Chapter XIV: Identitasnya 3.0
Jisoo merasa lega melihat kondisi Sunhee yang semakin membaik. Ramuan obat yang dia buat semalam terbukti bagus untuk kesehatan gadis itu. Sekarang dengan kondisinya yang telah membaik, Sunhee tidak perlu terlihat kesakitan dan Nyonya Laura tidak terlihat sedih lagi.
Meninggalkan ibu dan anak di dalam kamar itu, Jisoo melangkah dengan hati-hati menuju dapur. Ruang itu terasa lebih sunyi daripada sebelumnya, meski kesibukan kediaman Han biasanya tidak pernah benar-benar berhenti. Dapur yang digunakan semalam untuk meracik ramuan bukan dapur utama, sehingga dia tidak perlu berurusan dengan para juru masak yang biasanya sibuk menyiapkan hidangan mewah untuk keluarga.
Dapur ini lebih kecil, digunakan untuk keperluan pribadi atau kecil seperti menyiapkan teh atau ramuan obat. Udara di dalam ruangan itu masih mengandung aroma sisa rempah-rempah dari semalam ketika Jisoo menyiapkan obat untuk Sunhee. Cahaya remang-remang dari lilin yang menyala di sudut ruangan membuat suasana semakin tenang.
Dia berdiri di depan meja, jari-jarinya dengan hati-hati merapikan bahan-bahan yang semalam digunakan. Saat dia sedang membereskan peralatan yang digunakan semalam untuk meracik obat, suara langkah kaki yang sudah sangat dia kenal terdengar semakin mendekat. Jantungnya berdegup cepat, instingnya langsung memperingatkan bahaya. Dia tahu siapa itu tanpa perlu menoleh—Taeyong.
Kenapa dia selalu tahu ke mana aku pergi? Apakah dia diam-diam mengawasiku? Atau mungkinkah dia diam-diam memasang pelacak padaku?
Napas Jisoo mendadak terasa lebih berat, seperti seluruh ruangan sedang menahan napas bersamanya.
Ya Tuhan! Dia bahkan belum sempat menenangkan dirinya sejak kejadian di dapur semalam dan sekarang pria itu datang lagi. Suasana hati Taeyong selalu sulit ditebak dan itu membuat situasi ini jauh lebih mencekam.
Jisoo bisa merasakan setiap langkah yang diambil Taeyong meskipun dia tidak berani menoleh. Kehadirannya semakin dekat, seperti bayangan gelap yang siap menyergap dari belakang. Langkah kakinya lambat namun mantap, seperti predator yang sedang menilai mangsanya, menunggu momen yang tepat untuk menyerang. Udara di dapur terasa lebih berat, seolah-olah ruangan itu perlahan mengecil, menekan seluruh tubuh Jisoo di bawah berat intensitas yang tak terlihat.
Hingga akhirnya, Taeyong berdiri di sampingnya, begitu dekat hingga Jisoo bisa merasakan kehangatan tubuhnya menyelinap melalui lapisan pakaian yang dia kenakan. Aroma rempah kayu yang khas dari tubuh Taeyong menyeruak di udara, sebuah perpaduan antara sesuatu yang menenangkan namun sekaligus mendominasi, menguasai ruang pribadi Jisoo tanpa perlu sentuhan.
“Bagaimana keadaan Sunhee?” tanyanya dengan nada datar, tapi Jisoo bisa merasakan adanya kepedulian yang tersembunyi di balik suaranya.
“Demamnya sudah turun,” jawabnya singkat sementara tangannya terus bekerja, membereskan peralatan di mwja. “Dia sudah bisa makan sedikit dan tidur lebih nyenyak.”
Taeyong tidak langsung merespons. Dia hanya berdiri di sana, tatapannya yang tajam tak pernah lepas dari Jisoo, memerhatikannya dengan sangat cermat. Pria itu sedang menunggu sesuatu atau mungkin sedang memikirkan langkah berikutnya dalam permainan yang hanya dia yang tahu aturannya.
Jantung Jisoo berdetak lebih cepat walau dia berusaha keras untuk tetap tenang. Keheningannya membuat pikirannya berputar—apa yang dia pikirkan? Pria itu selalu penuh teka-teki dan tidak pernah menunjukkan niat tersembunyinya. Dia selalu bisa membuat Jisoo terjebak pada pusaran yang memuakkan ini.
Jisoo ingin keluar—keluar dari rumah ini, pergi jauh dan meninggalkan identitasnya sebagai Nona Baek. Ini lebih sulit dari yang dia pikirkan. Cara pria itu mempermainkannya bukan dengan kekerasan, dia lebih licik dan cerdik dengan memainkan psikologisnya. Jisoo jelas tidak terbiasa dengan permainan psikologis ini. Dia lemah.
“Aku penasaran,” Taeyong mendekat lagi,“mengapa kau begitu peduli pada Sunhee?”
Jisoo tertegun mendengarnta. Pertanyaan itu meluncur begitu saja, tapi sekali lagi, kata-kata pria itu tidak pernah sesederhana itu.
“Saya hanya melakukan tugas saya,” jawabnya mencoba menjaga suaranya tenang. “Sunhee masih anak-anak dan dia butuh perhatian ekstra saat sakit.”
Taeyong tertawa kecil, suaranya terdengar rendah dan dalam seperti gema dari lorong panjang yang gelap. “Kau selalu berkata seperti itu. Tapi aku merasa ada yang lebih dari sekadar ‘tugas’ di sini.”
Jisoo akhirnya menghentikan gerakannya dan memberanikan diri menoleh ke arahnya. Jarak mereka sangat dekat, lebih dekat dari yang seharusnya. Saat mata mereka bertemu, Jisoo bisa melihat sesuatu di balik tatapan pria itu—sesuatu yang sulit dijelaskan.
“Apa maksud Anda, Tuan? Bukankah semalam saya menjekaskannya?” tanyanya denga! suara bergetar sedikit. Dia tidak boleh terlihat lemah, tidak boleh saat berhadapan langsung dengan pria licik ini.
Taeyong tidak segera menjawab, melainkan mencondongkan tubuhnya lebih dekat lagi hingga jarak di antara mereka hampir tidak ada. Jisoo bisa merasakan napasnya di dekat lehernya, hangat dan mengganggu, membuat seluruh tubuhnya semakin tegang.
“Jangan berpura-pura,” ucap Taeyong pelan di dekat telinganya. Suara bisikannya terdengar begitu pribadi, hampir intim, tapi juga penuh dengan ancaman. “Kau di sini bukan hanya untuk mengurus Sunhee atau ibuku.”
Jisoo merasakan jantungnya berdetak lebih kencang. Taeyong sedang mendekatinya dengan cara yang sulit ditolak, tapi bukan tanpa maksud tersembunyi. Dia tahu pria ini sedang menguji batasnya, menunggu untuk melihat seberapa jauh dia bisa mendorong Jisoo sebelum gadis itu retak dan menunjukan taringnya.
“Saya tidak mengerti apa yang Anda maksud.” Jisoo mencoba menjaga suaranya stabil meskipun tubuhnya terasa kaku di bawah pengawasan pria itu. “Saya hanya melakukan apa yang semestinya saya lakukan sebagai pelayan di rumah ini. Itu tugas saya.”
Taeyong tersenyum, senyum yang lebih mirip dengan serigala yang sedang bermain dengan mangsanya. “Kau pandai sekali berpura-pura, Nona Baek. Tapi aku tidak mudah dibodohi.” Tangan Taeyong yang bebas tiba-tiba bergerak, menyentuh lengan Jisoo dengan lembut, tapi ada ketegangan dalam sentuhan itu—seperti sebuah peringatan yang halus namun jelas.
“Kau tahu, aku selalu bisa merasakan ketika seseorang berbohong padaku,” tatapannya yang intens terus mengunci matanya, “dan kau, Jisoo … kau menyembunyikan sesuatu.”
Jisoo menahan napas saat dia merasakan sentuhan Taeyong semakin erat di lengannya. Dia mencoba menarik diri secara halus, tapi pria itu menahan pergelangannya sedikit lebih lama, seolah sengaja ingin memperpanjang momen itu.
“Benarkah?” Jisoo bisa merasakan panas dari tubuh Taeyong merambat ke kulitnya, menimbulkan perasaan campur aduk antara takut dan tertekan. “Jika memang saya terbukti menyembunyikan sesuatu, bisakah Anda menunjukkan pada saya? Saya yakin, Tuan, mengerti apa yang saya katakan.”
Sialan. Aku ingin segera keluar dari sini! batinnya semakin tertekan, semakin tak tahan untuk tinggal lebih lama di Kediaman Han.
Taeyong melepaskan tangannya dengan perlahan, lalu menatap Jisoo dari atas hingga bawah, mempelajari setiap reaksi kecil dari tubuhnya. “Kau semakin menarik," gumamnya dengan nada santai, tapi penuh maksud tertentu. “Aku penasaran, seberapa lama kau bisa menyembunyikan taring kecilmu itu.”
Jisoo hanya bisa menatapnya tanpa berkata apa-apa. Taeyong selalu berhasil membuatnya merasa terjebak, pria ini jauh lebih berbahaya dari yang dia duga.
Tiba-tiba Taeyong melangkah maju, mendekat tanpa peringatan, membuat ruang di antara mereka menghilang dalam sekejap. Sebelum Jisoo sempat bereaksi, tangan besarnya yang hangat sudah melingkari pinggangnya, erat dan tak terelakkan—mirip dengan bagaimana dia menahannya malam sebelumnya di dapur. Genggamannya kokoh, tidak kasar, seolah-olah ingin memastikan bahwa Jisoo tetap di tempatnya, terperangkap di dalam lingkaran kendali yang dia ciptakan.
Jisoo terkejut, tubuhnya menegang hebat, dan refleks ingin mundur. Cengkeraman pria itu semakin erat, menariknya lebih dekat hingga tak ada jarak yang tersisa di antara mereka. Jisoo tersentak lagi, hampir terhuyung ke belakang, tapi Taeyong menangkapnya dengan mudah, memaksa tubuh mereka untuk saling bersentuhan. Kehangatan pria itu merambat melalui lapisan pakaian mereka, memancarkan panas yang tak nyaman di permukaan kulitnya. Aroma khas dari tubuh Taeyong—campuran wangi kayu dan rempah—mengelilingi Jisoo, menguasai setiap ruang kecil yang tersisa di sekitarnya, membuatnya tak bisa lari ke mana pun.
Napas Taeyong terasa di lehernya, hangat dan pelan, mengalir lembut di atas kulitnya seperti sentuhan angin malam yang memicu ribuan sensasi kecil tak terkendali. Rasa dingin dan panas bercampur, menciptakan kebingungan yang memaksa setiap otot di tubuhnya tegang. Tubuh Jisoo membeku seketika berubah menjadi batu—tak bisa bergerak, tak bisa menolak.
“Kenapa kau selalu tegang di dekatku?” bisiknya dengan suara rendah yang menggetarkan, mengalir lembut namun penuh kuasa. Nada lembut itu tidak menenangkan, melainkan seperti gemerisik halus dari rantai yang mulai membelit, menjanjikan ancaman tersembunyi di balik setiap kata. Taeyong sedikit menunduk, wajahnya mendekat, hingga Jisoo bisa merasakan desahan napasnya di telinganya. Begitu dekat hingga tiap kata itu berbisik langsung di bawah kulitnya. “Kau takut padaku?”
Jisoo menahan napas, matanya melebar sejenak. Pertanyaan itu meluncur dengan lembut dari bibirnya yang mengandung kekuatan menekan, seperti tangan tak kasat mata menggenggam jantungnya. Ketegangan menggantung di antara mereka, begitu pekat hingga Jisoo merasa sulit bernapas. Dia mencoba menenangkan diri, sementara detak jantungnya menggila, berdenyut liar di tenggorokannya, bergetar di bawah cengkeraman lengan Taeyong di pinggangnya.
Setiap inci tubuhnya dipenuhi ketakutan dan kewaspadaan namun juga ada sesuatu yang lain—rasa panik yang dia sendiri tak bisa jelaskan. Sebuah ketegangan yang tak terucapkan, nyata mengalir di sepanjang urat nadinya saat atensi Taeyong tak pernah beranjak dari wajahnya, mengawasi setiap perubahan ekspresi kecil yang muncul di sana.
Jisoo mencoba meraih kendali atas dirinya sendiri, tapi sentuhan Taeyong terlalu intens membuat pikirannya sulit fokus. “Tidak, Tuan. Saya ... saya hanya merasa tidak nyaman dengan posisi ini,” jawabnya pelan, berusaha sekuat tenaga untuk menjaga suaranya tetap stabil.
Taeyong tersenyum kecil, senyum yang tidak pernah benar-benar sampai ke matanya. “Benarkah?” tanyanya lagi, kali ini lebih pelan dan lebih menggoda. Suara itu mengelus telinganya, terkesan dan meninggalkan bekas di benaknya yang tak mudah dihapuskan. Dan dengan sedikit gerakan, Taeyong menurunkan wajahnya lebih dekat ke lehernya hingga hidungnya hampir menyentuh kulit halus di leher Jisoo, membuat gadis itu semakin membeku.
"Apakah kau tidak suka?" lanjutnya, suaranya tak lebih dari sekadar bisikan yang nyaris tak terdengar. Namun, di keheningan ruangan setiap kata terdengar jelas, menerobos benteng pertahanan Jisoo seperti belati tajam yang memotong udara.
Jisoo menahan desah napas, mencoba mengendalikan reaksi tubuhnya yang tak terkendali. Tetapi semakin dia berusaha tenang, semakin tubuhnya bereaksi, gemetar halus di bawah dekapan pria itu. Dan Taeyong bisa merasakannya—dia bisa merasakan semua itu—ketakutan, ketegangan, dan kekacauan yang mengguncangnya dari dalam.
“Saya tidak ….” Jisoo mencoba berbicara, sayangnya kata-katanya tersendat ketika tangan pria itu sedikit bergerak ke punggungnya, menyurusi lekukan pinggangnya dengan tekanan lembut nyaris seperti belaian. Matanya begitu fokus, seperti sedang meneliti setiap lekuk bibir Jisoo.
“Tuan, saya mohon,” ucap Jisoo memohon belas kasihannya, “lepaskan saya.”
“Bagaimana kalau aku tidak mau?” Mata gelap itu mengunci tatapannya dengan intensitas yang hampir membakar. “Bukankah kau bilang tidak takut padaku?”
Kau membuatku takut, sialan!
Jisoo tidak tahu harus menjawab apa. Setiap syaraf di tubuhnya terasa seperti terbakar di bawah tatapan dan sentuhannya. Dia ingin mengatakan sesuatu, ingin menolak dan pergi dari lingkaran kendali pria itu, tapi dia tidak bisa. Tatapan Taeyong lebih kuat dari rantai, membelenggu dirinya, membuatnya tak mampu bergerak meskipun akalnya memerintahkannya untuk lari.
“Kau ingin aku melepaskanmu?”
Jisoo mengangguk pasrah.
Pria itu tersenyum tipis sementara jari-jarinya menekan pinggang Jisoo sedikit lebih keras, memberikan tekanan halus yang mengisyaratkan bahwa dia tak akan melepaskan gadis itu sebelum mendapatkan yang dia inginkan.
Jisoo terperangkap dalam tatapan pria itu, terhanyut dalam ketegangan yang begitu kuat hingga seluruh ruangan tampak berputar, menyempit di sekitar mereka. “Tu-tuan ...,” gumamnya pelan, tapi suara itu terdengar samar, terhimpit di antara ketakutan dan kebingungannya.
Taeyong tersenyum lagi, kali ini lebih dalam, lebih dingin. “Kau takut padaku,” bisiknya, seolah dia baru saja memenangkan permainan. “Dan kau tahu apa? Aku menikmatinya.”
Rasanya seperti tertusuk oleh kata-kata itu, seakan-akan Taeyong menyelipkan belati tak terlihat ke dalam dada Jisoo, lalu menguliti setiap lapisan pertahanannya. Ketegangan itu berubah menjadi keputusasaan yang membara, dia tidak boleh kalah. Tidak di hadapan pria ini.
Dengan sisa keberanian yang bisa dia kumpulkan, Jisoo menatap Taeyong balik meskipun matanya masih bergetar oleh ketakutan yang dia coba sembunyikan. “Tidak … saya tidak takut. Saya hanya merasa tak nyaman,” akunya dengan suara nyaris pecah di antara napasnya yang tak beraturan.
Taeyong tertawa kecil, tawa rendah yang terdengar seperti ironi pahit. “Benarkah?” tanyanya lagi, senyum yang tersungging di bibirnya tak lebih dari sekadar bayangan dari ancaman yang sebenarnya.
“Tuan, saya mohon,” ucapnya sekali lagi memohon, “lepaskan saya.”
Taeyong terdiam sesaat, menatap gadis di dekapannya dengan senyum samar, sebelum dia melonggarkan genggamannya. Ketegangan di udara masih menggantung tebal, seperti kabut yang tidak bisa dihilangkan. Sentuhan terakhirnya terasa lama menghilang, meninggalkan jejak samar di kulit Jisoo yang membuatnya tetap waspada. Mata mereka bertemu sekali lagi—tatapan Taeyong penuh arti, seolah sedang mempermainkan emosi Jisoo, seperti seorang pemain catur yang menunggu bidaknya bergerak salah.
“Kau memintaku untuk melepaskanmu,” kata pria itu dengan nada lembut namun mengandung ancaman yang tak kentara. Senyumnya begitu tipis hampir tak terlihat, tapi begitu menusuk. “Tapi, Jisoo … ada sesuatu dalam dirimu yang membuatku ingin terus mendekat. Seolah-olah kau menyimpan lebih dari yang kau tunjukkan.”
Jisoo menelan ludah. Dia berusaha menjaga ketenangan meskipun detak jantungnya berpacu begitu cepat, menghantam dadanya seperti genderang yang tak kunjung berhenti. “Saya hanya pelayan di sini, Tuan. Tidak ada yang saya sembunyikan. Memang benar saya pernah bekerja untuk Nona Daisy, tapi itu di masa lalu.”
“Apakah kau yakin?” Dia bertanya dengan ekspresi serius. “Karena setiap gerak-gerikmu menunjukkan bahwa kau sedang menyembunyikan taringmu. Dan aku sangat ingin tahu apa itu.”
Pikiran Jisoo berputar cepat, mencoba memikirkan jawaban yang tidak akan membuat situasinya semakin berbahaya. Dia tahu Taeyong mencurigainya—bukan hanya sebagai pelayan biasa, tetapi sebagai seseorang yang menyusup ke dalam keluarga Han dengan tujuan tersembunyi yang berhubungan dengan Daisy Lavinia. Jisoo harus berhati-hati karena satu langkah yang salah bisa membongkar semuanya.
“Saya tidak tahu apa yang Anda maksud, Tuan,” jawab Jisoo lagi, kali ini mencoba menatap langsung ke matanya. “Saya tidak memiliki tujuan apa pun, selain melayani Nyonya Laura dan Sunhee dengan sebaik-baiknya.”
Taeyong tersenyum lagi, menikmati setiap kebohongan yang terucap dari mulut Jisoo. “Aku suka ketika seseorang tetap bertahan pada kebohongannya,” ucapnya seolah berbicara kepada dirinya sendiri. “Tapi, Jisoo, ingatlah satu hal.”
Jisoo merasakan napasnya tertahan, dia tahu kata-kata yang akan keluar dari mulut Taeyong bukanlah sesuatu yang akan menyenangkan.
“Aku selalu mendapatkan apa yang aku inginkan," suaranya mengalun seperti angin malam yang dingin dan menggigit, "dan aku tak akan berhenti sampai aku tahu apa yang kau sembunyikan dariku."
Jisoo tidak bisa menjawab apa-apa lagi. Tubuhnya seakan membeku di tempat, ketegangan menjalar di seluruh tubuhnya, sementara Taeyong berdiri begitu dekat, senyumnya yang halus tapi berbahaya masih menghiasi wajahnya.
Pria itu kemudian mengambil langkah mundur, meninggalkan jarak kecil di antara mereka, tapi jarak itu tidak mengurangi intensitas ketegangan yang masih menggantung. “Aku akan mengawasi,” tambahnya, sebelum akhirnya berbalik dan berjalan perlahan menuju pintu dapur.
Jisoo tertegun, berdiri kaku di tempatnya. Napasnya tertahan hingga pintu dapur menutup dengan suara yang berat. Baru setelah itu, dia bisa menarik napas dalam, mencoba mengatur kembali detak jantungnya yang masih berdegup kencang. Kata-kata Taeyong masih menggema di kepalanya. “Aku selalu mendapatkan apa yang aku inginkan.”
━━━━━━ ◦ breaking her ◦ ━━━━━━
Semenjak ketegangan berturut-turut yang melibatkan antara dirinya bersama Taeyong, dia tidak bisa lagi menjalani tugasnya dengan perasaan tenang. Setiap dia merawat Sunhee yang semakin membaik dan melayani Nyonya Laura dengan segala kebutuhannya, pikirannya terus berkelana jauh. Ketegangan yang terpendam antara dirinya dan Taeyong tidak pernah sepenuhnya hilang. Setiap kali mereka berpapasan, mata pria itu terus mengikuti setiap gerakannya seperti bayangan gelap yang mengintai dari kejauhan.
Jisoo sering merasa seperti dia sedang berjalan di atas es tipis. Setiap langkah yang dia ambil terasa rapuh dan setiap interaksi dengan Taeyong selalu penuh dengan percakapan yang samar namun sarat dengan ancaman. Seperti ular yang melingkari mangsanya perlahan-lahan, menunggu momen yang tepat untuk menyerang.
Pada suatu sore, ketika Jisoo sedang membersihkan ruang baca pribadi Nyonya Laura, Taeyong tiba-tiba masuk ke dalam ruangan. Jisoo merasakan kehadirannya bahkan sebelum dia melihatnya. Ada sesuatu tentang aura pria itu yang membuat seisi ruangan terasa lebih kecil setiap kali dia masuk.
“Kau selalu sibuk, Nona Baek,” ujar pria itu, memecah kesunyian di antara mereka. Dia berdiri di dekat rak buku, mengamati Jisoo yang berhenti sejenak dari pekerjaannya.
“Karena itulah pekerjaan saya,” balasnya berusaha menjaga jarak dan tetap fokus pada pekerjaannya.
Taeyong melangkah lebih dekat, setiap langkahnya menambah intensitas yang mengikat di sekitar mereka. “Apakah kau tidak lelah selalu berpura-pura, Jisoo?”
Jisoo menegakkan tubuh, menghadapnya yang kini berdiri hanya beberapa langkah darinya. “Saya tidak berpura-pura, Tuan. Saya hanya melakukan apa yang diperintahkan.”
Tatapan Taeyong semakin tajam, seolah dia sedang memeriksa setiap detak jantungnya yang kini semakin tidak beraturan. “Aku bisa melihatnya, kau tahu. Ketakutanmu, keraguanmu. Kau mungkin bisa berbohong pada ibuku, tapi tidak padaku.”
Haruskah aku bertanya padanya, apakah dia tidak lelah selalu menganggunya?
Jisoo menahan napas, mencoba mencari kata-kata yang tepat, sementara Taeyong terus mendekat hingga akhirnya jarak di antara mereka kembali hilang.
“Apa yang kau inginkan dariku?” tanya Jisoo pada akhirnya, merasa muak dengan sikapnya.
Senyum tipis muncul di sudut bibir pria itu, seperti angin yang berhembus di tepi jurang. “Aku sudah memberitahumu sebelumnya,” bisiknya pelan, “aku ingin tahu siapa kau sebenarnya. Apa yang kau sembunyikan. Dan aku tidak akan berhenti sampai aku mengetahuinya."
Mata mereka bertemu lagi dan kali ini ketegangan di antara mereka semakin meningkat, seolah-olah seluruh ruangan itu semakin mengecil, memaksa mereka untuk menghadapi satu sama lain dengan cara yang lebih intens. Mata Taeyong tidak beranjak dari mata Jisoo, dia sedang mencoba mengungkap semua rahasia yang tersembunyi di balik dinding pertahanannya.
“Kenapa kau begitu tertarik padaku?” Tidak ada lagi kesopanan itu. Jisoo benar-benar sudah muak menghadapinya. “Apa yang sebenarnya kau inginkan?”
“Aku tertarik pada misteri, Jisoo. Dan kau adalah misteri terbesar yang pernah kutemui di rumah ini.”
Jisoo merasa seluruh tubuhnya semakin tegang. Taeyong terus mendekat, dan meskipun dia tidak lagi menyentuhnya seperti malam-malam sebelumnya, keberadaannya sudah cukup untuk membuat setiap serat di tubuh Jisoo bergetar. Dia harus bertahan. Ini adalah permainan yang harus dia menangkan atau setidaknya, dia tidak boleh kalah begitu saja.
Namun, di balik semua ketegangan ini, Jisoo mulai merasa ada sesuatu yang lebih dari sekadar permainan kekuasaan. Mungkin Taeyong tidak hanya mencoba mengendalikan Jisoo, tetapi dia juga mencari sesuatu—sesuatu yang mungkin lebih personal, lebih dalam, dan lebih berbahaya.
“Kau tidak akan bisa menang, Jisoo,” bisik Taeyong lagi, senyum itu semakin dalam. “Tapi aku ingin melihat seberapa jauh kau bisa bertahan.”
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top