Chapter LII: Lust for life 3.0

Kamar mandi dipenuhi dengan suasana yang begitu tenang, seolah waktu berhenti di dalam ruangan itu. Sinar hangat dari satu lilin di sudut bak mandi menari lembut di dinding marmer yang berkilau, mewujudkan bayangan samar yang terus bergerak mengikuti irama kecil nyala api. Aroma lavender bercampur dengan uap air hangat yang melingkupi ruangan, memberikan perasaan nyaman dan menenangkan. Suara gemericik air yang menetes pelan dari keran menambah harmoni keheningan, seperti sebuah melodi yang berulang-ulang tanpa akhir.

Jisoo mengerjap perlahan, kesadarannya kembali seiring dengan tubuhnya yang mulai terasa kaku setelah terlalu lama berendam. Matanya menatap sekeliling, mencoba memahami situasi, lalu dengan cepat wajahnya memucat saat dia menyadari sesuatu. Tadi dia sempat tertidur di dalam bak mandi.

“Ya Tuhan, apa yang kupikirkan sebenarnya?” Jisoo menggigit bibir bawahnya, hatinya dipenuhi dengan rasa malu sekaligus heran pada dirinya sendiri. Dia mulai menghitung dalam hati, berapa kali dia sudah tertidur hari ini? Belum lagi tadi sore di taman saat bersama Zaheer, lalu di ranjang, dan sekarang di dalam bak mandi. Perasaan gelisah itu menyeruak, membuatnya semakin menyadari bahwa belakangan ini tubuhnya terasa lebih lemah dari biasanya.

Dia memijat pelipisnya dengan lembut sambil memarahi dirinya sendiri dalam hati. Aku harus berhenti melakukan ini, gerutunya pelan, seperti memberikan peringatan pada dirinya. Ini sudah keterlaluan! Tapi perasaan kantuk yang datang tanpa diduga-duga terus menghantuinya, seolah menjadi bagian tak terhindarkan dari dirinya akhir-akhir ini.

Helaan napasnya terasa panjang ketika dia merilekskan tubuhnya yang tegang. Air hangat di dalam bak mandi perlahan menyelimuti tubuh rampingnya, membuatnya sedikit lebih nyaman meski rasa heran dan cemas tadi belum sepenuhnya hilang. Tubuhnya setengah terendam dalam air beruap, hanya bahunya yang sedikit mencuat ke atas permukaan. Rambutnya yang diikat mulai terasa lembap oleh uap yang memenuhi udara di sekitarnya.

Dengan gerakan pelan, Jisoo meraih botol busa mandi yang terletak di tepi bak. Tangannya yang basah dengan uap air hangat mulai menuangkan cairan bening itu ke dalam air. Cairan tersebut seketika berubah menjadi busa putih lembut yang meluas perlahan, memenuhi permukaan air dengan tekstur seperti awan yang terapung. Busa itu bergerak mengikuti riak kecil di air, menyentuh kulitnya seperti belaian halus.

Dia menghela napas panjang sekali lagi, membiarkan aroma lavender dari sabun itu menenangkan pikirannya. Dia kemudian meraih spons yang tergantung di sisi bak mandi, meneteskan sedikit sabun ke atasnya sebelum mulai menggosok bahunya. Sentuhan spons lembut di kulitnya memberikan sensasi relaksasi yang menyenangkan, seolah menghapus semua beban yang menempel di tubuhnya.

Saat dia hendak memindahkan spons ke dadanya, sudut matanya menangkap sesuatu—siluet seseorang. Matanya langsung terbuka lebar, tubuhnya menegang, dan dia menoleh cepat ke arah bayangan itu. Di sana di sudut kamar mandi, Taeyong duduk bersandar santai di sebuah kursi kecil, seperti sosok yang sama sekali tidak merasa bersalah.

Taeyong!” Tangannya refleks bergerak menutupi tubuhnya yang tenggelam di dalam air berbusa. Pipinya langsung memerah seperti kelopak mawar, mencerminkan rasa terkejut dan malu yang bercampur menjadi satu. Matanya yang melebar menatap tajam ke arah pria itu. “Apa yang kau lakukan di sini?!” serunya setengah marah, setengahnya lagi malu. “Dan sejak kapan kau ada di situ?”

Taeyong tidak langsung menjawab. Dia hanya diam menatapnya dengan sorot mata yang begitu dalam dan serius—tatapan yang mampu membuat jantung Jisoo berdegup kencang, seakan-akan ada gravitasi tersendiri di balik mata itu.

“Sejak kau tertidur,” jawabnya dengan suara rendah dan datar.

Jisoo terbelalak, mulutnya sedikit terbuka karena terkejut. “Lalu kenapa kau tidak mengatakan apa-apa saat aku terbangun?!” tanyanya lagi, nada frustrasi mulai terdengar jelas dalam suaranya.

Namun, Taeyong tidak langsung menanggapi. Dia hanya mengangkat bahunya dengan gerakan santai dan ekspresinya masih tak terbaca, seolah-olah situasi itu sama sekali tidak aneh baginya.

Jisoo memelototi Taeyong dengan tatapan setajam belati. Sorot matanya penuh dengan kemarahan bercampur rasa malu yang tidak bisa dia sembunyikan lagi. Bibirnya yang merah muda mengerucut kesal, sebuah tanda jelas bahwa dia berusaha keras menahan emosi yang terus membuncah di dalam dirinya. Uap hangat dari bak mandi mengambang di udara mewujudkan tirai tipis yang semakin menambah intensitas suasana. Sebagian wajah Jisoo tampak memerah, entah karena panasnya air atau karena emosi yang meluap.

“Apa kau tidak tahu kalau mengawasi seseorang yang sedang mandi itu tidak sopan?!” sergahnya dengan nada sedikit meninggi, mencoba menekan rasa malunya.

Namun, seperti biasanya, Taeyong tetap berdiri dengan tenang. Ekspresi wajahnya tidak berubah sedikit pun, bahkan terlihat terlalu santai untuk situasi seperti ini. Tatapannya tidak teralihkan, sorot matanya penuh dengan ketenangan yang membuat Jisoo semakin kesal. “Aku di sini untuk memastikan kau tidak tenggelam,” jawabnya.

Jisoo mengerutkan alisnya, semakin bingung dengan sikap santai pria di hadapannya. “Lalu kenapa kau tidak membangunkanku saja kalau kau begitu khawatir?” tanyanya dengan nada tajam, mencoba memaksa Taeyong untuk memberinya jawaban yang masuk akal.

Bukannya memberi penjelasan yang memuaskan, dia hanya mengangkat bahu dengan gerakan ringan, seperti itu bukanlah sesuatu yang perlu dibesar-besarkan. “Kau terlihat nyenyak. Aku tidak ingin mengganggumu,” ucapnya santai, tanpa sedikit pun rasa bersalah atau canggung dalam nadanya.

Jawaban itu membuat Jisoo semakin kesal. Dia mendengus kemudian mencipratkan air di bak mandi dengan tangannya, menyebabkan suara gemericik yang memecah keheningan ruangan.

“Kau sungguh, menyebalkan!” gumamnya pelan, tapi cukup keras untuk didengar oleh pria itu. Matanya menunduk, menatap air yang beriak di permukaan bak mandi mencoba menghindari tatapan pria itu yang selalu membuatnya merasa seperti tidak memiliki kendali dalam percakapan ini. Sambil menggigit bibirnya, dia memikirkan cara untuk mengusir Taeyong tanpa membuat situasi semakin canggung.

Untuk sesaat, keheningan melingkupi ruangan. Suara gemericik air dan aroma samar lavender menjadi satu-satunya hal yang mengisi udara, menciptakan suasana yang sebenarnya menenangkan—jika saja tidak ada kehadiran Taeyong yang mengintensifkan segala hal. Jisoo mengambil napas dalam-dalam mencoba menenangkan diri sebelum berbicara.

“Keluar!” perintahnya dengan suara lebih tegas. Sementara atensinya masih tertuju pada air di bak, tak berani menatap langsung ke arah Taeyong. “Aku bisa mandi sendiri. Kau tidak perlu di sini.”

Bukannya menurut, Taeyong malah berdiri dari kursinya dengan gerakan yang begitu tenang hampir seperti dia sudah memperhitungkan langkahnya. Tatapan matanya tetap mengunci Jisoo, sorotnya dingin dan mendalam, penuh otoritas yang membuat ruangan terasa lebih kecil dari seharusnya. Seolah dia adalah seseorang yang tidak pernah mendengar penolakan sepanjang hidupnya atau mungkin seseorang yang tidak peduli dengan itu.

Jisoo mulai merasa tidak nyaman. Ada sesuatu dalam cara Taeyong menatapnya dan cara dia bergerak tanpa tergesa-gesa membuat jantung Jisoo berdegup semakin cepat. Ketika dia mulai melangkah ke arah bak mandi, tubuh Jisoo otomatis menegang, kedua lengannya bergerak refleks untuk mendekap tubuhnya lebih erat.

“Taeyong,” panggilnya dengan suara bergetar. Matanya mencuri pandang ke arah pria itu, lalu buru-buru menunduk lagi, merasa tidak sanggup menghadapi tatapannya. “Apa—apa yang mau kau lakukan sekarang?” tanyanya dengan gugup.

Taeyong berhenti di tepi bak mandi. Tubuhnya yang tinggi menjulang seakan menutupi cahaya dari lilin-lilin kecil yang menerangi ruangan. Dia menatap Jisoo dengan tatapan yang sulit diartikan, bukan hanya dingin, tapi ada lapisan kehangatan samar yang membuat situasi ini semakin membingungkan baginya.

“Aku hanya memastikan kau aman dan tidak tenggelam di dalam bak mandi,” ujarnya sambil menyorot wajah Jisoo, lalu beralih ke permukaan air yang berkilauan dengan busa putih lembut.

Jisoo mengerutkan kening, lalu mendekap tubuhnya lebih erat dengan kedua tangan. Rasa malu dan kesal bercampur di dalam dirinya, membuat wajahnya memerah. “Kau sudah memastikan itu, kan? Kalau begitu, keluarlah!” katanya, mencoba terdengar tegas meskipun suaranya sedikit bergetar.

Lagi-lagi, dia tidak memberinya jawaban langsung. Dia hanya berdiri di sana, menatapnya dengan ekspresi yang tak mudah ditebak. Ketegangan di udara terasa semakin tebal, sementara uap hangat dari air mandi semakin mengaburkan siluet mereka berdua. Suara air yang menetes dari keran menjadi satu-satunya yang terdengar, mengisi keheningan yang terasa seperti sebuah perang tanpa kata-kata.

Jisoo menahan napas, berharap dia akan pergi. Namun, harapan itu pupus ketika tiba-tiba Taeyong membuka mulut dan mengatakan sesuatu yang membuatnya terperangah.

“Aku pikir aku akan bergabung denganmu,” katanya santai, seolah yang dia ucapkan adalah hal biasa.

Jisoo memandangnya dan matanya langsung melebar karena keterkejutan. “Bergabung? Tidak, kau tidak boleh melakukan itu!” serunya dengan nada tinggi, rasa gugup dan malu bercampur dalam suaranya. Tangannya refleks mencengkeram sisi bak lebih erat, tubuhnya semakin tenggelam ke dalam air busa seolah berharap dia bisa menghilang begitu saja.

Namun, bukannya mundur, Taeyong justru terkekeh kecil. Langkahnya tegas saat mendekat ke bak mandi dengan kepercayaan diri yang membuat jantung Jisoo semakin tak karuan. “Oh, ayolah, Jisoo. Ini bukan sesuatu yang baru bagi kita. Kita sudah pernah mandi bersama sebelumnya.”

Jisoo menelan ludah, mencoba mengumpulkan keberanian untuk membantah. “Itu .. itu berbeda! Aku tidak ... kau tidak bisa ...!” Suaranya tercekat, kehabisan kata-kata saat menyadari apa yang sedang dilakukan Taeyong.

Tanpa banyak bicara lagi, Taeyong mulai melepas pakaiannya. Gerakannya tenang dan tanpa keraguan sedikit pun, seperti seorang pria yang tahu betul bahwa dia memiliki kendali penuh atas situasi ini. Dia membuka kancing terlebih dahulu, melepas kemeja dengan mudah, lalu melemparkannya sembarangan ke lantai. Setelah itu, celananya menyusul, jatuh dengan suara lembut di atas ubin yang dingin, membuat suasana semakin mengintimidasi.

Jisoo tak bisa mengalihkan pandangannya meski rasa malu sudah membuat wajahnya semerah delima. Napasnya tertahan di tenggorokan saat menatap tubuh Taeyong yang kini hanya berbalut pakaian dalam hitam yang kontras dengan kulitnya. Tubuhnya seputih porselen namun kokoh dan terlihat kuat. Otot-ototnya tampak sempurna, tidak berlebihan, tapi cukup untuk menunjukkan kekuatan. Setiap gerakannya mengalir dengan kemegahan alami yang memancarkan aura percaya diri yang begitu memikat sekaligus menakutkan. Dia berdiri di sana bagai patung Yunani yang hidup, menguarkan kesadaran penuh akan efek kehadirannya.

Jisoo memalingkan muka dengan cepat. Menatap air di bak mandi yang bergemericik pelan, berharap itu bisa mengalihkan pikirannya. Tapi bayangan tubuh Taeyong yang terekam jelas di benaknya tak mau menghilang. Sosoknya dengan garis otot sempurna dan aura percaya diri begitu dominan, terus terngiang dalam pikirannya. Jantungnya berdetak begitu keras hingga dia yakin bisa mendengar suaranya bergema di ruangan yang penuh uap panas ini. Wajahnya semakin memanas dan rasa malu bercampur dengan kemarahan membuatnya sulit berpikir jernih.

“Kau tidak bisa masuk ke sini!” serunya dengan panik, suaranya terdengar bergetar hampir memohon. Matanya tetap terarah ke air, berusaha keras untuk tidak melirik ke arahnya.

Namun, suara tawa rendah yang keluar dari mulut Taeyong membuat suasana semakin menegangkan. “Kenapa tidak? Ruangnya cukup luas, bukan?” jawabnya santai.

Mata Jisoo melebar saat mendengar suara kain yang jatuh ke lantai. “Taeyong, kau tidak ...!” Kata-katanya terputus ketika dia mencuri pandang ke arahnya dan mendapati bahwa Taeyong kini sudah benar-benar telanjang, tidak ada sehelai kain pun yang menutupi tubuhnya. Pemandangan itu membuatnya langsung memalingkan muka dan pipinya semakin merah padam. Napasnya tercekat, tidak percaya bahwa pria itu dengan santainya melangkah masuk ke dalam bak mandi tanpa mempedulikan protesnya.

Taeyong melangkah masuk dengan gerakan percaya diri, tubuhnya bergerak perlahan di antara lapisan busa yang menyelimuti permukaan air. Air di bak mandi seketika bergelombang, naik lebih tinggi akibat tubuhnya yang memenuhi ruang. “Jangan terlalu tegang,” katanya ringan sembari duduk di belakang Jisoo dengan posisi santai dan kakinya memeluk tubuhnya yang kecil dari belakang.

“Apa yang kau lakukan?!” Jisoo hampir berteriak panik, tapi suaranya melemah karena keintiman situasi ini. Tubuhnya langsung menegang seperti busur ditarik dan setiap otot terasa kaku. Dia bisa merasakan panas tubuh Taeyong yang begitu dekat, meresap ke dalam air, dan kehadirannya yang begitu mendominasi membuat Jisoo tak mampu berpikir jernih.

“Tenanglah.” Kedekatannya membuat Jisoo semakin gelisah. Tangan pria itu menyentuh bahunya, sentuhan itu kuat dan lembut, seolah mencoba menenangkannya. “Aku tidak akan menggigit,” tambahnya dengan lembut, sambil tersenyum samar namun tetap membawa kesan mendalam.

Jisoo menelan ludah, tubuhnya masih tegang. “Kau tidak seharusnya berada di sini,” gumamnya pelan, mencoba mempertahankan sedikit harga dirinya meskipun tahu bahwa Taeyong tidak akan mendengarkannya.

Taeyong hanya mendengus kecil sebagai respons, lalu tangannya mulai bergerak, memijat bahu Jisoo dengan pelan dan terampil. Sentuhan itu terasa aneh—terlalu intim untuk situasi yang tidak diinginkannya, tapi juga terlalu nyaman untuk diabaikan. Dia mencoba menggeser tubuhnya sedikit menjauh, tapi tangan Taeyong tetap pada posisinya, menahan bahunya dengan  tegas, seolah memberi pesan bahwa dia tak perlu takut.

“Tubuhmu tegang sekali,” komentarnya dengan jemari yang perlahan menekan titik-titik tertentu di bahu Jisoo, melepaskan ketegangan yang terasa seperti batu keras di bawah kulitnya. “Kau terlalu sering menyimpan semuanya sendiri. Belajarlah untuk rileks, Jisoo.”

Jisoo ingin melawan, ingin membalas, tapi kata-kata itu membuatnya terdiam. Sentuhan itu meskipun dia enggan mengakuinya, mulai membuat tubuhnya sedikit melembut. Panas tubuh Taeyong, uap dari air hangat, dan pijatan yang perlahan-lahan melonggarkan otot-ototnya menciptakan kombinasi yang sulit dilawan. Dia menggigit bibir bawahnya mencoba melawan perasaan yang mulai merasuk.

“Aku ... aku bisa melakukannya sendiri!” Dia tahu Taeyong mendengarnya, tapi pria itu tidak mau berhenti.

Taeyong mencondongkan tubuhnya sedikit lebih dekat, uap hangat yang melingkupi kamar mandi menyelimuti mereka seperti selimut tipis. “Kau terlalu keras pada dirimu sendiri.” Tangannya yang hangat kini bergerak ke sisi leher Jisoo, memijat area itu dengan sentuhan yang penuh perhatian. “Kadang, kau perlu membiarkan orang lain membantumu."

Suara Taeyong begitu dekat hingga napasnya menyapu kulitnya, membuat bulu kuduknya berdiri. Tubuh Jisoo menegang secara refleks, saraf-sarafnya seakan bersiap menghadapi sesuatu yang tak terduga. Meski kata-katanya terdengar lembut dan menenangkan, sensasi sentuhannya justru membuat dirinya semakin sulit untuk rileks. Setiap gerakan jemarinya terasa seperti aliran listrik yang menjalar melalui tubuhnya, membuat denyut di dadanya semakin keras.

Taeyong memiringkan kepalanya sedikit, suara air yang bergemericik menjadi latar belakang saat dia berbicara lagi. “Lebih baik?” tanyanya pelan, suaranya begitu intim hingga bibirnya nyaris menyentuh telinga Jisoo.

Jisoo menggigit bibir bawahnya, mencoba meredam gejolak di dadanya. Dia tidak bisa menjawab. Kata-kata seperti hilang dari pikirannya, hanya menyisakan rasa canggung yang bercampur dengan sesuatu yang lain, sesuatu yang dia takuti untuk diakui. Namun, tubuhnya merespons, sedikit melunak di bawah sentuhannya. Tapi dia tahu, menyerah pada momen ini hanya akan membuat semuanya semakin rumit.

Dia menahan napas saat jemari Taeyong mulai menelusuri garis lehernya, bergerak turun dengan kelembutan yang menyiksa hingga ke lengannya. Ketika tangan itu mencapai lekukan pinggangnya, dia berhenti sejenak. Jemarinya menyapu perlahan di atas kulitnya, seolah sedang memetakan setiap inci tubuhnya dengan kehati-hatian seorang seniman. Tubuh Jisoo menegang tanpa bisa dicegah, punggungnya melengkung seperti busur, tapi tak ada suara yang mampu lolos dari bibirnya yang setengah terbuka.

Taeyong menatapnya sekilas, seringai kecil bermain di bibirnya. “Lihat, tubuhmu kembali tegang lagi,” jemarinya berhenti di pinggang Jisoo sebelum kembali naik ke bahunya, “biarkan aku membantumu rileks.”

Jemarinya bergerak perlahan, memberikan pijatan ritmis yang membuat tubuh Jisoo terasa lebih ringan seiring waktu. Tekanan yang diberikannya begitu sempurna, tidak terlalu kuat, tapi cukup untuk melonggarkan simpul-simpul otot yang menegang selama berhari-hari.

Sebuah erangan pelan keluar dari bibir Jisoo tanpa bisa ditahan. Kepala Jisoo jatuh ke depan, napasnya sedikit berat saat merasakan ketegangan di leher dan bahunya perlahan memudar. Tubuhnya yang sebelumnya kaku, mulai melunak di bawah sentuhan Taeyong. Namun, setiap sentuhan jemari itu juga membawa sensasi lain yang membuatnya gugup—sebuah kesadaran bahwa pria ini benar-benar tahu bagaimana membuat tubuhnya menyerah.

Tangan Taeyong bergerak dengan ahli, menelusuri bahu dan punggung Jisoo. Jemarinya menekan titik-titik tertentu, membuat napas gadis itu tersengal saat dia menemukan simpul otot yang paling tegang. “Apakah rasanya enak?” tanyanya.

Jisoo tetap diam, hanya menggigit bibirnya untuk menahan rasa aneh yang merayap di dadanya. Dia tidak mau mengakui bahwa sentuhan itu terasa luar biasa. Tapi tubuhnya, yang secara naluriah merespons pijatan itu, justru mengatakan sebaliknya. Tangannya mencengkeram sisi bak mandi lebih erat, mencoba menemukan sesuatu untuk menahan diri.

Taeyong berhenti sejenak, mungkin untuk membaca reaksinya. Atensinya terkesan serius, seperti sedang mempertimbangkan sesuatu sebelum akhirnya melanjutkan. Kali ini jemarinya turun lebih rendah, menyusuri lekukan punggungnya hingga ke pinggang. Sentuhannya lambat, seakan disengaja untuk meneliti setiap inci kulitnya yang lembut.

Tubuh Jisoo kembali menegang lagi, tapi bukan karena ketegangan otot kali ini. Ada rasa lain, sebuah desakan aneh yang tak bisa dia kendalikan. Saat tangan Taeyong meluncur hingga ke punggung bawahnya, di mana air hangat menyentuh tepat di atas bokongnya, tubuhnya bergetar seketika melawan sensasi yang terus mengalir ke seluruh tubuhnya.

“Kau terlalu tegang, Jisoo,” gumamnya hampir seperti bisikan yang menyentuh kulitnya. Jemarinya menyapu lekukan pinggulnya, menyentuh kulitnya dengan lembut tapi penuh intensi, seperti mencoba memahami setiap batas yang tak terucap.

“Taeyong,” gumamnya akhirnya, suaranya nyaris tidak terdengar, lebih seperti desahan yang terjebak di tenggorokannya.

“Ada apa, hm?” Taeyong mencondongkan tubuh sedikit lebih dekat. “Apa kau menyukai ini?”

Sebelum Jisoo sempat menjawab, tangan Taeyong bergerak lebih jauh. Satu tangannya menyusuri lembut dari tulang selangka ke dada yang tersembunyi di bawah air, sementara yang lain terus menjelajah, menyusuri garis paha dengan ritme yang nyaris membuatnya gila. Ketika ibu jarinya melingkar perlahan di sekitar putingnya, tubuh Jisoo tersentak, melengkung dengan intensitas yang tak dapat dikendalikan. Sensasi itu bagaikan percikan api yang langsung menyulut kobaran liar dalam dirinya.

“Katakan padaku,” bisik Taeyong, napasnya hangat dan menggoda, nyaris seperti racun mabis yang meracuni pikirannya. “Kalau kau menginginkannya.”

Napas Jisoo tercekat dalam hentakan pendek saat jemari Taeyong melanjutkan eksplorasinya yang memabukkan. Air yang mulai mendingin justru membuat kontras sempurna dengan panas tubuh mereka yang semakin intens, menciptakan sensasi membingungkan sekaligus memancing desir halus di pembuluh darahnya. Satu per satu, simpul ketegangan di otot-ototnya meluruh di bawah sentuhan Taeyong yang terlatih, digantikan gelombang antisipasi yang menggeliat naik dari dasar perutnya. Dalam benaknya yang berkabut, emosi-emosi saling berkejaran, ada kenikmatan yang membakar, rasa ingin tahu yang menggoda, dan secercah keraguan yang masih menari di sudut pikirannya.

Jari-jari Taeyong menari di atas kulitnya, melukis pola-pola tak kasat mata di sepanjang sisi tubuhnya, dan mengelilingi bagian atas payudaranya sebelum turun perlahan menuju pusarnya. Setiap sentuhan terasa seperti api yang terkendali, tegas dan halus, setiap gerakan diukur dengan presisi untuk membangunkan setiap syaraf yang tertidur.

Jisoo membiarkan kelopak matanya menutup, menyerah pada gelombang sensasi yang menenggelamkannya dalam lautan kenikmatan. Tarikan napasnya terdengar berat, mencoba melawan gelombang hasrat yang terus menyerang tanpa ampun.

“Taeyong,” desahnya lirih, suaranya serak oleh hasrat yang tak terucap. “Apa yang sedang kau lakukan padaku?”

Taeyong yang duduk dekat di belakangnya, bergerak lebih dekat lagi sehingga kehangatan tubuhnya semakin terasa. Bibirnya menyentuh lembut telinga Jisoo, lalu dengan suara rendah yang sarat keintiman, dia mengatakan, “Hanya menjelajahi setiap inci dirimu, Jisoo.”

Kata-kata itu meluncur seperti gelombang lembut, tapi efeknya seperti petir yang menghantam punggung Jisoo dan membuat tubuhnya gemetar. Dia menundukkan kepalanya sedikit, memberikan lebih banyak ruang, meskipun pikirannya berteriak untuk berhenti. Mengapa aku tidak menolak? Mengapa tubuhku justru merespons?

Taeyong menangkap isyarat halus itu dan memanfaatkan momen. Bibirnya bergerak di sepanjang leher Jisoo, meninggalkan jejak ciuman lembut yang membuat napasnya tersengal. Lidahnya menyapu kulitnya dengan gerakan lembut, menciptakan sensasi panas dingin yang menggema di seluruh tubuh Jisoo.

Tangan Jisoo yang tadinya mengepal di sisi tubuhnya, akhirnya menyerah pada tarikan insting. Dia mengangkat tangannya ke belakang, jari-jarinya menyelip di antara helaian rambut Taeyong yang masih basah. Gerakan itu terasa seperti permohonan tanpa kata, sebuah isyarat penyerahan yang membuat Taeyong semakin mendekat.

Punggung Jisoo melengkung secara alami, tubuhnya bergerak mendekat tanpa dia sadari, menekan lebih erat ke arah Taeyong. Respons tubuhnya seolah memiliki kehendaknya sendiri, sementara pikirannya dipenuhi pergulatan. Aku seharusnya menjauh. Aku tidak boleh membiarkan ini terjadi. Tapi mengapa ini terasa begitu alami? Rasa malu yang membara menyelinap di benaknya, tapi dia tidak mampu menghentikan sensasi yang membanjiri dirinya.

Di belakangnya, Taeyong memperhatikan setiap reaksi dengan penuh perhatian. Bibirnya berhenti sejenak, memberikan ruang untuk senyum kecil yang bermain di wajahnya—senyum puas yang hanya muncul ketika dia tahu Jisoo perlahan menyerah pada momen ini. Dia tidak terburu-buru, membiarkan waktu seakan melambat, membiarkan detik-detik itu bergulir dalam kendalinya. Ciumannya kembali turun dengan lembut, seakan memberi jeda bagi mereka untuk merasakan setiap detik yang berlalu. Hembusan napas mereka yang berat berpadu dengan gemericik air, menciptakan melodi intim yang hanya mereka pahami.

Bak mandi itu cukup besar untuk dua orang, dengan tepi yang mengkilap dan air hangat yang dipenuhi aroma lavender. Namun, kedekatan tubuh mereka meniadakan ruang di antara mereka seketika dunia menyusut hanya untuk mereka berdua. Taeyong bergerak sedikit, menyesuaikan posisi tubuhnya di belakang Jisoo, sehingga dadanya menempel sempurna di punggungnya. Keberadaan Taeyong terasa begitu nyata, begitu dekat, hingga Jisoo hampir lupa bagaimana bernapas dengan tenang.

Taeyong melingkarkan satu lengannya di pinggang Jisoo, menariknya lebih dekat lagi dan menciptakan koneksi fisik yang membuat gadis itu kehilangan kendali atas tubuhnya. Tangan satunya, dengan gerakan pelan dan tegas, kembali menjelajah lebih jauh, menelusuri setiap lekuk tubuhnya yang gemetaran. Jisoo merasa seperti dirinya terbakar, kulitnya seperti merespons setiap sentuhan dengan kerentanan yang membuatnya nyaris kewalahan.

Ketika jemari Taeyong mencapai pahanya dan bergerak lebih dekat ke pusat sensitifnya, tubuh Jisoo semakin menegang. Rona merah di pipinya semakin terasa, seperti api yang membakar perlahan. Dia menggigit bibir bawahnya, berusaha menahan suara desahan yang nyaris lolos dari tenggorokannya. Namun, usahanya sia-sia. Sentuhan Taeyong begitu perhitungan, begitu intens, hingga tubuhnya mengkhianati dirinya sendiri.

Air di sekitar mereka bergelombang perlahan, memantulkan cahaya lilin yang berkerlip di dinding. Suara gemericiknya berpadu dengan hembusan napas mereka yang saling terputus-putus, menciptakan simfoni keintiman yang tak membutuhkan kata-kata. Ruangan itu terasa penuh oleh keheningan yang berbicara lebih dari apa pun.

“Tenanglah,” bisik Taeyong, suaranya rendah, dalam, dan menenangkan. “Biarkan dirimu lepas, Jisoo. Biarkan aku membantumu.”

Kata-katanya seperti mantra, bergaung di benaknya dan meluruhkan sedikit demi sedikit pertahanannya. Namun, di dalam hatinya, Jisoo masih bertanya-tanya, apakah benar dirinya mampu menahan badai perasaan yang kini meluap tak terkendali?

Hehehe doube update nih ✌🏻 dapat notif gak, sih? Soalnya di aku gak dapat sih, makanya ngepost di ig tadi 🫤

Bwt kalau subjudulnya udah LL, artinya .... 🙂‍↔️🙂‍↕️

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top