Chapter VIII: Kediaman Han
Setelah berminggu-minggu menunggu, menyusun rencana dan menanti kesempatan yang tepat, akhirnya Jisoo tiba di Kediaman Han—rumah megah yang berdiri angkuh di tengah-tengah salah satu kawasan paling mewah di Ibukota Tarrin. Gerbang besar dari besi tempa dihiasi ukiran rumit dan lambang Keluarga Han yang mengkilap, berdiri kokoh di hadapannya dijaga oleh dua pria berpakaian seragam hitam dengan ekspresi kaku. Mereka memindai Jisoo dengan pandangan waspada, memastikan bahwa setiap inci dirinya layak untuk memasuki tempat yang begitu mewah dan terlindungi.
Di balik gerbang itu, dunia lain terbentang, dunia yang benar-benar berbeda dari kehidupan yang pernah dia kenal. Halaman depan Kediaman Han tidak bisa digambarkan hanya dengan kata “luas”—itu adalah hamparan kerajaan kecil. Jalanan berbatu mulus yang lebar membentang sejauh mata memandang, mengarah langsung ke mansion yang menjulang di kejauhan. Di kiri-kanan jalan pohon-pohon besar yang ditata dengan sempurna menjulang tinggi seperti tentara-tentara yang menjaga keagungan tempat itu. Di antara pepohonan terdapat patung-patung marmer yang menggambarkan figur-figur klasik dan dewa-dewi mitologi dengan detail yang begitu sempurna hingga tampak hidup.
Bunga-bunga yang tak terhitung jumlahnya menghiasi halaman, menebarkan aroma manis yang terbawa angin sepoi-sepoi. Mawar merah, tulip kuning, dan anggrek putih tumbuh subur di antara tanaman hijau yang diatur dengan penuh seni. Di tengah taman yang seolah tak berujung, berdiri sebuah air mancur besar yang memancurkan air jernih ke udara, membentuk busur-busur yang berkilauan di bawah sinar matahari. Suaranya yang gemericik lembut seakan menjadi simfoni yang menambah kemewahan tempat ini.
Jisoo merasakan matanya hampir terbenam oleh besarnya keindahan ini, tapi dia tidak boleh teralihkan. Kediaman Han mungkin terlihat menakjubkan, tapi di balik segala keindahan ini, ada sesuatu yang lebih kelam, sesuatu yang menjadi tujuannya berada di sini: Taeyong Antoine Han, pria yang bertanggung jawab atas kematian Daisy.
Saat dia melangkah lebih dekat, rumah besar itu atau lebih tepatnya mansion raksasa, semakin jelas terlihat. Dindingnya berlapis marmer putih yang berkilauan, atapnya dihiasi dengan menara-menara kecil yang elegan. Jendela-jendela besar dengan tirai sutra emas tergantung di setiap lantai memberikan kesan bahwa udara yang masuk ke dalamnya pun harus melalui saringan kemewahan. Pintu masuknya yang dilapisi kayu mahoni tebal dihiasi ukiran-ukiran yang menceritakan kisah-kisah klasik dalam sejarah Keluarga Han. Setiap detail dari ornamen kecil di gagang pintu hingga lantai marmer di ambang pintu menunjukkan kemewahan yang tanpa kompromi.
Saat Jisoo tiba di depan mansion, seorang wanita paruh baya dengan postur anggun dan seragam pelayan hitam-putih menyambutnya. Ini adalah Yuna, pengurus rumah tangga senior yang selama ini dikenal sebagai orang yang menjalankan Kediaman Han dengan tangan besi. Yuna menatap Jisoo dari atas hingga bawah dengan pandangan tajam, seolah sedang menilai layaknya seorang bangsawan menilai kualitas permata.
“Selamat datang di Kediaman Han,” Yuna berkata dengan nada sopan, tapi terkesan tegas. “Nyonya Laura sudah menunggumu. Sebelum itu, izinkan aku memperkenalkanmu pada rumah ini.”
Jisoo mengikuti Yuna melangkah masuk ke dalam mansion melalui pintu utama yang besar dan berat. Begitu pintu itu terbuka, pemandangan di dalamnya membuat Jisoo hampir terdiam sejenak. Interior mansion tak kalah menakjubkan dibandingkan eksteriornya. Langit-langit tinggi dihiasi dengan lukisan fresco rumit yang menceritakan sejarah Keluarga Han—kekuasaan, kekayaan, dan kejayaan. Lampu gantung kristal besar menggantung di atas memantulkan cahaya lembut ke segala arah, memberikan kesan bahwa seluruh ruangan ini terbuat dari emas.
Karpet tebal berwarna merah marun membentang di sepanjang lantai marmer putih, membuat langkah kaki menjadi senyap. Di kiri-kanan ruangan utama terdapat deretan patung dan lukisan yang menggambarkan generasi-generasi Keluarga Han yang terdahulu, semua dengan tatapan dingin yang seakan memperingatkan siapa pun yang berani menantang mereka.
Yuna membawa Jisoo melewati ruang-ruang besar dengan dinding berlapis emas dan furnitur mewah yang tampaknya lebih cocok untuk istana daripada rumah pribadi. Setiap ruangan di mansion itu tampak seperti sebuah pameran seni yang tak ternilai harganya.
“Dan di sinilah tempatmu bekerja,” kata Yuna, pengurus rumah tangga, saat mereka berhenti di depan sebuah pintu besar di lantai dua. “Nyonya Laura Antoine Han.”
Ketika Yuna membuka pintu, Jisoo akhirnya melihat sosok yang menjadi pusat dari semua ini. Nyonya Laura Antoine Han, ibu Taeyong, terbaring di atas tempat tidur mewah dengan bantal-bantal sutra di sekelilingnya. Kecantikan Nyonya Laura tak bisa disangkal meskipun usianya sudah tidak muda lagi. Wajahnya memiliki kelembutan yang anggun dengan kulit sehalus porselen yang hanya dimiliki oleh wanita-wanita bangsawan yang tumbuh dalam kenyamanan. Mata cokelatnya yang dalam meski lelah oleh rasa sakit, masih memancarkan kilauan kecerdasan dan ketegasan. Rambutnya yang panjang berwarna hitam lembut, tertata sempurna meski hanya berbaring di tempat tidur.
Namun, di balik keanggunan fisiknya ada bekas luka yang jelas—cidera yang pernah diceritakan oleh Hilda. Nyonya Laura kesulitan berjalan, kakinya terluka dalam sebuah kecelakaan masa lalu yang kini memaksa dirinya untuk menjalani masa penyembuhan panjang. Tapi meski tubuhnya terluka, auranya tetap agung. Setiap gerakan tangannya, setiap senyuman halus yang dia berikan, memperlihatkan seorang wanita dengan jiwa bangsawan yang tidak terkalahkan oleh waktu atau keadaan.
“Nona Baek?” Suaranya lembut dan tegas, penuh kendali seperti seorang ratu yang berbicara pada bawahannya. “Selamat datang di rumahku.”
Jisoo segera menundukkan kepalanya sebagai tanda hormat, berusaha menjaga wibawa. “Terima kasih, Nyonya Han. Saya merasa terhormat bisa melayani Anda selama masa pemulihan ini.”
Laura tersenyum tipis, tapi senyum itu penuh arti. “Yuna sudah memberitahuku sedikit tentang dirimu. Aku harap kau bisa menjalankan tugasmu dengan baik. Di rumah ini, kita menghargai kesopanan dan kesetiaan. Aku yakin kau mengerti hal itu.”
Sopan santun itu! Dia hampir melupakan jika dulunya beliau adalah putri seorang duke. Duke Antoine.
“Ya, Nyonya,” jawabnya dengan nada sangat sopan.
Jisoo berdiri di sana mendengarkan setiap kata dari Nyonya Laura dengan hati-hati. Di balik kecantikan dan kelembutan wanita ini, ada sesuatu yang lebih dalam—kekuatan batin yang terasa jelas. Nyonya Laura adalah sosok sejati seorang bangsawan; anggun, tenang, tapi memiliki kendali penuh atas sekelilingnya. Dia bukan hanya ibu dari Taeyong, tetapi juga pilar utama Keluarga Han. Jika dia ingin menjalankan rencananya dengan sempurna, dia harus bisa memenangkan kepercayaan dari Nyonya Laura.
“Baiklah, Nona Baek,” kata Nyonya Laura akhirnya. “Yuna akan mengurus semua yang perlu kau ketahui tentang rumah ini. Jangan ragu untuk bertanya jika kau memerlukan sesuatu.”
Setelah meninggalkan ruangan Nyonya Laura, Jisoo berjalan kembali bersama Yuna yang memperlihatkan ruang-ruang lainnya di mansion besar itu. Setiap ruangan di mansion ini memancarkan kekayaan dan kemewahan yang membuatnya terpesona. Jisoo terus mengikuti Yuna menyusuri lorong-lorong yang tampak seperti tak ada habisnya. Masing-masing ruangan yang mereka lewati lebih menakjubkan dari yang terakhir. Segalanya di Kediaman Han ini diatur dengan begitu sempurna—setiap detail dari arsitektur hingga perabotan terpilih secara cermat untuk mencerminkan kekayaan dan kekuasaan keluarga Han. Namun, Jisoo berada di sini bukan untuk menikmati kemewahan, tetapi untuk tujuan yang jauh lebih kelam: balas dendam.
Setelah Yuna selesai memperkenalkan beberapa bagian utama rumah, mereka berhenti di sebuah pintu kayu berukir yang terletak di bagian yang lebih terpencil dari mansion.
“Ini adalah kamarmu, Nona Baek,” ujar Yuna dengan nada tegas dan sopan. “Kau akan tinggal di sini selama bertugas merawat Nyonya Laura.”
Jisoo mengangguk hormat dan membuka pintu kamarnya. Kamar itu kecil dan sederhana dibandingkan dengan ruangan-ruangan mewah yang baru saja dilihatnya, tapi tetap terasa nyaman. Dindingnya dilapisi kain sutra lembut dengan jendela kecil yang menghadap ke taman belakang. Walau tidak besar, ruangan ini cukup nyaman dan cocok untuknya menyusun rencana tanpa terlalu banyak gangguan.
Setelah Yuna pergi meninggalkannya sendirian, dia duduk di tepi ranjangnya. Sejenak dia memandangi ruangan itu membiarkan pikirannya melayang. Kata-kata balas dendam kembali berputar di benaknya, seperti sebuah mantra yang tidak bisa dia abaikan. Kini dia berada lebih dekat dengan Taeyong Antoine Han daripada sebelumnya. Ini adalah kesempatan yang telah dia nantikan—kesempatan untuk membalas dendam atas kematian Daisy.
Tapi meskipun balas dendam tampak jelas di depannya, pikiran tentang keluarganya tak bisa sepenuhnya hilang. Jun dan Jae, kakak kembarnya yang telah mencoba membunuhnya terus menghantui pikirannya. Mereka adalah bayangan gelap dari masa lalunya, mengintai di setiap sudut ingatannya.
Dulu ketika keluarganya pertama kali mengkhianatinya, Jisoo merasa hanya ada ketakutan. Tidak ada ruang untuk balas dendam. Bagaimana bisa dia membalas dendam pada keluarganya sendiri yang terdiri dari para pembunuh terlatih? Itu adalah hal yang mustahil, bunuh diri. Jisoo tahu bahwa meski dia pernah dilatih oleh ayahnya, kemampuannya jauh di bawah saudara-saudaranya, terutama Jun dan Jae. Mereka hidup untuk membunuh, dilatih sepanjang hidup. Mereka adalah senjata yang mematikan, sementara dirinya hanyalah bayangan dari apa yang seharusnya dia menjadi.
Namun, balas dendam terhadap Taeyong terasa berbeda. Taeyong Antoine Han bukanlah pembunuh bayaran. Dia hanyalah pria licik dan penuh tipu daya, orang kaya yang terbiasa mendapatkan apa yang diinginkannya dengan cara manipulasi dan kebohongan. Tidak ada keterampilan membunuh di sana, tidak ada latihan seumur hidup untuk bertahan di dunia penuh darah seperti yang dimiliki keluarganya.
“Dia hanya seorang pria kaya yang licik,” gumam Jisoo pelan pada dirinya sendiri. “Dan keluarganya hanyalah keluarga kaya yang hidup di menara gading mereka, jauh dari dunia kegelapan yang kutinggali.”
Memikirkan ini, Jisoo merasa sedikit lebih tenang. Membalas dendam terhadap Taeyong terasa seperti sesuatu yang bisa dia lakukan. Dia tidak perlu takut seperti saat menghadapi keluarganya. Keluarga Han mungkin memiliki kekuasaan di Wilayah Selatan, tapi mereka bukan keluarga assassin. Mereka tidak hidup di dunia yang sama dengan Keluarga Kim. Taeyong, biarpun penuh tipu daya, hanyalah manusia biasa dengan kelemahan yang bisa dieksploitasi. Jisoo yakin bahwa dengan sedikit perencanaan bisa menemukan cara untuk mendekati pria itu dan membuatnya membayar atas apa yang telah dia lakukan pada Daisy.
Tapi untuk sekarang, dia harus bersabar. Kesabaran adalah senjata pertama dalam balas dendam. Dia harus memenangkan kepercayaan Nyonya Laura terlebih dahulu. Meskipun Nyonya Laura tampak lemah dan sedang dalam masa penyembuhan, Jisoo percaya wanita itu adalah sosok yang memiliki pengaruh besar dalam Keluarga Han. Jika dia berhasil memenangkan kepercayaan Laura, akan lebih mudah baginya untuk mendekati Taeyong tanpa menimbulkan kecurigaan.
Jisoo ingat bagaimana Nyonya Laura memandangnya tadi. Ada sesuatu dalam mata wanita itu—kecerdasan yang tajam di balik senyuman lembutnya. Nyonya Laura mungkin terlihat rapuh karena cederanya, tetapi Jisoo tahu lebih baik. Keluarga Han tidak mungkin dipimpin oleh orang yang lemah. Jika Nyonya Laura adalah ibu dari Taeyong yang manipulatif, maka pasti ada lebih banyak hal yang tersembunyi di balik penampilan anggunnya.
Tugas pertama Jisoo di Kediaman Han dimulai keesokan harinya. Sebagai pengurus sementara untuk Nyonya Laura, dia akan menghabiskan banyak waktu di kamar pribadi sang nyonya, membantunya dengan berbagai kebutuhan selama masa penyembuhannya. Ini adalah kesempatan sempurna untuk mendekati Keluarga Han sekaligus langkah pertama dalam rencananya mendekati Taeyong.
Pagi itu dia berjalan kembali ke kamar Nyonya Laura, disambut oleh Yuna yang sedang sibuk mengatur beberapa pelayan lainnya. “Nyonya Laura sedang menunggumu, Nona Baek,” kata Yuna sambil menunjuk ke arah pintu yang tertutup rapat.
Jisoo mengetuk pintu dengan sopan sebelum masuk. Di dalam, Nyonya Laura sedang duduk di kursi roda berhias bantal-bantal sutra, wajahnya yang anggun masih terlihat tegas walau tubuhnya terbaring lemah. Ruangan itu dipenuhi oleh cahaya matahari pagi yang masuk melalui jendela-jendela besar, memantulkan keindahan pada tirai emas dan furnitur antik di sekitarnya. Laura tersenyum kecil ketika Jisoo masuk dan untuk sesaat, suasana di ruangan itu terasa tenang dan damai.
“Selamat pagi, Nyonya Han,” sapanya dengan sopan, membungkukkan tubuhnya sebagai tanda hormat.
“Selamat pagi, Nona Baek,” jawab Laura dengan nada yang halus dan tegas seperti biasa. “Bagaimana tidurmu tadi malam? Aku harap kau sudah beradaptasi dengan mansion ini.”
Jisoo mengangguk, berusaha tersenyum. “Ya, Nyonya. Ini rumah yang sangat indah.”
Laura mengangguk pelan, matanya mengamati Jisoo sejenak sebelum berkata, “Kau tahu, Nona Baek, aku telah mendengar banyak hal tentang dirimu dari Yuna. Dia berkata kau orang yang sangat teliti dan bisa diandalkan. Itu adalah kualitas yang sangat kami hargai di sini.”
Jisoo hanya tersenyum tipis, menyadari bahwa setiap kata yang keluar dari mulut Laura adalah penuh perhitungan. Wanita ini tidak pernah berbicara tanpa makna yang tersembunyi di baliknya. Jika dia ingin terus melanjutkan rencananya, dia harus bermain dengan hati-hati.
"Saya akan melakukan yang terbaik, Nyonya,” balasnya dengan sopan, menjaga nada suara tetap rendah dan hormat.
“Bagus.” Senyum tipis sang nyonya rumah masih tergantung di bibir. “Aku menghargai loyalitas dan kesetiaan dalam rumah tangga ini. Jangan pernah lupakan itu.”
Kata-kata Laura menggantung di udara seperti peringatan halus yang tersembunyi di balik senyuman anggunnya. Jisoo merasakan bulu kuduknya meremang, tapi dia tetap menahan ekspresi wajah agar tidak berubah. Dia tahu bahwa wanita ini mungkin tidak akan pernah sepenuhnya mempercayainya, tapi untuk saat ini, kepercayaan yang tampak sudah cukup.
“Baiklah, Nona Baek, sekarang kau bisa memulai pekerjaanmu. Aku membutuhkan beberapa dokumen pribadi diambil dari ruang kerjaku. Yuna akan memberitahumu di mana letaknya,” ujar Nyonya Laura dengan nada yang lebih ringan, seolah peringatan tadi tak pernah diucapkan.
Jisoo membungkuk lagi, lalu melangkah keluar dari ruangan itu dengan pikiran yang berputar-putar. Setelah keluar dari kamar Nyonya Laura, dia melangkah dengan hati-hati menyusuri koridor panjang yang dipenuhi dengan karpet merah tebal. Suara langkah kakinya nyaris tidak terdengar di lantai yang lembut, seakan-akan rumah ini memiliki cara tersendiri untuk menjaga ketenangan yang anggun. Kediaman Han, meski begitu megah dan indah, memiliki atmosfer yang terasa begitu menekan. Di setiap sudut, di balik setiap pintu dan tirai, ada sesuatu yang terasa mengintai, seolah rumah ini penuh dengan rahasia yang belum terungkap.
Jisoo berjalan menuju ruang kerja Nyonya Laura untuk mengambil dokumen-dokumen yang diminta. Tugas ini tampak sederhana di permukaan, tapi dia tahu lebih baik. Setiap tugas di rumah ini adalah ujian dan Nyonya Laura meskipun terlihat lemah secara fisik, jelas bukan orang yang mudah ditipu. Dengan setiap senyuman lembut dan tutur katanya yang penuh kesopanan, ada makna-makna tersembunyi yang harus diwaspadai. Keluarga Han mungkin tidak memiliki kekerasan dan brutalitas seperti keluarga Kim, tapi kekuatan mereka terletak pada hal yang lebih subtil—manipulasi, kendali, dan intrik yang bermain di bawah permukaan.
Setelah Yuna menunjukkan ruang kerja yang megah dengan jendela besar yang menghadap ke taman dan rak-rak penuh buku antik, Jisoo berusaha menjaga pikirannya tetap fokus. Dokumen yang diminta oleh Nyonya Laura terletak di meja kayu besar di tengah ruangan. Setiap bagian ruangan itu dipenuhi oleh simbol-simbol kekayaan dan kekuasaan Keluarga Han—lukisan-lukisan yang menggambarkan sejarah panjang keluarga, ukiran halus di perabotan, dan permadani mewah yang menutupi lantai.
Saat dia mengambil dokumen tersebut, tangannya sedikit gemetar. Ini bukan karena dia gugup akan tugas yang sederhana ini, tapi karena pikirannya terus berputar menyusun rencana yang lebih besar. Setiap kali dia berada di dekat anggota Keluarga Han, terutama Taeyong, dia harus siap untuk bertindak. Balas dendam membutuhkan lebih dari sekadar tekad, itu membutuhkan kesabaran dan perencanaan yang matang.
Setelah kembali dari ruang kerja, dia membawa dokumen yang diminta ke kamar Nyonya Laura. Nyonya Laura menerima dokumen itu dengan anggun, lalu memandangnya sejenak dan senyumnya masih sama tenangnya seperti biasa.
“Terima kasih, Nona Baek,” kata Nyonya Laura dengan nada yang lembut namun tajam. “Kau melakukannya dengan baik. Aku bisa melihat kau adalah orang yang teliti. Ini adalah sifat yang sangat penting di rumah ini.”
Jisoo menundukkan kepala sedikit, menjaga senyumnya tetap sopan. “Saya akan berusaha sebaik mungkin, Nyonya.”
Laura mengangguk, matanya tampak menilai Jisoo. “Aku harap begitu. Di rumah ini setiap langkah harus dipertimbangkan. Tidak ada ruang untuk kesalahan.”
Kata-kata itu meskipun terdengar seperti nasihat biasa, jelas memiliki lapisan yang lebih dalam. Tidak ada ruang untuk kesalahan. Jisoo tahu bahwa dalam setiap tugas yang dia lakukan, Nyonya Laura mengawasinya, mungkin mencari tanda-tanda ketidakjujuran atau motif tersembunyi. Dia harus terus waspada.
Namun, meskipun Nyonya Laura tampak cerdas dan penuh kendali, Jisoo merasa wanita ini bukan ancaman utamanya. Taeyong adalah targetnya. Pria yang telah menyebabkan kematian Daisy. Pria yang telah bermain dengan hidup orang lain demi keuntungannya sendiri. Meskipun harus bersabar, dia tidak bisa menghindari perasaan bahwa setiap hari yang berlalu tanpa dia bertindak adalah hari yang hilang.
Hari-hari kemudian berlalu dengan tenang. Jisoo bekerja dengan tenang dan disiplin, memastikan dia tidak membuat kesalahan. Dia berbaur dengan para pelayan lainnya, mendengarkan obrolan mereka dan sesekali mengumpulkan informasi tentang Taeyong. Semakin banyak dia mendengar, semakin jelas siapa pria itu sebenarnya. Pria itu terkenal dengan kekayaannya yang melimpah, tapi juga dengan sifatnya yang dingin dan kejam. Tidak ada seorang pun di rumah ini yang berani menentangnya. Namun sayangnya, Jisoo masih belum ada kesempatan untuk bertemu pria itu karena saat ini dia sedang ada di luar kota.
Lagi pula, itu tidak masalah karena dia masih memiliki banyak waktu sampai hari itu tiba.
━━━━━━ ◦ breaking her ◦ ━━━━━━
Siang itu langit di atas Kediaman Han cerah tanpa satu pun awan yang berani mengganggu birunya. Angin sepoi-sepoi berhembus lembut membawa aroma bunga dari taman yang luas dan penuh warna. Taman Kediaman Han adalah permata tersembunyi di balik dinding-dinding mewah mansion tersebut, tempat di mana keindahan alam bertemu dengan kemewahan buatan manusia.
Di tengah taman itu, berdiri sebuah paviliun kecil dengan atap kayu berukir dikelilingi oleh kolam air jernih yang dipenuhi dengan ikan-ikan koi berwarna cerah. Bunga-bunga mawar, anggrek, dan melati bermekaran di setiap sudut taman memberikan semburat warna yang kontras dengan hijau subur dari rerumputan yang terawat sempurna. Air mancur marmar yang berdiri di tengah-tengah memancurkan air dengan lembut, menciptakan suara gemericik yang menenangkan. Di sepanjang jalan setapak berbatu yang mengelilingi taman terdapat patung-patung dewa-dewi klasik yang seolah mengawasi setiap sudut dengan tenang.
Nyonya Laura duduk dengan anggun di bawah paviliun, menikmati secangkir teh hangat yang disajikan di atas meja marmer putih. Wajahnya terlihat lebih segar setelah bertemu dengan dokter paginya, meskipun masih ada rasa lelah yang tergurat di wajahnya yang anggun. Di depannya, tersaji camilan-camilan mewah—kue-kue kecil dengan taburan gula bubuk dan irisan buah yang ditata sempurna.
Jisoo berdiri di sisi Nyonya Laura, memastikan segala sesuatu berjalan lancar. Matanya beralih dari satu hal ke hal lain, memindai setiap sudut taman. Dia memperhatikan para penjaga yang berdiri di beberapa titik strategis, nyaris tak terlihat oleh mata biasa. Mereka berdiri dengan tangan di belakang, seragam hitam mereka menyatu dengan latar belakang pohon-pohon tinggi di kejauhan. Namun, Jisoo melihat mereka semua—satu di dekat gerbang kecil yang mengarah ke sayap barat mansion, dua lagi di belakang air mancur yang seolah sibuk dengan percakapan santai tapi tetap waspada.
Jisoo tahu setiap langkahnya diamati dengan cermat walaupun dia hanyalah pelayan baru. Baginya setiap detik di mansion ini adalah kesempatan untuk mengumpulkan informasi. Dia memperhatikan tata letak taman dan mansion dengan cermat, mencari pintu rahasia, jalur keluar yang bisa digunakan jika keadaan berubah berbahaya setelah dia melaksanakan rencananya. Setiap sudut, setiap jalan setapak, setiap pintu yang terkunci, atau mungkin menyembunyikan sesuatu di baliknya—semua itu tersimpan di benaknya. Dia tidak bisa meninggalkan apa pun pada kebetulan.
Sementara Jisoo sibuk dengan pikirannya, Nyonya Laura menyesap tehnya dengan anggun, senyum kecil terlukis di bibirnya yang tipis. “Hari ini sangat indah, bukan?” katanya pelan, nada suaranya lembut dan tenang, seolah dia berbicara dengan angin.
“Benar, Nyonya,” jawab Jisoo sambil menundukkan kepala, sementara pikirannya terfokus pada area di sekitar mereka. Apakah ada ruang bawah tanah di mansion ini? Mungkin sebuah pintu tersembunyi di balik salah satu patung besar di taman? Dia harus menemukan jalur pelarian jika rencananya berjalan sesuai dengan harapannya.
Saat Jisoo tenggelam dalam pikirannya, tiba-tiba ada gerakan di ujung taman. Sebuah bayangan panjang tampak mendekat di sepanjang jalan setapak yang dihiasi dengan bebatuan kecil berkilauan di bawah sinar matahari. Dia tidak menyadari kehadirannya hingga suara langkah kaki yang mantap mulai terdengar lebih dekat. Detik berikutnya, sebuah suara lembut dan tegas mengisi udara.
“Taeyong!” Suara Nyonya Laura terdengar penuh kehangatan dan kegembiraan yang tak bisa disembunyikan. Jisoo langsung menoleh, seketika jantungnya berdegup sedikit lebih cepat.
Taeyong Antoine Han muncul dari balik pepohonan, langkahnya mantap dan posturnya tegap. Dia baru saja pulang dari perjalanan bisnis di luar kota dan kehadirannya selalu membawa aura kekuasaan yang kuat. Rambut hitamnya yang rapi berkilau di bawah sinar matahari, matanya yang tajam memindai sekeliling dengan cepat sebelum akhirnya terfokus pada ibunya yang tersenyum hangat. Pakaian jasnya terlihat sempurna dengan kerah yang tak sedikit pun berkerut, memberikan kesan pria yang selalu rapi, tak peduli di mana pun dia berada.
Dia melangkah lebih dekat ke Nyonya Laura dan tanpa ragu-ragu langsung memeluk ibunya. Pelukan itu penuh kasih sayang, tapi seolah ada sesuatu yang dingin di balik kehangatan itu, seolah-olah pria itu selalu menjaga jarak emosional meskipun dia tampak begitu perhatian.
Namun, bukan pelukan itu yang membuatnya terkejut. Tatapan mata pria itu, matanya yang tajam dan penuh perhitungan, menatap lurus ke arah Jisoo saat dia memeluk ibunya. Seolah-olah sejak dia tiba pandangannya tidak pernah lepas dari Jisoo memperhatikannya dengan penuh kewaspadaan. Mata mereka bertemu dan untuk sesaat, waktu seakan berhenti.
Ada sesuatu yang membuat Jisoo menegang, sebuah rasa tidak nyaman yang tiba-tiba muncul dari cara Taeyong menatapnya. Seolah-olah pria itu bisa melihat sesuatu yang lebih dari sekadar pelayan biasa. Mungkin hanya sekejap, tapi Jisoo merasa pria itu tersenyum samar padanya, seakan ada sesuatu yang dia tahu—sesuatu yang Jisoo takutkan.
Jisoo merasa darahnya berdesir dan detak jantungnya semakin cepat. Apakah dia mengenalinya? Mata Taeyong terlalu tajam, terlalu menusuk, membuatnya merasa seperti sedang diamati dan dihakimi.
Namun ketika dia memandang lagi, tidak ada senyuman di wajah Taeyong. Hanya ketenangan biasa. Mungkin itu hanya imajinasinya. Jisoo buru-buru membuang muka, menunduk dalam-dalam, merasa canggung. Ada kegugupan yang tiba-tiba merayap di punggungnya dan pikiran-pikiran yang menakutkan mulai menghantuinya.
Apakah dia mengenaliku? pikir Jisoo panik. Tidak mungkin. Dia tidak mungkin mengenaliku. Waktu aku menemani Daisy bertemu dengannya dulu, aku selalu berusaha tetap tidak terlihat. Dia pasti tidak akan mengenalinya hanya dari sekali tatapan.
Tapi rasa takut itu tidak hilang begitu saja. Apa yang terjadi jika dia salah? Jika Taeyong, dengan semua kecerdasannya, tahu siapa dia sebenarnya? Jisoo tidak bisa membiarkan dirinya gaga, bukan saat dia sudah sedekat ini dengan tujuannya.
Taeyong akhirnya melepaskan pelukannya dari Nyonya Laura, lalu mendudukkan dirinya di kursi di sebelah ibunya, tapi pandangannya sesekali kembali ke arah Jisoo meskipun dia berbicara dengan ibunya.
“Bagaimana perasaanmu, Ibu?” tanya pria itu dengan nada hangat. “Aku mendengar dari Yuna kalau kau bertemu dengan dokter tadi pagi.”
“Lebih baik,” jawab Nyonya Laura dengan senyum tipis. “Dan aku punya pelayan baru yang sangat teliti, Nona Baek di sini. Dia sudah banyak membantuku.”
Jisoo hanya bisa menundukkan kepala sedikit ketika Nyonya Laura menyebut namanya, merasa tatapan Taeyong kembali menusuk ke arahnya. Biarpun dia berusaha tetap tenang, suasana menjadi semakin menekan baginya.
“Senang mendengarnya,” balas Taeyong sambil meneguk teh yang disajikan pelayan lain. “Sepertinya kau membawa keberuntungan untuk ibuku, Nona Baek.”
Ada sesuatu di nada suaranya—sesuatu yang tidak bisa diabaikan begitu saja. pakah ini hanya paranoia? Atau dia benar-benar curiga? Jisoo harus sangat berhati-hati, terutama di hadapan pria ini. Di balik senyumannya yang lembut, ada seorang pria penuh tipu daya, pria yang telah menghancurkan hidup Daisy dan membuatnya jatuh dalam kegelapan.
Untuk sekarang, dia hanya bisa menunduk dan menjawab dengan tenang, “Terima kasih, Tuan.”
Di dalam hatinya, Jisoo tahu bahwa permainan ini semakin berbahaya. Taeyong Antoine Han tidak akan mudah dijatuhkan dan kini dia tahu bahwa pergerakannya harus semakin hati-hati.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top