Chapter LIV: Under the weather
Hal pertama yang dirasakan Jisoo saat terbangun tidur adalah rasa lelah yang menjalari setiap inci tubuhnya. Setiap otot di tubuhnya terasa kaku, membuatnya sedikit tak nyaman saat bergerak untuk bangun. Dia mendesah panjang menyadari bahwa semalam adalah malam yang begitu melelahkan baginya.
Kenangan samar tentang Taeyong yang tanpa henti memaksanya mengikuti ritmenya membuat pipinya memanas. Seolah tidak puas hanya di kamar mandi, pria itu terus mendorong batasan mereka saat pindah ke kamar, dan memperpanjang “permainan” mereka dengan intensitas yang sudah dia duga. Mengingat dia sudah pernah mengalami kejadian serupa beberapa kali, Jisoo tidak lagi terkejut dengan Taeyong yang memiliki nafsu menggebu-ebu.
Sambil menguatkan diri, Jisoo perlahan-lahan duduk bersandar pada papan ranjang dan menarik napas dalam mencoba mengumpulkan sisa-sisa energinya. Matanya kemudian bergerak, mengikuti cahaya pagi yang menembus jendela besar di kamar itu, hingga akhirnya pandangannya tertuju pada sosok Taeyong.
Pria itu berdiri di dekat cermin besar di sudut ruangan. Taeyong mengenakan kemeja putih, kancingnya masih terbuka, memperlihatkan sebagian kulit dadanya. Cahaya pagi yang masuk dari balik tirai menyentuh tubuhnya dengan lembut, memantulkan kilauan samar pada otot dadanya yang kokoh.
Seorang pelayan tampak berdiri di sisinya, tangan wanita itu bergerak cepat dan cekatan, merapikan kerah kemeja Taeyong sambil memastikan setiap detail terlihat sempurna. Pelayan itu terlihat profesional, pandangannya lurus, meski ada rona malu yang samar di wajahnya saat berdiri begitu dekat dengan Taeyong. Namun, pria itu tampak tidak peduli, fokusnya tertuju pada pantulan dirinya di cermin meneliti penampilannya dengan mata tajam.
Jisoo menatap pemandangan itu beberapa detik terlalu lama sebelum rasa panas merambat ke wajahnya. Astaga, dia tak bisa mengalihkan pandangan dari sosok Taeyong. Ada sesuatu yang begitu memikat dalam caranya berdiri, caranya membawa dirinya, dan cara dia tampak menguasai setiap ruang di mana dia berada. Tapi di balik itu semua, ada rasa jengkel yang perlahan merayap di dalam dirinya. Semalam Jisoo nyaris tidak diberi kesempatan untuk bernapas, tapi pria itu tampak segar dan tak terganggu sedikit pun sementara dia sendiri masih mencoba memulihkan tubuhnya.
Ingatan tentang semalam kemudian berkelebat di benaknya, mengguncang emosinya seperti angin badai. Wajahnya semakin memanas, dia buru-buru membuang pandangan ke arah langit-langit kamar yang dihiasi ukiran rumit. Apa yang sebenarnya kulakukan semalam? gumamnya dalam hati, malu pada dirinya sendiri.
Namun, sebelum dia bisa melanjutkan renungannya, pelayan itu tampaknya menyadari bahwa Jisoo sudah bangun. “Tuan, nona sudah bangun,” katanya sambil membungkuk sedikit.
Taeyong menoleh perlahan, matanya langsung bertemu dengan milik Jisoo. Sorot matanya tenang, tapi ada sesuatu di baliknya. Seolah-olah hanya dengan menatapnya, Taeyong bisa membaca isi hatinya tanpa Jisoo perlu mengatakan apa pun.
“Keluar,” perintahnya kepada pelayan itu. Nada suaranya tegas, tapi tak kasar, membuat pelayan itu segera membungkuk sopan sebelum meninggalkan kamar.
Setelah memastikan pintu tertutup rapat, Taeyong melangkah mendekati ranjang dengan gerakan yang nyaris tanpa suara. Langkahnya tegak, tenang, dan membawa aura yang begitu mendominasi, seolah setiap langkahnya membawa pesan bahwa dia sepenuhnya menguasai ruang itu. Cahaya matahari pagi yang masuk melalui tirai jatuh di wajahnya, membuat garis rahangnya terlihat lebih tajam, menambah kesan bahwa dia adalah pria yang terbiasa memegang kendali.
Jisoo meneguk ludah dan tubuhnya refleks menegang ketika Taeyong berhenti tepat di sisinya. Napasnya tertahan saat pria itu duduk di tepi ranjang, jarak di antara mereka begitu dekat hingga Jisoo bisa merasakan kehangatan tubuhnya. Kehadirannya begitu kuat, begitu nyata, hingga membuat Jisoo merasa sulit untuk mengalihkan perhatian darinya.
Dengan gerakan perlahan, Taeyong mengulurkan tangan lalu menyentuh pipi Jisoo. Sentuhannya ringan dan jemarinya terasa hangat saat menyentuh kulit dingin Jisoo. Sentuhan sederhana itu cukup untuk membuat wajah gadis itu memerah, darah mengalir cepat ke pipinya seperti peringatan bahwa tubuhnya bereaksi lebih dari yang dia inginkan.
Sebelum Jisoo sempat memprotes atau mengelak, Taeyong mencondongkan tubuhnya sedikit lebih dekat. Napasnya terasa di permukaan kulitnya ketika bibir itu menyentuh pipinya dengan kecupan singkat namun cukup untuk membuat seluruh tubuh Jisoo terpaku.
“Selamat pagi,” ucapnya sambil menatapnya dengan mata yang dipenuhi oleh rasa kasih sayang. “Tidurmu nyenyak?”
Jisoo hanya bisa menatapnya linglung, matanya sedikit membelalak karena tak tahu harus merespon seperti apa. Bibirnya terbuka sedikit ingin mengatakan sesuatu, tapi tidak ada kata-kata yang berhasil keluar.
Sejujurnya, dia masih belum terbiasa dengan perubahan sikap Taeyong yang tiba-tiba menjadi begitu lembut dan perhatian. Taeyong yang dia kenal itu licik dan dingin, yang suka memaksakan kemauannya terhadapnya tanpa peduli apakah dia menyukai itu atau tidak. Berbeda dengan sosoknya ini yang memperlakukannya penuh kehangatan yang membuat hatinya kacau.
“Y-ya, aku tidur nyenyak,” jawabnya canggung sambil mencoba menghindari tatapannya.
Namun, usahanya untuk menghindar justru membuat pria itu semakin menyadari rasa malu yang terpancar jelas di wajahnya. Dia tersenyum tipis, seringai yang tampak sedikit menggoda, tapi tidak sepenuhnya arogan. “Kenapa tidak menatapku, hm?” Jari-jarinya perlahan menyusuri garis rahang Jisoo, menciptakan sensasi yang membuat gadis itu semakin gugup.
“Aku hanya—” Jisoo memalingkan muka berusaha mencari alasan, tapi kata-katanya terhenti. Wajahnya terasa semakin panas saat bayangan semalam kembali muncul di pikirannya. Dia tidak bisa menyangkal bahwa apa yang terjadi di antara mereka semalam masih begitu membekas.
Detail-detailnya begitu jelas. Sentuhan Taeyong yang menyusuri kulitnya, kehangatan tangannya yang tidak pernah dia bayangkan bisa terasa selembut itu, bibirnya yang memabukkan, dan tatapan intens pria itu—mata gelapnya yang mampu menembus ke dalam dirinya, membaca segala emosi yang berusaha dia sembunyikan. Semua itu muncul seperti adegan yang diputar ulang tanpa henti di dalam kepalanya. Setiap gerakan, setiap bisikan, setiap keheningan yang menggantung di antara mereka masih terasa nyata, bahkan saat ini.
Jisoo memejamkan mata mencoba menghapus bayangan itu. Tangannya mengepal, jari-jarinya mencengkeram erat gaun tidur yang dia kenakan, mencoba menahan tubuhnya agar tidak bergetar. Apa yang sedang kupikirkan, sih? pikirnya dalam hati sambil menarik napas dalam berusaha meredam panas yang menjalari wajah dan lehernya.
Taeyong tampaknya menyadari kegelisahan Jisoo, tapi dia tidak mengatakan apa-apa. Sebaliknya, dia hanya tersenyum, senyum tipis yang seolah berkata bahwa dia tahu persis apa yang sedang dipikirkan Jisoo. “Kau masih malu karena semalam?”
Wajah Jisoo langsung merona hebat, rona merah muda di pipinya terasa membakar hingga ke ujung telinganya. Dia mengalihkan pandangan ke cengkraman tangannya, berusaha keras menghindari tatapan Taeyong yang begitu menusuk. “Aku ... aku tidak tahu apa yang kau bicarakan,” elaknya gugup, mencoba mengendalikan dirinya meskipun jelas dia gagal.
“Benarkah? Jadi, kau tidak mengingat apa-apa?” godanya sambil menyandarkan tubuhnya sedikit lebih dekat, membuat Jisoo semakin terpojok.
“Berhenti menggodaku!” Dia memberanikan diri menatap langsung ke mata Taeyong meskipun tatapan pria itu membuat jantungnya semakin berdetak tak keruan. “Kau tahu aku tidak terbiasa dengan semua ini,” ucapnya dengan suara mulai melemah.
Taeyong mengangkat satu alis, senyumnya kembali muncul. “Tidak terbiasa? Kalau begitu, mungkin aku harus membiasakanmu,” katanya dengan nada setengah bercanda.
Jisoo mendengus kecil, mengabaikan kehadiran godaan Taeyong yang terasa begitu menyebalkan untuk didengar. Dia membuang muka sembari menggigit bibirnya, dan berusaha keras menemukan kata-kata yang tepat untuk membalas atau sekadar menutup percakapan ini. Namun, pikirannya terasa kosong. Bahkan udara sejuk di kamar tak cukup untuk meredam rasa panas yang menjalar di tubuhnya. Rasa gugup, rasa canggung semuanya bercampur menjadi satu, menciptakan perasaan yang tak nyaman namun anehnya tidak sepenuhnya tidak benci.
Sementara Jisoo masih bergulat dengan pikirannya sendiri, Taeyong perlahan bangkit berdiri kemudian merapikan kemejanya dengan gerakan santai dengan mata tetap terpaku pada Jisoo. “Aku harus pergi sebentar. Ada beberapa hal yang harus aku urus,” ujarnya demikian. “Tapi aku akan kembali sebelum kau menyadarinya.”
Jisoo hanya mengangguk pelan, tidak bisa berkata apa-apa. Dia masih tenggelam dalam pikirannya sendiri, mencoba mengurai kekacauan emosional yang ditinggalkan oleh momen sebelumnya. Sentuhan lembutnya, kedekatan mereka, bahkan cara Taeyong berbicara, semuanya terasa begitu asing dan membingungkan. Perasaan itu terus mengganggunya, menahan lidahnya untuk tidak berkata apa-apa lagi. Dia bahkan tidak memperhatikan ketika tubuhnya sedikit gemetar, tidak karena takut, tapi karena sesuatu yang lebih kompleks.
Namun, alih-alih segera pergi, Taeyong tetap berdiri di sana. Dia tidak bergerak, hanya menatap Jisoo dengan tatapan tajam seolah ingin mengatakan sesuatu, tapi memilih untuk menahan diri. Jisoo yang mulai merasa aneh akhirnya mengangkat wajahnya dan menatapnya dengan alis mengerut.
“Ada apa? Kau bilang harus pergi, tapi kau masih di sini,” tanyanya berusaha menyembunyikan rasa gugupnya dengan nada yang datar.
Taeyong tidak langsung menjawab. Sebaliknya, pria itu memiringkan kepala sedikit dengan bibir melengkung menjadi senyuman kecil yang penuh arti. “Apa kau tidak mau memelukku?” tanyanya tiba-tiba.
“Kenapa tiba-tiba kau ingin aku memelukmu?” tanyanya cepat, suaranya terisi kebingungan dan ketegangan. Dia berusaha terdengar normal, tapi wajahnya yang perlahan memerah mengkhianati usahanya.
“Bukankah kau menginginkan itu?”
“Itu apa maksudmu?” Jisoo mencoba menepis rasa gugupnya dengan menjawab tajam walau dia tidak sepenuhnya bisa menyembunyikan keterkejutannya. Tatapannya penuh dengan campuran kebingungan dan kewaspadaan, seolah sedang mencoba membaca niat tersembunyi pria ini. Tapi dia tahu, membaca Taeyong adalah seperti mencoba memahami samudra yang luas dan dalam, yang tidak ada akhirnya.
“Mengendus-endus bauku.”
Jisoo membeku seketika. Wajahnya langsung berubah drastis, matanya melebar seolah baru saja mendengar hal yang paling tidak masuk akal, dan pipinya semakin memerah seperti delima matang. “Apa maksudmu?!” tanyanya.
“Kau sering melakukannya, Jisoo. Setiap malam ketika tidur. Jangan mengira aku tidak menyadarinya,” ujarnya sambil terkekeh pelan dan menurunkan bahunya seolah menikmati momen itu
“Aku tidak pernah melaku—” Jisoo ingin menyangkal, suaranya meninggi sebagai upaya mempertahankan harga dirinya. Namun, kata-katanya tertahan di tengah jalan ketika bayangan samar muncul di benaknya. Ingatan tentang malam-malam belakangan ini ketika tubuhnya terasa berat karena kelelahan dan betapa dia sering kali terbuai oleh aroma yang hangat dan khas—aroma tubuh Taeyong. Aroma itu begitu menenangkan, seperti selimut lembut yang membungkusnya di tengah gelap. Pikirannya berputar mencoba melawan kenyataan bahwa mungkin saja, benar, dia sering melakukannya tanpa sadar.
Pipinya memanas, rona merah melingkupi wajahnya lagi, dan dia merasakan rasa malu menjalari tubuhnya seperti api kecil yang merambat. Matanya menatap Taeyong dengan gugup berusaha mencari sangkalan di dalam ekspresi santai pria itu.
“Ya, kau melakukannya,” ulang Taeyong santai, penuh hiburan. Mata gelapnya seperti sedang memeriksa setiap perubahan ekspresi di wajah Jisoo, memerhatikan bagaimana dia mencoba menutupi rasa malunya. “Dan kau tahu itu.”
“Aku tidak—” Jisoo mencoba membantah, suaranya gemetar, tapi sekali lagi dia kalah sebelum bisa menyelesaikan kalimatnya.
Dalam gerakan cepat, Taeyong tiba-tiba melingkarkan lengannya di sekeliling tubuh Jisoo, lalu menariknya lebih dekat ke dadanya. Tubuhnya menegang hebat lagi, nalurinya mengatakan untuk melawan, tapi kehangatan tubuh Taeyong yang begitu dekat, begitu nyata, seketika memadamkan niat itu. Jisoo membeku, matanya melebar, sementara jantungnya berdetak begitu keras hingga dia yakin Taeyong bisa merasakannya melalui kontak mereka.
“Taeyong, lepas—” Suaranya melengking dengan gugup, mencoba mengumpulkan keberanian untuk memprotes. Namun, kata-katanya menguap ketika dia mendapati dirinya tanpa sadar menghirup aroma tubuh Taeyong.
Napasnya tertahan, paru-parunya terisi oleh aroma yang selama ini selalu membayanginya—hangat, maskulin, dengan sedikit jejak rempah yang tajam dan menenangkan. Aroma itu seperti racun sekaligus penawar, memenuhi setiap celah kesadarannya. Ada sesuatu yang membuatnya merasa terlalu nyaman, terlalu aman, hingga tubuhnya bereaksi tanpa perintah yang memungkinkannya terbuai oleh sensasi itu.
Taeyong menyadari keheningan yang aneh terjadi pada Jisoo, sebuah senyum tipis lantas menghiasi wajahnya. Dia mengeratkan pelukannya, napas hangatnya menyapu pelan bagian atas kepala Jisoo. “Lihat? Kau bahkan melakukannya sekarang,” bisiknya dengan suara rendah yang terdengar nyaris seperti godaan.
“Tidak, aku—” Jisoo mencoba membantah sekali lagi, tapi suaranya tersendat, terhenti oleh serangkaian ingatan yang melintas kembali di benaknya. Malam-malam sebelumnya ketika rasa cemas melanda atau saat mimpi buruk menghantuinya, tanpa sadar dia memang sering mencari kehangatan Taeyong. Entah bagaimana memeluk pria itu atau bahkan menyembunyikan wajahnya di dekat lehernya memberikan rasa aman yang tak pernah dia temukan di tempat lain.
Wajahnya semakin memerah, matanya menatap Taeyong dengan campuran rasa malu dan kesal. “Itu bukan ... aku tidak melakukannya dengan sengaja!” serunya dengan cepat, tapi jawaban itu terdengar seperti sebuah pengakuan yang tidak disengaja. Tangannya bergerak untuk mendorong dadanya, tapi sentuhannya lemah, hampir seperti dia tidak ingin benar-benar melawan.
Taeyong hanya terkekeh kecil, tangannya tetap memeluknya dengan lembut namun kokoh. “Sengaja atau tidak, hasilnya tetap sama, bukan?” ujarnya. “Dan aku tidak keberatan kau melakukannya jika itu membuatmu tenang."
“Aku tidak bilang aku menyukainya!” Jisoo masih mencoba melawan dengan nada yang lebih keras, tapi suaranya justru terdengar seperti pembelaan yang terlalu lemah.
“Kenapa kau masih malu-malu seperti ini?” tanyanya sambil memandangnya dengan geli karena melihatnya yang terus menyangkal dan menyembunyikan rasa malunya. “Kau tahu kau tidak pandai menyembunyikan perasaanmu, Jisoo.”
Tangannya perlahan terulur membelai kepala Jisoo dengan lembut. Sentuhan itu ringan, nyaris seperti angin yang menyentuh permukaan kulit, tapi entah bagaimana terasa begitu dalam. Jisoo mendongak sedikit tanpa sadar, terjebak dalam sentuhan itu. Matanya bertemu dengan mata Taeyong dan untuk beberapa saat, ruangan terasa hening. Bahkan suara detak jantungnya yang cepat seolah menjadi satu-satunya suara yang dia dengar.
Setelah beberapa sesaat, Taeyong perlahan melepaskan pelukannya membiarkan kehangatan itu surut meskipun sorot matanya masih menyiratkan ketertarikan yang mendalam. “Tenang saja, aku tidak akan mengganggumu lagi malam ini,” katanya pelan.
Dia perlahan melangkah mundur, memberi Jisoo ruang untuk bernapas. Tapi meskipun ada jarak di antara mereka sekarang, sorot matanya yang tajam tetap melekat pada wajah Jisoo, seolah memastikan bahwa kata-katanya akan tetap tertinggal di pikirannya.
Jisoo hanya terdiam mencoba mengendalikan debaran jantungnya yang masih tak menentu. Dia memejamkan mata sejenak, sambil menarik napas panjang untuk menenangkan pikirannya yang kacau. Namun, wajah Taeyong terus terlintas di benaknya, tak memberinya kesempatan untuk tenang barang sedetik pun. Pria itu seakan telah memenuhi sepenuhinya isi kepalanya dengan eksistensinya itu.
Saat Jisoo membuka matanya lagi, dia mendapati Taeyong telah berbalik dan berjalan perlahan menuju pintu kamar. Namun, sebelum dia benar-benar keluar, Taeyong berhenti di ambang pintu, tubuhnya setengah berbalik, dan sorot matanya kembali menembus ke arahnya.
“Jisoo,” ada sesuatu dalam cara dia mengucapkan namanya, pelan tapi penuh peringatan, yang membuat Jisoo menegakkan punggungnya secara refleks. “Jangan coba-coba melarikan diri lagi.”
Dingin menjalari tulang belakang Jisoo. Kata-kata itu seperti rantai yang baru saja melilit pergelangan kakinya, menariknya kembali ke dalam sangkar yang selama ini dia coba hindari. Dia menatap Taeyong, bingung dan terluka, ingin melawan tapi tahu betul bahwa pria itu tidak bermain-main dengan ancamannya.
Sebelum dia sempat menjawab, Taeyong melanjutkan dengan nada dingin yang membuat tubuhnya gemetar. “Kalau aku menangkapmu lagi, aku tidak akan ragu untuk benar-benar memotong kakimu.”
Kata-kata itu menghantam Jisoo seperti pukulan keras yang tak kasatmata. Napasnya tercekat, matanya membelalak lebar menatap pria itu dengan tak percaya. Memotong kakinya. Ancaman itu terdengar lagi setelah menghilang selama beberapa hari ini.
Monster itu belum pergi, pikir Jisoo dengan pahit. Untuk beberapa saat, dia sempat membiarkan dirinya percaya bahwa mungkin—hanya mungkin—ada sisi lain dari Taeyong yang lebih lembut dan lebih manusiawi. Selama beberapa hari terakhir, perhatiannya, sentuhannya yang lembut, bahkan kata-katanya yang kadang terdengar tulus sempat menggoyahkan keyakinannya. Tapi ucapan itu mengingatkan Jisoo dengan sangat jelas bahwa pria ini masihlah pria yang sama.
Namun, Jisoo tidak membalas. Dia hanya menatapnya dengan tajam untuk sesaat sebelum akhirnya membuang muka, menolak memberikan reaksi yang mungkin memancingnya lebih jauh. Dia tahu, dengan pria seperti Taeyong, semakin dia melawan, semakin dia akan mencoba menekannya.
Taeyong mengangkat alis, seolah menunggu respons yang tak kunjung datang dari Jisoo. Ketika dia menyadari keheningan itu tak akan pecah, dia menghela napas pendek, lalu tersenyum kecil.
“Bagus,” ucapnya memecah keheningan. “Istirahatlah lagi. Tubuhmu masih perlu waktu untuk pulih.”
Jisoo tetap diam, menolak menjawab. Dia hanya menatap ke arah lain dengan tangan mengepal erat-erat, membuat kuku-kukunya hampir memutih. Rasanya ada begitu banyak hal yang ingin dia katakan, protes, perlawanan, bahkan sumpah serapah, tapi melawan Taeyong hanya akan memperburuk situasi. Sebaliknya, dia memutuskan untuk menjaga ketenangannya meskipun di dalam amarahnya seperti gelombang besar yang menghantam dinding pertahanannya.
“Kalau kau butuh sesuatu, panggil pelayan. Mereka akan menuruti semua keinginanmu.” Dia berhenti sejenak untuk memastikan setiap kata berikutnya benar-benar tenggelam dalam pikiran Jisoo. “Tapi ingat, Jisoo. Jangan pernah berpikir untuk berkeliaran di luar mansion ini sendirian tanpa pengawas. Aku tidak ingin ada hal buruk yang terjadi padamu.”
Nada di balik kalimat terakhir itu ambigu, membuat Jisoo sulit menilai apakah itu benar-benar kekhawatiran atau hanya bentuk ancaman lain. Dia tidak menjawab, hanya mengangguk kecil dengan gerakan nyaris tak terlihat. Namun, itu sudah cukup bagi Taeyong.
Taeyong masih berdiri di sana beberapa saat lebih lama, sebelum akhirnya membalikkan badan. “Jisoo,” panggilnya sekali lagi tanpa menoleh ke arahnya, hanya punggungnya yang membelakanginya. “Aku hanya ingin kau baik-baik saja. Kau mengerti? Jangan membuatku harus membuktikan bahwa aku serius dengan peringatanku.”
Dengan langkah tenang, Taeyong meninggalkan kamar membiarkan pintu tertutup dengan suara klik. Namun, dalam keheningan yang menyusul, suara itu terdengar jauh lebih keras di telinga Jisoo, seperti lonceng yang menggema di tengah kekosongan.
Dia tetap duduk di atas ranjang, matanya terpaku pada pintu yang kini tertutup rapat. Ruangan itu tiba-tiba terasa lebih besar, tapi sekaligus lebih sempit, seolah-olah temboknya bergerak mendekat setiap kali dia mengembuskan napas. Kata-kata Taeyong melingkar di pikirannya seperti ular berbisa, menanamkan rasa takut, kewaspadaan, dan kelelahan yang membebani pundaknya.
“Dia masih Taeyong Antoine Han,” gumamnya pelan, seperti sedang mengingatkan dirinya sendiri. Taeyong, pria yang begitu sering membuatnya merasa terpojok dan tertekan dengan segala sifatnya itu. Pria yang dulu dia pikir dia kenal dengan baik, tapi ternyata menyimpan begitu banyak teka-teki dan lapisan yang tak pernah dia pahami.
Tentu saja, dia memang terlihat berbeda belakangan ini. Ada kelembutan samar dalam caranya berbicara, dalam perhatiannya yang kadang terasa hampir tulus, tapi Jisoo tidak mau tertipu lagi. Dia tahu lebih baik dari itu. Di balik sikap hangat yang kadang dia tunjukkan, Taeyong tetaplah Taeyong Antoine Han—pria dingin, manipulatif, dan licik. Setidaknya, itulah yang ingin terus dia yakini.
Namun, sekeras apa pun dia mencoba menempelkan label itu pada Taeyong, ada sesuatu yang mengganggu logikanya. Sebuah rasa penasaran yang merayap perlahan dan mencengkeram pikirannya. Apa yang sebenarnya kau lakukan padaku, Taeyong? pikirnya, menggigit bibir bawahnya dengan frustasi. Pertanyaan itu, meskipun tak terucap, terasa seperti duri yang terus menusuk-nusuk, membuatnya semakin sulit untuk bernapas dengan tenang.
Dia menghela napas panjang mencoba mengusir rasa penat yang berat di dadanya. Tapi itu percuma. Tubuhnya terasa lelah meskipun dia baru saja bangun dari tidur panjang. Pikirannya bekerja terlalu keras, berputar-putar tanpa henti melawan perasaan-perasaan yang membingungkan dan ketakutan-ketakutan yang bercampur menjadi satu.
Jisoo akhirnya bangkit dari ranjang, langkahnya terasa berat seolah-olah diikat oleh keraguan yang menyesakkan. Ruangan itu sunyi, hanya suara detak jam yang terdengar samar. Tirai di jendela terbuka sedikit, membiarkan sinar matahari masuk dan menciptakan bayangan lembut di lantai marmer.
Udara di kamar itu sejuk, tapi tubuh Jisoo terasa panas, bukan karena suhu, melainkan oleh sensasi yang tertinggal dari kehadiran Taeyong. Kehadiran pria itu selalu memiliki cara untuk meninggalkan jejak, tak terlihat namun nyata, seperti sebuah tanda yang tidak bisa dia hapus. Jisoo mengusap kedua lengannya, berusaha menghalau perasaan yang bercampur antara frustrasi dan kebingungan.
“Tidak, aku tidak bisa terus seperti ini,” bisik Jisoo pada dirinya sendiri.
Dia berjalan mendekati jendela, lalu membuka tirai sepenuhnya untuk melihat keluar. Sinar matahari pagi menyambutnya dengan hangat, menghamparkan pemandangan taman hijau yang luas di bawah sana, dihiasi dengan bunga-bunga bermekaran yang diguyur embun. Namun, baginya pemandangan itu tidak membawa kedamaian. Sebaliknya, dia merasa seperti burung yang terperangkap dalam sangkar emas. Dunia luar tampak begitu dekat namun terasa tidak terjangkau.
Ketegangan di dadanya semakin menumpuk. Tangannya meremas kuat pinggiran jendela mencoba menenangkan dirinya sendiri. Sedangkan pikirannya berkelana berusaha memahami perasaan yang membingungkan. Tentang dirinya, tentang Taeyong, dan tentang bagaimana dia sampai di titik ini.
Tiba-tiba ketukan lembut terdengar dari arah pintu, memecah lamunannya. Jisoo menoleh dengan cepat dengan jantung yang berdetak lebih cepat dari biasanya.
“Nona, saya membawa sarapan Anda.” Suara seorang pelayan terdengar dari balik pintu, sopan dan tidak terlalu keras.
Jisoo mengembuskan napas panjang, seolah suara itu menjadi jeda dari pikirannya yang terus bergolak. Saat dia ingin mengatakan sesuatu untuk menyahuti suara pelayan di luar pintu kamar, tiba-tiba dia merasa ada sesuatu yang janggal. Sebuah perasaan aneh menjalari dirinya. Nalurinya berteriak memperingatkan bahwa ada sesuatu yang salah pada dirinya. Taeyong, entah bagaimana, pria itu selalu berhasil membuat pikirannya tidak pernah benar-benar tenang.
Dia menarik napas dalam sambil menepiskan pikirannya. Mungkin ini hanya paranoia, gumamnya dalam hati. Saat pintu kamar terbuka, dia hanya menatap ke sana untuk sesaat sebelum berpaling kembali ke arah pemandangan di luar jendela.
Seorang pelayan wanita masuk dengan hati-hati sambil mendorong trolley berisi menu sarapannya. Aroma menggoda dari roti panggang hangat, mentega yang meleleh, dan teh melati menyebar perlahan ke seluruh kamar. Jisoo hampir tidak memerhatikan semua itu karena pikirannya masih terjebak pada sesuatu yang lain.
Ketika pelayan itu mengangkat kepala dan melihat Jisoo berdiri di dekat jendela, dia langsung tersentak serta ekspresinya berubah menjadi panik. “Nona! Apa yang Anda lakukan berdiri di sana?” serunya dengan suara melengking, nyaris seperti tercekik oleh kekhawatiran. Tangan yang semula sibuk merapikan trolley terhenti mendadak, lalu tanpa pikir panjang, dia segera bergegas ke arah Jisoo. Langkahnya tergesa-gesa, bahkan hampir membuatnya tersandung pada karpet di tengah ruangan.
“Duduk, Nona. Anda tidak boleh berdiri seperti itu!” ucapnya setengah memohon sambil dengan hati-hati menyentuh lengan Jisoo untuk menuntunnya ke kursi terdekat. Gerakannya cepat, tapi penuh kehati-hatian, seperti seorang pengasuh yang mencoba menjaga anak kecil dari bahaya.
Jisoo yang awalnya hanya menatap keluar jendela dengan pikiran melayang, tertegun melihat reaksi berlebihan pelayan tersebut. Dia membiarkan dirinya diarahkan ke kursi tanpa banyak bicara, masih mencoba mencerna situasi yang tiba-tiba menjadi dramatis. Saat dia duduk, pandangannya mengarah pada wajah pelayan yang kini berdiri di hadapannya dengan napas terengah-engah, seolah baru saja menyelamatkan seseorang dari bencana besar.
“Apa yang kau lakukan?” tanya Jisoo akhirnya, suaranya datar dengan sedikit nada heran. Dia menyipitkan matanya, menatap pelayan itu yang tampak benar-benar ketakutan. “Kenapa kau panik seperti itu? Aku hanya berdiri.”
Si pelayan menelan ludah, wajahnya memerah karena gugup, tapi rasa khawatir yang terlihat jelas di matanya tak berkurang sedikit pun. Dia menggigit bibirnya, ragu sejenak sebelum akhirnya berbicara dengan nada penuh teguran, seolah dia berbicara kepada seseorang yang baru saja membuat keputusan sembrono. “Nona, Anda harus berhati-hati! Kalau Anda ingin ke mana-mana, beri tahu kami. Saya bisa membawa kursi roda untuk Anda.”
Jisoo mengernyit, merasa bingung sekaligus kesal dengan peringatan itu. “Kursi roda?” ulangnya dengan nada tak percaya, matanya membulat saat menatap pelayan itu. “Aku hanya berdiri sebentar bukan berlari marathon. Kenapa kau bersikap seolah aku hampir mati?”
Si pelayan tampak semakin gelisah. Matanya melirik sekilas ke arah pintu, mungkin berharap ada seseorang datang untuk membantunya menjelaskan situasi. “Maaf, Nona, tapi ini adalah instruksi dari Tuan,” katanya dengan suara lebih pelan, hampir seperti berbisik. “Beliau dengan tegas memerintahkan agar Anda tidak terlalu banyak bergerak atau berdiri terlalu lama.”
Darah Jisoo mulai mendidih, wajahnya memerah karena amarah. “Apa-apaan ini? Kenapa semua orang bertindak seolah-olah aku ini tidak mampu apa-apa? Demi Tuhan, aku baik-baik saja! Dan sekarang, kau menyuruhku duduk di kursi roda? Ini sudah keterlaluan!”
Pelayan itu, seorang wanita muda dengan wajah pucat, langsung mengerutkan tubuhnya seperti kura-kura yang ingin berlindung di balik tempurung. Dia tampak sangat bingung, tapi tetap mencoba menjelaskan. “Saya hanya mengikuti perintah Tuan Han, Nona. Beliau sangat tegas mengenai hal ini.”
“Tuan Han ini, Tuan Han itu!” seru Jisoo sambil mengepalkan tangannya. Dia lalu berdiri dari kursinya dengan frustrasi dan menatap pelayan itu dengan tajam. “Taeyong terlalu berlebihan! Apa lagi alasan konyolnya kali ini?! Aku tidak sakit parah! Aku hanya perlu berjalan dan bergerak seperti biasa. Tidak ada yang salah denganku!”
Suasana kamar terasa semakin tegang. Uap panas dari sinar matahari yang masuk melalui jendela membuat udara semakin berat dengan suara Jisoo yang penuh emosi memantul di dinding. Pelayan itu semakin panik, matanya melirik ke arah pintu lagi, berharap seseorang—siapa pun—akan datang untuk menyelamatkannya dari amukan Jisoo. Sayangnya, tak ada siapa pun.
Ketika Jisoo melangkah mendekat dengan tatapan tajam dan sorot mata yang penuh tuntutan, pelayan itu akhirnya keceplosan. Dalam suara yang nyaris pecah karena gugup, dia berkata, “Ini demi keselamatan Anda ... dan janin Anda, Nona.”
Hening.
Semua kemarahan di wajah Jisoo perlahan memudar, berganti dengan ekspresi keterkejutan total. Dia berhenti bergerak, tubuhnya membeku seperti patung di tengah ruangan. Kata “janin” bergema di pikirannya, berulang-ulang, menolak untuk diterima.
“Janin?” ulangnya pelan, seolah dia tidak yakin telah mendengar dengan benar. Dia menatap pelayan itu, matanya melebar, berusaha menangkap makna dari apa yang baru saja dikatakan.
Pelayan itu menutup mulutnya dengan kedua tangan, wajahnya memucat seperti seseorang yang baru saja mengatakan sesuatu yang seharusnya tetap menjadi rahasia. “Ah, maafkan saya, Nona! Saya tidak bermaksud ...!” Suaranya tergagap, tubuhnya sedikit gemetar jelas menyadari bahwa dia telah melakukan kesalahan besar.
“Ulangi apa yang baru saja kau katakan," pinta Jisoo, suaranya pelan namun penuh tekanan. Ada kekuatan dingin dalam nada bicaranya yang membuat pelayan itu semakin gugup. Matanya terus menatap tajam, menusuk, mencari kepastian di wajah pelayan yang kini tampak seperti ingin melarikan diri.
Pelayan itu mundur selangkah, tangan gemetar di sisi tubuhnya. “Saya ... saya tidak boleh mengatakan apa-apa lagi.” Dia menundukkan kepala, mencoba menghindari tatapan Jisoo yang penuh tuntutan. Tapi sebelum dia bisa melangkah lebih jauh, tangan Jisoo bergerak cepat, mencengkeram lengannya dengan erat.
“Katakan!” desaknya, sarat dengan keputusasaan yang semakin memuncak. “Apa yang kau maksud dengan ‘janin’? Aku ... aku hamil?” Kata-katanya hampir tercekat di tenggorokan, seperti sulit untuk diucapkan, tapi dorongan untuk tahu lebih besar daripada rasa takutnya.
Pelayan itu tampak di ambang menangis. Matanya berkaca-kaca, kepanikannya jelas terlihat. “Maaf, Nona,” suaranya nyaris tenggelam dalam desahan putus asa, “saya benar-benar tidak boleh berbicara soal ini. Tolong, tanya langsung kepada Tuan Han. Dia pasti bisa menjelaskan semuanya.”
Ucapan itu menghantam Jisoo seperti pukulan keras di dada. Dadanya terasa sesak, pikirannya berkecamuk seperti badai yang tiba-tiba muncul tanpa peringatan. Napasnya tersengal, bibirnya terbuka seakan ingin mengatakan sesuatu, namun tidak ada kata yang keluar. Dia mencoba memahami apa yang baru saja didengarnya, tapi pikirannya terlalu kacau.
“Taeyong tahu tentang ini?” tanyanya, penuh dengan keterkejutan dan kemarahan. “Dia tahu tapi dia tidak mengatakan apa-apa padaku?” Matanya yang tadi penuh tekanan kini menyiratkan kekecewaan mendalam dan ketidakpercayaan yang menghantui dirinya. Tangannya perlahan terlepas dari lengan pelayan itu, seperti kehilangan kekuatannya sendiri.
Pelayan itu menunduk semakin dalam, tidak berani menatapnya. “Saya benar-benar tidak bisa menjawab, Nona. Tuan Han melarang siapa pun untuk ... tolong, tanyakan langsung pada beliau,” ucapnya hampir seperti gumaman, takut jika ucapannya akan memperburuk situasi.
Jisoo berdiri mematung, seluruh tubuhnya terasa kaku. Ruangan di sekitarnya yang begitu megah seakan mengecil dan menutup dirinya dalam keheningan yang menghancurkan. Pikirannya terus berputar-putar, berusaha memproses informasi yang baru saja dia dengar. Hamil? Aku hamil? Kata-kata itu berulang kali terpantul di benaknya, seperti gema yang tak kunjung berhenti. Napasnya terasa sesak, dadanya naik turun seolah tak bisa menghirup udara dengan benar.
“Tidak mungkin!” gumamnya pelan hampir seperti bicara pada dirinya sendiri. Tanpa sadar tangannya mulai bergerak perlahan ke perutnya yang masih rata, menyentuhnya dengan rasa tidak percaya. Sementara pikirannya bergulat dengan dirinya sendiri mencoba menemukan penjelasan.
“Tapi bagaimana?” Jisoo menelan ludah, pertanyaan itu muncul di benaknya tanpa bisa dia hentikan. Kenangan-kenangan itu tiba-tiba datang, menyerbu pikirannya dengan kecepatan yang menyakitkan.
Bayangan dirinya bersama Taeyong di kamar mandi semalam melintas dalam kepalanya, seperti potongan-potongan film yang tak bisa dia hentikan. Wajahnya yang memerah, napasnya yang memburu, dan sentuhan Taeyong yang begitu mendalam, menghantui setiap sudut pikirannya. Jisoo merasakan perasaan hangat yang semula menyenangkan kini berubah menjadi cemas, seperti ada kabut yang perlahan menyelimuti hatinya.
Lalu kenangan itu mengalir lagi—mereka di mansion di tengah hutan, awal mula dari permainan fisik ini. Di sana, di dalam kamar yang penuh dengan keheningan dan bayang-bayang hutan, dia terjebak dalam paksaan hasrat yang membutakan tanpa bisa menolak. Dia tidak teringat pada konsekuensi, hanya fokus pada setiap perasaan yang muncul, tak terkendali dan liar.
Dan di hotel, kenangan itu kembali datang menyerbu pikirannya dengan kekuatan tak terduga. Dia menggigil sejenak karena bayangan-bayangan itu terus merayap ke dalam kesadarannya, membuatnya merasa semakin terperangkap dalam keputusan yang telah mereka buat. Wajahnya semakin memucat panik dan kulitnya terasa dingin.
Tidak pernah, pikirnya dengan getir. Tidak pernah ada alat pengaman! Kalimat itu menggema dalam benaknya, menambah berat beban yang sudah dia rasa. Mereka melakukan itu berulang kali, tanpa pernah menyadari risiko yang mungkin ada. Hatinya terasa sesak, seolah semua keputusan yang diambil dengan mudah kini datang dengan konsekuensi tak terelakkan, sementara dia hanya bisa terdiam, terperangkap dalam pikirannya sendiri.
Tangannya yang menyentuh perutnya bergetar pelan, meraba-raba keheningan dalam dirinya. Perutnya yang masih rata terasa begitu kosong, sebuah ruang yang tak mampu memberikan jawaban atas kegelisahan yang menyeruak. Benarkah ada kehidupan kecil di sana, di dalam tubuhnya? Sesuatu yang tumbuh dari dirinya dan dari Taeyong? Pikirannya yang kacau semakin terperangkap dalam pertanyaan-pertanyaan tak terjawab, satu demi satu menghantamnya dengan ketidakpastian.
Hening menyelubungi ruangan, hanya suara napasnya yang berat dan terdengar jelas. Jisoo menelan ludah, matanya yang kosong menatap tanpa tujuan, seolah mencari jawaban di udara yang sepi. Lalu sebuah pertanyaan baru melintas begitu cepat di benaknya, membuat hatinya berdebar. Mengapa aku begitu mudah lelah belakangan ini? Mengapa aku terus-menerus tertidur di saat-saat yang tidak tepat? Mengapa aroma khas Taeyong begitu memengaruhi diriku, membuatku merasa nyaman tanpa alasan yang jelas?
Pikiran itu berputar-putar, menambah keruwetan di dalam kepalanya yang sudah sesak. Itu semua karena hormon kehamilan? pikirnya dengan pandangan kosong, namun rasa cemas yang menyelusup datang lebih cepat. Pertanyaan itu segera disusul oleh kekhawatiran yang jauh lebih mencekam, lebih mengerikan. Apakah perasaanku pada Taeyong belakangan ini juga karena pengaruh hormon? Ketakutan mulai merayap ke dalam hatinya, mencengkeram setiap potongan perasaan yang dia miliki. Semua itu ... perhatian, kehangatan, bahkan keintiman mereka semalam ... apakah itu benar-benar aku atau hanya tubuhku yang terpengaruh oleh hormon-hormon ini?
Tiba-tiba rasa takut yang sangat besar merayap ke dalam hatinya, seperti bayangan gelap yang menyelubungi setiap pikiran yang sebelumnya terasa jelas. Ketakutan itu menyebar ke seluruh tubuhnya, membuat dadanya semakin sesak, dan setiap napas terasa lebih sulit. Jisoo mulai meragukan segalanya—perasaan Taeyong, kebaikan dan perhatian yang selama ini dia terima, bahkan perubahan sikapnya yang terlihat begitu tulus belakangan ini. Semua itu terasa seperti sebuah ilusi yang terbentuk untuk menutupi niat jahat. Apa itu semua hanya manipulasi lain?
Pikirannya segera mengarah pada obat-obatan yang Taeyong berikan kepadanya. Berbagai pil yang dia telan tanpa bertanya, yang dia terima begitu saja dengan harapan itu demi kesehatannya. Namun kini, seiring rasa takut yang semakin menguat, pikiran gelap mulai menguasainya. Bagaimana jika obat-obat itu bukan untukku? pikirnya dengan panik. Bagaimana jika itu untuk ... untuk menggugurkan janinnya?
Pikiran itu menghantamnya seperti badai yang tak terduga, mengguncang setiap keping ketenangan yang tersisa. Tubuhnya mulai gemetar hebat dan tangannya yang memegang perutnya perlahan beralih ke kepalanya, mencoba menahan gejolak yang melanda pikirannya. Rasa sakit tiba-tiba menyerang, bukan hanya fisik, tapi sesuatu yang jauh lebih dalam—perasaan hancur, ketakutan, dan kebingungan.
Dia merahasiakan semuanya dariku! Dia ... dia pasti mencoba menghilangkan janinku! Perasaan itu datang begitu tiba-tiba dan mematikan, menghantam hatinya dengan kekuatan yang menghancurkan. Segala yang dia yakini, segala hal yang dia percayai kini berubah menjadi racun yang melukai lebih dalam dari yang dia bayangkan.
Tidak ... tidak! pikirnya panik, detak jantungnya semakin cepat, seperti ada yang mencekik tenggorokannya. Kepalanya terasa begitu berat, seolah-olah tekanan tak terlihat datang dari segala arah, mendorongnya untuk jatuh. Setiap pikiran yang berputar terasa semakin kabur dan suara pelayan di depannya terdengar seperti gema dari kejauhan, jauh dari jangkauannya. Napasnya terengah-engah berusaha untuk tenang, tapi dia semakin sulit untuk mengatur ritme napasnya yang tergesa-gesa. Matanya mulai kabur dan dunia di sekitarnya tampak melambat, menciptakan distorsi yang membuatnya semakin terperangah.
“Nona, Anda baik-baik saja?” Suara pelayan itu kini terdengar panik. Dia melihat bagaimana tangan Jisoo mencengkeram kepalanya sementara bahunya gemetar hebat. Wajah gadis itu yang sebelumnya tampak baik-baik saja kini tampak seperti kehilangan warna sepenuhnya. “Nona, haruskah saya memanggil Tuan Ronald?” tanyanya dengan nada yang semakin khawatir.
Namun Jisoo tidak menjawab. Dia hanya berdiri di sana, mencoba bernapas di tengah kekacauan yang terus menyerangnya dari segala arah. Tangannya berpindah ke dadanya, mencoba meredakan tekanan yang seakan menghancurkannya. Tapi semakin dia mencoba bernapas, semakin sulit rasanya. Pikirannya seperti medan perang, penuh dengan kecurigaan, rasa sakit, dan ketakutan.
“Nona?” Pelayan itu mencoba memegang bahunya, tapi sentuhan itu malah membuat Jisoo tersentak, mundur selangkah sambil menggeleng kuat-kuat.
“Tidak, jangan panggil dokter,” ucapnya pelan hampir tidak terdengar di antara tarikan napasnya yang terputus-putus. “Aku ... aku hanya butuh waktu sebentar.” Namun, kata-kata itu terdengar lebih seperti janji kosong untuk dirinya sendiri daripada permintaan pada pelayan di depannya.
Pikirannya terus berdengung, seolah-olah suara yang mengganggu itu tak pernah berhenti berputar dan semakin memperburuk kekacauan yang merasuki setiap sudut kesadarannya. Dada Jisoo semakin sesak, napasnya semakin berat, dan tubuhnya terasa seperti kehilangan kekuatan, seperti dihimpit oleh beban tak terlihat. Walaupun segala sesuatu tampak mengabur di sekitarnya, ada satu pertanyaan yang terus mengganggu, berputar dalam pikiran seperti bisikan dingin yang tak bisa disingkirkan.
Apa aku bisa mempercayai Taeyong? Pertanyaan itu membeku dalam dirinya, menggema dengan keras di tengah kekosongan emosional yang semakin dalam. Setiap detik yang berlalu terasa penuh ketegangan, seperti ada bayangan gelap yang terus menekan jiwanya, membuatnya meragukan segala hal, termasuk pria yang baru-baru ini dia percayai.
Ada notif tak? Sebenarnya kemarin aku update, tapi karena notif gak muncul aku unpub 💁🏻♀️
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top