Chapter XIII: Identitasnya 2.0

Setelah pintu kamar tertutup, Jisoo tetap terduduk di lantai. Perasaan cemas dan takut yang melingkupinya masih belum hilang. Udara terasa berat, seakan setiap molekul di ruangan itu penuh dengan ketegangan yang tak terlihat. Taeyong tahu. Itu satu-satunya kalimat yang terus-menerus berputar di kepalanya. Seluruh rencana balas dendam yang sudah dia bangun perlahan-lahan mulai retak, seperti kaca yang dihantam batu. Apa yang selama ini dia coba sembunyikan sekarang terbongkar dengan jelas di depan mata pria itu.

Akan tetapi, dia juga menyadari satu hal penting: Taeyong belum menghancurkannya. Pria itu sengaja membiarkan semuanya berjalan, seakan-akan dia sedang menikmati setiap langkahnya. Bagaimana bisa seorang pria begitu menikmati kontrol atas orang lain?

Meski hatinya dipenuhi kecemasan, dia memutuskan untuk terus bergerak, melanjutkan rencana balas dendamnya. Jika Taeyong ingin bermain, maka Jisoo akan ikut bermain, tapi dengan aturannya sendiri. Dia tidak akan membiarkan pria itu menang.

Jisoo kembali menjalankan tugas-tugasnya sebagai pelayan Nyonya Laura biarpun perasaannya jauh dari tenang. Pikiran tentang percakapannya dengan Taeyong semalam terus menghantuinya namun dia tidak bisa membiarkan dirinya goyah. Nyonya Laura adalah wanita yang sangat perhatian dan jika Jisoo menunjukkan kelemahan atau kegelisahan, dia pasti akan segera menyadarinya.

Nyonya Laura, seperti biasa, duduk di paviliun di taman belakang mansion, menyesap teh sambil membaca buku. Angin sepoi-sepoi menyentuh wajahnya dengan lembut membuat gaun sutranya berkibar pelan seperti ombak di lautan tenang. Di sebelahnya, Sunhee sedang bermain dengan beberapa bunga yang dia kumpulkan dari taman, tersenyum riang seperti anak-anak yang polos, tak tahu apa yang terjadi di balik layar.

Jisoo berdiri di samping Nyonya Laura, menyiapkan lebih banyak teh ketika suara langkah kaki yang familier terdengar dari belakang. Taeyong muncul, lagi-lagi seperti bayangan yang selalu mengikuti, tak pernah jauh dari pandangannya.

“Kau datang lagi, Taeyong?” Nyonya Laura tersenyum sambil meletakkan bukunya. “Sunhee akan sangat senang melihatmu. Dia terus bertanya kapan kau akan bermain dengannya lagi.”

Sunhee yang mendengar namanya, langsung bangkit dan berlari ke arah kakaknya. “Kakak! Kau mau bermain lagi hari ini?”

Taeyong tersenyum hangat, sebuah senyum yang kontradiktif dengan kedinginan yang biasa dia tunjukkan padanya. Senyum itu seperti matahari di tengah musim dingin, hangat di luar tapi dingin di dalam hati Jisoo. “Tentu, Sunhee. Apa yang ingin kau lakukan hari ini?”

Sunhee tampak berpikir sejenak, lalu menyela, “Aku ingin Kakak menemani menonton drama teater! Aku sudah bilang kemarin, ingat?”

Taeyong tertawa kecil, sebuah tawa yang terdengar lembut di hadapan keluarganya namun bagi Jisoo, tawa itu terdengar seperti ejekan yang tersembunyi, seperti serigala yang menyamar menjadi domba.

“Tentu saja aku ingat,” jawabnya sambil mengacak-acak rambut Sunhee dengan gemas. “Aku akan memastikan kau menikmati setiap pertunjukannya.”

Jisoo yang berdiri di dekat mereka, sibuk menyiapkan cangkir teh baru, mencuri pandang ke arah Taeyong dan keluarganya. Melihat sisi lembut Taeyong di hadapan ibu dan adiknya membuatnya bingung. Pria yang kini dengan penuh kasih menyapa adiknya adalah orang sama yang malam sebelumnya berbisik dengan ancaman di telinganya. Kontradiksi ini seperti angin yang berhembus ke dua arah berlawanan.

Tiba-tiba suara Taeyong memecah lamunannya. “Nona Baek, apakah kau juga akan menonton teater bersama kami?”

Jisoo tersentak. Pertanyaannya terdengar biasa, tapi di dalamnya ada nada yang penuh maksud tersembunyi, seperti seorang pemburu yang menunggu mangsanya membuat langkah salah.

“Saya tidak yakin itu tepat, Tuan. Saya hanya seorang pelayan,” jawabnya dengan suara tenang, tapi di dalam hati, dia merasakan detak jantungnya semakin kencang.

Nyonya Laura menoleh, matanya terlihat lembut. “Ah, Taeyong, jangan membuat Nona Baek tidak nyaman. Dia punya banyak tugas untuk diselesaikan di mansion. Bukankah begitu?”

Jisoo mengangguk kecil, merasa bersyukur Nyonya Laura tidak ikut dalam permainan putranya yang terus memojokkan dirinya. “Benar, Nyonya. Masih banyak tugas yang perlu saya kerjakan.”

Taeyong meliriknya, senyum tipis muncul di sudut bibirnya, sebuah senyum yang lebih menyerupai pisau tipis yang menyayat perlahan, penuh kehati-hatian, tapi berbahaya. “Tentu saja. Kau sangat berdedikasi pada tugasmu, Nona Baek. Itu yang membuatmu begitu istimewa.”

Istimewa. Kata itu meluncur dari mulut pria itu dengan lembut, sementara Jisoo tahu bahwa di balik kata itu tersimpan sebuah ancaman. Taeyong sedang bermain dengan api dan dia tampak menikmati setiap detik permainan ini.

“Apa yang kau bicarakan dengan Nona Baek?” Sunhee tiba-tiba bertanya dengan nada polos. “Kenapa Kakak selalu bicara dengan nada yang aneh?”

Taeyong tertawa kecil, lalu menatap adiknya dengan penuh kasih. “Tidak ada yang aneh, Sunhee. Aku hanya menghargai kerja keras Nona Baek. Dia sangat membantu kita.”

Sunhee menatap kakaknya dengan bingung, lalu menoleh ke Jisoo. “Apakah Kakak suka dengan Nona Baek?”

Jisoo tertegun. Ucapan gadis kecil itu menabrak kesadarannya seperti hantaman yang tak terduga. Pertanyaan polos dari Sunhee yang tak menyadari bobot ucapannya membuat detik-detik berikutnya berjalan lambat, mengisi atmosfer dengan ketegangan yang canggung. Dia bisa merasakan pipinya sedikit memanas, sementara matanya berusaha tidak bertemu dengan mata Taeyong. Jika dia bertatap muka sekarang, ketidaknyamanannya akan terbaca jelas.

Taeyong yang tampak sangat menikmati situasi ini, tertawa pelan sebelum membalas, “Tentu saja aku menyukai Nona Baek. Dia sangat baik pada kita semua, bukan?”

Nyonya Laura yang tampaknya tak menyadari ketegangan di antara Jisoo dan putranya ikut tertawa. “Sunhee, kau dan pertanyaan-pertanyaanmu. Jangan membuat Nona Baek merasa malu.”

Jisoo mencoba tersenyum tipis dan menundukkan kepala. “Saya hanya ingin melakukan yang terbaik untuk keluarga Han, Nyonya.”

“Dan kau melakukannya dengan sangat baik.” Nyonya Laura membalas, matanya yang lembut menatap Jisoo dengan rasa sayang. “Aku sangat menghargai keberadaanmu di sini.”

Namun, Taeyong tidak berhenti di situ. Dia mendekat, berdiri hanya beberapa langkah dari Jisoo dan seperti biasa, tatapannya intens. “Kau tahu, Nona Baek, di rumah ini, semua orang memiliki peran mereka masing-masing. Tapi peranmu,” dia berhenti sejenak, senyum itu kembali muncul, “terasa sedikit berbeda.”

Jisoo menahan napas, mencoba menenangkan diri. “Saya tidak mengerti, Tuan.”

Tatapan Taeyong tidak bergeming. “Kau lebih dari sekadar pelayan biasa, Nona Baek. Aku tahu kau menyimpan sesuatu yang lebih dalam dari apa yang kau tunjukkan.”

Kalimat itu menyerupai palu yang menghantam dinding rapuh yang selama ini dia bangun. Setiap kata Taeyong adalah peringatan halus bahwa dia tahu lebih banyak dari yang Jisoo harapkan. Dia mencoba menenangkan kegugupannya meskipun sulit untuk melakukannya ketika pria ini berdiri begitu dekat.

“Kau terlalu memuji saya, Tuan,” jawabnya dengan  suara bergetar. “Saya hanya seorang pelayan dan mendedikasikan pekerjaan saya dengan baik.”

Taeyong hanya tersenyum, puas dengan jawabannya yang defensif. Dia kemudian melangkah mundur, meninggalkannya dengan perasaan campur aduk di dalam dirinya.

Ketika dia akhirnya berbalik dan kembali berbicara dengan ibunya serta Sunhee, Jisoo mencoba untuk bernapas lebih dalam sambil menenangkan pikirannya.

━━━━━━ ◦ breaking her ◦ ━━━━━━

Sunhee, yang sebelumnya begitu bersemangat untuk menonton drama teater bersama keluarganya, tiba-tiba jatuh sakit. Demam yang tinggi membuatnya terbaring lemah di tempat tidur dengan wajah pucat dan napas berat. Nyonya Laura yang sangat mencemaskan putri bungsunya, memutuskan untuk membatalkan semua rencana dan meminta Jisoo untuk merawat Sunhee.

Di tengah kesunyian malam, Jisoo tergerak oleh rasa kasihan saat melihat Sunhee yang tertidur tak tenang, wajah gadis kecil itu tampak begitu rapuh. Rasa iba yang muncul mengingatkannya pada masa kecilnya dulu ketika dia sendiri sering jatuh sakit. Ibunya akan membuatkan obat khusus—obat dari campuran tanaman dan akar yang diambil dari hutan di wilayah timur, tempat keluarganya berasal.

Jisoo memutuskan untuk mencoba membuat obat yang sama untuk Sunhee. Obat tradisional yang ibunya dulu buat selalu berhasil menurunkan demamnya dan dia berharap itu akan membantu gadis kecil itu juga.

Di dapur mansion, di bawah cahaya remang-remang dari lilin, Jisoo sibuk menyiapkan segala sesuatu yang dia butuhkan. Meja dapur dipenuhi dengan berbagai macam bahan: akar-akar pahit, daun-daun hijau berkilau, bunga-bunga kering beraroma manis, dan rempah-rempah yang berwarna kuning pekat. Udara di sekitar dapur dipenuhi dengan aroma tanaman dan dedaunan, menciptakan suasana mistis seolah-olah dapur berubah menjadi laboratorium para tabib kuno.

Jisoo bergerak dengan penuh konsentrasi, tangannya terampil meracik bahan-bahan. Sehelai daun disobek lembut, bunga kering direndam dalam air mendidih, lalu akar dihaluskan dalam lesung batu. Setiap gerakan begitu terukur, setiap racikan penuh perhatian. Dia mengingat dengan jelas bagaimana ibunya dulu melakukannya dan Jisoo mencoba mereplikasi proses itu sebaik mungkin.

Di tengah kesibukannya, Jisoo tidak menyadari bahwa dia sedang diawasi. Taeyong, yang selama ini selalu muncul tanpa diduga, berdiri di ambang pintu dapur, diam-diam memperhatikannya dari kegelapan.

Cahaya lilin yang berkilau di atas meja hanya cukup menerangi sebagian wajah Jisoo, memberikan bayangan halus yang membuat wajahnya terlihat lebih lembut namun penuh tekad. Matanya fokus pada setiap gerakan dan ada kilauan serius di sana yang tidak bisa diabaikan. Taeyong memperhatikan dalam diam, seolah-olah sedang mempelajari setiap detail kecil dari tindakan gadis itu.

Aroma ramuan herbal yang meruap ke udara perlahan menyelimuti ruangan, menyatu dengan keheningan yang menggantung. Taeyong melangkah lebih dekat, tak membuat suara sedikit pun. Sepasang matanya seperti mata seekor elang yang mengamati mangsanya dengan cermat, penuh ketenangan namun siap untuk bertindak kapan saja. Sorot matanya tertuju pada Jisoo dengan intensitas yang menusuk, mencoba untuk membaca pikirannya.

Saking fokusnya pada ramuan, Jisoo sama sekali tak menyadari kehadiran Taeyong di belakangnya. Hingga pada satu saat, ketika gadis itu berbalik untuk mengambil sesuatu, dia tanpa sengaja menabrak dada keras pria itu. Jisoo tersentak kaget dan hampir jatuh, tapi dalam hitungan detik tangan Taeyong yang kuat melingkari pinggangnya dengan cepat, menangkapnya sebelum dia terjatuh.

“Sejak kapan Anda di sini, Tuan?” Jisoo bertanya dengan nada panik, mencoba menarik diri dari pelukan tak terduga itu, tapi Taeyong masih menahannya.

Taeyong tidak langsung menjawab, sorot matanya yang tajam menatap lurus ke matanya. “Sejak kau begitu fokus meracik sesuatu,” jawabnya pelan dengan senyum yang samar.

Tatapan mata Taeyong kemudian beralih ke arah meja di mana berbagai bahan herbal yang digunakan Jisoo berantakan di atasnya. Ramuan-ramuan itu berserakan dengan bau yang khas, menciptakan campuran aroma yang tajam namun menenangkan.

“Apa yang sedang kau buat?” tanyanya, matanya memindai segala bahan-bahan di atas meja. Ada kecurigaan yang terselip di balik nada suaranya, seperti seorang detektif yang berusaha mengumpulkan informasi.

Jisoo yang tersadar, segera menjawab, “Saya sedang membuat obat.”

Taeyong mengangkat alis, masih memegang pinggang Jisoo, tak menunjukkan niat untuk melepaskannya. “Obat?”

“Untuk Nona Sunhee,” lanjutnya, mencoba menjaga suaranya tetap tenang meskipun jarak mereka yang begitu dekat membuat napasnya semakin tidak beraturan. Tubuhnya tegang di bawah genggaman Taeyong yang semakin erat. “Dia sedang demam, jadi saya membuat obat untuk menurunkan demamnya.”

Taeyong memiringkan kepalanya, mata hitam pekatnya berkilauan dalam cahaya lilin, memberikan kesan dingin. “Bukan racun, kan?” tanyanya dengan suara datar yang mengandung kecurigaan.

Jisoo terkejut mendengar tuduhan itu. Biarpun dia mencoba menahan emosi, rasa tersinggung menggelayut di hatinya. “Tentu saja bukan!” sergahnya, sedikit kesal. “Ini obat, bukan racun.”

“Kau tampak defensif, Nona Baek,” ujarnya setengah mengejek. “Jika benar itu obat, buktikan padaku.”

Jisoo menatapnya dengan bingung, lalu mendapati bahwa Taeyong masih memegang pinggangnya. Kedekatan mereka semakin membuatnya tak nyaman dan dia harus segera mengakhiri momen ini. “Tuan, saya mohon ... lepaskan saya.”

Alih-alih mendengarkan permintaannya, Taeyong justru tersenyum tipis. “Jika itu benar-benar obat dan bukan racun,” lanjutnya, “kau bisa meminumnya di depanku. Buktikan kalau kau tidak berbohong.”

Dia merasa semakin terpojok. Bagaimana bisa Taeyong begitu meragukannya? Jisoo tahu bahwa satu-satunya cara untuk menyelesaikan situasi ini adalah dengan membuktikan bahwa dia tidak berbohong. Dengan hati yang berat, dia mengambil salah satu gelas kecil yang sudah dia isi dengan ramuan obat tadi, lalu meneguknya di depan Taeyong.

Saat Jisoo meminum obat tersebut, mata Taeyong tidak beranjak sedikit pun dari dirinya. Pandangan pria itu menelusuri setiap gerakannya sembari memindai wajahnya dengan intensitas yang hampir menakutkan. Tatapan Taeyong begitu dalam seperti angin malam yang menyapu padang luas, menyentuh setiap sudut tersembunyi. Mata gelapnya menelusuri wajah Jisoo, mempelajari setiap kerutan di dahinya, setiap kerling kecil di matanya, bahkan setiap gerakan bibirnya saat menelan obat tersebut.

Sorot mata Taeyong tak berhenti di sana. Ketika Jisoo meneguk obatnya, matanya bergerak turun, tertuju pada bibir gadis itu yang basah oleh cairan ramuan. Tatapannya seperti sebuah panah yang menancap, fokus, intens, seakan tidak ada hal lain di dunia yang lebih penting selain saat itu.

Selama dia meminum ramuan obat itu, Taeyong tanpa berkata apa-apa mengambil gelas yang masih berada di tangannya. Sebelum gadis itu bisa bereaksi, pria itu tiba-tiba meneguk sisa ramuan di tempat yang sama di mana Jisoo tadi meminumnya. Gelas itu disentuh oleh bibir Taeyong seperti kilat yang menyambar tanpa peringatan.

Jisoo masih tertegun, jantungnya berdetak begitu cepat hingga terasa nyaris keluar dari dadanya. Apa yang baru saja terjadi? Taeyong meminum obat yang dia buat untuk Sunhee dan tidak hanya itu, dia meminumnya dari tempat yang sama dengannya. Gesturnya yang tiba-tiba dan penuh makna, sengaja menyentuh titik terlemah dalam ketenangan Jisoo, membuatnya semakin gelisah.

Setelah menelan sisa ramuan, Taeyong menatapnya dengan tatapan tajam, mempelajari setiap reaksi yang muncul di wajahnya. Bibir pria itu masih sedikit basah dari obat yang baru saja diminumnya, lalu dengan gerakan perlahan, dia menyeka bibirnya dengan lidah. Gerakan itu terasa lambat seolah disengaja, seperti sebuah ritual yang dibuat untuk mempertegas kekuasaannya dalam momen itu.

Mata Taeyong tak pernah beranjak dari Jisoo, menelusuri wajahnya dengan perhatian yang luar biasa. Ada sesuatu dalam cara dia menatapnya—seperti seorang pemangsa yang baru saja merasakan darah pertama dari mangsanya. Bibir Jisoo, yang tadi menyentuh gelas itu, kini menjadi pusat dari segala perhatiannya.

Mata Taeyong terus menyusuri bibir Jisoo. Ketika dia berbicara, suaranya terasa rendah seperti angin malam yang berbisik di antara pepohonan. “Apa kau berasal dari Timur?”

Jisoo merasa darahnya berhenti sejenak. Pertanyaan itu meluncur begitu saja, tajam dan langsung menuju pusat rahasianya. Bagaimana pria ini bisa menebak dengan tepat asalnya? Hatinya berdegup semakin kencang, tapi wajahnya tetap berusaha tenang.

“Aku sangat yakin ramuan ini berasal dari Timur.”

Dia menebak asal ramuan yang kubuat? Bagaimana dia tahu?

“Saya ... saya mendapatkan resep itu dari seorang teman.” Pria ini tidak boleh mengetahui kalau sebenarnya dia berasal dari Wilayah Timur. “Teman lama saya yang dulu sering merawat saya ketika sakit."

Taeyong tidak terlihat sepenuhnya percaya, matanya tidak terlihat goyah. Atensinya masih mempelajari setiap ekspresi kecil yang muncul di wajah Jisoo. “Teman, ya?” katanya sambil tersenyum samar. “Obat ini mengingatkanku pada sesuatu yang pernah aku coba sebelumnya. Ramuan khas Timur memang unik. Rasanya ... sulit dilupakan.”

Kata-kata Taeyong seperti belati yang terus menusuk perlahan, menembus lapisan demi lapisan kebohongan yang Jisoo coba pertahankan. Taeyong sedang mencurigainya, mungkin lebih dari sekadar mencurigai. Mungkin, pria ini sudah mengetahui jauh lebih banyak daripada yang dia ungkapkan.

“Saya tidak tahu ramuan obat itu berasal dari Wilayah Timur. Saya hanya berpikir, mungkin ramuan ini bagus untuk Nona Sunhee,” balas Jisoo, suaranya lebih tegas kali ini. Dia ingin menegaskan bahwa niatnya tulus meskipun dalam hati, dia tahu itu hanyalah bagian kecil dari kebenaran.

Taeyong mendekat sedikit lagi, tubuhnya yang tinggi dan besar menutup ruang di sekitarnya, membuat Jisoo merasa semakin terpojok. Wangi tubuhnya tercium samar, campuran aroma kayu dan sedikit rempah menciptakan atmosfer yang semakin intens.

“Kau di sini bukan tanpa alasan, Nona Baek,” bisiknya, menekankan setiap kata yang terucap. “Kau mungkin terlihat seperti pelayan yang setia, tapi kita berdua sama-sama tahu siapa dirimu sebenarnya dan kau menyimpan terlalu banyak rahasia.” Tatapan matanya turun lagi ke bibir Jisoo, seolah-olah dia sedang membaca rahasia yang tersimpan di sana.

Gadis itu merasa semakin tersudut. Taeyong masih memegang pinggangnya, tangannya tidak melepaskan cengkeramannya yang sengaja menahan Jisoo di posisinya. Jisoo mencoba menenangkan pikirannya, mencari cara untuk keluar dari situasi ini tanpa menunjukkan kelemahan.

“Tuan, saya hanya ingin memastikan Nona Sunhee baik-baik saja,” katanya, memaksa suaranya tetap tenang. “Dan saya mohon, lepaskan saya. Saya merasa tidak nyaman dengan posisi ini.”

Tatapan Taeyong tak beranjak, tapi perlahan-lahan, jari-jarinya mulai melonggarkan cengkeraman di pinggangnya. Meski begitu, senyum di wajahnya tetap ada, tipis dan licik, seperti serigala yang baru saja mengendus bau mangsanya.

“Tidak nyaman, ya?” Dia bergumam sambil tersenyum kecil. “Mungkin karena kau menyadari betapa berbahayanya berada di sini, di dekatku.”

Jisoo merasa tubuhnya semakin tegang. Pria ini tidak hanya bermain dengan kata-kata, tapi juga dengan pikirannya. Taeyong tahu bahwa di balik setiap reaksi kecilnya, ada ketakutan yang lebih besar, ketakutan bahwa seluruh identitas dan misinya akan terbongkar dalam satu momen.

“Obat ini,” lanjut Taeyong sambil mengangkat gelas yang telah kosong dan menatapnya. “Rasanya memang seperti yang pernah aku minum di Timur. Sangat khas. Kau tahu, Jisoo, aku tidak akan pernah melewatkan hal-hal kecil seperti ini.”

Jisoo mencoba menarik napas dalam-dalam, mengatur detak jantungnya yang berdegup tak menentu. Dia harus tetap kuat. “Seperti yang saya katakan, itu resep dari teman. Tidak lebih."

Taeyong menatapnya, bibirnya membentuk garis tipis yang sulit diartikan. “Mungkin,” katanya akhirnya meskipun dari cara dia mengatakannya, jelas bahwa dia masih menyimpan kecurigaan. “Tapi ingat ini, Jisoo. Di sini, di Kediaman Han, setiap orang memiliki tujuan. Dan aku sangat tertarik mengetahui apa sebenarnya tujuanmu.”

“Saya hanya di sini untuk melayani keluarga Han dengan sebaik-baiknya,” jawabnya, mencoba terdengar tegas meskipun di dalam hatinya, jawaban itu tidak akan cukup bagi Taeyong.

Taeyong tersenyum kecil, lalu tanpa mengatakan apa-apa lagi, dia menurunkan gelas dan berjalan perlahan ke arah pintu dapur. Sebelum keluar, dia menoleh sekali lagi, mata hitamnya yang penuh misteri masih memancarkan ketegangan yang tak bisa dijelaskan.

“Jangan pernah membuat kesalahan,” katanya memperingati. "Aku akan selalu memperhatikanmu, Nona Baek."

Dan dengan itu, Taeyong meninggalkan dapur, meninggalkan Jisoo dalam kesunyian yang tiba-tiba terasa begitu menyesakkan. Pikirannya kacau. Taeyong tahu terlalu banyak, tapi pria itu tampaknya menikmati permainan ini, membiarkan Jisoo bertahan di dalam jebakan yang semakin menjeratnya.

Jisoo berdiri diam di tempat, mencoba memahami situasi yang baru saja terjadi. Tatapan Taeyong, suaranya, sentuhannya—semuanya terasa seperti ancaman yang terselubung dalam kehangatan yang palsu. Jisoo harus lebih hati-hati mulai sekarang. Taeyong tidak akan membiarkannya lolos dengan mudah. Pria itu tidak hanya berbahaya, dia licik, dan Jisoo bisa merasakan bahwa dia sedang diawasi dari setiap sudut.

Chapter 1-10 itu proses kehidupan baru jisoo setelah dikhianati jun sama jae, chapter 11-20 itu proses jisoo masuk ke keluarga han untuk balas dendam, chapter 20-30 baru masuk ke pokok masalah mereka dan bakalan banyak peringatan 🔞—terus chapternya masih panjang. Bisa jadi melebih chapter the day i ruined your life 😐

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top