Chapter LV: Under the weather 2.0

Kamar itu begitu sunyi, tetapi di dalam kepala Jisoo, suara-suara bergema tanpa henti menciptakan badai pikiran yang semakin sulit dia kendalikan. Napasnya terdengar pelan namun berat, seolah udara di ruangan itu tidak cukup untuk memenuhi paru-parunya. Dengan gerakan pelan-pelan, tangannya menyentuh perutnya—sentuhan lembut penuh dengan keraguan dan keengganan. Perhatiannya lantas jatuh ke perutnya yang masih datar, sementara perasaan asing mulai merayap masuk menyelubungi dirinya.

“Aku ... hamil,” gumamnya, nyaris seperti tidak percaya dengan kata-kata yang baru saja keluar dari bibirnya. Kalimat itu terasa seperti ledakan kecil di dalam hatinya, membawa serta berbagai emosi.

Sejujurnya, Jisoo masih belum mengetahui apa yang sebenarnya dirasakan oleh hatinya sekarang. Semenjak mengetahui kebenaran tersebut, hatinya terus dipenuhi oleh berbagai emosi yang saling bertabrakan satu sama lain. Dia terkejut, takut, bingung, dan bahkan ada rasa kecil yang mengusik benaknya, sesuatu yang mendekati rasa hangat, tapi segera tertutup oleh lapisan keraguan dan ketakutan.

Aku hamil ... aku hamil ... aku hamil ....

Kata-kata itu terus terngiang di dalam benaknya, menjadi pengingat yang tak henti-hentinya bahwa di dalam tubuhnya kini tumbuh kehidupan lain—sebuah jiwa kecil yang setiap hari berkembang, semakin kuat, dan perlahan mengisi ruang di dalam perutnya. Dan ketika saatnya tiba, sosok kecil itu akan lahir ke dunia membawa realitas baru yang tak bisa dia hindari.

Jisoo berdiri perlahan, tubuhnya sedikit gemetar saat dia melangkah menuju jendela besar di kamar itu. Langit sore di luar telah berubah warna, sinar keemasan matahari memeluk pemandangan Lotus Lake yang tenang mewujudkan kilauan indah di atas air. Namun, keindahan itu sama sekali tidak mampu meredakan badai yang berkecamuk di dalam hatinya. Sebaliknya, dia merasa semakin kecil dan terhimpit oleh keheningan yang menyelimuti sekitarnya.

“Bagaimana ini bisa terjadi?” tanyanya pada dirinya sendiri. Pertanyaan itu menggema di dalam pikirannya, membuat dadanya semakin sesak. Potongan kenangan dari beberapa minggu terakhir ini muncul di benaknya, seperti potongan puzzle yang tidak ingin dia susun. Kelelahan yang terus-menerus, tidur yang semakin sering, perhatian berlebihan Taeyong semuanya mulai masuk akal sekarang.

Namun, meskipun tubuhnya mulai menerima kenyataan itu, hatinya tetap menolak. “Aku tidak siap. Aku bahkan tidak tahu apakah aku bisa menghadapi ini,” batinnya, berjuang melawan rasa takut yang semakin membesar. Perasaan terisolasi dan tak berdaya menjalari dirinya, membuatnya merasa seperti burung kecil yang terjebak di dalam sangkar emas, tanpa jalan keluar.

Jisoo menggelengkan kepala, mencoba mengusir pikiran-pikiran yang menyerbu dirinya tanpa ampun. “Bagaimana bisa aku hamil?” gumamnya lirih, suaranya nyaris hilang di tengah keheningan kamar.

Namun, rasa takut yang menghantui hatinya jauh lebih besar dari kebingungannya. Ketakutan itu mencekiknya, membuat napasnya terasa pendek. Dia takut akan apa yang akan terjadi selanjutnya. Takut pada harapannya, takut pada apa yang akan dilakukan Taeyong kepada dirinya dan janin di dalam perutanya ini. “Apa yang dia inginkan dariku? Dari ... anak ini?” pikirnya sambil menggigit bibir, berusaha menahan air mata yang mulai menggenang di pelupuk matanya. Ketakutan itu begitu nyata, menjeratnya hingga dia merasa tidak bisa bernapas dengan baik.

Hari itu Ronald, dokter yang ditugaskan merawatnya, telah datang untuk memeriksanya setelah Jisoo sempat dilanda kepanikan besar saat pertama kali mengetahui tentang kehamilannya melalui pelayannya. Beliau adalah sosok dokter berjiwa tenang dan sabar saat mencoba memberikan penjelasan yang menenangkan. Pria itu tampak berpengalaman dengan nada suara yang lembut dan senyum meyakinkan yang terasa hampir terlalu sempurna.

“Obat-obatan ini dirancang khusus untuk menjaga kesehatan Anda dan janin Anda, Nona,” katanya sambil mengatur botol-botol kecil di atas meja, memberinya penjelasan setelah dia menanyakan semua tentang obat-obatan tersebut. “Tuan Han hanya ingin memastikan Anda mendapatkan perawatan terbaik.” Kalimat itu diucapkan dengan ketenangan yang seharusnya membuat siapa pun merasa aman.

Namun, bagi Jisoo, senyuman dan kata-kata meyakinkan itu terasa hampa. Ada sesuatu yang tidak bisa dia percayai, sesuatu yang membuat pikirannya terus dipenuhi dengan kecurigaan setelah mengalami semua hal itu tanpa mengetahui kebenarannya. Apakah benar obat-obatan ini hanya untuk kesehatanku? Atau ada hal lain yang tidak dia katakan? pikirnya sambil memandangi botol-botol itu dengan tatapan penuh keraguan.

Dia memejamkan mata sejenak, mencoba meredakan debaran jantungnya yang tak teratur. Meski Taeyong telah menunjukkan sisi lembut yang tidak pernah dia sangka belakangan ini, rasa curiga itu masih mengakar kuat. Dia tahu pria itu licik dan manipulatif. Dan hal itu membuatnya semakin sulit untuk mempercayai apa pun yang terjadi di sekitarnya.

Setelah Ronald pergi, Jisoo menghabiskan seharian itu dengan diam. Tubuhnya bergerak seperti biasa, berjalan di sekitar kamar, duduk di tepi ranjang, dan sesekali melirik jendela, tapi pikirannya terus bergulat dengan dirinya sendiri. Setiap kali dia mencoba berpikiran jernih, pertanyaan-pertanyaan baru muncul. “Bisakah aku menerima kehamilan ini? Apakah aku akan menjadi ibu yang baik? Bagaimana jika Taeyong mencoba memanfaatkanku lagi?”

Sambil menatap bayangan dirinya di cermin besar yang terpampang di sudut kamar, Jisoo merasa seperti melihat sosok asing. Refleksi itu menatap balik kepadanya dengan mata penuh keraguan dan keletihan, membuatnya bertanya-tanya siapa dirinya sekarang. “Apa yang harus kulakukan sekarang?” tanyanya pada refleksinya sendiri, berharap ada jawaban yang bisa membuat rasa cemas itu sirna. Tapi tidak ada jawaban. Hanya hening yang kembali menguasai ruangan.

Waktu terus berjalan tanpa ampun. Sore yang melankolis berganti menjadi malam yang tenang. Cahaya bulan mulai masuk melalui celah tirai, menciptakan pola bayangan lembut di lantai kamar yang dingin. Pancaran sinar itu menyinari ruangan dengan keheningan misterius, menambah kesan kesendirian yang begitu nyata. Jisoo mengusap lengannya merasa sedikit kedinginan meskipun ruangan itu sebenarnya cukup hangat.

Dia akhirnya mendesah berat, berusaha mengusir keraguan yang terus menggantung di dalam pikirannya. Tidak, dia tidak bisa terus seperti ini. Diam dan membiarkan ketidakpastian menguasainya hanya akan membuat pikirannya semakin kacau. Jika ada satu hal yang pasti, itu adalah dia harus bicara dengan Taeyong.

“Aku harus mendengar langsung darinya,” gumamnya sambil meyakinkan dirinya sendiri. Dia tahu bicara dengan Taeyong bukanlah hal yang mudah. Pria itu adalah sosok yang sulit ditebak, penuh dengan rahasia dan kepribadian yang membuat Jisoo merasa terjebak di antara rasa takut dan rasa ingin tahu.

Dia menarik napas panjang, mengumpulkan keberanian untuk menghadapi pria yang tidak hanya membuatnya bingung, tetapi juga membawa begitu banyak perubahan dalam hidupnya. Maka dari itu, dia harus menunggu sampai pria itu kembali pulang.

❛ ━━━━━━・❪ breaking her ❫ ・━━━━━━ ❜

Malam semakin larut, tapi Jisoo masih tetap menunggu kepulangan Taeyong. Dia duduk di kursi dengan punggung tegak dan tatapan mata kosong, seolah menatap sesuatu yang jauh di luar jangkauan. Wajahnya tampak lelah, bayangan lingkaran gelap di bawah matanya semakin jelas terlihat di bawah cahaya lampu yang menggantung di langit-langit kamar.

Seharian penuh dia menolak makanan yang ditawarkan kepadanya, bahkan menolak berbicara dengan siapa pun. Para pelayan datang bergantian membawa nampan-nampan makanan yang terlihat menggugah selera atau sekadar mencoba menawarkan kata-kata penghiburan untuk meredakan suasana hatinya. Namun, Jisoo tetap membalas mereka dengan gelengan kepala yang lemah dan diam yang dingin.

Tidak ada kata yang keluar dari bibirnya, tidak ada isyarat bahwa dia ingin menerima bantuan mereka. Keheningannya terasa seperti dinding tak terlihat yang memisahkannya dari dunia luar. Pelayan-pelayan itu hanya bisa saling melirik sebelum pergi, meninggalkan Jisoo sendirian dalam sunyi yang semakin menusuk.

Pikirannya sendiri penuh dengan satu nama: Taeyong. Di mana dia? Kenapa dia belum kembali? Pertanyaan-pertanyaan itu terus berputar di benaknya, menambah berat rasa cemas yang sejak tadi menghimpit dadanya. Napasnya terasa berat, seperti ada sesuatu yang tak terlihat mencengkeramnya erat-erat. Ketidaksabaran makin sering mengikis dirinya, membuat pikirannya semakin runyam dengan berbagai keraguan dan kebingungan.

Apa yang harus aku lakukan sekarang? Apakah aku hanya bisa duduk dan menunggu? Kapan dia akan pulang? Aku ingin bertemu dengannya dan membicarakan semua ini.

Malam semakin larut dan waktu terasa berjalan lambat seperti siksaan. Cahaya bulan perlahan beranjak lebih tinggi, sinarnya memantul lembut di atas permukaan jendela kaca besar yang memperlihatkan Lotus Lake yang kini tampak tenang di bawah selimut malam. Angin tipis masuk melalui celah kecil di jendela mengelus kulitnya yang dingin. Jisoo merapatkan tangannya ke tubuh, mencoba mengusir rasa dingin yang aneh.

Lalu, telinganya menangkap sesuatu. Suara langkah kaki.

Suara itu terdengar pelan dan jelas, mendekat perlahan menuju pintu kamarnya. Jisoo segera bangkit dari kursinya, rasa cemas dan harapan bergolak di dalam dada. Tangannya gemetar saat dia melangkah mendekati pintu, hampir menyentuh gagangnya. Taeyong. Itu pasti dia! Siapa lagi yang akan datang pada jam seperti ini?

Namun, ketika dia berhenti sejenak, sesuatu membuat hatinya mencelos. Langkah itu ... berbeda. Tidak ada ritme percaya diri yang biasa Taeyong miliki, tidak ada ketegasan yang khas dalam langkah itu. Jisoo segera mendekatkan daun telinganya ke badan pintu untuk mendengarkan dengan seksama suara langkah kaki tersebut. Begitu menyadari sesuatu yang salah, dia langsung menarik tangannya kembali dari gagang pintu dan lalu mundur satu langkah.

Itu bukan langkah kaki Taeyong yang sangat dihapalinya. Bukan juga langkah kaki para pelayan yang lembut dan hampir tak terdengar. Langkah ini berat, nyaris terlalu berhati-hati, seperti seseorang yang mencoba menyembunyikan kehadirannya. Jisoo langsung merasa waspada, napasnya tertahan, dan detak jantungnya berdetak lebih cepat seiring rasa lega yang tadi sempat muncul kini berubah menjadi ketegangan yang mencengkeram.

Siapa itu? pikirnya, tubuhnya tanpa sadar semakin menjauh dari pintu. Tengkuknya meremang, firasat buruk menggantung seperti awan gelap di atas kepalanya. Dia menghirup napas panjang berusaha menenangkan diri, tapi setiap langkah yang terdengar semakin mendekat membuat pikirannya semakin kacau.

Matanya segera mencari sesuatu—apa saja yang bisa digunakan untuk melindungi diri. Pandangannya tertuju pada sebuah wadah lilin berbahan logam yang terletak di atas meja kecil di dekat ranjang. Dengan tangan gemetar, dia meraih wadah itu merasakan dinginnya logam di telapak tangannya, sebuah pengingat bahwa dia sendirian menghadapi apa pun yang ada di balik pintu itu. Dia melangkah ke sisi pintu, menempel di dinding, dan bersembunyi di balik bayangan.

Langkah kaki itu akhirnya berhenti. Tepat di depan pintu. Gagang pintu mulai berputar perlahan, suara mekanismenya yang berderit seolah mempertegas keheningan malam.

Tuhan ... siapa itu? Jisoo menahan napas, otot-otot di tubuhnya menegang, bersiap untuk melakukan apa pun yang diperlukan untuk melindungi dirinya. Pintu terbuka dengan lambat, menimbulkan suara yang menyeramkan, dan di ambang pintu berdiri sebuah sosok dengan wajah tertutup kain hitam.

Adrenalin membanjiri tubuhnya seketika. Tanpa berpikir panjang, Jisoo segera melompat keluar dari tempat persembunyiannya dan mengayunkan wadah lilin logam itu dengan sekuat tenaga. “Hyaaahh!” serunya, suaranya memecah kesunyian kamar, penuh dengan ketakutan yang bercampur keberanian.

Dukk!

Wadah lilin itu menghantam kepala sosok tersebut dengan bunyi keras. Pria bertopeng itu terhuyung ke belakang, satu tangannya terangkat memegangi kepala yang barusan terkena hantaman, sementara tubuhnya bergoyang mencoba memulihkan keseimbangan. Sesaat pria itu mendongak dan Jisoo dapat melihat matanya. Tatapan tajam yang memancarkan keterkejutan dan—mungkin juga—kemarahan, menembus dari balik kain hitam yang menutupi sebagian besar wajahnya.

Napas Jisoo memburu dan dadanya naik turun dengan cepat. Tangannya gemetar saat dia memegang wadah lilin yang dingin. Ketegangan itu membuat pikirannya kabur. Aku tidak peduli siapa dia atau apa maunya. Aku harus pergi. Sekarang juga!

Tanpa membuang waktu, dia melemparkan wadah lilin itu ke lantai dengan suara berdentang yang keras, lalu berlari cepat ke arah pintu sebelum pria itu berhasil mengembalikan keseimbangannya. Langkah kakinya cepat dan terhuyung, lututnya terasa lemas karena adrenalin yang melesat deras di dalam tubuhnya. Jisoo melewati pintu dengan gerakan cepat dan melesat ke lorong.

“Tolong! Tolong!” teriaknya dengan suara yang parau, napasnya tersengal-sengal saat kakinya terus melangkah tanpa arah. Namun, langkahnya tiba-tiba terhenti di tengah lorong panjang itu. Pandangannya seketika membelalak.

Di depan matanya, tubuh-tubuh tergeletak di lantai. Para pelayan yang biasanya berlalu-lalang dengan langkah ringan dan senyum sopan kini terkapar dalam keheningan yang menyesakkan. Tubuh mereka tampak aneh, tidak bergerak sama sekali, dan posisi mereka tergeletak seperti boneka yang dilempar sembarangan.

Hawa dingin merayap ke tengkuknya. Jisoo menutup mulut dengan tangan, berusaha menahan teriakan yang hampir meluncur keluar. Apa yang terjadi di sini? Siapa yang melakukan ini? pikirnya dengan panik. Dadanya terasa sesak, udara seperti enggan masuk ke paru-parunya.

Ya Tuhan, bagaimana bisa para pelayan ini ...? Namun, kepala Jisoo refleks menggeleng cepat, menepis pikiran buruk. Tidak, mereka semua masih hidup, gumamnya setelah memperhatikan dengan seksama para pelayan yang tampak seperti mati, tapi sebenarnya mereka belum mati. Mereka semua hanya tertidur.

Rasa dingin langsung menjalari tubuhnya, bercampur dengan ketakutan yang mulai menguasai pikirannya. Dia melangkah mundur, sedangkan matanya tak lepas dari pemandangan mengerikan itu. Lorong yang biasanya terasa hangat dan ramai kini dipenuhi keheningan yang berat dan mengancam. Cahaya lampu gantung memantul di atas tubuh-tubuh yang tak bergerak, menciptakan bayangan panjang yang menambah suasana mencekam.

Aku harus bersembunyi dari sini. Ya, aku harus sembunyi! Jisoo berbalik cepat mencoba mencari jalan lain atau tempat untuk bersembunyi. Tapi sebelum dia melangkah lebih jauh, suara langkah kaki terdengar dari belakang. Jisoo membeku, matanya melebar seketika. Sosok bertopeng itu dengan gerakan yang lebih pasti dari sebelumnya, muncul di ujung lorong, tubuhnya tegap meskipun sedikit miring ke samping akibat hantaman tadi.

Sosok itu tak mengucapkan sepatah kata pun, tapi kehadirannya sudah cukup membuat darah Jisoo berdesir. Perasaan takut menjalar seperti api yang membakar dari ujung kaki hingga kepala. Aku harus pergi, sekarang! pikirnya dengan panik. Dia berbalik cepat dan mulai berlari, lorong panjang yang biasanya tampak megah kini berubah menjadi labirin kelam yang menghimpit.

Dinding-dinding bercahaya redup dari lampu gantung tampak seperti bayangan samar, bergerak mengikuti langkah tergesa-gesanya. Detak jantungnya menggema keras di telinga hampir mengalahkan suara langkah kakinya yang berlari tanpa arah. Napasnya semakin berat, seperti udara di sekitarnya menghilang perlahan. Di mana Taeyong? Kapan dia kembali? Bagaimana aku bisa menghadapi semua ini sendirian?

Kepanikan Jisoo beralih menjadi ketakutan yang lebih dalam saat pikirannya tertuju pada satu nama. Zaheer. Bocah kecil yang berada dalam tanggung jawabnya. Anak itu harus baik-baik saja. Dia harus selamat! Dengan tekad yang tumbuh di tengah kecemasan, Jisoo memacu langkahnya lebih cepat dan berlari menembus lorong-lorong yang terasa tak berujung. Sesekali dia menoleh ke belakang, takut sosok bertopeng itu tiba-tiba muncul dari bayang-bayang kegelapan.

Dia hampir tersandung ketika tiba di depan pintu kamar Zaheer. Dengan tangan gemetar, dia membuka pintu itu perlahan. Tapi apa yang dilihatnya membuat tubuhnya membeku ketakutan.

Zaheer terbaring di tempat tidur, tubuhnya kecilnya terlihat begitu tenang seolah sedang tidur nyenyak. Namun, keanehan melintas di benaknya. Dia melangkah dengan goyah mendekati tempat tidur, lututnya terasa lemas. “Zaheer,” bisiknya cemas namun tidak ada respons. bangun. Ayo bangun,” bisiknya cemas. Namun, tidak ada respons.

Dia lantas menyentuh wajah mungil bocah itu, dingin dan tidak memberikan respons apa pun. Dengan gemetar, dia mengguncang tubuhnya perlahan. “Zaheer, bangun ... ayo bangun!”

Tidak ada reaksi.

Napas Jisoo tercekat, jantungnya serasa berhenti sejenak. Matanya dengan cepat menyapu ruangan dan pemandangan yang dilihatnya membuat darahnya berdesir dingin. Para pelayan yang biasa menjaga Zaheer tergeletak di lantai dalam posisi yang tampak aneh—tubuh mereka lunglai seperti boneka tanpa jiwa persis seperti para pelayan di luar. Hening yang menguasai kamar kini terasa menyesakkan, membuat Jisoo merasa seperti terperangkap dalam mimpi buruk yang tak berujung.

Dada Jisoo naik turun, sementara matanya kembali tertuju pada Zaheer. Dia mulai menyadari sesuatu. Ini bukan kebetulan. Semua orang di sini terkena sesuatu. Obat tidur. Pikirannya berpacu cepat mengingat makanan yang terus-menerus ditolak olehnya hari ini. Makanan ... mereka mencampur sesuatu di makanan!

Perasaan bersalah menghantamnya seperti ombak besar yang menerjang tanpa ampun. Jisoo berlutut di samping tempat tidur Zaheer, menggenggam tangan kecil bocah itu yang terasa dingin dan lemas. Air mata mulai menggenang di sudut matanya, tetapi dia menahannya agar tidak jatuh. “Maaf ... maafkan aku,” bisiknya dengan suara yang nyaris pecah. Kata-kata itu terasa sia-sia di tengah keheningan, tapi dia tetap mengucapkannya, seolah mencoba meyakinkan dirinya sendiri bahwa dia akan melakukan sesuatu untuk menebus kesalahan ini.

Namun, di balik rasa bersalah itu, sesuatu yang lain mulai muncul. Aku harus menjauhkan dia dari sini, gumamnya dalam hati. Orang itu jelas mengincarku, bukan Zaheer. Jika aku tetap di sini, mereka akan menemukannya juga. Anak ini tidak boleh menjadi korban.

Dengan berat hati, Jisoo meletakkan kembali tangan kecil Zaheer ke sisi tubuhnya, memastikan bocah itu tetap nyaman di tempat tidurnya. Dia menatap wajah polos Zaheer yang terlelap dalam ketidaksadaran, napasnya yang tenang menjadi pengingat betapa rentannya anak itu. “Maafkan aku,” bisiknya sekali lagi, suaranya hampir tak terdengar. “Aku akan kembali untukmu.”

Jisoo bangkit perlahan, tubuhnya terasa lebih berat dari sebelumnya, seolah beban emosional yang dia rasakan membebaninya secara fisik. Dia mengedarkan pandangan ke kamar itu untuk memastikan bahwa tidak ada ancaman langsung sebelum akhirnya melangkah keluar dengan hati-hati.

Lorong-lorong mansion yang biasanya terasa megah kini berubah menjadi labirin menakutkan. Bayangan lampu gantung di langit-langit menciptakan pola-pola bergerak yang tampak seperti tangan panjang yang mencoba meraih dirinya. Jisoo menempelkan tubuhnya ke dinding, langkah kakinya perlahan dan nyaris tanpa suara. Setiap detik terasa seperti jam dan setiap suara kecil, entah angin yang meniup tirai atau derak lantai kayu, membuat jantungnya berpacu lebih cepat.

Napasnya terdengar pelan, tetapi berat. Pikirannya berpacu mencoba mencari jalan keluar atau setidaknya tempat aman untuk bersembunyi. Ke mana aku harus pergi? Di mana Taeyong? Kenapa semua ini terjadi sekarang? Pikiran-pikiran itu saling berebut tempat di kepalanya, membuat kepalanya pening dan dadanya makin sesak.

Saat melewati sebuah sudut, dia melihat bayangan yang bergerak di kejauhan. Dengan cepat, dia menahan napas dan mundur ke balik sebuah pilar besar seraya memeluk tubuhnya sendiri sambil mendengarkan dengan seksama. Langkah kaki terdengar berat dan berirama, semakin dekat dan semakin jelas. Sosok itu masih mencariku!

Ketika suara langkah itu menjauh, Jisoo segera berlari melewati belokan di ujung lorong di depan sana. Dia harus menemukan tempat persembunyian sebelum orang itu menemukannya. Di sekitar lorong ini, seingatnya ada kamar yang tampak jarang digunakan.

Ah, itu di sana. Dia menemukannya! Pintu kayunya terlihat tua dan pegangan pintunya berkilau redup di bawah cahaya bulan. Tangan Jisoo yang gemetar meraih pegangan itu, merasakan dinginnya logam menusuk telapak tangannya. Lalu dengan hati-hati, dia memutar gagang pintu dan melangkah masuk.

Begitu masuk, Jisoo segera mengunci pintu di belakangnya, memutar kunci dua kali untuk memastikan keamanannya. Punggungnya menempel erat pada daun pintu, sementara napasnya masih saja tersengal-sengal. Cahaya bulan yang masuk melalui jendela besar di kamar itu menyoroti ruangan yang penuh debu. Tirai beludru yang sudah pudar menggantung dengan malas, sementara furnitur kayu di dalamnya tampak seperti sudah lama tak disentuh.

Jisoo menekan tubuhnya lebih erat ke pintu, telinganya mencoba menangkap setiap suara dari luar. Keheningan yang begitu dalam membuat setiap detik terasa seperti ancaman. Suara detak jarum jam dari jam antik di pojok ruangan terdengar nyaring di tengah malam, menggema seperti alarm kecil di kepala Jisoo.

Dia memejamkan mata sejenak, mencoba menenangkan dirinya. Apa yang harus kulakukan sekarang? Aku harus menemukan cara untuk keluar dari sini, tapi bagaimana? pikirnya sambil memandang ke jendela besar yang menghadap ke halaman depan mansion.

Namun, sebelum dia bisa berpikir lebih jauh, suara langkah kaki kembali terdengar di lorong. Kali ini, suara itu berhenti tepat di depan pintu. Telinga Jisoo menangkap suara napas berat dari sisi lain pintu, membuat seluruh tubuhnya menegang hebat. Jemarinya mencengkeram gagang kunci dengan erat, berharap orang itu tidak mencoba masuk. Tolong ... jangan masuk! bisiknya dalam hati, seperti doa yang terus diulang-ulang.

Tiba-tiba ketukan keras menggema, mengguncang pintu kayu di depannya. Ketukan itu diikuti suara tendangan yang kasar, membuat pintu bergoyang dengan suara berderak yang menyeramkan. “Jisoo! Aku tahu kau di dalam!” teriak sosok itu dengan suara parau dan penuh amarah. Suara itu berat, serak, dan asing, tetapi mengandung ancaman yang membuat bulu kuduknya berdiri. Setiap kali pintu ditendang, gemuruhnya terasa seperti gempa kecil di ruangan itu, menggema hingga ke tulang-tulangnya.

Umpatan-umpatan kasar terdengar di balik pintu, semakin keras dan membuat pintu hampir menyerah pada kekuatan brutal. Jisoo menggigit bibirnya dengan keras, berusaha menahan diri agar tidak panik. Namun, pikirannya mulai berputar cepat. Bagaimana orang itu tahu namaku? Siapa orang itu? Apa yang dia inginkan dariku?

Tapi ini bukan waktu untuk mencari tahu. Ini adalah saatnya bertahan hidup. Dia harus segera keluar dari sini sebelum pintu itu runtuh. Matanya menyapu sekeliling ruangan dengan panik, mencari jalan keluar. Pandangannya akhirnya tertuju pada jendela kaca besar di sudut kamar. Itu adalah satu-satunya harapan.

Dia berlari ke arah jendela dengan langkah terburu-buru, telapak kakinya hampir terpeleset di lantai licin. Tangannya dengan cepat meraih kunci jendela, mencoba membukanya. Jemarinya gemetar, rasa dingin dari logam jendela menyengat kulitnya. Namun, gerakannya terhenti mendadak ketika matanya menangkap sesuatu di luar.

Lampu depan mobil menyala terang, menerangi jalan masuk mansion dengan cahaya tajam. Jisoo menahan napas sejenak sebelum kemudian mengenali siluet mobil itu. Mobil Taeyong. Mobil hitam mengilap yang selalu diparkir di halaman mansion. Tidak mungkin dia salah mengenalinya. Rasa lega yang luar biasa langsung mengisi dadanya seperti air memenuhi ruang kosong. Taeyong sudah kembali. Pria itu akhirnya kembali!

Dengan napas yang tercekat, dia membuka jendela lebih lebar dan mencondongkan tubuhnya ke luar, tidak peduli angin malam yang dingin menusuk wajahnya. “Taeyong!” teriaknya dengan sekuat tenaga, suaranya melengking dan pecah. “Aku di sini! Tolong aku!”

Jisoo melambai-lambaikan tangannya, mencoba menarik perhatian siapa pun yang ada di mobil itu. Namun, dalam sekejap, bayangan ketakutan kembali menghantuinya. Bagaimana jika bukan Taeyong yang ada di mobil itu? Bagaimana jika ini adalah jebakan lain? Bagaimana jika orang-orang di mobil itu komplotan orang itu?

Pintu di belakangnya bergetar keras, hampir copot dari engselnya. Suara tendangan dan teriakan semakin menggila. “Buka pintunya, sialan!” teriak suara itu lagi, penuh dengan amarah dan ancaman. Jisoo melirik sekilas ke arah pintu, sebelum kembali memfokuskan pandangannya ke luar. Tolong dengar aku, Taeyong. Tolong lihat ke sini! pikirnya penuh harap bahwa sosok di dalam mobil itu adalah Taeyong.

Malam terasa semakin dingin, bayangan pohon-pohon di halaman terlihat seperti monster raksasa yang mengintai. Angin membawa suara dedaunan yang berbisik, menambah suasana mencekam. Tapi di tengah semua itu, cahaya mobil hitam yang terang dan langkah kakinya yang tegas di luar menjadi satu-satunya hal yang membuat Jisoo tetap berharap.

Dia memanggil lagi, lebih keras kali ini, “Taeyong! Aku di sini!” Air mata yang tertahan akhirnya jatuh membasahi pipinya, mencampur rasa takut dan lega yang tumpang tindih di dadanya.

Namun, sebelum suara Jisoo bisa bergema lebih jauh lagi, pintu kamar di belakangnya terbuka dengan keras, menghantam dinding dengan bunyi yang menggema. Jisoo membeku sejenak, kepanikan melumpuhkan tubuhnya. Suara kayu yang retak terdengar begitu jelas, seolah menjadi peringatan akan bahaya yang kian dekat. Dalam waktu singkat, sosok itu melangkah masuk, bayangannya membesar di bawah cahaya lampu gantung yang berayun pelan di atas mereka.

Sebelum Jisoo bisa berpikir atau bereaksi, tangan besar dan kasar menyambar mulutnya dengan paksa. Tubuhnya tersentak saat tarikan kuat dari pria itu membuatnya mundur dengan kasar. Napasnya terhenti dan detak jantungnya memukul-mukul dadanya seperti genderang perang.

“Jangan berteriak!” Suara pria itu mendesis tajam di telinganya. Ada nada ancaman yang jelas, dingin, dan mengintimidasi. “Kau akan mengacaukan rencanaku!”

Mata Jisoo melebar penuh ketakutan, tapi di balik itu, ada api kecil keberanian yang membuat tubuhnya terus meronta. Dengan sekuat tenaga dia menggeliat, mencoba melepaskan diri meskipun tahu pria itu jauh lebih kuat. Kakinya mencoba menendang, tapi hanya mengenai udara kosong. Tangan besar pria ini terasa kasar di kulitnya, membuat rasa ngeri semakin dalam.

Cahaya lampu gantung yang terus bergoyang perlahan akhirnya menyoroti wajah pria itu. Saat kain hitam yang menutupi wajahnya disingkap dengan kesal, Jisoo akhirnya bisa melihatnya dengan jelas. Wajah itu asing—tajam dengan rahang yang tegas, kulitnya kasar dengan bekas luka samar di sisi pipinya. Itu bukan Taeyong, bukan pelayan, bahkan bukan salah satu penjaga mansion.

Jisoo menatap pria itu dengan tatapan penuh kebencian bercampur ketakutan. Napasnya yang terengah-engah terdengar pelan di balik tangan pria itu yang masih membekap mulutnya. “Lepaskan aku!” Dia mencoba berbicara meskipun suaranya terdengar teredam.

Pria itu—Nilo—menggerutu frustrasi. Wajahnya menampilkan ekspresi kesal bercampur kebingungan, seolah dia tidak mengharapkan perlawanan sebesar ini dari perempuan ini. “Berhenti meronta dan berteriak!” desisnya lagi, suaranya lebih tajam, mencoba menjaga suaranya agar tidak terdengar terlalu keras.

Jisoo merasakan tubuhnya melemah karena terus dipaksa melawan, tapi dia tidak ingin menyerah secepat itu. Tangannya mencoba meraih apa pun di sekitarnya, tapi sayangnya, tidak ada yang cukup dekat untuk digunakan. Mata Nilo memicing dengan kesabaran yang mulai habis. “Kau hanya akan menyulitkan semuanya, kau tahu?!” katanya lagi, nadanya menekan, nyaris seperti gumaman marah yang tertahan.

Ruangan itu terasa semakin mencekam. Bayangan tubuh mereka yang bergerak liar tercermin di dinding, menciptakan kesan seolah ada lebih banyak sosok yang mengintai. Cahaya bulan yang menyelinap masuk dari jendela besar hanya menambah suasana suram.

Namun, Jisoo tidak menyerah begitu saja. Dengan tenaga terakhirnya, dia mencoba menggigit tangan pria itu yang menutup mulutnya. Rasa sakit yang mendadak membuat Nilo mengumpat keras, tangan besarnya refleks terlepas dari mulut Jisoo. Kesempatan itu dimanfaatkan Jisoo untuk berteriak, “Taeyong! Tolong aku!”

Teriakan itu menggema di seluruh lorong, seperti memecah keheningan malam yang dingin. Nilo kembali mengulurkan tangan untuk membungkamnya, tapi Jisoo berhasil menendang perutnya dengan kekuatan yang cukup membuat pria itu mundur satu langkah. Kini napas Jisoo memburu, matanya liar mencari jalan keluar.

Diam! Kau tidak tahu apa yang sedang kau lakukan!” Dia mendekat dengan langkah cepat, lalu sekali lagi berhasil menangkap Jisoo dan membekap mulutnya dengan kasar. Tubuhnya yang besar dengan mudah menekan Jisoo ke dinding, membuat gadis itu sulit bergerak.

Mata Jisoo membelalak, penuh kebencian dan ketakutan yang bercampur menjadi satu. Tubuhnya yang lebih kecil terus berontak, mencoba melepaskan diri dari cengkeraman sosok asing ini. Namun, usahanya hanya membuat pria itu semakin frustrasi.

“Berhenti melawan!” gumam Nilo dengan suara serak, sementara napasnya mulai tidak teratur karena mencoba mengendalikan situasi yang semakin tidak terkendali. Dia mendesah panjang, ekspresi kesal terlihat jelas di wajahnya. “Kenapa selalu jadi lebih sulit dari yang kubayangkan? Aku seharusnya hanya bicara padamu, tapi sekarang—” Pria itu berhenti, menggertakkan giginya sambil melirik ke arah pintu kamar yang terbuka lebar, memastikan tidak ada tanda-tanda siapa pun yang akan datang.

Jisoo memperhatikan pergerakan matanya. Walaupun mulutnya dibekap, matanya menatap tajam, mengirimkan pesan bahwa dia tidak akan berhenti melawan begitu saja. Bahkan ketika tubuhnya gemetar karena ketakutan, keberaniannya tetap menyala, membuat Nilo semakin terganggu.

Ah, sialan!

Sebenarnya, ini bukan bagian dari rencana Nilo. Leah dan Hwan sudah memperingatkannya sebelumnya, bahkan memberikan instruksi detail tentang bagaimana caranya mendekati Jisoo tanpa terlihat mencurigakan. Mereka menekankan bahwa pendekatan harus dilakukan dengan tenang, alami, dan penuh kehati-hatian. Tetapi seperti biasanya, Nilo dengan gaya yang sering terburu-buru malah memutuskan untuk menyamar dengan kain hitam menutupi wajahnya, membuat dirinya terlihat seperti seorang kriminal kelas kakap.

Dia menggerutu dalam hati, menyalahkan dirinya sendiri. Sial. Rencana ini gagal total bahkan sebelum dimulai. Padahal awalnya, tugas ini adalah milik Leah. Namun, karena beberapa alasan yang tidak jelas—dan mungkin kesalahan logistik kelompok mereka—tugas itu dialihkan padanya. Kini dia berada dalam situasi yang sangat berantakan, berhadapan dengan seorang gadis yang lebih keras kepala dari yang dia perkirakan.

Ruangan itu terasa semakin sempit, seperti perangkap yang menekan Jisoo setiap detiknya. Lampu gantung berayun pelan, menciptakan bayangan yang bergerak-gerak di dinding. Bayangan itu, yang biasanya tak berarti, kini tampak seperti ancaman lain yang memburunya. Udara di dalam kamar menjadi lebih berat, hampir sulit baginya untuk bernapas. Napas Jisoo tersengal-sengal, tubuhnya gemetar, tapi matanya tetap menyala dengan semangat perlawanan.

Nilo berusaha menahan pergerakan Jisoo yang semakin liar, tapi setiap kali tangannya mencoba mengunci, gadis ini berhasil melawan. Tangannya bergerak liar, mencoba meraih apa pun yang bisa dijadikan senjata. Dia tidak peduli meskipun lengannya terasa sakit atau tubuhnya mulai kehilangan tenaga. Dia hanya tahu satu hal: dia tidak akan menyerah tanpa perlawanan.

“Berhenti melawan, aku di sini untuk membantumu!” desis Nilo, suaranya terdengar frustrasi. Namun, nada itu hanya membuat Jisoo semakin curiga. Membantunya? Bagaimana dia bisa percaya pada seseorang yang masuk dengan cara seperti ini? Matanya menyipit penuh kebencian, sementara tubuhnya terus menggeliat untuk mencari celah.

“Kau pikir aku akan percaya padamu?” serunya setelah berhasil memutar tubuhnya sedikit dan menggunakan siku untuk memukul Nilo dengan cukup keras.

Nilo tersentak, langkahnya sedikit goyah, tapi dia segera kembali mengendalikan situasi. “Kau tidak tahu apa yang sedang terjadi!” Suara pria itu terdengar seperti sebuah permohonan, meskipun dipenuhi nada keras.

Namun, Jisoo tidak peduli. Ketakutan dan rasa marah membuatnya bertindak di luar nalarnya. Dia berhasil menggeliat cukup keras hingga bekapan tangan Nilo di mulutnya terlepas. Dalam momen singkat itu, dia menarik napas dalam-dalam dan dengan suara sekeras mungkin, dia berteriak, “Taeyong! Tolong!” Jeritannya bergema di seluruh ruangan, memenuhi udara dengan rasa panik dan harapan yang putus asa.

Suara itu seperti pisau yang menusuk ke dalam kesadaran Nilo. Matanya melebar saat dia mendengar nama itu. Dia segera mencoba membungkam Jisoo lagi, tapi terlambat. Jeritan itu sudah keluar memecah keheningan mansion yang mencekam.

Napas Nilo semakin berat dan dia menggertakkan giginya, frustrasi dengan situasi yang kini tak lagi bisa dia kendalikan. Lampu gantung yang berayun kini berhenti perlahan, cahayanya memantul ke wajah Nilo yang berkeringat. Matanya penuh amarah bercampur kegugupan dan untuk pertama kalinya, Jisoo melihat sesuatu yang mendekati ketakutan di balik sosoknya yang mengintimidasi. “Kau tidak tahu apa yang baru saja kau lakukan,” katanya dengan suara rendah dan tajam, seperti ancaman yang disimpan rapat-rapat.

Namun, Jisoo tidak mendengarkan. Harapan kini berpendar di matanya. Dia tahu bahwa jika Taeyong mendengar teriakannya, pria itu akan datang. Untuk pertama kalinya, dia merasa memiliki peluang untuk diselamatkan.

Langkah kaki berat terdengar dari lorong. Mereka bergerak cepat dan suara sepatu yang menghantam lantai kayu itu terasa seperti penyelamat yang datang mendekat. Nilo juga mendengarnya. Matanya bergerak gelisah ke arah pintu, tangannya masih menahan Jisoo yang terus berusaha melawan. “Sial!” umpatnya. “Kau membuat ini jauh lebih sulit dari yang seharusnya.”

Biarpun napasnya hampir habis dan tubuhnya gemetar, Jisoo merasa ada keberanian yang baru muncul dalam dirinya. “Dia akan datang,” bisiknya dengan suara serak. “Dan dia tidak akan membiarkanmu pergi begitu saja.”

Nilo menatapnya tajam, rahangnya mengeras. Dia tahu waktunya hampir habis. Sebelum pria itu menemukan mereka di sini, dia harus segera membawa gadis ini pergi dari sini apa pun yang terjadi.

Hehehe 💁🏻‍♀️

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top