Chapter LI: War of heart 8.0

Jisoo terbangun dengan kepala yang terasa berat dan perasaan yang bercampur aduk. Cahaya lembut dari lampu meja di sudut kamar menciptakan bayangan yang melukis dinding-dinding megah dengan kilauan emas. Kamar itu begitu sunyi hingga dia bisa mendengar suara detak jarum jam yang tergantung di dinding seberang.  Dia mengedarkan pandangan ke sekitar, memastikan bahwa tidak ada orang lain di sana selain dirinya. Menyadari bahwa Taeyong mungkin sudah pergi, dia pun duduk di tepi ranjang, berniat untuk berdiri.

Namun, baru saja kakinya menyentuh lantai, tiba-tiba suara keras bergema, mengejutkannya.

“Apa yang kau lakukan?” seru suara itu dengan tegas.

Jisoo hampir melompat karena terkejut. Dengan gerakan refleks, dia menoleh ke sumber suara tersebut dan di sana, dari sudut ruangan yang remang-remang, Taeyong berdiri. Matanya menatapnya tajam dan cemas.

“Ta-Taeyong?” Dia benar-benar tidak menyangka pria itu ternyata masih ada di dalam kamar.

Sebelum Jisoo sempat mengatakan apa pun lagi, Taeyong sudah bergegas menghampirinya dengan langkah cepat, seolah-olah dia adalah sosok yang hendak jatuh dari tebing.

“Sudah kubilang, panggil aku kalau kau butuh sesuatu!” ujarnya dengan nada serius sambil meraih bahunya dan menuntunnya untuk duduk kembali ke tepi ranjang.

Jisoo masih linglung, pikirannya terasa kabur, seperti kabut tipis yang belum sepenuhnya hilang setelah bangun tidur. Dia mengerjapkan mata beberapa kali, memandang Taeyong dengan alis mengerut, merasa bingung sekaligus frustasi.

“Aku baru saja berdiri. Kenapa kau langsung marah-marah?” gumamnya sambil mengerutkan bibir, merasa tak nyaman dengan perlakuan berlebihan Taeyong.

Taeyong yang berdiri di hadapannya, menyilangkan tangan di dada. “Karena aku sudah melarangmu berjalan dengan kedua kakimu, apa kau lupa itu?”

Jisoo menatapnya tak percaya, mencoba mencerna maksud perkataannya. “Aku hanya ingin pergi ke kamar mandi. Apa itu juga dilarang?”

“Kalau kau butuh ke kamar mandi, panggil aku. Aku akan membawamu.”

Mendengar hal itu, Jisoo memutar matanya dengan gerakan jelas, seolah mengekspresikan rasa frustrasinya tanpa menahannya lagi. Dia memandangnya dengan tatapan tak percaya. “Ini sudah berlebihan, kau tahu?” tukasnya, mencoba mengendalikan amarah, tapi tetap sulit untuk menahan emosi yang membuncah. “Aku bukan anak kecil yang tidak bisa menjaga diri. Kau tidak perlu mengawasi setiap langkahku!”

“Tidak, Jisoo.” Suara Taeyong terdengar dingin, setiap kata seolah dipahat dengan presisi tajam. “Selama kondisimu belum sepenuhnya pulih, kau akan mengikuti peraturan ini. Aku tidak akan mengambil risiko yang bisa membahayakanmu.”

“Aku sudah merasa lebih baik!” Jisoo mengepalkan tangannya, perasaan frustrasi mulai menguasainya. “Aku bahkan sudah bisa berdiri sendiri tanpa merasa pusing.”

Taeyong menggeleng, tidak terpengaruh oleh argumennya. “Kondisimu yang lebih baik itu belum cukup,” katanya dengan sorot mata yang tajam. “Aku tahu apa yang terbaik untukmu sekarang.”

Jisoo menatapnya dengan perasaan bercampur antara ketidakberdayaan dan ketidakpercayaan. Matanya yang besar dan penuh emosi menatap langsung ke dalam mata Taeyong, mencoba mencari celah di balik keteguhannya. “Jadi kau yang tahu apa yang terbaik untukku? Apa kau tidak berpikir kalau aku juga bisa mengurus diriku sendiri?” Nada suaranya bergetar, bukan karena takut, tapi karena campuran rasa frustasi dan rasa ingin dimengerti.

Taeyong menghela napas panjang, suaranya terdengar berat, seperti menanggung sesuatu yang jauh lebih besar dari sekadar percakapan ini. Dia mengusap wajahnya dengan tangan, gerakan itu menunjukkan bahwa dia sedang berusaha keras menahan dirinya. “Jisoo,” katanya akhirnya, nadanya lebih tenang tapi masih tegas. “Ini bukan soal apa yang bisa atau tidak bisa kau lakukan. Ini soal kesehatanmu. Bagaimana kalau kau terjatuh terpleset ketika sedang berjalan atau bagaiamana kalau tiba-tiba ada tiga orang menyerangmu lagi seperti waktu itu?

“Kau mungkin berhasil bertahan, tapi aku tidak akan mengizinkan hal seperti itu terjadi lagi. Tidak selama aku masih bernapas,” lanjutnya demikian.

Perkataannya membuat Jisoo terdiam sejenak. Kata-kata itu menggantung di udara, membekas seperti dentuman yang nyaris tak terdengar, tapi menggema dalam pikirannya. Hatinya terenyuh mendengar ketulusan yang tersembunyi di balik ketegasan Taeyong, tapi di saat yang sama, dia merasa seperti terbelenggu. Perhatian Taeyong, meskipun tulus, terasa seperti dinding tinggi yang perlahan menutup kebebasannya.

Dengan helaan napas panjang, Jisoo mencoba menenangkan diri. “Taeyong, aku menghargai perhatianmu, sungguh. Tapi aku juga butuh ruang untuk bernapas,” katanya.

Taeyong menggerakkan kepalanya sedikit, menatap Jisoo dengan sorot mata yang lebih dalam dan tajam. Selama beberapa detik, keheningan melingkupi mereka berdua, hanya terdengar suara detak jam dinding yang menggema lembut di ruangan itu. Sorot matanya yang dingin perlahan melunak, tapi hanya sedikit. Dia lantas mendekat, berdiri hanya beberapa langkah dari Jisoo, dan mengulurkan tangan. Dengan gerakan lembut, dia menyentuh pipinya dan ibu jarinya perlahan mengusap kulitnya yang halus.

“Jika dengan mengawasi setiap langkahmu bisa menjagamu tetap aman, maka aku tidak peduli jika itu terasa berlebihan bagimu.” Matanya menatapnya dengan intensitas yang begitu dalam sehingga membuat Jisoo sulit bernapas. “Kesehatanmu adalah hal yang terpenting bagiku, Jisoo.”

Jisoo membeku di tempatnya. Sentuhan di pipinya terasa hangat, tetapi kata-kata Taeyong menekan dadanya dengan perasaan campur aduk. Dia ingin mengatakan sesuatu, ingin membantah atau setidaknya menjelaskan apa yang dia rasakan, tapi bibirnya terasa berat. Emosinya bercampur antara rasa hangat karena perhatian Taeyong begitu besar dan rasa frustrasi karena kebebasannya perlahan menghilang.

Dia menggigit bibir bawahnya, matanya berkaca-kaca saat menatap Taeyong. “Tapi aku tidak bisa hidup selamanya di bawah pengawasanmu, Taeyong,” katanya dengan suara pelan. “Suatu saat, aku harus bisa berdiri sendiri.”

“Aku tidak melarangmu untuk berdiri sendiri, Jisoo,” sahut Taeyong sambil menghela napas panjang. “Aku hanya melarangmu berjalan tanpa aku selama kau masih dalam kondisi lemah. Itu saja.”

Ruangan kembali tenggelam dalam keheningan. Suara detak jam dinding terdengar samar, beriringan dengan suara napas pelan dari mereka berdua. Sorot mata Taeyong tetap penuh ketegasan, seolah menolak untuk memberi ruang pada argumen lain, sementara Jisoo, dengan alis yang sedikit berkerut, memandangnya dengan campuran kebingungan, rasa frustrasi, dan secercah pengertian yang perlahan mulai muncul.

Akhirnya, dengan berat hati, Jisoo mengangguk kecil. Gesturnya terasa enggan, tapi cukup untuk menunjukkan bahwa dia menyerah, setidaknya untuk saat ini. “Baiklah,” katanya, suaranya terdengar lelah, seperti seorang tahanan yang setuju pada perjanjian yang tidak adil. “Aku akan menurut untuk saat ini. Tapi tolong, Taeyong, jangan perlakukan aku seperti tahanan.”

Senyum tipis muncul di bibir Taeyong meskipun masih ada bayangan kekhawatiran di wajahnya. “Aku tidak pernah berniat memperlakukanmu seperti tahanan,” ujarnya. “Aku hanya ingin kau baik-baik saja. Itu saja yang kuinginkan.”

Jisoo menunduk sembari menghela napas panjang. Kata-kata Taeyong membawa kehangatan kecil ke dalam hatinya, seakan sebuah jaring pelindung yang tak dia minta namun tak bisa dia tolak. Tapi di saat yang sama, dia tak bisa menghilangkan rasa terkurung yang terus menyelinap dalam pikirannya. Kebebasan yang dia dambakan terasa seperti mimpi yang perlahan menjauh, digantikan oleh dinding tak kasat mata yang dibangun oleh perhatian Taeyong.

Keheningan kembali melingkupi mereka namun kali ini terasa berbeda. Ada ketegangan halus menggantung di udara, seperti percakapan mereka belum benar-benar selesai. Jisoo masih tenggelam dalam pikirannya sendiri, mencoba memahami sikap Taeyong yang terasa membingungkan. Perasaan aneh terus menghantui hatinya, campuran rasa hangat karena perhatian pria itu dan rasa frustrasi karena kontrol yang terus-menerus.

Tiba-tiba suara Taeyong memecah keheningan, membuat Jisoo tersentak kecil. “Sebenarnya tadi kau mau ke mana?” Matanya yang tajam menyiratkan bahwa dia sudah memikirkan pertanyaan itu cukup lama sebelum mengucapkannya. “Dan kenapa tidak memanggilku kalau memang butuh sesuatu?”

Jisoo menatapnya sejenak, terkejut dengan pertanyaan tiba-tiba itu yang mengingatkan pada keinginannya saat terbangun tidur tadi. Dia terdiam beberapa saat, bibirnya terbuka seolah ingin mengatakan sesuatu, tapi dia masih mencari jawaban yang tepat. Kemudian dia mendesah pelan, menundukkan pandangannya ke lantai. “Aku ... aku hanya ingin ke kamar mandi,” katanya dengan suara nyaris berbisik. “Dan aku tidak memanggilmu karena aku pikir tidak ada siapa pun di kamar ini. Aku tidak tahu kalau kau masih di sini.”

“Ke kamar mandi?” Dia menyilangkan lengan di dada seraya menatapnya dengan intensitas yang membuat gadis itu semakin gugup. “Kau ingin ke kamar mandi?” ulangnya sekali lagi.

Jisoo menunduk, pandangannya terpaku pada lantai, seolah berusaha menghindari tatapan tajam itu. Rasanya seperti dia adalah seorang anak kecil yang ketahuan melakukan sesuatu yang salah. “Ya,” gumamnya pelan sambil melirik sekilas ke arah Taeyong, lalu kembali menunduk. “Aku ingin mandi.”

Taeyong tidak berkata apa-apa. Ekspresinya tetap tenang namun ada sesuatu dalam cara dia menatap Jisoo yang membuat gadis itu semakin gelisah. Kemudian dia melangkah mendekat dengan gerakan tegas, membuat Jisoo refleks bergerak ke belakang. Tapi sebelum dia sempat bereaksi lebih jauh, Taeyong sudah membungkuk, menyelipkan satu tangan di bawah lututnya dan satu lagi di punggungnya.

“Taeyong, tunggu! Apa yang kau—” protesnya terpotong saat tubuhnya terangkat dalam satu gerakan mulus. Jisoo tersentak, matanya membelalak kaget. Tubuhnya yang mungil terasa ringan di tangan Taeyong, seakan dia adalah boneka porselen yang rapuh. Debaran jantungnya tiba-tiba menjadi lebih keras, menciptakan gema yang memenuhi pikirannya.

“Taeyong, aku bisa jalan sendiri!” serunya setengah berbisik, berusaha mempertahankan sisa-sisa harga dirinya. Namun, protesnya hanya dibalas dengan tatapan dingin dan sedikit anggukan dari pria itu, seolah mengatakan bahwa apa yang dikatakannya sama sekali tidak relevan.

Langkah Taeyong tetap tegas, tanpa terganggu oleh aksi protesnya. Dia membawa gadis itu menuju kamar mandi dan aroma lembut lavender dari sabun mandi mulai memenuhi udara. Ruangan itu diterangi oleh cahaya hangat dari lampu gantung yang memantulkan kilau samar di atas lantai marmer yang dingin.

Sesampainya di kamar mandi, dia menurunkan Jisoo dengan hati-hati di atas sofa kecil yang ada di tengah ruangan. Tangannya terasa hangat di kulit Jisoo, bahkan setelah dia melepaskan genggamannya. Jisoo menggigit bibir bawahnya, perasaan campur aduk semakin saja memenuhi dadanya, antara kesal, malu, dan sesuatu yang tidak ingin dia akui lebih dari apa pun.

Sementara itu, Taeyong bergerak tanpa bicara, langsung menuju bak mandi. Dia membuka keran, membiarkan air hangat mengalir, dan uap tipis perlahan memenuhi udara. Lalu dengan gerakan penuh perhitungan, dia menuangkan sabun cair ke dalam air yang menciptakan gelembung-gelembung kecil yang tampak seperti awan di permukaan.

Jisoo memperhatikan semuanya dengan dahi mengerut, tak bisa menahan rasa bingung sekaligus frustrasi. “Apa yang kau lakukan?” tanyanya, merasa heran sekaligus tidak nyaman dengan semua perubahan pada sikapnya akhir-akhir ini. “Kau bisa memanggil pelayan untuk melakukan semua itu.”

Taeyong berhenti sejenak, menoleh ke arahnya dengan ekspresi datar yang sulit dimengerti. “Aku tidak perlu melibatkan orang lain selama aku bisa melakukannya sendiri,” katanya singkat sebelum kembali ke pekerjaannya tanpa menunggu responsnya.

Jisoo menggigit bibirnya, merasa aneh dengan perasaan yang berkecamuk di dalam hatinya. Ada sesuatu yang menggelitik benaknya, rasa canggung dan sedikit tidak nyaman. Pria di hadapannya ini terasa begitu asing, tapi sekaligus begitu dekat. Namun, di balik semua keraguan itu, dia merasakan kehangatan yang tak bisa dia sangkal, meskipun dalam hati, dia benci mengakuinya. Jisoo menatap punggung Taeyong yang membelakanginya, mencoba memahami lapisan emosi di balik sosok pria ini yang kini tampak serius dan fokus pada tugas kecil yang mungkin bagi orang lain tak berarti apa-apa.

“Aku tidak ingat kau seperti ini,” gumamnya dengan suara pelan namun penuh nada skeptis. “Apa kau benar-benar Taeyong yang kukenal?”

Taeyong yang dia kenal bukanlah seseorang yang akan repot-repot mempersiapkan air mandi untuk orang lain. Taeyong yang dia kenal adalah sosok yang dingin, licik, dan terkesan acuh tak acuh terhadap kebutuhan kecil seperti ini. Tapi pria yang berdiri di hadapannya saat ini tampak berbeda, seolah dia adalah seseorang dengan sisi yang tersembunyi, sisi yang tak pernah dia lihat sebelumnya.

Mendengar perkataannya, Taeyong berhenti sejenak lalu menatapnya mendalam. Bibirnya perlahan membentuk seringai kecil, senyum yang terlihat sedikit arogan namun ada kelembutan yang tak biasa terpancar di dalamnya. “Menurutmu?”tanyanya sambil mengangkat alis, seolah ingin tahu sejauh mana Jisoo berusaha memahami dirinya.

Jisoo hanya bisa menatap balik, mencoba mencari kepastian dalam mata pria itu. “Aku ... aku tidak tahu,” jawabnya, terdengar ragu. “Kau seperti orang yang berbeda.” Dalam hatinya, Jisoo berusaha mencerna perasaan itu, perasaan bahwa pria ini mungkin memiliki sisi yang tak pernah dia pahami sebelumnya.

Taeyong tertawa kecil, suaranya rendah dan terdengar penuh dengan nada menggoda. Suara tawanya seketika mengisi keheningan kamar mandi, menimbulkan getaran aneh di dada Jisoo yang tak bisa dia jelaskan. “Mungkin kau memang tidak pernah benar-benar mengenalku, Jisoo.” Ucapannya seolah-olah mengandung rahasia yang hanya diketahui oleh dirinya sendiri.

Pria itu lalu kembali menunduk, menuangkan cairan sabun ke dalam bak mandi. Aroma segar yang menguar dari busa-busa putih memenuhi ruangan menyebabkan suasana yang anehnya terasa menenangkan namun juga intens.

Jisoo terdiam, matanya terpaku pada gerakan Taeyong yang terlihat sangat telaten. Pria itu tidak hanya sekadar mengisi air, tapi juga memastikan semuanya sempurna. Setiap gerakannya seolah-olah penuh perhitungan, dilakukan dengan lembut dan hati-hati. Jisoo merasa bingung dengan kepribadian Taeyong yang kompleks—sosok yang sering terlihat dingin dan licik namun di satu sisi, dia mampu menunjukkan perhatian yang nyaris tak biasa.

“Lalu mana Taeyong yang sebenarnya?” Tanpa sadar suaranya mengalir begitu saja, mengungkapkan apa yang ada di pikirannya. “Yang kejam dan dingin atau yang perhatian dan ... seperti ini?”

“Mungkin keduanya,” jawabnya lalu menatapnya kembali dengan lekat. “Kau hanya melihat sisi yang ingin kau lihat. Yang kutunjukkan padamu, itu adalah pilihanmu untuk percaya atau tidak.”

Kata-kata itu menggema di kepala Jisoo, seperti riak kecil yang perlahan berubah menjadi ombak besar. Jisoo terdiam, menatap pria di depannya dengan bingung dan bimbang. Apa mungkin yang Taeyong katakan itu benar? Selama ini, Jisoo memang memandang Taeyong dengan kebencian yang mendalam, mengingat setiap hal yang telah pria itu lakukan padanya, yang tak akan pernah dia lupakan. Tapi jika jujur pada dirinya sendiri, bukankah ada sisi lain dari Taeyong yang mulai tampak sekarang? Sisi yang lebih lembut, lebih manusiawi, yang perlahan memecahkan tembok kebencian yang dia bangun selama ini?

Sementara Jisoo tenggelam dalam pikirannya, Taeyong melangkah mendekat, langkahnya tegap, tanpa ada kesan mengancam. Dia kemudian berjongkok di hadapannya hingga mereka berada pada jarak yang terlalu dekat. Mata hitam Taeyong menatapnya dengan intensitas yang tak biasa, lembut, tapi tetap membawa ketegasan yang membuat Jisoo sulit berpaling.

“Kau tidak perlu terlalu memikirkan siapa aku atau apa motifku, Jisoo.” Tangannya terangkat, menyentuh tangan Jisoo dengan lembut dan terasa kokoh, seperti penegasan atas ucapannya. “Yang perlu kau lakukan sekarang adalah menjaga kesehatanmu. Itu yang paling penting.”

Jisoo menelan ludah, rasa canggung membakar dadanya. Ada sesuatu dalam tatapan Taeyong yang membuatnya merasa rapuh. Dia ingin melawan, ingin menepis tangan pria itu, tapi tubuhnya terlalu lemah untuk membantah, dan yang lebih parah, hatinya juga tak benar-benar ingin melawan. Kata-kata Taeyong itu terasa tulus, walau Jisoo tahu dia seharusnya tetap curiga dan tak mudah percaya, tapi ada sisi dalam dirinya yang ingin mempercayai pria itu walaupun hanya untuk sesaat.

Suasana di kamar mandi terasa begitu kontras dengan apa yang Jisoo rasakan di dalam hatinya. Uap lembut dari air hangat memenuhi ruangan menyebabkan kabut tipis di sekitar mereka. Aroma sabun lavender yang halus melayang di udara, menciptakan atmosfer yang hampir terlalu menenangkan untuk situasi ini. Tapi bagi Jisoo, ketenangan itu hanya di permukaan. Di dalam, hatinya bergolak, antara rasa takut, ragu, dan entah bagaimana, perasaan hangat yang perlahan muncul dari cara Taeyong memperlakukannya.

“Airnya sudah siap,” ujar Taeyong dengan suara yang dalam dan tenang. Dia berdiri dan perlahan melepaskan genggamannya dari tangan Jisoo, ingin memberikan ruang bagi gadis itu untuk bersiap. Namun, bukannya merasa lebih nyaman, Jisoo justru merasakan ketegangan merayap di tubuhnya.

Udara kamar mandi terasa hangat oleh uap yang mengepul dari bak mandi, mengisi ruangan dengan aroma lavender yang lembut. Namun, meskipun suasana itu seharusnya menenangkan, tubuh Jisoo terasa kaku dan canggung. Pikirannya dipenuhi oleh kesadaran bahwa Taeyong kini melangkah pelan, memutari sofa tempatnya duduk. Setiap gerakannya terasa lambat dan perhitungan, seolah-olah dia sengaja memperpanjang momen itu untuk membuatnya salah tingkah.

Bahunya seketika terasa berat karena tahu bahwa pria itu kini berdiri tepat di belakangnya. Keberadaannya begitu dekat hingga Jisoo bisa merasakan kehangatan tubuhnya meskipun mereka tidak bersentuhan. Napasnya tertahan, jantungnya berdetak lebih cepat, dan dia menggenggam kain gaun tidurnya erat-erat, seakan itu satu-satunya cara untuk menjaga dirinya tetap tenang.

Tanpa mengatakan apa pun, dia mulai mengumpulkan rambut panjang Jisoo, mengangkatnya perlahan-lahan sebelum mulai mengikatnya dengan gerakan yang telaten dan terampil. Jemarinya bergerak dengan pasti, tidak ada keraguan atau kebingungan, seolah-olah dia sudah terbiasa melakukan ini. Jisoo tetap diam, tidak tahu bagaimana harus bereaksi, meskipun pikirannya dipenuhi berbagai pertanyaan. Sejak kapan dia bisa melakukan ini? pikirnya dengan bingung. Sosok pria di belakangnya tidak terlihat seperti seseorang yang memahami hal-hal sederhana seperti ini, apalagi melakukannya dengan keahlian yang nyaris sempurna.

Jisoo mungkin tidak mengetahui, tapi bagi Taeyong, mengikat rambut perempuan bukanlah hal baru. Dia sudah terbiasa sejak dulu, sejak dia harus merawat adik perempuannya, Sunhee, yang selalu memintanya untuk membantu mengikat rambutnya—dan bukan hanya Taeyong saja, kedua saudara laki-lakinya yang lain juga bisa melakukan ini. Ingatan itu masih terekam jelas di pikirannya dan meskipun sudah lama tak melakukannya, tapi keahliannya tidak pernah pudar.

“Kenapa kau tidak mengatakan apa pun?” Suara Taeyong memecah keheningan, tapi tidak ada nada bertanya dalam ucapannya. Hanya sebuah pengamatan sederhana.

Jisoo membuka mulutnya hendak menjawab, tapi tidak ada kata-kata yang keluar. Dia merasa bingung, salah tingkah, dan sedikit malu meskipun dia sendiri tidak tahu kenapa. “Aku tidak tahu harus berkata apa,” gumamnya akhirnya, hampir seperti bisikan.

Taeyong hanya terkekeh pelan, senyumnya samar. Dia mengencangkan ikatan rambut Jisoo satu kali terakhir sebelum akhirnya selesai. “Selesai,” katanya singkat, lalu melangkah ke depan, berdiri di hadapan Jisoo. Namun, bukannya memberikan waktu bagi Jisoo untuk mengambil alih, Taeyong kembali mendekat, tangannya terulur untuk membantu melepaskan gaun tidur gadis itu.

Jisoo langsung merasa wajahnya memanas. Dia tersentak dan dengan cepat menahan tangan Taeyong. Kedua pipinya kini berubah merah padam. “K-Kau tidak perlu melakukannya,” katanya terbata-bata, mencoba terdengar tegas, tapi suaranya justru terdengar gugup. “Aku bisa melakukannya sendiri.”

Taeyong berhenti sebentar dengan alis sedikit terangkat. Namun, bukannya mundur, dia malah tertawa kecil, suara tawanya rendah dan sedikit menggoda. “Kenapa kau masih saja malu?” tanyanya, menatap langsung ke mata gadis itu. “Bukankah beberapa hari ini aku yang selalu mengurusmu? Aku bahkan sudah melakukan lebih dari ini.”

Ucapan Taeyong membuat Jisoo semakin salah tingkah. Seakan-akan semua darah di tubuhnya mengalir deras ke wajahnya, memanaskan pipinya yang kini memerah seperti tomat matang. Dengan gerakan tergesa-gesa, dia berdiri, tubuhnya bergetar karena campuran rasa malu dan kesal. Dia menatapnya kesal, sementara tangannya merapat erat ke tubuhnya, menahan gaun tidurnya yang kini sudah setengah melorot dari bahunya.

“Itu karena kau memaksaku!” serunya dengan nada kesal bercampur malu, sementara matanya menatap Taeyong dengan penuh protes. “Kau tidak pernah memberi pilihan, kau selalu melakukannya tanpa peduli apakah aku suka atau tidak!”

Taeyong menatapnya tanpa terganggu sedikit pun oleh kemarahannya. Sebaliknya, bibirnya melengkung membentuk seringai kecil, seringai yang langsung mengingatkan Jisoo pada sosoknya dulu—sosok yang penuh dengan kesombongan dan kelicikan. Mata pria itu berkilat seperti seseorang yang tahu bahwa dia memegang seluruh kendali di ruangan ini, membuat Jisoo merasa semakin terpojok dan tidak berdaya.

“Oh, kau tidak menyukainya?” tanyanya dengan nada mengejek, nyaris seperti sedang menggoda seorang anak kecil yang keras kepala. Matanya menatapnya dengan geli dan seringainya makin melebar.

Jisoo tersentak, mulutnya terbuka sejenak, tapi tidak ada kata-kata yang keluar. Dia tidak tahu harus mengatakan apa untuk melawan pria ini. Lidahnya terasa kaku dan otaknya berputar-putar, mencoba mencari argumen yang cukup kuat untuk menghentikan Taeyong. Namun, sebelum dia bisa berkata apa-apa, pria itu melanjutkan, kali ini dengan suara yang lebih lembut.

“Tapi aku tidak pernah mendengar kau mengatakan bahwa kau benar-benar membencinya,” ucap Taeyong pelan, tatapan matanya melembut, tapi senyumnya tetap licik. “Kalau kau benar-benar keberatan, kau pasti sudah mengatakan sejak awal. Tapi kau tidak melakukannya, kan?”

Tidak!” seru Jisoo, suaranya meninggi, mencoba melawan perasaan aneh yang mulai menguasainya. “Aku sudah sering mengatakan kalau aku bisa melakukannya sendiri, tapi kau selalu saja—”

Kata-katanya terpotong tiba-tiba saat Taeyong melangkah lebih dekat, memutuskan jarak di antara mereka. Lalu tanpa peringatan, dia menangkup wajahnya dengan kedua tangan. Sentuhannya terasa hangat dan kuat, membuat tubuh Jisoo membeku seketika. Tatapan mata Taeyong yang gelap dan intens menembus ke dalam matanya, seolah mengunci semua kata yang ingin Jisoo keluarkan.

“Taeyong—” Tapi sebelum dia bisa melanjutkan, bibir Taeyong sudah menyentuh bibirnya. Ciuman itu lembut, perlahan-lahan, tapi sangat kuat kehadirannya, seperti badai yang tenang namun menghancurkan. Napas Jisoo tersangkut di tenggorokan dan tubuhnya terasa panas hingga ke ujung jari. Ciuman itu hanya berlangsung beberapa detik, tapi cukup untuk membuat dunia Jisoo terasa terhenti.

Ketika Taeyong perlahan menjauh, dia tetap menatap Jisoo dengan sorot mata penuh perhatian. Sorot mata itu berbicara lebih dari sekadar kata-kata, membuat Jisoo merasa kecil, rapuh, dan rentan di hadapannya. “Berhentilah protes,” ucapnya dengan suara rendah, diakhir dengan seringai tipis yang membuat wajah Jisoo semakin memanas.

Jisoo membuka mulut, ingin mengatakan sesuatu, tapi suaranya tertahan oleh kebingungan dan debaran jantungnya yang menggila. Sebelum dia sempat menguasai dirinya, Taeyong dengan lembut menyentuh tangan Jisoo yang masih memegangi gaun tidurnya dengan erat, seolah itu adalah satu-satunya perlindungan yang tersisa.

“Taeyong, aku ...,” Ucapan Jisoo tergagap, tapi suara itu terseret oleh desiran air di bak mandi dan napas mereka yang terdengar jelas di ruangan yang hening.

Taeyong tidak menjawab. Dalam gerakan perlahan tapi tegas, dia menurunkan tangan Jisoo yang menahan gaun itu dan membiarkan kain sutra tipis itu meluncur perlahan ke lantai dengan suara lembut hampir seperti desahan angin. Tubuh Jisoo menegang seketika, sementara wajahnya semakin memerah seperti api yang membakar habis segala protes yang ingin dia ucapkan.

Tatapan Taeyong tetap terfokus padanya, tapi tidak ada keinginan untuk mempermalukan. Sebaliknya, tatapan itu lebih kepada pengakuan, seolah mengingatkan Jisoo bahwa dia adalah sosok yang berharga, sosok yang akan dia lindungi bagaimanapun caranya. “Mandilah sebelum airnya dingin,” katanya pelan, suaranya kembali serius dan penuh perhatian yang tidak biasa dia tunjukkan secara terang-terangan.

Tanpa berkata apa-apa lagi, Taeyong kemudian berbalik, memberinya ruang dan privasi. Namun, sebelum dia benar-benar melangkah keluar dari kamar mandi, dia berhenti di ambang pintu. Dengan satu tangan yang bertumpu pada bingkai pintu, dia menoleh sedikit ke belakang, tatapan matanya teduh namun tetap tegas.

“Aku akan menunggu di luar,” ucapnya datar, tapi ada nada perhatian yang tak bisa disembunyikan dari suaranya. “Kalau kau butuh sesuatu, panggil aku.”

Jisoo tidak menjawab. Dia hanya berdiri mematung sambil menunduk untuk menyembunyikan wajahnya yang memerah dan tangannya yang gemetar, yang masih dia sembunyikan di balik tubuhnya. Dalam keheningan yang hanya diisi oleh suara gemericik air, Jisoo akhirnya melangkah menuju bak mandi, punggungnya terasa panas oleh kesadaran penuh bahwa Taeyong masih berada di ambang pintu, seolah enggan benar-benar pergi.

Ketika pintu akhirnya tertutup dengan bunyi lembut, Jisoo menghela napas panjang, sementara dadanya masih terasa sesak oleh kejadian sebelumnya. Dengan perlahan, dia melangkah masuk ke dalam bak mandi. Begitu air hangat menyentuh kulitnya, dia membiarkan tubuhnya tenggelam hingga pundaknya tertutup oleh air. Sensasi air yang lembut dan hangat mulai mengendurkan ketegangan yang selama ini menguasai tubuhnya. Namun, pikirannya justru semakin kacau.

Ciuman itu. Tatapan itu. Cara Taeyong menyentuhnya seolah-olah dia adalah sesuatu yang sangat rapuh dan berharga, membuat dadanya kembali terasa sesak. Jisoo menggigit bibir bawahnya, mencoba mengusir bayangan tersebut. Tapi percuma. Bibirnya masih terasa hangat, seolah sentuhan singkat itu masih melekat dan terus menghantui.

“Apa yang sebenarnya kulakukan di sini?” gumamnya pelan pada dirinya sendiri. Hatinya bergejolak, penuh dengan kebingungan, kemarahan yang tersisa, dan sesuatu yang lain—sesuatu yang hangat, tapi menakutkan. Perasaan itu membuatnya gelisah dan dia benci mengakuinya.

Air hangat melingkupi tubuhnya, memberikan sensasi nyaman yang bertolak belakang dengan pikirannya yang kacau. Uap lembut naik dari permukaan air, mengisi ruangan dengan aroma lavender yang samar-samar menenangkan. Dinding marmer kamar mandi memantulkan cahaya temaram dari lilin yang dinyalakan sebelumnya, menciptakan suasana yang hampir magis. Tapi bahkan keindahan dan ketenangan itu tidak cukup untuk mengalihkan pikirannya dari sosok Taeyong.

Jisoo menyandarkan kepalanya di tepi bak mandi, memejamkan mata, berusaha memusatkan pikirannya pada kehangatan air yang membelai kulitnya. Jari-jarinya perlahan bergerak di permukaan air, menciptakan riak-riak kecil yang tenang. Dia menarik napas panjang, menghirup aroma sabun dan lavender yang memenuhi udara, berharap itu bisa mengusir semua kegelisahan dalam dirinya.

Namun, bayangan ciuman singkat Taeyong tadi terus menghantui pikirannya. Pipinya semakin memanas saat mengingat bibirnya menyentuh bibir pria itu. Itu ciuman pertama mereka setelah semua kekacauan terjadi, setelah dia melarikan diri darinya. Sentuhan itu lembut, tapi penuh kendali, seperti caranya berbicara dan caranya memandangnya. Tanpa sadar, Jisoo menyentuh bibirnya sendiri dengan jari-jarinya, seolah ingin memastikan bahwa kejadian tadi benar-benar nyata.

Apa yang sedang kupikirkan? Jisoo menggeleng keras, mencoba membuang pikiran itu sejauh mungkin. Dia memukul ringan pipinya dengan kedua tangan, berusaha menenangkan debaran aneh di dadanya. Jangan berpikir yang tidak-tidak, Jisoo. Kau hanya terbawa suasana, itu saja.

Namun, usahanya untuk mengalihkan pikiran terasa sia-sia. Wajah Taeyong terus muncul di benaknya—tatapan tajamnya, senyuman tipisnya, dan ciuman singkat tadi yang telah meninggalkan jejak di hatinya. “Dia pasti melakukannya hanya untuk membuatku bingung,” gumamnya pelan, mencoba meyakinkan dirinya sendiri bahwa semua itu hanyalah bagian dari sifat dominan Taeyong. Tapi kenapa ada bagian kecil dalam dirinya yang merasa tenang, bahkan nyaman dengan kehadiran pria itu?

Jisoo mendesah panjang, lalu menenggelamkan tubuhnya lebih dalam ke dalam air hangat. Panas dari air itu perlahan meresap ke dalam kulitnya, melembutkan otot-ototnya yang kaku dan mengendurkan pikirannya yang kacau. Untuk pertama kalinya setelah beberapa hari terakhir, dia merasa benar-benar rileks.

Uap lembut yang memenuhi kamar mandi, suara gemericik air setiap kali dia menggerakkan tubuhnya sedikit, dan kehangatan yang menyelimuti tubuhnya membuat Jisoo merasa seperti berada di dunia lain. Dia memejamkan mata, membiarkan rasa nyaman itu menguasainya. Air hangat di sekelilingnya seolah memeluknya, membuatnya melupakan sejenak semua ketakutan dan keraguan yang menguasai hatinya.

Mungkin aku terlalu keras pada diriku sendiri, pikir Jisoo dalam hati. Saat ini, dia hanya ingin menikmati ketenangan kecil yang berhasil dia dapatkan. Bibirnya melengkung menjadi senyuman tipis dan tubuhnya terasa semakin ringan.

Namun, tanpa dia sadari, rasa nyaman itu perlahan berubah menjadi rasa kantuk. Matanya yang semula hanya terpejam untuk menikmati momen itu mulai terasa berat. Suhu air yang hangat dan aroma melati yang menenangkan membuat kesadarannya semakin memudar.

Jisoo berusaha melawan kantuknya, tetapi tubuhnya terlalu rileks untuk merespons. Dalam hitungan detik, dia akhirnya menyerah. Kepalanya perlahan bersandar di pinggir bak mandi dan napasnya menjadi teratur. Jisoo tenggelam dalam tidur yang tenang, tak menyadari bahwa di luar pintu kamar mandi, seseorang mungkin masih menunggu untuk memastikan keadaannya.

Kok subjudulnya gak diganti-ganti? Hmm ... soalnya jisoo masih berperang sama hatinya 🙂‍↔️🙂‍↕️

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top