Chapter VI: The Beginning

Malam telah menyelimuti langit ketika Jisoo akhirnya sampai rumah. Kereta berhenti dengan lembut di depan pintu utama, dia turun dengan langkah hati-hati. Suasana terasa aneh sejak dia melangkahkan kakinya keluar dari kereta. Rumah yang biasanya hangat dengan cahaya lampu dan suara-suara aktivitas terasa sunyi, sepi, seolah tidak ada siapa-siapa di dalam.

Angin malam menghembus pelan, membawa hawa dingin yang menembus kulitnya. Pintu rumah terbuka sedikit, tapi tidak ada tanda-tanda kehidupan di dalam. Dia masuk lalu memanggil, “Hilda? Byeol?” Suaranya menggema di dalam rumah kosong. Tidak ada sahutan, hanya keheningan yang terasa menekan.

Jisoo melangkah lebih dalam, mencoba meraba kegelapan yang menyelimuti ruangan. Biasanya dia bisa mendengar suara langkah kaki Hilda atau Byeol yang sibuk atau bahkan suara tawa kecil Daisy dari ruang tengah, tapi kali ini tidak ada suara sama sekali. Rumah itu terasa seperti kosong, hanya dihuni oleh bayang-bayang.

“Daisy?” Jisoo memanggil, nada khawatir mulai merayap dalam suaranya. Tidak ada jawaban—lagi. Ada sesuatu yang tidak beres. Jisoo tahu ini bukan rumah sama yang dia tinggalkan pagi tadi.

Jantungnya berdebar kencang saat dia berpikir untuk mencari Daisy di kamarnya. Langkah kakinya terasa berat, seolah setiap langkah membawa lebih banyak kecemasan. Lorong menuju kamar Daisy terasa lebih panjang dari biasanya dan semakin jauh dia berjalan, semakin besar rasa gelisah yang menggulung di dadanya. Jisoo merasakan firasat buruk, sesuatu yang tak bisa dia jelaskan. Suara napasnya terasa lebih keras di antara keheningan yang tidak wajar ini.

Ketika dia sampai di depan pintu kamar Daisy, pemandangan yang mengejutkan membuatnya terhenti. Di luar kamar Hilda dan Byeol berdiri dengan wajah tertunduk. Keduanya menangis pelan, tubuh mereka gemetar, dan air mata membasahi pipi mereka. Hilda yang biasanya tegar dan penuh wibawa, terlihat rapuh seperti daun yang bisa jatuh kapan saja. Byeol yang lebih muda menangis terisak dan tangannya menutupi wajahnya.

“Apa yang terjadi?” tanyanya dengan suara terguncang, matanya terbelalak penuh kebingungan. “Kenapa kalian menangis? Ada apa?”

Namun, tidak ada jawaban dari mereka berdua. Hanya air mata yang terus mengalir, membungkam setiap kata yang seharusnya terucap. Jisoo merasa jantungnya semakin berdebar. Tubuhnya terasa dingin, tapi ada dorongan kuat dalam dirinya untuk segera masuk ke kamar Daisy.

Dengan langkah ragu namun tergesa, dia meraih gagang pintu dan membuka pintu kamar itu perlahan. Perasaan campur aduk menghantamnya seperti ombak yang datang tanpa peringatan—takut, cemas, khawatir, dan ketidakpastian yang menyesakkan dada. Pintu berderit pelan, memperlihatkan ruangan yang gelap dengan cahaya lilin yang redup.

Kamar Daisy yang biasanya terasa nyaman dan penuh kehidupan, kini terasa seperti dunia lain—dingin dan sunyi. Tirai jendela bergerak pelan terkena hembusan angin dari celah-celah yang terbuka sedikit, membuat ruangan terasa hampa. Lilin-lilin yang dinyalakan di atas meja tampak redup, seolah-olah ikut berduka dalam keheningan itu.

Hal pertama yang menarik perhatiannya adalah tubuh Daisy yang terbaring di kasur. Daisy terlihat tenang, seolah-olah hanya tertidur. Rambut pirangnya yang lembut terurai di atas bantal dan wajahnya tampak damai, tapi terlalu pucat—tidak ada warna kehidupan yang biasa menyertainya. Tangannya terlipat rapi di atas perut, seperti seseorang yang sudah siap pergi ke tempat yang lebih jauh.

Jisoo berhenti di ambang pintu, otaknya berusaha memproses apa yang dilihatnya. Daisy... tidak bergerak. Tubuhnya terlalu kaku, terlalu tenang. “Daisy?” Suaranya bergetar, serak, dan penuh ketakutan. Tidak mungkin! Dia berjalan cepat ke samping tempat tidur, lututnya bergetar, dan duduk di tepi kasur.

“Daisy! Bangun!” Jisoo mengguncang bahu temannya dengan putus asa, tapi tidak ada respons. Daisy tetap diam. Tubuhnya dingin di bawah sentuhannya dan itu semakin menghancurkan hatinya. Jisoo mengguncang tubuh Daisy lebih keras lagi, matanya memerah karena menahan air mata yang mulai menggenang. “Bangun, Daisy! Jangan lakukan ini padaku!” Suaranya berubah menjadi jeritan, penuh dengan rasa kehilangan dan ketakutan yang tak tertahankan.

Namun, gadis itu tak kunjung jua terbangun. Tubuhnya tak bergerak, tetap terbaring dalam ketenangan yang aneh, dan kenyataan itu mulai menghantamnya dengan keras.

Daisy sudah pergi.

Teriakan Jisoo menggema di seluruh ruangan, air matanya jatuh tanpa bisa dibendung. Rasa sakit yang dia rasakan begitu mendalam—lebih dari sekadar kehilangan seorang teman. Daisy Lavinia bukan hanya seorang teman belaka; dia adalah orang yang pernah menyelamatkan hidupnya dan dia sudah menganggap gadis itu seperti bagian dari keluarganya sendiri. Lalu sekarang, dia tak bisa melakukan apa pun untuk menyelamatkannya.

Jisoo menjerit histeris. Rasa sedih, marah, dan tidak percaya bercampur menjadi satu. Dia meremas tangan gadis muda itu, menggenggamnya erat, berharap bisa membawanya kembali hanya dengan sentuhannya. “Daisy! Tidak, ini tidak mungkin! Kau tidak bisa pergi!”

Tapi tubuh Daisy tetap diam, dingin, dan tak bernyawa. Jisoo merasa seolah-olah dunianya runtuh. Perasaan bersalah menghantamnya—mengapa dia tidak ada di sini? Mengapa dia tidak bisa melindunginya? Kenapa semuanya harus berakhir seperti ini? Jisoo menundukkan kepala, air mata mengalir deras. Amarah dan keputusasaan membanjiri hatinya.

━━━━━━ ◦ breaking her ◦ ━━━━━━

Jisoo masih terisak di samping tubuh Daisy, perasaan hancur menyelimuti dirinya. Air mata terus mengalir tanpa henti, membasahi wajahnya saat tangannya gemetar menggenggam tangan sang penyelamat yang dingin. Pikirannya berputar-putar tanpa kendali, mencoba mencari jawaban atas apa yang terjadi. Bagaimana mungkin Daisy meninggal begitu saja? Masih segar di ingatannya bahwa gadis itu tampak baik-baik saja pagi tadi, penuh semangat, dan kini dia terbaring tak bernyawa, hilang dari dunia ini.

Jisoo mengangkat kepalanya, mata basahnya menatap wajah Daisy yang damai, seolah gadis itu hanya tertidur saja. Wajah yang biasanya penuh senyum kini kosong, tak ada warna atau kehangatan yang tersisa. Dia ingin menolak kenyataan ini, ingin percaya bahwa semua ini hanyalah mimpi buruk.

“Daisy ... tidak mungkin ... ini tidak nyata, kan?!” bisiknya dengan suara serak penuh keputusasaan.

Keheningan di kamar semakin menghancurkan hatinya. Tidak ada suara napas, tidak ada gerakan, hanya kesunyian yang dingin. Daisy benar-benar telah pergi. Jisoo meremas tangan gadis itu lebih kuat, berharap bisa merasakan sedikit kehangatan, sedikit kehidupan, tapi yang dia dapatkan hanyalah dingin yang menusuk.

Saat air mata masih mengalir deras, dia tiba-tiba teringat sesuatu—ini tidak mungkin kecelakaan! Daisy bukanlah tipe orang yang mudah menyerah pada hidupnya. Gadis itu selalu punya kekuatan untuk bertahan apalagi setelah semua penderitaan yang dia alami karena pria itu.

Tunggu, pria itu ...!

Apakah ini ... ulahnya? Pikiran itu tiba-tiba menyeruak di benaknya, menggetarkan seluruh tubuhnya. Taeyong Antoine Han—pria kejam, manipulatif, dan licik. Ya! Bisa saja dia terlibat dalam kematian Daisy.

Jisoo merasakan amarah menggantikan kesedihannya. Tangannya yang tadinya gemetar kini terkepal kuat di atas tubuh Daisy.

Taeyong.

Nama itu membakar amarah di dadanya. Semua ini tidak masuk akal! Entah bagaimana Jisoo curiga pria itu terlibat dalam skema kematian Daisy. Dia selalu muncul pada saat yang tidak tepat, lalu kematian Daisy yang mendadak ini hanya memperkuat kecurigaannya.

Jisoo menoleh cepat ke arah pintu kamar mencari Hilda dan Byeol yang masih menangis di luar. Tangis kedua wanita itu terdengar menyayat hati, tapi Jisoo perlu tahu kebenarannya. Dia perlu memastikan. Dia harus bertanya meskipun jawabannya akan sangat menyakitkan.

Dia berdiri dengan lemah dan langkahnya goyah saat berjalan menuju pintu. Saat membuka pintu dan melihat Hilda serta Byeol masih menangis, dia menarik napas panjang, berusaha menenangkan diri walaupun hatinya berkecamuk.

“Hilda... Byeol ....” Jisoo berbicara dengan suara terputus, hampir tercekat oleh kesedihannya sendiri. “Apa yang terjadi pada Daisy? Bagaimana bisa ini terjadi?”

Hilda mengangkat wajahnya, matanya merah dan basah oleh air mata. Wanita itu menatapnya dengan raut penuh duka, tapi juga ketakutan yang tidak terucap. Di sisimya Byeol tidak bisa berhenti menangis dan tubuhnya gemetar.

“Kami ... kami tidak tahu ...” Hilda akhirnya berkata, suaranya parau. “Kami menemukannya di kamar ... terbaring seperti itu ... tak ada napas ....”

Jisoo menggigit bibirnya, menahan isak tangis yang ingin pecah lagi. “Tidak mungkin ... ada sesuatu yang lebih. Apakah ... apakah ada yang datang ke sini sebelum ini? Apakah ada yang menemui Daisy?"

Hilda menunduk, menggeleng pelan. “Kami tidak tahu. Kami sedang di dapur ketika ... ketika itu terjadi. Tidak ada yang aneh sebelumnya ... tidak ada yang datang. Tiba-tiba saja... dia ....”

Jisoo merasa hatinya semakin berat, seolah beban dunia menumpuk di dadanya. Jika memang tidak ada yang datang, lalu mengapa Daisy meninggal begitu mendadak? Apa yang telah terjadi di dalam kamar itu?

Jisoo menarik napas dalam-dalam, pikirannya berputar dengan berbagai kemungkinan. Dia tidak tahu siapa yang harus dipercaya atau apa yang harus dilakukan. Tapi satu hal yang pasti—dia tidak akan membiarkan kematian Daisy berlalu tanpa jawaban. Dia harus menemukan kebenaran. Dia berbalik dengan mata yang basah berkilat penuh tekad. Kematian Daisy akan terbalas dan dia bersumpah akan membongkar siapa pun yang bertanggung jawab.

“Taeyong Antoine Han.” Nama itu terasa seperti racun di lidahnya. Jika pria itu ada di balik semua ini, Jisoo akan memastikan dia membayar dengan harga yang mahal.

Tapi untuk saat ini, dia hanya bisa menangis.

Jisoo menatap Hilda dan Byeol yang masih terisak, lalu menarik napas dalam-dalam untuk menenangkan diri. Dia tidak boleh membiarkan kesedihan melumpuhkannya. Ada hal yang harus dilakukan. Jisoo melihat Daisy untuk terakhir kali, menatap wajah yang tak lagi bernyawa kemudian dengan suara serak berkata kepada Hilda dan Byeol, “Tolong, urus mayat Daisy.”

Hilda mengangguk pelan dengan air mata yang masih mengalir; Byeol dengan gemetar mencoba menenangkan diri sambil mulai membantu. Kedua orang itu bekerja dalam kesunyian yang menyakitkan, hati mereka hancur sementara tangan mereka dengan lembut merawat tubuh Daisy. Menyaksikan semua itu dari pintu, perasaan Jisoo menjadi campur aduk. Kesedihan yang mendalam, tapi juga kemarahan yang membara. Jisoo perlu jawaban. Dia perlu tahu apa yang sebenarnya terjadi.

Tanpa berkata apa-apa lagi, dia berjalan ke arah kamar Daisy, sebuah ruangan yang penuh dengan kenangan tentang penyelamatnya. Ruangan itu tetap terasa hangat, penuh dengan benda-benda pribadi miliknya, tapi ada suasana aneh yang membuatnya merasakan keheningan yang menakutkan. Setiap langkah terasa berat dan semakin dia masuk, semakin kuat firasat bahwa dia akan menemukan sesuatu yang mengungkap kebenaran di balik kematiannya.

Jisoo mulai menggeledah kamar Daisy, matanya mencari sebuah petunjuk. Tangannya gemetar ketika menyentuh barang-barang pribadi Daisy—gaun yang tergantung di lemari, buku-buku yang berjejer rapi di rak. Semuanya terasa begitu akrab, tapi kini tampak jauh dan kosong tanpa kehadiran sang teman.

Di sudut meja rias, matanya menangkap sesuatu—sebuah buku kecil dengan sampul kulit yang dikenalnya dengan baik. Itu adalah buku diary pribadi Daisy. Jisoo mendekat dan saat membuka lembar pertama, sebuah surat jatuh ke lantai. Dia mengambilnya kemudian melihat nama yang tertulis di sudut atas surat itu—Taeyong Antoine Han. Nama itu membuat darahnya mendidih. Matanya berkilat penuh kemarahan, tapi dia sadar dia harus menahan emosinya.

Menahan amarah yang semakin memuncak, dia mulai membaca diary Daisy. Tulisan tangan gadis itu rapi dan indah, setiap huruf terukir sempurna di atas kertas seolah-olah dipahat dengan ketelitian luar biasa. Gaya tulisannya penuh kelembutan, mencerminkan sifatnya yang halus. Namun, ketika dia membuka lembar demi lembar hatinya semakin hancur.

Diary itu dipenuhi dengan curahan hati si Gadis Lavinia tentang kehidupannya yang diasingkan. Pada awalnya, dia menulis tentang betapa bahagianya bisa menemukan kedamaian di Desa Bellenau. “Aku merasa tenang di sini. Jauh dari ibukota, jauh dari tekanan keluarga dan status.” Tapi dia balik ketenangan itu, dia juga mengungkapkan rasa kesepiannya. “Kadang-kadang aku merasa begitu sendirian. Meski ada Hilda dan Byeol, aku masih merindukan keluargaku.”

Jisoo melanjutkan membaca dan di lembar berikutnya, nama Taeyong mulai sering muncul. “Taeyong datang hari ini. Aku tidak bisa percaya betapa bahagianya aku melihatnya lagi. Rasanya seperti kembali ke masa-masa indah sebelum semuanya berantakan.” Kalimat itu membuat Jisoo mengepalkan tangan, menahan amarah.

“Aku berharap hubungan kami bisa kembali seperti dulu.” Jisoo bisa merasakan kebodohan dan harapan buta dalam kata-kata Daisy. Harapan bahwa Taeyong, pria yang pernah menghancurkannya, bisa mencintainya juga.

Saat beralih ke halaman berikutnya, dia membaca sesuatu yang membuat darahnya mendidih. “Aku tidak menyesal pernah menuruti permintaannya waktu itu. Aku hanya marah pada orang tuaku, mengapa mereka memutuskan pertunangan kami begitu saja? Aku mencintai Taeyong lebih dari segalanya. Aku tidak peduli apa yang orang lain pikirkan.”

jisoo membanting diary itu ke meja sejenak, matanya penuh dengan amarah dan kebencian. “Daisy, kau bodoh...!” Bagaimana mungkin dia bisa begitu mencintai pria yang salah, pria yang menghancurkan hidupnya? Air mata mulai mengalir dari matanya, bukan hanya karena rasa kehilangan, tetapi juga karena perasaan bersalah yang menggerogoti hatinya. Andai saja dia lebih cepat memberitahu Daisy tentang kecurigaannya, andai saja dia bisa menyelamatkannya lebih awal...

Jisoo menarik napas dalam-dalam, menghapus air mata, lalu kembali membuka diary Daisy. Dia harus menemukan lebih banyak jawaban.

Ketika membuka lembar-lembar terakhir, sesuatu yang berbeda menarik perhatiannya. Tulisan tangan Daisy mulai berubah. Tidak lagi rapi dan teratur, melainkan berantaman, acak-acakan, dan kasar. Garis-garis tebal memenuhi halaman, seolah ditulis dengan kemarahan yang tak terkendali. Setiap kata terasa penuh dengan rasa sakit dan emosi yang kuat.

“Aku tidak percaya apa yang dikatakannya. Taeyong akan menikah. Dia ke sini hanya untuk memberitahuku bahwa dia akan menikah dengan wanita lain.”

Tulisan Daisy menjadi semakin buruk di halaman-halaman berikutnya. Jisoo bisa merasakan kemarahan dan kekecewaan yang mendalam dalam setiap coretan tinta. “Aku mencintainya! Bagaimana dia bisa meninggalkanku begitu saja? Setelah semua yang kami lalui ... setelah apa yang kulakukan untuknya ....”

Jisoo berhenti, hatinya terasa tersayat membaca setiap kalimat yang semakin kacau. Daisy cemburu, marah, dan terluka. Pada halaman terakhir, tulisan itu hampir tidak bisa dibaca lagi, penuh dengan coretan dan tinta yang tumpah.

“Jika aku tidak bisa bersamanya ... maka lebih baik aku mati.”

Dia berhenti membaca, merasa seluruh tubuhnya lemas. Kata-kata terakhir itu menghantamnya seperti pukulan keras. Kematian Daisy bukanlah kecelakaan—ini adalah bunuh diri. Pikiran itu semakin jelas ketika dia teringat sesuatu. Saat dia menemukan Daisy terbaring di atas tempat tidurnya, dia menemukan sebotol cairan di bawah kolong kasur. Jisoo sengaja tidak menceritakan penemuan itu ke Hilda ataupun Byeol. Sebaliknya, dia menyimpan botol itu di kantong pakaiannya setelah mengenali baunya—racun.

“Tidak mungkin...!” Jisoo berbisik, tubuhnya bergetar karena tidak percaya. Daisy gadis yang lembut dan ceria telah mengambil nyawanya sendiri.

Dia merasa amarahnya semakin membara. Berengsek!Semua ini karena pria itu. Jika pria itu tidak pernah datang kembali ke kehidupannya, jika dia tidak pernah mempermainkan perasaan penyelamatnya, Daisy tidak akan melakukan ini. Pria itulah yang bertanggungjawab atas mematian Daisy. 

Jisoo menangis lagi, kali ini dengan rasa amarah begitu dalam. Dia tidak akan membiarkan ini begitu saja. Taeyong Antoine Han akan membayar mahal atas apa yang telah dilakukan terhadap Daisy dan dia bersumpah akan membalaskan kematian Daisy dengan cara apa pun.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top