Chapter LIII: Lust for life 4.0
“Tenanglah,” bisik Taeyong, suaranya rendah, dalam, dan menenangkan. “Biarkan dirimu lepas, Jisoo. Biarkan aku menjagamu.”
Kata-katanya seperti mantra, bergaung di benak Jisoo dan meluruhkan sedikit demi sedikit pertahanannya. Namun, di dalam hatinya, dia masih bertanya-tanya, apakah benar dirinya mampu menahan badai perasaan yang kini meluap tak terkendali?
Jisoo tanpa sadar mengangguk meskipun Taeyong yang ada di belakangnya tak bisa melihat. Kabut kenikmatan menguasai pikirannya, membuatnya sulit berpikiran jernih. Tubuhnya merespons dengan sendirinya saat jemari Taeyong menyusup lebih dalam, menemukan titik manis yang membuat setiap saraf di tubuhnya bergetar. Sebuah erangan meluncur dari bibirnya, tertahan namun penuh gairah, sementara gemericik air di sekitarnya menjadi latar irama yang menambah intensitas suasana.
Pinggulnya yang awalnya berusaha menahan diri kini bergerak mengikuti ritme jemari Taeyong. Gerakannya spontan, seakan mencari lebih banyak dari sensasi luar biasa yang mendera dirinya. Kenapa aku tidak bisa berhenti? Kenapa ini terasa begitu mengikatnya semakin kuat? pikirnya dalam dilema yang semakin larut dalam gelombang perasaan yang tak bisa dia lawan. Air di bak mandi membelai kulitnya, tetapi justru sentuhan Taeyong yang membakar seluruh keberadaannya.
Taeyong menyesuaikan posisinya di belakang, tubuhnya bergeser sedikit untuk mendapatkan kendali lebih baik. Jemarinya tak pernah berhenti bermain-main. Ibu jarinya menyapu lembut dan ritmis pada titik sensitif di puncaknya, sementara jemari lainnya bergerak masuk lebih dalam mewujudkan kombinasi stimulasi yang hampir mustahil ditanggung oleh Jisoo. Napasnya terengah-engah, terpotong pendek setiap kali sensasi itu melampaui batas toleransinya.
“Taeyong,” Jisoo merintih, suaranya serak oleh hasrat yang tak lagi mampu dia sembunyikan, “aku ... aku tidak bisa ....”
“Shh ...!” Taeyong menenangkannya dengan mencium kembali lehernya, meninggalkan jejak ciuman hangat yang diakhiri dengan gigitan kecil yang membuat gadis itu menggigil. “Biarkan saja, Jisoo. Rasakan semuanya. Jangan tahan dirimu.”
Kata-kata itu seketika menjadi kunci yang membuka pintu pelepasan. Dalam sekejap, Jisoo merasakan gelombang kenikmatan mencapai puncaknya, menyapu dirinya seperti badai. Tubuhnya menegang hebat, punggungnya melengkung sempurna saat orgasme pertama menghantamnya, meninggalkan dirinya terengah-engah dan bergetar dalam pelukan Taeyong. Jeritan pelan lolos dari bibirnya, sementara air di sekitar bergelombang dengan liar, mencerminkan kekacauan emosinya.
Taeyong memeluknya erat dari belakang, tubuhnya terasa hangat, memberikan rasa aman meskipun emosi Jisoo sedang di puncaknya. Jemarinya tetap bergerak lembut, memperpanjang ekstasi yang tak berakhir hingga getaran terakhir mereda. Suara gemericik air perlahan kembali tenang, menggambarkan kontras antara intensitas sebelumnya dan keheningan saat ini.
Ketika Jisoo akhirnya membuka mata, dia mendapati atensinya terjebak dalam tatapan Taeyong. Mata pria itu penuh intensitas, campuran kebanggaan, kepuasan, dan sesuatu yang lebih dalam, yang sulit diartikan. Ekspresinya melunak, tapi senyum kecil bermain di sudut bibirnya menunjukkan betapa dia menikmati melihat Jisoo menyerah pada momen itu.
“Lihat dirimu,” ujar Taeyong dengan suara penuh godaan namun juga kelembutan yang anehnya menenangkan. “Menikmati setiap sentuhanku. Kau pasti merindukan ini, bukan?”
Ucapannya seperti tamparan lembut, menyadarkan Jisoo pada apa yang baru saja terjadi. Gelombang panas segera merayapi wajahnya, menggantikan sisa-sisa kenikmatan yang masih membekas di tubuhnya. “Aku ... aku tidak....” Jisoo tergagap, suaranya tak mampu membantah dengan tegas.
Pikirannya berkecamuk dalam konflik. Sebuah suara di dalam dirinya berkata bahwa ini adalah kesalahan, bahwa dia seharusnya menolak sejak awal. Tapi ada juga bisikan lain, lebih lembut dan jauh lebih menggoda, yang menyuruhnya untuk tidak lari, untuk tetap di sini dan merasakan semuanya. Jisoo ingin menjauh, meninggalkan situasi ini sebelum emosinya semakin kacau. Namun, tubuhnya terasa lumpuh seperti terikat oleh ketegangan yang dia ciptakan sendiri.
Sementara itu, Taeyong yang tampaknya mampu membaca niatnya bahkan sebelum di melakukannya, dengan cepat bertindak. Tangannya terangkat menyentuh dagu Jisoo, kemudian memaksanya untuk mengangkat wajah. Sebelum Jisoo sempat memprotes atau berpaling, bibir Taeyong sudah menempel di bibirnya, menyegel segala kata yang mungkin akan dia ucapkan.
Ciuman itu dimulai dengan halus, penuh kehati-hatian, seakan memberikan waktu bagi Jisoo untuk memahami situasinya. Namun, seiring waktu berlalu, keintiman itu semakin dalam. Taeyong melumat bibir Jisoo dengan ritme yang lambat tapi penuh makna, seperti ada pesan yang coba dia sampaikan melalui setiap gerakan: Aku ada di sini. Aku memilihmu. Jangan lari dariku.
Jisoo membelalak, tubuhnya menegang saat Taeyong menciumnya. Berbeda dari ciuman sebelumnya, yang terasa sekadar menempel singkat, kali ini ada sesuatu yang jauh lebih intens dan lebih dalam. Ciuman itu tidak hanya menyerang inderanya, tapi juga menyelinap ke dalam hatinya, menciptakan perasaan hangat yang membingungkan. Napasnya terjebak di tenggorokan dan dadanya berdebar seperti menahan sesuatu yang akan pecah kapan saja.
Dalam sekejap, kebimbangan menghantam Jisoo seperti gelombang pasang tak terduga. Pikirannya berputar, dipenuhi oleh pertanyaan-pertanyaan yang tak memiliki jawaban pasti. Apa yang sedang terjadi? Apa yang Taeyong pikirkan? Dan lebih dari itu, apa yang sebenarnya aku rasakan? pikirnya panik. Dorongan untuk menjauh bergolak di dalam dirinya, menyerukan peringatan untuk mengakhiri semua ini sebelum situasinya semakin rumit. Namun, dorongan itu tak cukup kuat melawan sensasi hangat yang menjalar lembut di sekujur tubuhnya, menyelinap masuk dan menyentuh sisi rapuh yang selama ini dia coba lindungi.
Keheningan di ruangan itu, yang hanya diiringi suara air riak perlahan, kini menambah intensitas momen yang mereka alami. Udara di sekitar mereka terasa berat, hampir mustahil untuk bernapas dengan tenang. Jantung Jisoo berdetak keras, begitu kencang hingga memenuhi ruang itu, membuat logikanya memudar dalam kabut emosi yang semakin tebal.
“Taeyong,” bisiknya dalam hati dengan napas hampir tercekat. Namun alih-alih memprotes atau melakukan sesuatu untuk menghentikan ciuman itu, tubuhnya justru tetap diam dan membeku di tempat. Dia malah terperangkap dalam perasaan campur aduk antara keinginan untuk menolak dan ketidakmampuan untuk berpaling.
Ciuman Taeyong semakin berubah. Gerakannya perlahan hampir seperti tarian, penuh kesabaran dan ketulusan. Bibirnya bergerak dengan ritme membujuk, mengundang Jisoo untuk bergabung dalam momen tersebut. Bukan sebagai seseorang yang pasif saat berciuman, tapi sebagai seseorang yang turut andil merasakan.
Pada awalnya Jisoo hanya bisa mematung dan menerima segalanya tanpa tahu bagaimana merespons. Detik demi detik berlalu dan tanpa menyadarinya, tubuhnya mulai ikut merespons. Bibirnya bergerak, perlahan pada awalnya, seperti mencoba memahami ritme yang Taeyong tawarkan. Untuk sesaat ada keraguan dalam gerakannya, tapi itu tidak cukup untuk menahan arus emosi yang mulai menguasainya.
Ketika akhirnya dia menyerah, perasaan itu mengalir dengan begitu alami. Bibirnya mulai bergerak seirama dengan bibir Taeyong, mengikuti kehangatan dan kelembutan yang terasa begitu asing dan menenangkan. Setiap ciuman terasa seperti mengikis lapisan pelindung yang selama ini dia bangun, membebaskannya dari belenggu rasa takut dan keraguannya sendiri. Dan untuk pertama kalinya, Jisoo membiarkan dirinya terhanyut, memberikan balasan yang semestinya.
Rasa canggung di awal perlahan menghilang, digantikan oleh sesuatu yang terasa lebih tulus dan mendalam. Ada kehangatan menyebar, mengalir dari bibir mereka yang bertautan hingga ke seluruh tubuhnya. Sensasi itu membuat hatinya menghangat, tapi juga membuatnya cemas. Bagaimana ini bisa terjadi? Kenapa ini terasa begitu benar padahal seharusnya salah? pikirnya di tengah ciuman itu. Namun, semua pertanyaan itu tenggelam di bawah gelombang emosi yang melingkupi mereka.
Ciuman itu tidak terburu-buru. Tidak ada urgensi atau desakan, seolah waktu berhenti hanya untuk mereka. Setiap gerakan terasa penuh perhatian, seperti sebuah tarian yang ritmis dan lembut. Namun di tengah ciuman itu, pikiran-pikirannya terus berputar tanpa arah. Apa yang sedang aku lakukan? Haruskah aku menghentikan ini? Atau apakah ini hal yang benar untuk dilakukan?
Saat Taeyong perlahan menarik diri, Jisoo membuka matanya dan langsung menatap pria itu dengan campuran keterkejutan dan kebingungan. Namun, di sana, di tengah keheningan yang menggantung, dia melihat sesuatu dalam mata Taeyong, sesuatu yang tidak bisa dia sangkal.
“Kau membalasnya,” bisiknya penuh rasa ingin tahu, sembari menunggu jawaban yang bahkan Jisoo sendiri belum yakin dia mampu memberikan.
Kata-kata itu menusuk ke dalam kesadarannya. Jisoo langsung terperanjat, matanya melebar saat realisasi menghantamnya. Aku membalasnya? pikirnya, seolah tidak percaya pada dirinya sendiri, tidak percaya pada apa yang telah dilakukannya. Wajahnya memerah hebat, rasa panik mulai menguasainya. Kenapa dia melakukannya? Kenapa dia membalas ciuman itu? Apa yang telah terjadi dengannya?
Tubuhnya mulai bergerak dengan refleks, mencari jalan keluar dari situasi yang terasa begitu salah dan begitu membingungkan. Air di bak mandi bergelombang saat Jisoo berusaha menjauh, niatnya jelas: melarikan diri dari keintiman yang baru saja mereka bagi. Namun, sebelum dia bisa pergi lebih jauh, sebuah tangan kokoh melingkari pinggangnya, menariknya kembali dengan cepat dan tegas.
“Kau mau ke mana?” Suara Taeyong terdengar rendah namun jelas dengan nada geli yang tak bisa disembunyikan. Di antara suara air yang bergelombang, kalimat itu menyusup ke telinga Jisoo seperti sebuah godaan yang membuat jantungnya berdebar semakin cepat.
“Aku—” Jisoo menunduk, tatapannya tertuju pada air yang beriak di bak mandi. Dia tidak berani menatap langsung ke mata Taeyong. Panas mulai menjalar di wajahnya dan dia tahu pipinya pasti sudah semerah delima.
Taeyong terkekeh pelan, suara tawanya terdengar akrab dan menusuk, seperti seorang pemburu yang tahu mangsanya tak punya tempat untuk lari. “Kau malu?” tanyanya.
Panas yang menjalar di wajah Jisoo semakin parah. Dia tidak tahu harus berkata apa, jadi dia hanya berpaling mencoba menghindari tatapan pria di belakangnya ini. Tapi Taeyong tidak membiarkannya lolos begitu saja. Pria itu semakin mengeratkan pelukannya, sembari menyandarkan kepala di bahunya dengan manik terus tertuju padanya.
“Jisoo,” panggilnya pelan dan lebih halus sehingga Jisoo tidak bisa mengabaikannya, “aku senang akhirnya kau membalas ciumanku.”
Ucapan itu membuat Jisoo tersentak seperti terkena aliran listrik. Dia menoleh cepat ke samping, matanya membelalak, wajahnya merah padam hingga ke ujung telinganya. “Aku tidak sengaja!” bantahnya, suaranya lebih tinggi dari yang dia harapkan. Kata-kata itu keluar begitu saja, tanpa sempat dipikirkan, seperti refleks untuk menyelamatkan dirinya dari rasa malu.
“Oh, benarkah?” Taeyong menyeringai, senyumnya penuh dengan rasa puas yang membuat Jisoo semakin ingin menghilang ke dalam air. Tatapannya seperti api yang membakar setiap alasan yang dia coba kumpulkan. “Jadi menurutmu itu tidak sengaja?” lanjutnya dengan menggoda, ekspresi geli terpampang jelas di wajahnya.
Jisoo menggigit bibir bawahnya, berusaha keras menahan rasa malu. Tapi detak jantungnya terus bergemuruh, keras dan tak teratur, hingga dia merasa seluruh tubuhnya bergetar. Dia menunduk lagi, mencoba menghindari tatapan Taeyong yang terasa seperti menelanjangi semua emosinya. Lalu dengan gugup, dia membuka mulut, berusaha merangkai alasan yang masuk akal. “Iya, itu ... itu hanya ...,” dia berhenti sejenak, menelan ludah sebelum melanjutkan, “anggap saja rasa terima kasihku karena kau pernah menyelamatkanku bersama Zaheer.”
Untuk sesaat, Taeyong hanya menatapnya, ekspresi di wajahnya sulit ditebak. Tapi kemudian, senyumnya semakin lebar dan tawanya meledak begitu saja. “Rasa terima kasih, ya?” katanya sambil mengangguk. “Sepertinya aku harus lebih sering menyelamatkanmu kalau begitu, supaya aku bisa mendapatkan lebih banyak ucapan terima kasih.”
Jisoo mendongak dengan ekspresi terkejut bercampur kesal. “Jangan bercanda seperti itu!” serunya meskipun suaranya lebih terdengar seperti rengekan yang malu-malu.
Walaupun dia kesal dengan godaan Taeyong, tapi di dalam hatinya, Jisoo merasakan berbagai campuran emosi yang membingungkan—malu, marah, tapi juga ada sedikit kehangatan. Pria itu selalu punya cara untuk membuat benteng yang dia bangun runtuh begitu saja. Kenapa Taeyong selalu berhasil membuat hatinya goyah?
Taeyong menatapnya dengan senyum kecil di sudut bibirnya, senyum yang tidak berlebihan tapi cukup untuk menyiratkan sesuatu yang membuat dada Jisoo terasa sesak. Senyum itu tidak hanya sekadar ekspresi, tapi sebuah pernyataan tentang kuasa, tentang pengaruhnya, tentang bagaimana dia tahu bahwa Jisoo tidak sepenuhnya kebal terhadapnya. Wajahnya mungkin tampak santai, tapi matanya berbicara lebih banyak. Tatapan itu intens, hampir menusuk, seolah dia bisa membaca pikiran Jisoo hanya dengan satu lirikan.
“Berbaliklah. Aku ingin melihat wajahmu,” ucapnya dengan suara lembut dan tegas, seperti bisikan yang tidak memberi ruang untuk ditolak.
Permintaan itu langsung membuat Jisoo membeku seketika. Berbalik? Menghadapnya? Dalam situasi seperti ini? Riak-riak kecil di air bak mandi terasa lebih keras dari biasanya, seakan ikut menggema dengan kegelisahannya. Panas yang sebelumnya hanya menghangatkan pipinya kini menjalar ke seluruh tubuhnya. Jisoo menggigit bibir bawahnya, mencoba menahan diri, mencoba menenangkan gejolak yang mulai menyerang. Namun, tangannya yang mencengkeram erat sisi bak mandi mengungkapkan segalanya bahwa dia gugup, tak yakin, dan tidak tahu harus berbuat apa.
Pikiran Jisoo langsung dipenuhi oleh gelombang keraguan. Apa yang dia harapkan dariku? Jika aku menurut, apa yang akan terjadi? Tapi kalau aku menolak, apakah dia akan mendesakku lagi? Kenapa aku harus merasa seperti ini di hadapannya? Hatinya berperang antara mempertahankan harga dirinya atau menyerah pada suasana yang entah bagaimana membuatnya merasa begitu rentan.
Sementara itu, Taeyong tetap diam, tidak mendesak lebih jauh, memberinya ruang untuk memutuskan sendiri. Sikapnya yang santai justru membuat Jisoo semakin gelisah. Ini bukan seperti Taeyong yang biasanya. Biasanya pria itu akan dengan mudah mengancam atau bahkan memaksanya, tapi kali ini berbeda.
Helaan napas pelan keluar dari bibirnya, hampir tak terdengar di tengah keheningan. Mengapa aku merasa seperti ini? Mengapa hanya dengan satu permintaan darinya, aku merasa seluruh kendali dalam diriku perlahan menghilang? Hatinya berdegup kencang, seolah menolak untuk dia kendalikan, sementara pikirannya terus mencari alasan untuk melawan perasaan itu. Tapi tidak ada alasan yang cukup kuat untuk mengabaikan ketegangan yang terus tumbuh di antara mereka.
Pada akhirnya, Jisoo mengambil keputusan. Perlahan dia membalikkan tubuhnya hingga kini dia menghadap Taeyong. Air di bak mandi beriak di sekitar mereka, gelembung-gelembung naik ke permukaan hanya untuk meletus dan menghilang. Sementara wajahnya masih memerah karena malu dan dia masih belum berani menatap langsung mata pria di depannya ini.
Wajah Jisoo memerah, rona hangat menjalar hingga ke lehernya. Tangannya bergerak menyentuh air, mencari sesuatu untuk dijadikan perlindungan dari sorot mata Taeyong yang begitu tajam. Dia tidak berani langsung menatapnya, matanya tertuju pada dadanya sendiri atau pada permukaan air di antara mereka. Tapi meski tidak menatap, dia bisa merasakan tatapan Taeyong padanya.
Mata Taeyong menelusuri tubuh Jisoo, memperhatikan setiap lekukan, setiap gerakan kecil yang dia buat. Sorot matanya seolah mampu menembus lapisan air dan udara, menghanguskan apa yang disentuhnya. Ada sesuatu yang memabukkan dalam cara dia memandang Jisoo, sebuah kombinasi antara kekaguman, rasa lapar, dan hasrat yang terbuka. Jisoo tahu dia tidak bisa menyembunyikan diri, tidak di hadapan pria yang begitu mengenalnya.
Air yang mengelilingi mereka mulai terasa dingin, tetapi kulit Jisoo justru terasa semakin panas. Sensasi itu membuatnya ingin melarikan diri, tetapi tubuhnya tetap diam, seolah terikat oleh sesuatu yang lebih kuat dari kehendaknya. Ketika Taeyong akhirnya bergerak, dia mengulurkan tangan, jarinya menyentuh kulit Jisoo tepat di sekitar dadanya. Sentuhan itu seperti aliran listrik yang menyambar seluruh tubuhnya.
Jemarinya kemudian menyentuh puting Jisoo dengan gerakan yang sengaja lambat dan penuh perhitungan. Tubuhnya merespons secara naluriah, punggungnya menegang, dan bibirnya terbuka untuk menghela napas yang terputus-putus. Sensasi itu langsung menjalar ke inti tubuhnya, memicu kehangatan yang semakin memabukkan.
“Teruslah seperti ini,” suara pria itu rendah, serak, dan dipenuhi oleh hasrat yang tak terselubung. “Aku suka saat kau membalas ciumanku tadi.”
Jisoo menggigit bibirnya berusaha menahan luapan emosi yang bercampur aduk di dalam dirinya. Kata-kata itu seperti bisikan yang menambah panas yang sudah mendidih di dalam dirinya. Pipinya kembali memerah, kali ini lebih intens. Dia mengangkat matanya perlahan dan saat matanya bertemu dengan mata Taeyong, dia melihat sesuatu yang membuat tubuhnya bergetar. Rasa lapar yang begitu nyata, begitu kuat, seperti ingin melahap setiap bagian dirinya.
Tangan Taeyong bergerak perlahan-lahan, turun dari perut Jisoo yang basah oleh air, dan meninggalkan jejak sensasi yang membuat kulit gadis itu meremang. Kemudian jemarinya meluncur lebih rendah, menyusuri jalan menuju pusat tubuhnya. Saat dua jarinya dengan lembut menembusnya, ibu jarinya tetap berada di permukaan, memberikan pijatan ritmis pada tempat yang paling sensitif.
Napas Jisoo tersentak keras, punggungnya melengkung seolah menuntut lebih dari sentuhan itu. Tubuhnya tanpa sadar mendekat ke arahnya mencari lebih banyak dari setiap gerakan yang terasa mendebarkan dan nyaris memabukkan. Sensasi itu menyebar cepat, menghantam seluruh syarafnya, dan membuat dunianya mengecil hanya pada kehadiran Taeyong.
“Katakan padaku kalau kau menyukai ini?”
Jisoo tidak menjawab. Suaranya tertahan di tenggorokan, diserap oleh sensasi yang terus menyerang tubuhnya. Dalam keraguan dan rasa malu, dia hanya terdiam, matanya setengah terpejam, mencoba melawan gelombang kenikmatan yang terus datang. Namun, akhirnya dia mengangguk kecil, isyarat diam yang mengungkapkan kebenaran yang tak bisa dia sangkal.
Melihat itu, Taeyong terkekeh pelan. Dia lalu memindahkan tangan satunya ke payudara Jisoo, jemarinya yang hangat melingkupinya dengan lembut, menekan dan meremas dengan perhatian yang membuat napas Jisoo tersendat.
“Bagus,” gumamnya pelan. “Karena aku berniat membuatmu merasa jauh lebih baik.”
Ucapan itu membuat tubuh Jisoo bergetar, rasa antisipasi bercampur dengan gairah yang terus meningkat. Dia mendesah pelan, suara itu seperti bisikan kecil yang tenggelam dalam gemuruh air di sekitar mereka. Gerakan Taeyong semakin cepat, jemarinya keluar-masuk dengan ritme yang tak kenal henti.
Suara napas mereka saling bersahutan, bergema di ruang kamar mandi yang kini dipenuhi kehangatan yang mengaburkan dinginnya air di sekitar mereka. Percikan air sesekali terdengar, berirama dengan gerakan tubuh yang semakin intens. Udara terasa berat, memadat dengan campuran aroma sabun, kelembapan, dan keintiman yang kian memuncak.
“Taeyong, tu-tunggu dulu,” bisik Jisoo dengan suara terputus dan panik bercampur ketidakberdayaan. “Kumohon, pelan-pelan.”
Alih-alih menjawab, Taeyong menutup mulutnya dengan ciuman yang dalam dan panas, membungkam permohonan itu dalam gelombang hasrat. Bibir mereka menyatu, saling mencari, sementara lidah Taeyong dengan mudah menembus pertahanannya, menari bersama lidahnya, dan membangun ritme baru yang membuat dunia Jisoo seketika runtuh dalam kenikmatan.
Jemarinya melingkari pergelangan tangan Taeyong, bukan untuk menghentikannya, melainkan untuk membimbing. Dia menarik tangan itu lebih erat ke tubuhnya, desakan halus yang menyiratkan keinginannya untuk lebih. Hasrat yang tadinya terbungkam mulai mendesak keluar, membuatnya tak bisa lagi berpura-pura.
Pinggulnya bergerak pelan mengikuti ritme jemari Taeyong, mencari gesekan yang menghantarkan gelombang kenikmatan yang tak pernah dia bayangkan sebelumnya. Setiap gerakan kecil terasa seperti percikan api, menyebar ke seluruh tubuhnya, dan memanaskan setiap sudut dirinya. Napasnya makin berat, tiap helaan terasa seperti usaha keras untuk bertahan di tengah badai gairah yang menguasainya.
Di mata Taeyong, terpancar rasa puas bercampur kekaguman melihat Jisoo yang kini tak lagi menahan diri. Dia terus memandanginya, menikmati setiap ekspresi yang muncul di wajahnya—kelopak mata yang terpejam, bibir yang terbuka, dan pipi yang memerah seperti kobaran api. Dia tahu pada saat itu, Jisoo sepenuhnya miliknya, tidak hanya tubuhnya, tapi juga hati dan pikirannya.
“Kau terlihat sangat indah seperti ini,” bisiknya di sela ciuman.
Kata-kata itu hanya menambah derasnya sensasi yang mengalir dalam tubuh Jisoo. Rasanya seperti tenggelam dalam lautan gairah yang tak bertepi, di mana hanya Taeyong yang menjadi pusat dunianya. Dia tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya, tapi untuk saat ini, dia membiarkan dirinya larut, membiarkan segala rasa mengalir tanpa ada lagi yang dia sembunyikan.
“Taeyong,” bisiknya di antara ciuman, suaranya campuran kekaguman dan permohonan yang nyaris tak terucapkan. “Tolong ....”
Taeyong tersenyum kecil, senyuman yang memancarkan pemahaman mendalam terhadap permintaan yang tak perlu dijelaskan dengan kata-kata. Jemarinya bergerak pelan, menyusuri titik sensitif di tubuh Jisoo dengan gerakan yang menggoda. Dia melingkari area itu, membuat Jisoo menggeliat sebelum akhirnya menyelam lebih dalam. Gerakannya terukur, mengikuti ritme tubuh Jisoo yang sedang memberinya petunjuk dan memastikan setiap sentuhan memicu gelombang kenikmatan yang mengalir tanpa henti.
Air di bak yang mengelilingi mereka menambah dimensi baru pada setiap sensasi, membuat setiap gesekan terasa lebih lembut dan lebih intim. Riak kecil di permukaan air bergema di ruangan itu, menciptakan harmoni dengan desahan Jisoo yang mulai sulit dia tahan. Suasana kamar mandi menjadi ruang kecil yang terpisah dari dunia luar, hanya ada mereka berdua, tenggelam dalam keintiman yang membakar setiap inci udara di sekitar mereka.
Kepala Jisoo terkulai di bahu Taeyong, matanya tertutup rapat, menyerah sepenuhnya pada gelombang perasaan yang melandanya. Tubuhnya bergerak mengikuti alunan jemari Taeyong yang tak henti-hentinya memberi kenikmatan. Tangan lain Taeyong perlahan meraih payudaranya, ibu jarinya menyapu lembut di sekitar putingnya, membuat Jisoo menggeliat lebih dekat ke arahnya. Sentuhan itu menciptakan kontras yang tajam—kekasaran ringan dari jemari Taeyong yang penuh percaya diri melawan kelembutan kulitnya sendiri. Setiap gerakan membuat tubuhnya seperti terbakar dari dalam, semakin dekat dengan puncak yang tak terelakkan.
“Lihat aku,” bisik Taeyong penuh dengan kehangatan yang bercampur gairah.
Jisoo membuka matanya perlahan, meski tubuhnya enggan meninggalkan dimensi kenikmatan yang dia rasakan. Tatapan Taeyong langsung menjeratnya, begitu fokus dan intens. Mata pria itu gelap, memancarkan rasa lapar yang tak disembunyikan, tapi di balik itu ada kelembutan yang membuat Jisoo merasa dilihat dan dihargai seperti belum pernah sebelumnya. Dalam momen itu, dia merasakan sesuatu yang lebih dari sekadar gairah, sebuah koneksi yang dalam, yang membuatnya merasa utuh.
“Kau indah,” gumam Taeyong, suaranya nyaris tak terdengar tapi penuh ketulusan. “Dan aku ingin kau tahu itu.”
Kata-kata itu sederhana tapi kuat, menggema di kepala Jisoo. Pipinya memerah, campuran rasa malu dan bahagia menyelubungi dirinya. Tapi dia tidak memalingkan wajahnya. Kali ini dia membiarkan dirinya terlihat, benar-benar terlihat, dan untuk pertama kalinya, dia merasa tidak takut.
Sementara itu, jemari Taeyong terus menari dengan presisi yang menggetarkan, irama gerakannya tak terputus menekan tepat di tempat yang membuat Jisoo kehilangan kendali. Sensasinya begitu kuat melandanya, seperti badai yang tak bisa dia redam, membuat setiap serat dalam tubuhnya terasa tegang dan terisi oleh kenikmatan yang mendekati batas. Napasnya semakin tercekat, tubuhnya melengkung mendekati pria itu, mencari sesuatu untuk bertahan di tengah gelombang perasaan yang begitu dahsyat.
“Lepaskan, Jisoo,” bisik Taeyong lembut di telinganya, suaranya serak namun penuh dorongan yang membuat tubuhnya semakin menyerah.
Dan saat itu juga, Jisoo melepaskan segalanya. Gelombang orgasme melandanya seperti arus pasang yang tak tertahankan, menghantam setiap sudut tubuhnya dengan intensitas yang nyaris mematahkan. Tubuhnya bergetar hebat, tangannya mencengkeram bahu Taeyong dengan erat, seolah-olah dia adalah satu-satunya jangkar di tengah lautan perasaan ini. Suaranya memecah keheningan, sebuah pekikan yang menggema lembut di dinding kamar mandi, bercampur dengan suara percikan air dan napas mereka yang berat.
Taeyong memeluknya erat, tubuh mereka basah oleh air yang kini terasa seperti selimut yang melindungi. Jemarinya tetap bergerak, meski pelan, memastikan Jisoo menikmati setiap detik dari puncaknya hingga akhirnya gemetar tubuhnya berangsur reda. Dia mencium dahinya dengan lembut, memberikan kenyamanan yang membuat gadis itu merasa terlindungi walau tubuhnya masih terasa lemas dan jiwanya seperti melayang.
Ketika akhirnya Jisoo membuka mata, dia mendapati Taeyong menatapnya dengan tatapan penuh perhatian, campuran kebanggaan dan kepuasan yang membuat pipinya kembali memerah. Mata pria itu seolah berbicara lebih dari apa pun yang bisa diucapkan. Dia merasa dilihat, dimengerti, dan dipuja dengan cara yang begitu mendalam, sesuatu yang tidak pernah dia bayangkan sebelumnya.
“Taeyong, aku—”
Namun sebelum dia bisa menyelesaikan kalimatnya, bibirnya membungkam mulutnya dengan ciuman lagi. Saat lidah mereka menyatu, hasrat Taeyong berkobar, dan dia bergeser sedikit menyesuaikan dirinya dengan pintu masuknya. Dengan satu gerakan halus, dia masuk, dan mengisinya sepenuhnya. Jisoo tersentak, matanya terpejam ketika dia merasakan ereksi Taeyong yang penuh meregangkan tubuhnya, menembus bagian terdalamnya.
Napas Jisoo tertahan saat dia merasakan ujung ereksi Taeyong menyentuh inti tubuhnya. Kuku-kukunya seketika mencengkeram lengan Taeyong ketika dia mulai bergerak. Gaya dorongan Taeyong lambat dan penuh hati-hati, setiap dorongan mencapai titik sempurna di dalam dirinya yang membuat jari-jarinya menggenggam erat dan napasnya tersangkut di tenggorokan. Air di bak beriak di sekitar mereka, menambah lapisan sensasi saat air itu membelai kulit mereka dengan setiap gerakan.
Taeyong mencondongkan tubuhnya untuk menangkap bibirnya dalam ciuman panas, lidahnya menyapu ke dalam mulut Jisoo saat dia meningkatkan tempo dorongannya. Jisoo merengek dalam ciuman, tubuhnya bergetar dengan upaya menahan klimaksnya. Namun itu sia-sia, kenikmatan itu terlalu intens, semakin membesar hingga dia tidak bisa lagi menahannya.
Suara jeritan tertahan keluar dari bibir Jisoo, menggema lembut di dalam kamar mandi yang remang. Puncak kenikmatan itu menghantamnya seperti ombak yang tak terbendung, membuat dinding tubuhnya mengejang erat di sekitar Taeyong. Gelombang demi gelombang ekstasi melintasi tubuhnya, membuatnya terengah dan kehilangan semua rasa kendali.
Taeyong dengan napas berat dan tatapan yang dipenuhi kelegaan merasakan detik-detik terakhir yang membawanya pada puncaknya sendiri. Tubuhnya bergetar, seolah seluruh emosinya terlepas dalam satu ledakan yang memenuhi ruang kecil itu dengan kehangatan. Dia menunduk sedikit, dahinya bersandar lembut di bahu Jisoo, merasakan denyut mereka yang berpadu sempurna.
Air di bak mandi beriak perlahan, menciptakan musik kecil yang harmonis dengan keheningan di antara napas mereka yang mulai mereda. Cahaya lampu memantulkan bayangan mereka di permukaan air yang tenang, seakan menegaskan keintiman yang baru saja terjalin. Udara di sekitar mereka terasa hangat, lembap, dengan aroma lavender dari busa sabun yang bercampur dengan jejak manis napas mereka.
Jisoo memejamkan mata dan membiarkan jarinya menelusuri perlahan punggung Taeyong, menciptakan lingkaran-lingkaran kecil di kulitnya. Sentuhan itu lembut, tapi penuh arti, sebuah pernyataan tanpa kata yang mengungkapkan segala rasa yang tak mampu dia ungkapkan. Taeyong membalas dengan menempelkan bibirnya di leher Jisoo, mengecup kulit lembutnya dengan sentuhan penuh cinta.
“Kau baik-baik saja?” bisiknya pelan, suaranya rendah hampir seperti gumaman.
Jisoo hanya mengangguk, tak sanggup menjawab dengan kata-kata. Hatinya penuh, begitu penuh hingga terasa seperti meluap, seolah saat ini adalah momen yang ingin dia simpan selamanya. Dia merasakan Taeyong mengeratkan pelukannya, bibirnya yang kini bergerak ke telinga Jisoo membisikkan kata-kata sayang yang membuatnya menggigil dengan emosi yang sulit dijelaskan.
Ada notif tak?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top