jejak merah gelap. Dia menatap Jisoo, matanya masih terbuka lebar, mencoba memproses apa yang baru saja terjadi. Di depannya, Jisoo berdiri dengan napas terengah-engah, dadanya naik turun cepat. Ketakutan masih ada di sana, tapi adrenalin yang mengalir dalam darahnya memberi kekuatan yang tak pernah dia kira dia miliki.
“Kau... benar-benar melawan!” Taeyong menggeram, suaranya serak, penuh rasa sakit yang dia coba sembunyikan. Nada suaranya tak lagi halus dan mengendalikan seperti sebelumnya. Sekarang hanya ada kemarahan yang bergetar di setiap kata-katanya. Senyum yang biasanya menghiasi wajahnya dalam situasi dominan itu lenyap, tergantikan oleh pandangan penuh bara, kemarahan yang mendalam. “Ini belum selesai, Jisoo.”
Jisoo, yang merasa dirinya sudah berada di titik di mana tidak ada jalan kembali, mengambil kesempatan itu. Adrenalin memacu setiap langkahnya, mendorongnya maju. Pintu di hadapannya terasa seperti penghalang terakhir dan saat tangannya gemetar mencoba membuka kunci, rasanya seperti waktu berhenti. Detik-detik terasa panjang namun akhirnya—klik—pintu terbuka dengan keras, nyaris membentur dinding di belakangnya.
Dia berhasil keluar!
Meninggalkan Taeyong yang masih berdiri di dalam dengan luka di lengannya, Jisoo berlari. Lorong-lorong panjang dan dingin di mansion yang luas menjadi jalur pelariannya. Napasnya cepat, tersengal-sengal, dadanya sesak oleh ketegangan yang mencekam. Namun yang paling menyiksa adalah ketakutan yang menjerat pikirannya, membuat setiap langkah terasa berat.
Apa yang baru saja dia lakukan?
Langkah kakinya bergema di sepanjang lorong, menciptakan suara berirama yang membuat jantungnya semakin berdegup kencang. Dia tidak tahu ke mana harus pergi, tapi satu hal yang jelas—dia harus menjauh sejauh mungkin dari Taeyong. Setiap langkah membawa lebih banyak jarak, tapi tidak menghilangkan rasa gentar yang menggelayuti hatinya.
Lorong-lorong megah dan dingin di mansion itu kini berubah menjadi labirin yang menyesatkan. Lampu-lampu temaram di sepanjang dinding memancarkan bayangan yang panjang dan menakutkan, menambah kesan suram pada pelariannya. Lantainya terasa dingin menusuk telapak kakinya, memberikan sensasi tajam yang menyebar dari tubuh hingga pikirannya. Mansion yang dulu terasa megah dan aman kini berubah menjadi perangkap yang bisa menelan kebebasannya kapan saja. Setiap sudutnya menyimpan ancaman dan Jisoo merasa seperti tikus yang berlari di dalam labirin tanpa ujung.
Namun, dia tak berhenti. Rasa takut, ketegangan, dan perasaan terjebak itu justru mendorongnya untuk terus berlari, terus mencari jalan keluar, berharap di balik salah satu sudut ini ada kebebasan yang menantinya.
Jisoo berhenti sejenak di dekat sebuah pilar, tubuhnya masih gemetar hebat, sementara napasnya berderu cepat. Keringat dingin mengalir di pelipisnya dan tubuhnya masih bergetar hebat akibat adrenalin yang terus membanjirinya. Dia melirik ke belakang, memastikan Taeyong tidak mengejarnya. Lorong di belakangnya tampak kosong dan sunyi, namun rasa takut yang mencengkeramnya masih begitu kuat. Meskipun tak ada suara langkah kaki yang terdengar, Jisoo tahu bahwa ancaman itu belum hilang—bahaya masih membayangi.
Pikirannya berkecamuk, berputar-putar tanpa henti. Apa yang telah dia lakukan? Diaa telah menyerang Taeyong, pria yang tidak hanya lebih kuat secara fisik, tetapi juga memiliki kekuasaan besar di rumah ini. Rasanya tidak nyata, bahwa dia benar-benar telah menikamnya dengan pena. Dia ingin melawan, tapi apakah ini langkah yang tepat? Ketidakpastian dan rasa takut menghantamnya dari segala arah. Apa yang akan terjadi sekarang?
Namun, di tengah ketakutan itu, ada secercah rasa lega. Untuk sesaat, dia berhasil melawan. Tubuhnya masih terasa lemah dan gemetar karena sisa adrenalin, tapi ada sesuatu yang menyala di dalam hatinya—api kecil dari semangat yang belum sepenuhnya padam. Dia tahu satu hal dengan pasti: Taeyong tidak akan berhenti. Dan dia harus menemukan cara untuk melindungi dirinya sendiri atau setidaknya bertahan.
Di dalam ruang kerja, Taeyong berdiri diam, menatap lengan yang terluka di mana pena Jisoo menusuknya. Darah terus merembes, mengalir lambat di sepanjang lengannya, menetes ke lantai. Wajahnya berubah, tidak lagi memperlihatkan seringai penuh kemenangan yang biasa. Matanya kini menyala dengan amarah yang membara, tapi di balik kemarahan itu, ada juga kekaguman yang dingin.
“Dia melawan,” gumamnya sambil menyeringai tipis meskipun rasa sakit menggerogoti lengannya. “Bagus. Sangat bagus, Nona Baek.”
Dengan gerakan tajam dan cepat, dia mencabut pena itu dari lengannya, darahnya sedikit memercik. Dengan penuh kekesalan, dia melemparkan pena itu ke meja hingga berputar dan jatuh ke lantai dengan bunyi keras. Wajahnya kini gelap, ekspresinya berubah menjadi jauh lebih menakutkan. Tekad yang berbahaya tergambar jelas di tatapannya—dingin dan penuh ancaman.
Taeyong bukan hanya marah. Dia tertantang dan itu membuatnya semakin berbahaya.
“Jisoo,” gumamnya pelan, seolah berbicara kepada dirinya sendiri, “kau pikir bisa melarikan diri dariku?”
Langkah Taeyong menuju pintu terasa seperti ancaman sunyi yang mengintai di setiap detik. Wajahnya tetap datar, tapi ada intensitas mengerikan yang terpancar dari sorot matanya. Di balik rasa sakit yang merambat di lengannya, ada kegigihan dingin yang menyatu dengan amarah. Apa yang dilakukan Jisoo hanyalah penundaan—dia tahu itu. Dan anehnya, semakin besar perlawanan gadis itu, semakin besar pula rasa ketertarikannya.
Saat Taeyong membuka pintu ruangannya dan keluar ke lorong, dia merasakan kehadiran Jisoo di sekitar. Jejak ketakutan dan kepanikan itu masih melekat di udara. Langkahnya tenang meski napasnya sedikit berat, menahan rasa sakit. Dia tahu Jisoo masih ada di dalam mansion ini dan dia tidak akan membiarkan gadis itu pergi begitu saja. Tidak kali ini.
Di sisi lain mansion, Jisoo menemukan ruangan kecil yang tersembunyi di balik tangga. Tangannya yang gemetar mencoba membuka kenop pintu, bergetar dalam ketakutan. Akhirnya pintu itu terbuka, Jisoo kemudian menyelinap masuk, menutupnya dengan hati-hati di belakangnya. Ruangan itu gelap dan sempit, dipenuhi alat kebersihan dan lemari penyimpanan, tetapi bagi Jisoo, saat ini tempat itu adalah satu-satunya perlindungan yang tersisa.
Dia duduk di lantai, tubuhnya bergetar tak terkendali. Rasa perih masih terasa di bibirnya akibat ciuman paksa Taeyong, sedangkan nyeri di punggungnya semakin menyiksa. Namun, lebih dari rasa sakit fisik, ketakutan yang membekukan hatinya terasa jauh lebih menyiksa.
“Apa yang harus kulakukan?” Jisoo bertanya pada dirinya sendiri, suaranya terdengar begitu kecil di tengah kegelapan. Dia tahu Taeyong tidak akan berhenti. Setelah apa yang dia lakukan, pria itu tidak akan membiarkannya begitu saja. Mansion ini besar, tapi tak ada tempat yang benar-benar aman. Tidak ada yang akan membantunya, semua orang di sini berada di bawah kendali Taeyong.
Dan saat itu, suara langkah kaki mulai terdengar.
Langkah-langkah itu pelan, tapi sangat jelas. Jisoo mengenali bunyi langkah itu dengan sangat baik. Jantungnya langsung berdegup kencang, ketakutan semakin mencekam dirinya. Langkah kaki itu terus mendekat, setiap derap semakin memperkuat kenyataan bahwa Taeyong semakin dekat.
Langkah kaki itu berhenti tepat di depan pintu persembunyiannya.
Jisoo menahan napas, tubuhnya kaku di tempat. Suara detak jantungnya begitu keras hingga dia takut Taeyong bisa mendengarnya. Keringat dingin mengalir di sepanjang lehernya. Dia tahu pria itu berdiri tepat di luar pintu. Apakah Taeyong akan menemukannya? Ketakutan menguasai setiap sudut pikirannya, memeras semua harapan yang tersisa.
Keheningan yang panjang menyelimuti ruangan, begitu tegang hingga udara terasa menekan. Jisoo bisa merasakan tubuhnya mulai gemetar lebih parah. Setiap napas terasa berat dan dia ingin bergerak, tetapi tahu bahwa sekecil apa pun gerakannya akan mengeluarkan suara. Suara yang mungkin mengungkap persembunyiannya.
Kemudian, terdengar ketukan pelan di pintu.
“Jisoo.” Suara Taeyong terdengar rendah, tetapi begitu jelas di tengah keheningan. “Aku tahu kau di sini.”
Jisoo membekap mulutnya dengan tangan, menahan napas sekuat tenaga. Rasa panik membanjiri tubuhnya, menyerang setiap saraf dengan intensitas yang menyakitkan. Dia harus tetap diam. Tidak ada pilihan lain. Jika dia membuat suara sedikit saja, Taeyong akan menemukannya. Dan kali ini, tak ada jalan keluar.
Taeyong berdiri di depan pintu selama beberapa saat, seolah menunggu, meresapi setiap detik ketegangan. Jisoo bisa merasakan ketakutan mencekam semakin dalam, tubuhnya terasa seperti kaku, seolah membatu. Dia berharap waktu akan berputar lebih cepat, berharap agar Taeyong menyerah dan pergi.
“Ini belum selesai,” gumam Taeyong pelan di balik pintu, seperti sedang berbicara kepada dirinya sendiri, tapi cukup keras untuk membuat Jisoo mendengarnya. “Aku akan menemukanmu.”
Langkah kakinya terdengar lagi, perlahan menjauh, semakin lama semakin hilang dalam keheningan mansion yang besar. Tapi rasa lega tak sepenuhnya datang. Jisoo tetap duduk diam di ruangan kecil itu, sendirian, dengan tubuh yang masih bergetar. Napasnya kini terengah-engah, tetapi hatinya tahu bahwa ancaman belum benar-benar berlalu.
Guys, kalau tiba-tiba aku gak update selama beberapa hari, itu bukan karena aku gak mau lanjutin ceritanya, tapi lagi tak berdaya karena efek kemo ✌🏻hehe kamis besok jadwal kemo kelima, doain yaa, semoga lancar dan efeknya gak bikin aku tak berdaya. Karena kemo kelima ini obatnya beda lagi dan efeknya beda dari kemo 1-4 kemarin.
Tapi semoga saja, masih bisa update 😌
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top