Chapter LVI: Under the weather 3.0

Wajah Nilo berubah drastis, panik kini menguasainya. “Sial! Jangan panggil dia!” Dia bergerak dengan kasar, mencoba membekap mulut Jisoo lagi.

Namun, gadis itu bergerak terlalu cepat. Dengan gerakan panik dan cekatan, Jisoo berguling di atas ranjang berusaha menjauh darinya. Sekali lagi dia berteriak sekeras mungkin, suaranya menggema di ruangan itu, penuh ketakutan dan harapan untuk diselamatkan.

“Taeyong! Tolong aku!”

Suara itu seperti bel alarm yang menusuk telinga Nilo, membuatnya mengumpat di antara napas yang berat.

Di luar lorong mansion kini dipenuhi oleh suara langkah kaki yang berat dan tergesa-gesa. Taeyong muncul di ujung lorong, sosoknya terlihat seperti bayangan gelap yang bergerak dengan tujuan pasti. Dia mengenakan setelan hitam yang rapi, tapi aura yang mengelilinginya jauh dari kesan tenang. Wajahnya yang dingin memancarkan kemarahan, matanya menyipit tajam saat mendengar suara Jisoo yang jelas memanggil namanya.

Tatapan matanya seperti pisau yang bisa menembus dinding, mengukur jarak dengan cepat. Tanpa ragu, dia melangkah lebih cepat hampir seperti memburu sesuatu yang menjadi haknya. Punggungnya tegak, tangannya mengepal di sisinya, seolah-olah siap menghantam siapa pun yang menghalanginya.

Nilo berhenti sejenak, tubuhnya mendadak menegang. Dia memiringkan kepala, mendengarkan langkah kaki yang mendekat dengan kecepatan mengancam. Wajahnya berubah semakin gelap, frustrasi mulai memuncak. “Bagus sekali, Nilo. Sekarang kau harus berurusan dengannya,” gumamnya dengan nada sarkastik, seolah berbicara pada dirinya sendiri. Rahangnya mengeras saat dia menyadari bahwa semua rencananya telah berantakan.

Di sisi lain kamar, Jisoo yang masih terguncang menatap Nilo dengan tatapan bercampur bingung dan takut. Tubuhnya sedikit membungkuk, tangan gemetar mencengkeram ujung ranjang sebagai pegangan. “Apa yang kau mau dariku?” tanyanya mencoba terdengar tegas. Mata Jisoo liar, terus mencari celah untuk kabur. Namun, seluruh tubuhnya masih diliputi adrenalin, membuatnya sulit berpikir jernih.

Nilo yang kini terlihat lebih gelisah, mengangkat tangan dengan gerakan pelan. Dia mencoba menunjukkan bahwa dia tidak ingin melukainya. “Dengar,” katanya cepat, seperti orang yang sedang bernegosiasi di ujung tanduk. “Aku tidak mau menyakitimu, oke? Aku di sini untuk membawamu keluar dari tempat ini. Ini semua hanya salah paham!”

Namun, suaranya yang terburu-buru dan ekspresi gugupnya hanya membuat Jisoo semakin tidak percaya. Dia merapat ke dinding, matanya masih menatap tajam Nilo. “Keluar? Kau pikir aku akan mempercayaimu setelah semua ini?” ujarnya dengan nada getir, mencoba melawan rasa takut yang terus mencekiknya. Tubuhnya sedikit gemetar, tapi dia berusaha keras untuk tidak menunjukkan kelemahannya.

Nilo mengusap wajahnya dengan kasar, terlihat frustrasi. “Kau tidak mengerti! Aku di sini untuk menyelamatkanmu dari dia!” ujarnya putus asa sambil menunjuk ke arah pintu dengan gerakan mendadak, membuat Jisoo sedikit tersentak. “Kalau kau tetap di sini, kau akan lebih menderita. Aku mencoba membantumu, sialan!”

Tapi sebelum dia bisa mengatakan lebih banyak, langkah kaki Taeyong terdengar semakin dekat. Suara pintu-pintu yang terbuka keras di sepanjang lorong menandakan bahwa dia semakin dekat. Nilo langsung melangkah mundur, matanya berkedip panik saat melirik ke arah pintu kamar. “Sial,” gumamnya, lalu menatap Jisoo dengan tajam. “Dengar, kita tidak punya waktu lagi. Aku akan mencoba menjelaskan nanti, tapi kau harus ikut denganku sekarang!”

Namun, Jisoo hanya menggelengkan kepala keras-keras. “Aku tidak akan pergi denganmu!” Bagaimana mungkin dia percaya pada orang tidak dikenal yang menyelinap masuk ke mansion dan memburunya seperti orang gila?

Cukup tiga orang saja yang pernah membuatnya begitu. Dia tidak mau terjebak oleh tipu muslihat untuk keempat kalinya.

Jun dan Jae, Taeyong ... lalu dia? Tidak mau!

Nilo tidak sempat merespon. Pintu kamar mendadak terbuka lebar dengan suara dentuman yang menggema di seluruh ruangan. Sosok Taeyong berdiri di ambang pintu, bayangannya yang besar dan gelap menutupi cahaya dari lorong. Mata pria itu langsung menatap tajam ke arah Nilo, penuh api kemarahan yang nyaris meledak. “Kau,” suaranya rendah, dingin, tapi berbahaya, “berani sekali kau menyentuh milikku!”

Nilo langsung berdiri tegak. Wajahnya yang biasanya penuh percaya diri kini sedikit memucat. Dia tahu siapa pria yang berdiri di depannya—Taeyong Antoine Han. Nama itu saja sudah cukup untuk membuat bulu kuduk berdiri, tapi bukan karena dia takut padanya, melainkan karena alasan lainnya. Kedua rekannya, Leah dan Hwan, telah memperingatkan dengan tegas: jangan pernah berhadapan langsung dengan Tuan Muda Han. Namun, bodohnya, dia malah melupakan peringatan itu. Lebih parah lagi, dia baru sadar bahwa wajahnya sekarang terekspos tanpa penutup.

Panik mulai menyelinap ke dalam dirinya. Dengan gerakan tergesa, dia cepat-cepat menarik kain yang sempat dia lepaskan untuk menutupi wajahnya lagi. Namun, usaha itu sudah terlambat. Tatapan tajam Taeyong menembus langsung ke dalam jiwanya, seolah-olah pria itu telah mencatat setiap detail wajahnya untuk kemudian diingat selamanya.

“Aku hanya menjalankan tugas. Jangan ikut campur!” Matanya melirik Jisoo sesaat sedang mencari alasan untuk menjelaskan kehadirannya, sebelum kembali menatap Taeyong dengan penuh kewaspadaan.

Pria itu tidak segera menjawab. Sebaliknya, dia menyeringai dingin, seringai yang terasa seperti pisau yang menekan leher. Udara di dalam kamar seketika terasa menegang, seluruh ruangan membeku di bawah tekanan amarah yang dipendamnya. “Kau menyusup ke rumahku, menyentuh sesuatu yang menjadi milikku, dan kau pikir aku akan membiarkanmu pergi begitu saja?” tanyanya dengan suara tenang, tapi setiap kata mengandung ancaman yang menusuk.

Nilo menelan ludah, tenggorokannya kering. Matanya bergerak cepat, mencari celah untuk melarikan diri. Tapi sebelum dia sempat mengambil langkah, Taeyong sudah bergerak dengan kecepatan kilat. Dalam satu gerakan mulus, pria itu meraih kerah bajunya dan mendorongnya ke dinding dengan kekuatan yang membuat tubuh Nilo terhentak keras.

Bugh!

Suara tubuh Nilo menghantam dinding bergema di kamar, membuat lampu gantung berayun sedikit.

“Beraninya kau menyentuhnya!” Suara Taeyong seperti pisau dingin menembus udara. Matanya memancarkan api kemarahan yang sulit dipadamkan dan cengkeramannya di kerah Nilo semakin kuat. Tangan Taeyong yang mencengkeram tidak hanya menahan tubuh Nilo, tapi juga mengirimkan pesan yang jelas—tidak ada ampun.

“Taeyong, hati-hati!” Teriakan Jisoo memecah ketegangan. Gadis itu masih duduk di atas tempat tidur dengan mata melebar penuh kepanikan. Dia tahu bagaimana Taeyong bisa kehilangan kendali dalam situasi seperti ini dan dia tidak ingin melihat pria itu melewati batas.

Namun, Taeyong tidak peduli. Dia tidak menunjukkan tanda-tanda akan mundur. Tangannya tetap mencengkeram erat kerah Nilo, begitu kuat hingga kain bajunya terlihat mulai kusut. Matanya menatap pria itu tanpa berkedip, tajam, dan penuh intensitas mematikan yang bisa menembus langsung ke dalam pikiran Nilo. “Berikan aku satu alasan untuk tidak membunuhmu sekarang juga.”

“Dia mencoba menjelaskan sesuatu padaku,” sahut Jisoo memecah ketegangan meskipun suaranya terdengar gugup. “Aku tidak tahu apa yang dia inginkan, tapi—Taeyong, hati-hati!”

Mendengar suara Jisoo lagi, Taeyong perlahan menoleh ke arahnya. Sorot matanya yang penuh amarah sedikit melunak ketika bertemu dengan wajah Jisoo yang pucat dan ketakutan. Namun, ada sesuatu yang lain dalam dirinya—rasa bersalah, mungkin, karena tidak bisa lebih cepat melindunginya. Mendengar teriakan Jisoo sebelumnya seperti tamparan keras yang menusuk dadanya. Itu bukan sekadar panggilan, itu adalah jeritan putus asa yang membuat seluruh dunianya berhenti sejenak.

Walaupun tatapan matanya pada Jisoo berubah lembut, cengkeramannya pada kerah Nilo tetap tidak melonggar. Hanya ada sedikit jeda di antara napasnya yang masih berat.

“Oh, sial,” gumam Nilo sambil menatap pria di depannya yang masih mencengkram kuat bajunya. Atensinya melirik cepat ke arah Jisoo sebelum berpaling ke pintu, berharap menemukan celah untuk melarikan diri, tapi itu hanya ilusi. Dia tahu dia terjebak.

Peringatan Leah dan Hwan melintas lagi di pikirannya, seperti gema yang tidak mau pergi, “Jangan melukai siapa pun dan jangan gegabah!” Semua itu terdengar seperti lelucon sekarang. Situasinya sudah terlalu jauh dari kendali. Jika dia tidak mengambil tindakan cepat, bukan hanya rencananya yang akan hancur—dia juga mungkin tidak akan keluar dari ruangan ini dalam satu potong.

Nilo berdiri mematung sejenak, menatap Taeyong yang kini berdiri tegap di hadapannya. Wajah pria ini berkilauan di bawah cahaya lampu gantung, ekspresinya seperti diukir dari marmer—tegas, keras, dan penuh dengan kemarahan yang tidak bisa disembunyikan. Aura gelapnya memenuhi ruangan, membuat udara terasa lebih berat, seolah gravitasi meningkat di sekitarnya. Mata Taeyong menyala seperti bara api yang mengintimidasi, menembus pertahanan mental siapa pun yang berani menatap balik.

Nilo merasakan tubuhnya sedikit tegang, instingnya mengingatkannya bahwa pria di hadapannya bukan lawan yang bisa diremehkan. Namun, dia tahu tidak ada jalan mundur. Tidak sekarang.

Tanpa peringatan, Nilo lalu menyerang. Dengan gerakan cepat, dia menghantam kepala Taeyong dengan kepalanya sendiri. Brak! Suara benturan keras menggema, memecahkan keheningan ruangan. Jisoo yang duduk di kasur menjerit kecil, tubuhnya tersentak kaget.

Taeyong terhuyung ke belakang, langkahnya goyah untuk sesaat. Cengkeramannya pada kerah baju Nilo terlepas, membuat pria itu mundur dengan cepat. Darah mengalir dari pelipisnya, tapi dia menahan rasa sakit dengan rahang yang mengeras. Meski hampir kehilangan keseimbangan, tubuhnya tetap sigap menahan diri agar tidak jatuh.

“Kau harus ikut aku!” seru Nilo mendesak sambil menarik Jisoo kasar agar segera turun dari kasur. Cengkeramannya di pergelangan tangan gadis itu begitu kuat hingga membuatnya meringis kesakitan.

Gadis itu menjerit panik saat melihat Taeyong terhuyung dengan wajah menegang karena kesakitan. Sementara tangannya mencoba memukul Nilo, tubuhnya memberontak dengan sekuat tenaga. Tapi Nilo, yang jelas memiliki pengalaman bertarung selama bertahun-tahun, dengan mudah menangkap lengannya dan mencengkeramnya erat, membuat Jisoo tak berdaya.

“Lepaskan aku! Apa yang kau lakukan?!” teriaknya, tapi Nilo tidak mengindahkan.

Diam! Ini semua untuk menyelamatkanmu!” desisnya sambil menyeret Jisoo menuju pintu.

Namun, benturan keras tadi hanya memicu sesuatu yang jauh lebih mengerikan dalam diri Taeyong. Dengan tangan yang gemetar akibat amarah yang membuncah, dia mengangkat wajahnya yang kini berdarah akibat benturan tersebut. Darah mengalir pelan dari pelipisnya, menetes ke lantai, tetapi tatapan matanya tetap tak tergoyahkan.

“Lepaskan dia!” Teriakan pria itu menggelegar di udara, dalam dan penuh ancaman yang bahkan membuat Jisoo merasa bulu kuduknya meremang. Tatapannya mengunci pada Nilo yang tampak tak goyah sekalipun sembari menahan Jisoo agar tidak pergi ke mana pun selain di sisinya.

Langkah Taeyong yang tegas menggema di ruangan, seolah setiap hentakan membawa amarah yang tak terbendung. Aura gelap yang mengelilinginya terasa nyata, seperti badai yang siap menghancurkan apa pun yang ada di jalannya. “Aku bilang, lepaskan!” serunya sekali lagi dan kali ini, nada itu bukanlah permintaan. Itu perintah mutlak.

Namun, sebelum Nilo bisa bertindak lebih jauh, Taeyong melesat ke arahnya dengan kecepatan yang mengejutkan. Dalam satu gerakan penuh kemarahan, tinjunya menghantam keras sisi wajah Nilo, membuat pria itu terhuyung mundur dan kehilangan cengkeramannya pada Jisoo. Gadis itu tersungkur ke belakang, tubuhnya lemas akibat ketegangan yang baru saja dialaminya.

Sialan!” geram Nilo, wajahnya memerah karena amarah sekaligus rasa sakit. Dia segera bangkit, tapi Taeyong tidak memberinya kesempatan. Dengan gerakan yang kasar dan tanpa basa-basi, Taeyong menghantamkan tubuh Nilo ke lantai, menciptakan bunyi dentuman keras yang menggema. Kedua pria itu kini bergulat di atas lantai, pertarungan mereka begitu liar dan brutal, tanpa ruang untuk belas kasihan.

Taeyong menyerang dengan intensitas yang mengerikan, seolah-olah dia tidak peduli seberapa keras tubuhnya harus menderita selama dia bisa menghancurkan lawannya. Tinjunya mendarat berkali-kali di rahang Nilo, menghantam tanpa henti seperti badai. Matanya memancarkan kebencian yang dalam, seolah ini lebih dari sekadar pertarungan fisik—ini adalah luapan emosi yang telah lama terpendam.

Namun, Nilo bukanlah lawan yang mudah. Dengan pengalaman tempur yang matang, dia menggerakkan tubuhnya untuk menghindari pukulan selanjutnya, kemudian membalas dengan dorongan keras yang menghantam tulang rusuk Taeyong. Bunyi pukulan itu terdengar nyaring, membuat Taeyong terbatuk pelan, tetapi dia tidak mundur. Rasa sakit itu justru membakar semangatnya lebih dalam.

“Kau akan menyesal menyentuhnya,” desis Taeyong di antara napasnya yang memburu. Tinjunya kembali melesat, kali ini mengenai pelipis Nilo dengan kekuatan yang cukup untuk membuat pria itu mengerang kesakitan.

Nilo membalas dengan menyapu kakinya ke arah pergelangan Taeyong, menjatuhkannya ke lantai. Kini giliran Nilo yang berada di atas, tetapi Taeyong segera memanfaatkan posisi itu untuk menghantamkan sikunya ke dada Nilo, mendorongnya mundur sekali lagi. Mereka berguling di lantai, mengabaikan luka dan memar yang semakin terlihat di tubuh mereka.

Jisoo yang berdiri di sudut ruangan hanya bisa menyaksikan dengan napas tertahan. Tangannya mencengkeram kuat ujung gaunnya, matanya membelalak melihat kekerasan yang terjadi di depannya, dan sesekali mata itu melompat dari satu pria ke pria lainnya.

“Berhenti! Hentikan!” teriaknya panik, tapi suaranya tenggelam di antara suara pukulan yang menggema di seluruh ruangan. Dia tidak ingin melihat Taeyong terluka. Mau bagaimanapun pria itu adalah ayah dari bayi yang sedang dikandungnya.

Dengan tangan gemetar, dia menyapu pandangannya ke sekeliling ruangan. Dia harus melakukan sesuatu, apa pun untuk menghentikan ini sebelum semuanya berakhir buruk. Matanya akhirnya tertuju pada sebuah vas besar dari keramik yang terletak di atas meja dekat jendela. Tanpa berpikir panjang, dia meraihnya, berat vas itu hampir membuatnya kehilangan keseimbangan.

Namun, saat dia hendak bertindak, keraguan menyusup ke dalam benaknya. Tangannya gemetar memegang vas itu, matanya bolak-balik menatap antara Taeyong dan Nilo. Bagaimana jika aku salah memukul? Bagaimana jika aku malah melukai Taeyong? pikirnya kebingungan.

Taeyong yang awalnya memimpin pertarungan, mulai kehilangan keunggulan. Pukulan Nilo semakin terarah dan kekuatan fisiknya yang lebih besar perlahan-lahan mendominasi. Dalam satu gerakan brutal, Nilo berhasil menghantam wajah Taeyong dengan siku, membuat pria itu terhuyung mundur. Sebelum Taeyong bisa kembali menyerang, Nilo menggunakan momentum itu untuk menjatuhkannya ke lantai.

Suara tubuh Taeyong menghantam lantai dengan keras membuat dada Jisoo terasa seperti diremas. Napasnya tercekat dan air mata mulai menggenang di sudut matanya. “Taeyong!” jeritnya panik dan putus asa.

Dengan adrenalin yang memuncak, Jisoo melangkah maju. Tanpa memikirkan lagi keraguannya, dia mengayunkan vas yang dipegangnya dengan sekuat tenaga ke arah Nilo. Benturan itu menghantam bahu Nilo dengan keras, membuat pria itu tersentak dan mundur beberapa langkah.

Sayangnya, dampak serangannya tidak cukup untuk menjatuhkannya. Nilo mendengus pelan, satu tangan memegang bahunya yang kesakitan sementara matanya yang tajam beralih ke arah Jisoo. Tatapannya penuh kemarahan bercampur kejutan, seperti binatang buas yang terganggu saat berburu.

“Dasar keras kepala!” Nilo menggeram, gerakannya kasar dan tergesa-gesa saat dia menangkap Jisoo lagi. Kali ini tanpa basa-basi, dia mengangkat tubuh gadis itu ke atas bahunya seperti membawa karung beras. “Aku sudah muak dengan semua ini. Kita pergi sekarang!” ucapnya dengan nada tegas yang penuh frustrasi, tak peduli pada perlawanan Jisoo yang semakin liar.

“Turunkan aku! Kau tidak punya hak melakukan ini!” Jisoo menjerit keras, tubuhnya meronta seperti ikan yang baru saja dijaring dari air. Tangannya mengepalkan tinju, memukul punggung Nilo dengan serangkaian pukulan yang seakan-akan tak ada habisnya, sementara kakinya menendang liar mencoba melukai pria itu. Tapi Nilo tidak bergeming. Tubuh kekarnya seperti tembok baja yang mustahil digoyahkan. “Dasar bajingan! Lepaskan aku!” serunya lagi, suaranya pecah karena amarah dan keputusasaan.

Lorong tempat mereka berada terasa seperti labirin tanpa ujung, panjang dan dingin. Cahaya redup dari lampu gantung di sepanjang dinding memancarkan bayangan panjang yang bergerak seiring langkah kaki Nilo. Langkah-langkahnya bergema menciptakan irama berat yang menyatu dengan suara napasnya yang terdengar kasar. Setiap gema seolah menambah ketegangan yang sudah menggantung berat di udara.

Jisoo terus berteriak, suaranya melengking, tapi di lorong kosong ini, hanya gema teriakannya sendiri yang menjawab. “Tolong! Lepaskan aku! Taeyong!” Dia berteriak lagi, suaranya penuh putus asa, seperti doa yang dilemparkan ke udara tanpa tahu apakah ada yang mendengarnya. Setiap panggilan itu membawa harapan kecil yang menyakitkan—apakah Taeyong akan datang lagi menyelamatkannya?

Namun, Nilo tidak menggubris. Pria itu hanya terus melangkah menuju tangga utama dan lorong yang terasa seperti tidak pernah berakhir. Keringat mulai mengalir di dahinya, baik karena usaha keras mempertahankan Jisoo di bahunya maupun karena tekanan situasi yang semakin memburuk.

Langkahnya bergema menggantikan keheningan malam yang terasa terlalu sunyi. Jisoo tetap terdiam, lemah dan tak berdaya di bahunya. Setiap gerakan Nilo terasa semakin berat, seolah beban bukan hanya berasal dari tubuh Jisoo, tetapi juga dari ketegangan yang menggantung di udara.

Saat Nilo mulai menuruni tangga, tangannya mencengkeram lebih erat tubuh Jisoo, memastikan gadis itu tidak terjatuh. Tapi saat kakinya menginjak anak tangga ketiga, sebuah suara memekakkan telinga memecah keheningan dengan brutal.

Bang!

Suara tembakan.

Nilo berhenti seketika, tubuhnya menegang seperti terpaku di tempat. Napasnya tercekat, matanya melebar saat suara itu menggema, menghantam dinding dan kembali lagi ke telinganya. Dia tidak bergerak, tidak berani mengambil langkah lebih jauh. Tubuh Jisoo yang masih berada di bahunya, tetap terdiam, hanya desahan napas pelan gadis itu yang terdengar penuh ketakutan.

Dengan gerakan lambat dan hati-hati, Nilo mendongakkan kepala. Dan di ujung tangga, berdiri sosok yang membuat darahnya mendidih sekaligus membeku berdiri.

Taeyong Antoine Han.

Pria itu berdiri di sana seperti bayangan gelap dari neraka yang tak bisa dihindari. Tubuhnya tampak babak belur—memar besar menghiasi pipinya, pelipisnya berlumuran darah, dan sudut bibirnya basah oleh cairan merah segar. Tapi tidak satu pun dari luka itu mengurangi auranya yang mengintimidasi. Sebaliknya, mereka memperkuat kehadirannya yang menakutkan. Seperti seorang pejuang yang baru saja keluar dari medan perang, dia berdiri tegak, tidak menunjukkan kelemahan.

Matanya, mata yang berkilau tajam meski tubuhnya terluka, menatap langsung pada Nilo penuh dengan amarah yang membara dan dingin menusuk hingga ke tulang. Sorot itu cukup untuk membuat siapa pun ingin melarikan diri, tapi Nilo tahu tidak ada tempat untuk bersembunyi sekarang.

Di tangannya sendiri ada pistol berlapis krom tergenggam erat, larasnya mengarah langsung ke tubuh Nilo tanpa sedikit pun gemetar. Ujung laras itu memancarkan kilauan dari cahaya redup lampu gantung di atas mereka, seakan menjadi tanda peringatan terakhir.

“Lepaskan dia!”

Nilo mendengus sudah tidak sabar lagi. Dia menyesuaikan cengkeramannya pada tubuh Jisoo yang masih berada di bahunya. “Apa yang akan kau lakukan? Menembakku? Jika kau tembak aku, dia mungkin akan ikut terluka,” katanya mencoba bermain dengan logika Taeyong.

“Lepaskan dia, Berengsek!”

“Beraninya kau—” Nilo mencoba melawan, tapi sebelum dia bisa menyelesaikan kalimatnya suara tembakan kedua menggema dengan keras. Kali ini pelurunya menghantam dinding di sebelah kepala Nilo, membuat serpihan beton berjatuhan ke lantai.

“Kau tidak akan mendapatkan kesempatan berikutnya,” ujar pria itu dingin seperti pisau yang memotong udara. “Lepaskan dia. Sekarang!”

Jisoo yang masih tergantung di bahu Nilo, menjerit kecil. Tubuhnya menegang saat serpihan beton jatuh mengenai kulitnya. Mata gadis itu membelalak seketika, perasaannya campur aduk antara ketakutan terhadap situasi dan kekhawatiran mendalam saat melihat Taeyong yang mulai terlihat semakin lemah.

Nilo menelan ludah. Tembakan itu jelas menunjukkan bahwa Taeyong tidak bermain-main. Namun, rasa kesal dan frustrasi mulai memuncak dalam dirinya. “Cukup! Aku tidak punya waktu untuk ini!” geramnya sambil mencengkeram Jisoo lebih erat.

Dengan gerakan cepat, dia menarik pistol dari balik jaketnya, logam dingin itu bersinar samar di bawah cahaya redup. Wajahnya penuh kekesalan dan matanya menyala dengan tekad. Tanpa pikir panjang, Nilo mengarahkan senjatanya pada Taeyong.

“Kau pikir aku takut padamu?” tanyanya sinis, bibirnya melengkung menjadi seringai kecil yang penuh keangkuhan.

Namun, sebelum Taeyong sempat bereaksi, Nilo menarik pelatuknya.

Bang!

Peluru itu melesat dengan kecepatan mematikan. Suara ledakannya menggema di sepanjang lorong merobek keheningan yang mencekam. Jisoo menahan napas, tubuhnya membeku di tempat, sementara matanya membelalak saat pemandangan itu terhampar di depannya.

Taeyong yang sebelumnya berdiri kokoh meskipun tubuhnya sudah terlihat lemah, kini terhuyung ke belakang. Tubuhnya bergetar mencoba mempertahankan keseimbangan. Namun, luka yang baru saja menghantamnya terlalu menyakitkan untuk diabaikan. Peluru itu menembus kakinya, tepat di bagian paha atas. Darah memancar dari lukanya, memercikkan cairan merah ke lantai marmer yang dingin.

Jisoo menahan napas, tubuhnya membeku di tempat. “Taeyong!” serunya tanpa sadar, suara kecilnya terdengar bergetar di tengah kekacauan itu. Dia ingin berlari ke arahnya, ingin membantunya, tetapi tubuhnya masih terperangkap dalam genggaman Nilo.

Taeyong mengerang tertahan, suara itu bercampur antara rasa sakit yang menahan dan frustrasi tak terucapkan. Rahangnya mengeras, wajahnya menegang saat rasa sakit menjalar dari luka tembak di pahanya. Dia terjatuh ke lantai, tubuhnya berdebam dengan suara berat. Lututnya menghantam permukaan marmer terlebih dahulu, sebelum akhirnya tubuhnya terkulai bersandar pada dinding. Darah segar merembes dari luka di pahanya, menyebar cepat, menciptakan noda merah yang kontras dengan dinginnya lantai putih.

Nilo berdiri dengan pistol yang masih terarah, matanya dingin dan penuh determinasi. Tidak ada keraguan sedikit pun di wajahnya. Dia bukan orang yang ragu untuk menarik pelatuk, bukan seperti Taeyong sebelumnya yang sempat ragu saat mencoba melumpuhkannya—terutama karena Jisoo berada di gendongannya. Nilo menembak tanpa berpikir dua kali, tanpa peduli konsekuensinya, seperti seorang algojo yang sudah terbiasa dengan darah dan kekerasan.

“Kau terlalu lamban,” ejek pria itu dengan pistol masih terarah yang siap memberikan tembakan lain jika dia mencoba bergerak.

Sementara itu, Jisoo yang menyaksikan kejadian itu membelalak ngeri. Pemandangan itu begitu membekas di matanya—darah, raut kesakitan Taeyong, dan ekspresi mengejek Nilo. Tenggorokannya terasa kering, seperti ada sesuatu yang tersangkut dan membuatnya sulit bernapas. Tubuhnya gemetar, antara ketakutan terhadap Nilo dan kekhawatiran yang perlahan muncul saat melihat Taeyong tersungkur dengan darah mengalir deras. Apa dia akan mati? Pikiran itu menghantam dirinya dengan keras, menimbulkan gelombang kegelisahan yang tak dia mengerti.

Tangan Taeyong mencengkeram erat luka di kakinya, jari-jarinya penuh dengan darah hangat yang terus merembes keluar membasahi kain celananya hingga membentuk genangan merah di lantai marmer. Rasa sakit yang tajam menjalari seluruh tubuhnya, tapi wajahnya mengeras bukan karena itu. Yang membuat jantungnya terasa seperti diremas adalah suara jeritan Jisoo yang penuh dengan kepanikan dan ketakutan.

Suara jeritan Jisoo menggema di lorong yang dingin sekali lagi. Kedua matanya masih membelalak, air mata deras mengalir di pipinya saat melihat darah yang terus mengalir dari luka di kaki pria itu. Tubuhnya memberontak di bahu Nilo dan tangannya memukul punggung pria itu dengan sekuat tenaga. “Jangan apa-apakan dia! Kumohon, lepaskan aku! Taeyong, jangan bergerak! Kumohon!” Suaranya pecah di tengah tangisnya.

Pikiran Jisoo kini berputar dalam pusaran panik yang tak terkendali. Tidak, ini tidak boleh terjadi! Dia tidak boleh mati! Jika Taeyong mati, bagaimana denganku? Bagaimana dengan anak ini? Jeritan batinnya bergema di dalam kepala, sedangkan napasnya tercekat di tenggorokan. Tubuhnya meronta liar berusaha melepaskan diri meskipun tahu usahanya sia-sia. Tenaganya yang sudah lemah terasa tidak sebanding dengan kekuatan Nilo.

Pria itu sama sekali tidak peduli pada perjuangan putus asa Jisoo. Wajahnya yang penuh frustrasi bercampur kemenangan mencerminkan kepuasannya saat mengendalikan situasi. Dengan kasar, dia mengetatkan cengkeramannya di tubuh Jisoo, memaksanya untuk tetap diam. “Diamlah, gadis menyebalkan!” bentaknya kasar.

Langkah-langkah Nilo terdengar tergesa-gesa, berderap keras di atas lantai marmer yang dingin, semakin mendekati pintu keluar mansion yang kini terasa begitu jauh dari harapan Jisoo untuk bebas.

“Jisoo!” Taeyong yang masih terbaring di lantai dengan luka menganga di kakinya, mencoba bangkit dengan sisa kekuatannya. Satu tangan menopang tubuhnya yang gemetar, sementara tangan lainnya menekan luka di kakinya berusaha menahan aliran darah yang terus mengalir deras. Wajahnya yang biasanya dingin kini penuh dengan rasa sakit dan keputusasaan. Namun, rasa sakit itu tampak tidak cukup untuk membuatnya berhenti.

Dengan napas terengah-engah, Taeyong kembali mencoba berdiri. “Jisoo!” serunya sekali lagi, suaranya terdengar patah namun dipenuhi oleh tekad.

Jisoo memutar kepalanya ke arah suara itu, air matanya semakin deras mengalir di wajahnya yang pucat. “Taeyong! Kumohon, jangan mati!” teriaknya dengan suara yang pecah oleh isak tangis. Pandangannya kabur oleh air mata, tapi dia masih bisa melihat Taeyong yang berusaha bangkit meskipun tubuhnya kembali ambruk ke lantai.

Nilo yang masih mencengkeram Jisoo, menoleh sekilas ke arah Taeyong dengan seringai sinis. “Dia tidak akan bisa menyelamatkanmu,” gumamnya penuh ejekan, sebelum melangkah lebih cepat ke pintu keluar.

Jisoo terus meronta, meski setiap gerakan membuat tubuhnya semakin lemah. Kekuatannya nyaris habis, tapi ketakutannya akan kehilangan Taeyong memberinya sedikit keberanian untuk terus mencoba. “Lepaskan aku! Kumohon, lepaskan aku!” teriaknya, tapi suara tangisnya hanya menggema di lorong yang kini terasa seperti kuburan dingin yang sepi.

Nanti malam double update 🙂‍↔️🙂‍↕️

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top