Chapter VII: The Planning

Jisoo berdiri di kamar Daisy, seluruh tubuhnya terasa kaku dan penuh amarah. Pikirannya berputar cepat mengulang kembali kejadian-kejadian yang baru saja dia temukan. Daisy bunuh diri. Itu bukan kecelakaan, bukan pula takdir yang kebetulan. Itu adalah keputusan putus asa yang lahir dari cinta buta seorang gadis untuk seorang pria bernama Taeyong Antoine Han.

Pria itu adalah pemicu kematiannya. Pria itu datang hanya untuk memberitahukan bahwa dia akan menikah dengan wanita lain, dan itu menghancurkan hatinya begitu dalam hingga memilih mengakhiri hidupnya sendiri.

Jisoo menatap diary di tangannya, kata-kata terakhir Daisy masih bergaung dalam pikirannya. “Jika aku tidak bisa bersamanya, maka lebih baik aku mati.” Dia merasakan dadanya bergetar hebat. Dendam yang Jisoo rasakan semakin membesar, membakar amarah di dalam dirinya. Setiap kali nama Taeyong muncul di benaknya, kemarahan itu semakin menguasai dirinya.

Bagaimana mungkin cinta bisa menjadi begitu menyakitkan hingga seseorang memilih mengakhiri hidupnya?

Tangannya gemetar, meremas diary itu erat-erat. Di dalam hatinya ada perasaan bersalah yang tak bisa diabaikan. Jisoo seharusnya lebih cepat. Dia seharusnya memberi tahu Daisy tentang kecurigaannya, tentang informasi yang dia dapatkan dari guild informasi.

Ya Tuhan ....

Andai saja dia tidak terlambat, mungkin gadis itu masih hidup. Mungkin saja, dia bisa menyelamatkannya sebelum semuanya berakhir dengan tragis. Tetapi semuanya sudah terlambat. Daisy sudah pergi. Gadis yang pernah menyelamatkan hidupnya, yang memberinya kesempatan untuk merasakan hidup normal kini sudah tiada.

Jisoo menarik napas panjang, matanya penuh dengan air mata yang kini bercampur dengan amarah. Dia tidak akan membiarkan ini berlalu begitu saja. Ada sebuah sumpah diam yang kini Jisoo ikrarkan dalam hati bahwa Taeyong akan membayar atas kematian Daisy.

Sambil menutup diary Daisy dengan lembut, Jisoo memutuskan untuk menyimpan buku itu sebagai bukti, sebuah pengingat akan apa yang telah terjadi. Diary itu adalah satu-satunya saksi bisu atas penderitaan Daisy dan cinta butanya terhadap Taeyong Antoine Han. Dia akan menyimpannya bukan hanya sebagai kenangan, tapi juga sebagai pendorong untuk apa yang akan dia lakukan selanjutnya.

Setelah menenangkan diri sedikit, dia keluar dari kamar. Matanya masih merah, tapi wajahnya tampak lebih tegas. Hilda dan Byeol masih mengurus tubuh Daisy dengan telaten dan kesedihan. Kedua wanita itu menoleh ketika Sunna mendekat, wajah mereka terlihat suram dan penuh duka.

“Hilda, sudahkah kau menghubungi Count?” tanyanya dengan suara yang tegas namun lembut. “Jangan terlalu lama. Count dan Countess berhak mengetahui kematian putrinya.”

Hilda mengangguk pelan meski air masih menggenang di matanya. Wanita itu kemudian beranjak pergi untuk melaksanakan perintah Jisoo, sementara Byeol tetap di tempatnya, masih berusaha menenangkan dirinya.

Setelah memastikan semuanya diatur, dia melangkah ke luar rumah menghirup udara malam yang dingin. Namun kali ini hawa dingin itu tidak menganggunya. Ada sesuatu yang jauh lebih besar yang kini mendominasi hatinya—dendam. Kematian Daisy telah membangkitkan sesuatu yang lebih gelap di dalam dirinya.

Jisoo tahu jalannya tidak akan mudah. Taeyong adalah pria berpengaruh, kaya, dan berkuasa. Sedangkan Jisoo memiliki sesuatu yang lebih—dendam dan kehendek kuat. Dia tidak akan membiarkan pria itu terus lolos begitu saja setelah apa yang dia lakukan pada Daisy dan mungkin pada wanita-wanita laiannya.

Malam itu, di bawah langit yang penuh bintang, Jisoo telah membuat keputusan. Dia akan mendekati pria itu, menyusup ke kehidupannya, dan menghancurkannya dari dalam. Pria itu mungkin berpikir bahwa dia tak terkalahkan, tapi Jisoo tahu lebih baik. Perlahan-lahan dia akan meruntuhkan segala hal yang pria itu miliki.

Dan ketika saatnya tiba, pria itu akan tahu bahwa kematian Daisy tidak akan pernah dibiarkan tanpa pembalasan.

━━━━━━ ◦ breaking her ◦ ━━━━━━

Beberapa hari setelah permintaannya kepada Hilda, kabar dari keluarga Count pun tiba. Ternyata kemarahanya tidak hanya berhenti di Taeyong saja. Balasan dari keluarga Daisy yang disampaikan Hilda membuat darahnya mendidih lebih parah. Saat Hilda masuk ke kamarnya dengan wajah muram, dia sudah bisa merasakan ada sesuatu yang tidak beres.

“Apa yang dikatakan keluarga Daisy?” tanyanya dengan nada tegas.

Hilda menghela napas dalam-dalam sebelum akhirnya berbicara, “Keluarga Count tidak peduli. Mereka hanya ingin semuanya tetap tersembunyi. Mereka sangat malu. Mereka menganggap bunuh diri ini sebagai aib. Mereka menyuruhku untuk mengurus semuanya dan tidak ingin kabar ini menyebar ke siapa pun, terutama ke masyarakat luas. Mereka bahkan meminta kami untuk tidak pernah memberitahu siapa pun bahwa Daisy sudah mati.”

Matanya berkilat marah. Tangan di atas paha terkepal kuat, kuku-kukunya hampir menusuk telapak tangannya sendiri. “Mereka... tidak peduli?” tanyanya dengan suara tertahan, hampir tidak percaya dengan apa yang didengar. Bagaimana bisa keluarga yang seharusnya mencintai dan merawat putrinya begitu dingin dan kejam? Bahkan dalam kematian putrinya sendiri mereka masih memilih menjaga kehormatan daripada meratapi kehilangan.

“Mereka tidak peduli?” Jisoo mengulang kata-kata itu dengan penuh kemarahan, suaranya bergetar. “Daisy adalah putri mereka! Putri mereka mati karena bunuh diri dan mereka hanya merasa malu?”

Hilda menundukkan kepala, air mata jatuh di pipinya. “Jisoo, aku tahu ini sulit, tapi tidak ada yang bisa kita lakukan. Keluarga Count selalu seperti ini—mereka lebih peduli pada kehormatan daripada perasaan atau kehidupan anak-anak mereka.”

Jisoo tidak bisa lagi menahan diri. “Bodoh! Mereka semua bodoh! Bagaimana bisa mereka begitu kejam?” Air mata mengalir di wajahnya, bukan hanya karena kesedihan, tapi karena amarah yang begitu dalam. Dia merasa dikhianati oleh semua orang yang seharusnya mencintai Daisy—keluarganya, Tyler, dan bahkan dirinya sendiri yang merasa gagal melindungi gadis itu.

Hilda yang melihatnya mulai kehilangan kendali segera mendekat dan meletakkan tangan lembut di bahunya. “Tenanglah, Jisoo. Aku tahu ini sulit. Daisy sudah pergi dan kita tidak bisa membawanya kembali.”

Jisoo menundukkan kepala, isakannya pecah, tapi amarah tetap bergemuruh di dadanya.

“Kita harus melanjutkan hidup, Jisoo. Aku tahu kau marah, aku juga. Tapi yang bisa kita lakukan sekarang adalah merawat kenangan Daisy dengan baik,” lanjut Hilda.

Jisoo hanya sanggup mengangguk. Selama beberapa saat dia terdiam untuk mengatur kembali pikirannya. Dia harus merencanakan dengan matang bagaimana cara untuk membalas dendam. Keluarga Count mungkin bisa melupakan putrinya dan masalahnya, tapi Jisoo tidak akan pernah melupakannya.

Bagaimana dia harus balas dendam? Dia tidak mungkin bisa mendekati Taeyong begitu saja, pria itu terlalu cerdik. Jisoo butuh akses langsung, tapi bagaimana caranya?

Dia menoleh pada Hilda yang masih menenangkan dirinya kemudian bertanya dengan nada tenang, “Hilda, setelah ini, setelah Daisy tidak ada, kau dan Byeol mau pergi ke mana?”

Hilda terdiam sejenak sebelum menjawab, “Countess menyuruhku dan Byeol kembali ke Kediaman Count. Mereka ingin kami berada di bawah pengawasan mereka, memastikan kami tidak menyebarkan berita tentang kematian Daisy.”

Jisoo mengerti. Jika Hilda dan Byeol pergi, keluarga Count pasti akan memperketat pengawasan. Mereka akan memastikan bahwa tidak ada yang membocorkan rahasia tentang kematian putrinya. Sedangkan Jisoo tidak bisa melakukan banyak hal untuk menghentikan itu meskipiun dia mau. Memang dia membenci respon Count dan Countess atas kematian putrinya, tapi bukan mereka alasan Daisy mati. Sementara itu, Jisoo sudah memiliki tujuannya sendiri. Tujuannya sekarang hanya satu—Taeyong Antoine Han.

“Bagaimana denganmu? Apa rencanamu setelah Daisy tidak ada? Kau akan ke mana?”

Jisoo terdiam sejenak. Dia tahu dengan jelas apa yang ingin dia lakukan, tapi dia tidak bisa mengatakan itu kepada Hilda.

“Mungkin aku akan mencari pekerjaan baru. Mungkin sebagai pelayan di tempat lain.” Jisoo berbohong dengan nada tenang. “Aku butuh pekerjaan baru dan tempat tinggal. Mungkin kau punya tempat yang bisa kau rekomendasikan untukku?”

Hilda tampak merenung sebentar, lalu tiba-tiba wajahnya tampak cerah, seolah dia baru saja mengingat sesuatu. “Oh, sebenarnya, ada satu tempat yang bisa kau coba. Aku dengar Keluarga Han sedang mencari pelayan baru untuk merawat Nyonya Antoine Han.”

Jisoo merasa jantungnya berhenti berdetak sejenak. “Keluarga Han?” ujarnya berusaha terdengar terkejut. Ini seperti kebetulan yang terlalu sempurna. Jisoo sudah lama berpikir bagaimana cara menyusup ke Kediaman Han namun kini kesempatan itu datang dengan sendirinya.

Hilda mengangguk. “Ya. Memang benar Keluarga Han terkenal dengan pengawasan ketat, tapi tunjangan untuk para pelayan di sana sangat besar. Mereka juga menyediakan tempat tinggal. Kau sepertinya cocok untuk pekerjaan itu, Jisoo.”

Jisoo hampir tidak bisa menahan kegembiraannya. Ini adalah kesempatan emas yang sempurna untuk masuk ke dalam kehidupan Taeyong dan mendekatinya tanpa menimbulkan kecurigaan. Dengan bekerja di rumah itu, dia bisa mengumpulkan informasi, menyusun rencana, dan perlahan-lahan menghancurkan pria itu dari dalam.

"Itu terdengar menarik,” ujarnya sambil tersenyum kecil. “Aku memang butuh pekerjaan yang bisa memberikan tunjangan dan tempat tinggal. Mungkin aku bisa menabung lebih banyak dan pulang ke desaku suatu hari nanti.”

Hilda tampak senang bisa membantu. “Aku akan meminta kenalanku yang bekerja di sana untuk merekomendasikanmu. Aku yakin mereka akan senang menerima orang seperti dirimu.”

Jisoo hampir tidak bisa menahan rasa puasnya. “Terima kasih banyak, Hilda. Aku sangat menghargainya.”

Maka dengan bantuan Hilda rencananya mulai terbentuk. Dia akan masuk ke Kediaman Han, bekerja di bawah Nyonya Antoine Han, dan secara perlahan mendekati sang Tuan Muda Han. Dari sana dia bisa menemukan cara untuk membalaskan kematian Daisy.

Setelah memastikan bahwa Hilda akan benar-benar membantunya, Jisoo terus membulatkan rencana besarnya. Balas denda. Kata-kata itu berputar-putar di pikirannya, seolah memiliki bobot yang begitu berat. Setiap kali dia mengucapkannya dalam benak, ada beban yang menekan di dadanya membawa perasaan pahit yang begitu dalam.

Dulu balas dendam tak pernah benar-benar terpikir olehnya. Saat pengkhianatan dari Jun dan Jae pertama kali terjadi, perasaan pertamanya adalah ketakutan dan keterkejutan. Keluarganya bukanlah orang sembarangan—mereka adalah pembunuh bayaran terlatih, sosok yang ditakuti di seluruh Wilayah Timur. Menyerang mereka atau bahkan sekadar merencanakan balas dendam terasa seperti bunuh diri. Mereka berbahaya, kuat, dan tak kenal ampun.

Selama ini, Jisoo hanya merasa terancam oleh keluarganya, bukan termotivasi oleh dendam. Dia tahu sejak awal bahwa mereka bukan tipe orang yang bisa dia hadapi seorang diri. Keluarga Kim adalah keluarga yang dibesarkan dalam kekerasan dengan saudara-saudaranya yang jauh lebih terlatih daripada dirinya. Setiap detik yang dihabiskannya bersama mereka adalah detik di mana dia berusaha untuk tetap hidup, selalu merasa ada ancaman yang mengintai di balik setiap tatapan dingin dan gerakan diam-diam mereka.

Serangan balas dendam ke Keluarga Kim? Itu gila. Mereka adalah pembunuh yang tak pernah gagal menyelesaikan tugas mereka. Jisoo tahu tak ada cara baginya untuk menghadapi mereka sendirian. Bahkan sekarang, meski luka-lukanya mulai sembuh, ketakutan terhadap keluarganya masih ada, bersembunyi di sudut-sudut pikirannya.

Mungkin inilah alasannya kenapa dia tak pernah benar-benar berpikir untuk melawan. Ketakutan. Kata itu terasa seperti belati yang menusuk jiwanya. Dia takut balas dendamnya akan sia-sia, takut bahwa keluarganya akan menemukan dan menghancurkannya sebelum dia sempat bertindak. Satu serangan yang salah, satu langkah yang keliru, dan dia akan menemui ajalnya lebih cepat daripada yang dia bayangkan. Balas dendam melawan Keluarga Kim adalah tindakan yang bisa membawa kehancuran dan Jisoo belum siap menghadapi itu.

Namun, ada sesuatu yang berbeda saat dia memikirkan Taeyong. Saat dia berpikir tentang kematian Daisy, balas dendam terasa lebih terjangkau dan lebih nyata. Keluarga Han mungkin kaya dan berpengaruh, tapi mereka bukan keluarga pembunuh yang ditakuti seperti Kim. Mereka hanyalah sekelompok orang kaya yang bermain-main dengan kekuasaan dan bagi Jisoo, itu berbeda.

Taeyong... hanya seorang pria licik dan manipulatif. Pria itu bukan kakak kembarnya, Jun dan Jae, yang licik dan sadis. Jisoo yakin dengan semua pelatihan yang pernah didapatkan di keluarganya, dia mampu menghadapi bahaya yang datang dari pria seperti Taeyong. Dalam pikirannya, melawan Taeyong jauh lebih sederhana daripada melawan Jun dan Jae. Dia tidak perlu takut bahwa Taeyong akan menemukan cara untuk menghancurkannya sebelum dia sempat melakukan apa-apa. Tidak—Taeyong hanya bermain dengan kekuasaan dan tipu muslihat. Dan itu adalah sesuatu yang bisa dia hadapi.

“Dia hanya pria licik yang hidup di bawah bayang-bayang kekayaannya,” gumam Jisoo memikirkan wajah Taeyong yang dingin dan penuh senyum tipis yang penuh perhitungan. “Dan keluarganya hanyalah keluarga kaya yang terlalu lama hidup dalam kenyamanan.”

Dia bisa merasakan tekad mulai tumbuh dalam dirinya. Membalas dendam pada Taeyong bukanlah tugas yang mustahil. Pria itu mungkin memiliki kekayaan dan pengaruh, tapi Jisoo tidak merasa takut pada mereka seperti dia takut pada keluarganya. Di balik wajah licik pria itu, Jisoo yakin bisa menemukan kelemahan yang bisa dia manfaatkan. Dia tahu bahwa dia mampu melindungi dirinya sendiri, setidaknya melawan orang-orang sepertinya.

Namun, saat dia memikirkan ini, bayangan keluarganya kembali menghantuinya, terutama wajah Jun dan Jae. Pengkhianatan mereka, luka di perutnya, dan senyum dingin mereka ketika mereka meninggalkannya untuk mati di tepi sungai. Kenangan itu masih terasa segar, seolah terjadi kemarin. Pengkhianatan yang dilakukan oleh keluarganya sendiri dan kini, di benaknya, dendam mulai terbakar.

“Jun, Jae...,” Jisoo bergumam suaranya nyaris tidak terdengar. “Apa yang kalian pikirkan ketika menikamku? Apa kalian puas melihatku mati?”

Dia bisa merasakan kemarahan mendidih dalam dirinya. Pengkhianatan kakak kembarnya adalah sesuatu yang tidak bisa dia lupakan, meski seberapa pun dia ingin melarikan diri dari itu semua. Balas dendam terhadap Jun dan Jae mungkin suatu hari nanti ketika dia cukup kuat, dia akan kembali. Tapi untuk sekarang dia harus fokus pada apa yang bisa dicapai.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top