Chapter L: War of heart 7.0

Siang itu seharusnya menjadi momen yang menyenangkan bagi Jisoo dan Zaheer. Mereka sudah sepakat untuk menghabiskan waktu bersama di taman belakang mansion, tepat di tepi Lotus Lake yang tenang. Suasana di taman begitu tenang dan damai, suara burung yang sesekali berkicau berpadu dengan gemerisik angin yang menggoyangkan dedaunan dan menciptakan harmoni yang menenangkan.

Namun, entah bagaimana, Jisoo malah ketiduran di bangku taman. Awalnya cuma ingin beristirahat sejenak, tapi udara terasa nyaman dan semilir angin yang menerpa wajahnya membuat kelopak matanya semakin berat. Sinar matahari yang hangat terasa seperti selimut lembut, meninabobokannya tanpa disadari. Saat dia terbangun, warna langit sudah mulai berubah, memperlihatkan semburat keemasan yang menyapu taman dengan cahaya hangat. Dia duduk tegak, mengucek matanya, lalu terkejut saat sadar telah melewatkan waktu yang dijanjikan dengan Zaheer.

Dia menoleh cepat, matanya mencari-cari sosok kecil di sekitar taman. Di tepi danau, tampak Zaheer sedang asyik bermain seorang diri. Anak itu tampak tenang, sesekali menggambar pola-pola kecil di pasir basah di tepi danau dengan ranting kayu. Ketika pandangannya bertemu dengan mata Jisoo yang baru terbangun, wajah anak laki-laki itu berubah cerah, dan dia langsung berlari kecil menghampirinya.

Mata Zaheer berbinar dan senyum polosnya tampak seperti matahari kecil yang menghangatkan hati Jisoo. Setibanya di hadapannya, anak itu bertanya dengan nada polos, “Apa kau tidur nyenyak, Kak?”

Pertanyaan itu membuat Jisoo terdiam sejenak, rasa bersalah mulai menyelinap di hatinya. Wajahnya terasa memanas karena malu, menyadari bahwa dia justru tertidur dan meninggalkan Zaheer bermain sendirian. Dia menunduk, mencari kata-kata, tapi tak bisa menyembunyikan rasa bersalah yang kini mengganjal di hatinya. Padahal hari ini dia berniat menghabiskan waktu bersama Zaheer, untuk mengusir kebosanan anak itu yang selama ini hanya berada di kamar. Tetapi kenyataannya, dia malah tertidur.

“Maaf, Zaheer,” ucapnya sambil tersenyum tipis dan menatap wajah anak laki-laki itu yang penuh kepolosan. “Aku benar-benar tak bermaksud ketiduran. Kau pasti bosan menungguku, ya?”

Zaheer menggeleng cepat, senyum manisnya tetap tersungging di wajahnya. “Tidak apa-apa, Kak. Aku senang melihat Kakak bisa istirahat dengan tenang. Aku tahu Kakak pasti lelah,” jawabnya dengan nada penuh pengertian, wajahnya yang cerah membuat Jisoo semakin tersentuh. Ada ketulusan dan kepedulian di balik kalimat sederhana itu, membuatnya merasa lebih dari sekadar seorang kakak bagi Zaheer.

“Kau benar-benar anak yang pengertian, Zaheer. Terima kasih sudah menungguku tanpa keluhan,” katanya, hatinya menghangat mendengar perhatian dari anak kecil di hadapannya. “Apa kau bosan, Zaheer?”

Zaheer tertawa kecil sambil duduk di bangku taman di sebelah Jisoo, kakinya yang kecil menggantung tanpa menyentuh tanah. Dia menatapnya dengan rasa hormat, seakan kehadiran Jisoo di sisinya adalah sesuatu yang sangat berharga. “Aku tidak bosan, Kak. Sekarang aku punya Kakak yang bisa kuajak bicara dan main bersama. Rasanya seperti mimpi,” ujarnya dengan mata berkilauan, memancarkan kebahagiaan yang tulus.

Jisoo terpaku sejenak, hatinya berdebar hangat mendengar kalimat sederhana dari Zaheer yang polos. Dia mengulurkan tangan, menyentuh bahu kecil anak itu dengan lembut. “Zaheer, aku juga senang kau ada di sini,” ucapnya, berusaha menahan emosi yang mendesak dalam dirinya. “Kau anak yang luar biasa, kau tahu itu?”

Zaheer tersenyum lebar, anggukan kepalanya penuh semangat, menunjukkan betapa anak itu menerima kasih sayang Jisoo sepenuhnya. Meski dia tahu Jisoo sempat melupakan janjinya, tidak ada sedikit pun kemarahan atau keluhan di wajahnya. Bahkan ketika mereka baru beberapa menit duduk bersama di taman, Jisoo tanpa sadar tertidur di kursi empuk yang memang Taeyong sediakan khusus untuknya. Zaheer tidak tega membangunkannya sehingga dia pun membiarkan Jisoo tertidur dan bermain seorang diri, sesekali memandang wajahnya yang damai.

Bukan pertama kalinya ini terjadi. Zaheer mengingat momen-momen saat Jisoo tiba-tiba ketiduran di tengah-tengah percakapan atau ketika mereka sedang mengobrol. Terkadang, dia bahkan tertidur di tengah senyuman dan Zaheer hanya tersenyum kecil sambil berbisik pada dirinya sendiri bahwa kakaknya ini memang sangat lelah.

Jisoo menatap Zaheer dengan lembut, lalu mengusap kepala anak itu, jemarinya menyusup lembut di antara helai rambutnya yang halus. Ada rasa bersalah yang tak kunjung hilang dari hatinya setiap kali menatap wajah polosnya. Anak itu tidak pernah sekalipun mengeluh, meskipun tahu dirinya telah beberapa kali melupakan janji untuk menemaninya bermain. “Maafkan Kakak, ya. Aku janji, aku akan lebih baik lagi. Lain kali, Kakak tidak akan ketiduran lagi,” ucapnya dengan senyum tipis yang mencoba menyembunyikan kegelisahannya.

Zaheer hanya mengangguk sambil tersenyum kecil, meskipun dalam hatinya, dia merasa sedikit tidak enak. Sebenarnya, dia tahu Jisoo ketiduran bukan karena malas menemaninya, tapi karena tubuhnya yang lemah setelah insiden di gang sempit waktu itu. Taeyong, si pemilik mansion yang dingin itu, bahkan pernah memperingatinya dengan suara rendah tapi tajam agar tidak merepotkan Jisoo. “Jangan buat dia kelelahan,” katanya dengan nada yang tajam. Zaheer merasa seperti sedang ditegur seorang penjaga raksasa setiap kali Taeyong berbicara dengannya.

Mata Zaheer perlahan beralih memandang taman yang indah di sekitarnya, seolah menenangkan perasaannya sendiri. Bunga-bunga bermekaran di sepanjang jalan setapak, harumnya samar-samar menyusup di udara. Rumput hijau yang lembut memeluk tanah di bawah kakinya dan pepohonan rindang memberikan kesejukan serta naungan dari cahaya matahari sore yang mulai meredup. Tak jauh dari mereka, tampak Lotus Lake yang berkilauan, airnya memantulkan semburat oranye dari matahari yang tenggelam di ufuk barat.

Tempat ini sungguh berbeda dari jalanan kumuh Tarrin yang kotor dan bising, tempat di mana dia dulu harus bersembunyi dari preman, tidur di lantai tanpa alas tidur, atau mengorek sisa-sisa makanan dari tempat sampah demi bertahan hidup. Di sini dia merasa seperti berada di dunia yang berbeda, tempat di mana dia bisa makan dengan kenyang, tidur di kasur empuk, dan merasa aman dari cuaca dan ancaman.

Namun, di balik kenyamanan mansion yang megah ini, ada satu hal yang membuat Zaheer selalu merasa cemas—Taeyong. Pria dewasa itu selalu terlihat dingin dan penuh kemarahan setiap kali berhadapan dengannya, seolah kehadiran Zaheer hanyalah beban tambahan yang tak diinginkan di rumah ini. Setiap kali Jisoo menyentuhnya dengan penuh kasih sayang atau memeluknya saat dia merasa takut, Zaheer bisa merasakan tatapan tajam Taeyong. Dalam hati kecilnya, dia tidak bisa mengabaikan perasaan takut itu. Bukan karena Taeyong pernah melakukan sesuatu padanya, tetapi lebih pada aura dingin dan sikapnya yang tak pernah bersahabat. Rasa itu seperti duri halus yang selalu tertanam dalam hatinya, tak terlihat namun menusuk setiap kali mereka berada di ruangan yang sama.

Zaheer memandang ke arah Jisoo yang duduk di sampingnya di tepi danau mansion, terbenam dalam ketenangan senja yang hangat. Angin lembut meniupkan harum pepohonan dan bunga-bunga di sekitar mereka, membuat daun-daun terbang dan menciptakan tarian cahaya di atas air danau yang tenang. Akhirnya, Zaheer memberanikan diri untuk membuka mulut, meski dengan suara pelan. Sambil memutar-mutar ujung pakaiannya, dia bertanya, “Hmm ... Kak, apa kita akan tinggal di sini selamanya?”

Pertanyaan itu membuat Jisoo tersentak sejenak. Dia menoleh, melihat Zaheer yang menatapnya penuh harap tapi juga ada sedikit keraguan di dalamnya. Senyum tipis mengembang di wajahnya. “Kita tidak bisa tinggal di sini selamanya, Zaheer,” jawabnya lembut sambil menatap ke dalam mata anak itu.

“Benarkah?” Mata Zaheer tampak berbinar walaupun ada sedikit rasa sayang yang terbersit di wajahnya.

Jisoo mengangguk, lalu mengalihkan pandangannya ke sekitar sebelum kembali ke danau. Dia memastikan tidak ada orang yang bisa mendengar mereka sebelum mencondongkan tubuhnya mendekat ke arah Zaheer. Dengan suara yang hampir berbisik, dia berkata, “Ini bukan rumah kita, Zaheer. Kita hanya di sini sementara. Saat kau sudah benar-benar sehat, kita akan pergi dari sini. Hanya kita berdua.”

Zaheer terdiam sejenak, memproses kata-kata itu dengan kening yang berkerut. “Hanya kita berdua?” bisiknya pelan, nada polos dan bingung terdengar jelas. “Apa Tuan Han tidak ikut bersama kita?”

“Shhh ...,” Jisoo menempatkan jari telunjuknya di bibir, isyarat agar Zaheer berbicara lebih pelan, “tidak, dia tidak akan ikut. Ini rumahnya. Tentu saja dia tidak akan pergi dari sini. Hanya kita yang akan pergi.”

Zaheer tidak begitu mengerti karena dalam benaknya, dia mengira Jisoo dan Taeyong adalah pasangan kekasih, dari cara mereka saling memandang dan juga karena perhatian Taeyong yang kadang-kadang tampak lembut meskipun tersembunyi di balik sikap dinginnya.

“Tapi janji ya, jangan katakan ini pada siapa pun, termasuk Taeyong. Kau mengerti?” lanjutnya dengan tegas namun lembut.

Zaheer mengangguk pelan meskipun dalam hatinya berbagai emosi bercampur aduk. Di satu sisi, dia merasa senang karena akan pergi bersama Jisoo, sosok yang dia anggap seperti kakaknya sendiri. Namun, ada bagian dari dirinya yang merasa berat untuk meninggalkan kenyamanan rumah besar ini. Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia merasakan ketenangan, kehangatan, dan makanan yang cukup tanpa harus mencuri atau melarikan diri dari siapa pun. Tetapi dia tetap mengangguk, memegang janji yang dia buat kepada Jisoo meskipun ada kecemasan yang menggelayut dalam benaknya

Jisoo menatap Zaheer yang masih tampak bingung. Dia mengulurkan tangan, menggenggam tangan kecilnya dengan lembut. “Kakak janji, kita akan mencari tempat yang nyaman dan aman. Mungkin tidak seperti ini, tapi kita akan punya tempat yang kita sebut rumah. Kau percaya padaku, kan?”

Zaheer menatapnta dengan mata penuh kepolosan dan kepercayaan, sebelum mengangguk. “Aku percaya, Kak.”

Matahari sore mulai menurunkan sinarnya keemasan yang lembut dan keduanya masih duduk di bangku taman, terbenam dalam percakapan hangat yang menenangkan hati. Angin sepoi-sepoi bertiup, membawa aroma segar dedaunan dan wangi air dari danau di depan mereka. Burung-burung berterbangan di atas danau, tampak seperti bayangan kecil melintasi langit yang mulai memerah. Suara tawa kecil Zaheer dan senyum lembut Jisoo bercampur dengan suasana alam yang syahdu, memberikan sejenak kedamaian yang jarang mereka rasakan.

Namun, suasana hangat itu mendadak terganggu saat suara langkah kaki terdengar mendekat. Taeyong muncul di antara barisan pohon di sisi taman dengan langkah tegap dan ekspresi tak terbaca di wajahnya. Pakaian yang dia kenakan tampak rapi dan elegan, kontras dengan suasana taman yang santai. Hanya dengan kemunculannya, Jisoo tahu bahwa waktunya bersama Zaheer sudah berakhir. Seperti yang selalu terjadi, Taeyong datang untuk menjemputnya saat dia merasa waktu bermain itu cukup. Dia berdalih bahwa kesehatannya masih belum pulih sepenuhnya.

Taeyong berjalan perlahan ke arahnya tanpa mengalihkan pandangan sedikit pun. Jisoo tahu apa yang akan terjadi, hanya bisa menarik napas dalam-dalam. Saat di depannya, Taeyong langsung membungkuk, mengangkat tubuhnya dengan gerakan lembut dan hati-hati, lalu menggendongnya di depan Zaheer dan beberapa pelayan yang berjaga di taman. Seketika Jisoo merasakan pipinya memanas karena malu walau ini bukan pertama kalinya Taeyong memperlakukannya seperti ini di depan orang lain.

Zaheer yang menyaksikan semua itu, menunduk dengan wajah cemas. Dia selalu merasa kecil dan takut setiap kali berada di dekat Taeyong. Sosok pria dewasa itu tampak terlalu besar, terlalu kuat, dan terlalu dingin baginya. Seolah-olah hanya dengan tatapan matanya, Taeyong bisa membuatnya merasa tak berdaya.

Taeyong menoleh ke arah Zaheer, menatapnya dengan tatapan tajam dan penuh perintah. “Kembalilah ke kamarmu. Kau bisa melakukannya sendiri, kan?” ucapnya dingin, nada suaranya tidak memberi ruang untuk pembantahan.

Zaheer terlonjak, matanya melebar sedikit sebelum buru-buru mengangguk. “Ya ... ya, Tuan,” jawabnya tergagap, suaranya lirih dan nyaris tak terdengar. Sebenarnya, dia ingin mengucapkan perpisahan pada Jisoo, tapi begitu bertemu mata tajam Taeyong, nyalinya seketika lenyap. Tanpa berani berkata apa-apa lagi, Zaheer berbalik dan langsung berlari terburu-buru.

Melihat punggung kecil Zaheer yang lari tergesa-gesa dengan langkah ketakutan, Jisoo menghela napas panjang. Rasa iba mencuat dalam hatinya. “Zaheer! Jangan berlari, hati-hati—!” serunya lembut, tapi Zaheer sudah menghilang di tikungan jalan setapak menuju mansion, sosoknya segera tertelan oleh bayang pepohonan dan redupnya senja.

Jisoo beralih menatap Taeyong dengan sorot tidak suka, matanya berbinar tajam menyoroti wajah pria itu. “Kenapa kau harus menakut-nakuti anak itu begitu? Dia baru saja mulai merasa nyaman di sini, tapi setiap kali kau muncul, dia selalu terlihat ketakutan,” protesnya.

Taeyong hanya mengangkat bahu, wajahnya tetap tenang tanpa tak terlihat ada penyesalan sedikit pun. “Aku hanya memastikan dia tahu tempatnya. Lagi pula, sebaiknya dia belajar untuk mandiri. Kehidupan di mansion ini tidak akan memberinya kenyamanan selamanya,”  jawabnya datar, seolah tidak ada yang salah dengan caranya memperlakukan Zaheer. Matanya mengarah ke arah pohon-pohon tinggi yang menjulang, tampak tak ingin memperpanjang topik pembicaraan ini.

“Kau tidak perlu bersikap sekaku itu, Taeyong,” balasnya sebelum mendesah pelan, mencoba menahan emosinya. “Zaheer hanyalah anak kecil. Dia butuh dukungan, bukan ketakutan.”

Taeyong mendengus pelan, lalu menatap Jisoo dengan mata yang sedikit menyipit. “Anak kecil atau bukan, dia harus belajar bertanggung jawab pada dirinya sendiri. Kau tidak akan selalu ada untuk melindunginya, Jisoo.”

Jisoo mengembuskan napas panjang, nada frustasi terpancar dari tatapan tajamnya. “Bahkan jika itu benar, kau bisa bersikap lebih lembut. Kau tahu dia merasa terintimidasi olehmu. Setiap kali kau datang, dia selalu merasa ketakutan.”

Namun, Taeyong hanya menatap balik tanpa ekspresi. Matanya dingin dan tak terbaca, seolah kata-kata Jisoo tak mengusik permukaan emosinya. Tapi jauh di dalam, ada kilatan samar yang tak dapat disembunyikan sepenuhnya, sebuah tanda bahwa perkataan Jisoo sebenarnya menembus perisai yang selalu dia pasang. Dia melanjutkan langkahnya menuju mansion sambil mendekap Jisoo dengan hati-hati di dalam gendongannya. Saat mereka berjalan dalam diam, suara langkah kaki Taeyong bergema pelan di sepanjang lorong.

“Aku tidak peduli apa yang dia rasakan. Selama kau tetap di sisiku, tidak ada hal lain yang lebih penting selain dirimu,” ucapnya demikian.

Jisoo terdiam, menahan diri agar tidak membalas kata-kata itu meskipun ada rasa tak nyaman yang meresap di dalam hatinya. Di satu sisi, ada sisi dirinya yang merasa terlindungi oleh perhatian Taeyong yang intens, tapi di sisi lain, dia merasa seperti seekor burung yang terkurung dalam sangkar emas. Matanya sekilas melirik ke arah lorong panjang yang kini kosong di belakang mereka, di mana sosok kecil Zaheer sudah menghilang di ujung koridor. Dalam hati, Jisoo berjanji akan tetap menjaga bocah itu, apa pun yang terjadi.

Dengan langkah tegap, Taeyong membawa Jisoo kembali ke kamar mereka. Meski di sepanjang perjalanan itu tak ada kata-kata yang terucap, kehadiran Taeyong begitu kuat untuk mengisi keheningan mansion yang kian pekat. Hawa dingin merayap di sepanjang lorong, menusuk kulit seperti embusan angin dari luar mansion. Namun, di sisi Jisoo, ada kehangatan samar yang berasal dari lengan kokoh Taeyong yang menopangnya. Perasaan itu menyelimuti dirinya, menciptakan ketenangan aneh, sebuah ironi karena di satu sisi, dia merasa dilindungi, tapi di sisi lain, perhatian Taeyong terasa seperti belenggu yang tak terlihat.

Sesampainya di kamar, Taeyong menurunkan Jisoo dengan perlahan di atas kasur besar berlapis seprai sutra yang terasa dingin dan lembut menyentuh kulitnya. Seprai berwarna krem itu tampak rapi dan beda dari seprai biasanya, seolah menanti untuk dijamah, menciptakan kontras dengan tubuhnya yang terasa lelah. Cahaya senja yang masuk dari balik tirai tipis jatuh melintasi ruangan, menyisakan semburat warna keemasan di dinding yang dihiasi ukiran kayu. Di tengah suasana hening ini, Taeyong bergerak dengan tegap menuju meja kecil di sisi tempat tidur, dan mengambil beberapa botol kecil yang tampak rapi berjajar di sana.

Suasana sunyi di ruangan itu hanya diiringi suara helaan napas mereka yang nyaris serempak. Taeyong, dengan konsentrasi penuh, menuangkan segelas air dan menyusun beberapa pil dan vitamin di atas telapak tangannya. Ekspresinya serius, seolah setiap gerakan kecilnya berarti mengisyaratkan tekad untuk memastikan Jisoo mendapatkan apa yang dia rasa perlu.

Jisoo menatap Taeyong dalam diam, perasaan bingung bercampur curiga memenuhi pikirannya. Tangannya meremas ujung seprai, sementara matanya terpaku pada botol-botol kecil yang Taeyong sodorkan kepadanya.  Sejenak, keheningan itu terasa begitu tebal hingga membuat Jisoo merasa terjebak di dalam pikirannya sendiri.

“Ini, minum dulu,” ujarnya sambil menyerahkan obat-obatan itu dengan sikap yang tegas.

Jisoo mengernyit, memandangi botol-botol kecil di tangan Taeyong dengan kebingungan yang semakin membuncah. “Kenapa aku harus minum obat sebanyak ini? Kondisiku sudah baik-baik saja, kan? Bahkan, aku merasa lebih sehat dari biasanya,” ujarnya dengan suara yang terdengar enggan.

Taeyong menatapnya sejenak, lalu menghela napas dan memasang ekspresi yang sulit ditebak. “Obat ini untuk memastikan kau benar-benar pulih, Jisoo. Aku tidak ingin ada risiko terhadap ... kondisimu.”

Kata-katanya membuat Jisoo tertegun. “Kondisiku?” Ulangnya dengan alis berkerut dalam, berusaha memahami makna di balik ucapan Taeyong. “Aku merasa sudah cukup sehat. Maksudku, memang masih ada rasa lelah, tapi tidak separah sebelumnya,” lanjutnya dengan nada ragu, mencoba mencari kejelasan di balik jawaban samar itu.

Wajah Taeyong tetap tak terbaca, tapi kemarahan itu jelas terlihat dalam sorot matanya. “Jangan membantah,” serunya dengan tegas, seolah sedang membujuk sekaligus memerintah. Taeyong menatapnya dengan mata yang seolah mengatakan bahwa dia menolak adanya diskusi lebih lanjut dan ingin mengakhiri setiap pertanyaan yang menggantung.

Namun, Jisoo tak mudah menyerah. Dia menggeleng perlahan, matanya tetap terpaku pada pil-pil itu dengan sorot skeptis yang semakin kuat.  “Aku tidak mengerti, Taeyong. Kau selalu mengawasi setiap gerakanku, mengatur waktuku, bahkan sekarang kau mengatur apa yang harus kumakan dan kuminum. Aku merasa seperti aku tidak punya kendali atas hidupku sendiri.”

Taeyong mengeraskan rahangnya, tampak tidak senang dengan kata-kata Jisoo. “Ini bukan soal kendali, Jisoo. Ini soal kesehatanmu. Aku tidak akan mengambil risiko apa pun.”

“Tapi aku bukan anak kecil yang tidak tahu apa yang kubutuhkan!” ujarnya dengan tangan mengepal di atas pangkuannya, frustasi mulai mengusainya. “Kalau memang ada sesuatu yang kau sembunyikan, lebih baik kau jujur daripada terus memaksaku begini.”

Taeyong terdiam, rahangnya mengencang, dan matanya beralih sejenak tampak ragu untuk merespons. Dia menarik napas panjang, menghembuskannya perlahan sebelum akhirnya berkata, “Percayalah, aku hanya ingin kau selalu sehat. Itu saja.”

Jisoo menatapnya, mencoba mencari kebenaran dalam matanya, tapi yang dia temukan hanyalah tembok yang tebal dan tak terbaca. Di matanya ada keingintahuan dan kekesalan yang bercampur menjadi satu, seperti gelombang yang saling beradu di dalam dadanya. Jawaban itu terlalu samar, terlalu banyak misteri untuk membuat hatinya merasa tenang.

“Kau membuatku bingung,” gumamnya dengan suara melembut. “Apa yang sebenarnya sedang kau sembunyikan? Kalau memang ada sesuatu yang penting, kau bisa memberitahuku, bukan hanya memaksaku minum tanpa penjelasan.”

Dia menatap Taeyong dengan sorot mata frustasi. Selama beberapa hari terakhir, Jisoo merasa bosan dan tertekan karena Taeyong terus-menerus mengatur hidupnya. Dia bukan hanya mengatur waktu makan dan minumnya, tetapi juga hal-hal kecil yang tampak konyol baginya, seperti melarangnya berjalan kaki. Bahkan, dia juga tak henti-hentinya mengatur obat yang harus diminumnya.

Jisoo tahu bahwa obat-obatan itu berasal dari Ronald, dokter yang merawatnya, tapi anehnya, setiap kali dia bertanya tentang kegunaan obat-obatan itu, tidak ada jawaban yang jelas. Baik Taeyong maupun Ronald, mereka selalu memberikan jawaban serupa bahwa semua ini demi kesehatannya. Namun, meski kondisinya sudah jauh membaik, Taeyong tetap bersikeras agar dia meminum obat-obat itu yang menurutnya tindakan ini sudah terlalu berlebihan.

Rasa jengkel memenuhi pikirannya. Selama ini, Jisoo mengenal Taeyong sebagai pria licik, manipulatif, dan tak kenal belas kasihan yang memperlakukannya seperti bagian dari permainannya. Namun anehnya, belakangan ini dia terlihat seperti orang berbeda. Dia tidak terlihat seperti sosok Taeyong Antoine Han lagi. Sosok yang dulu dengan licik menjebaknya dalam sangkar emas, bersama seorang wanita yang pernah Jisoo anggap sebagai penyelamat dan teman. Dia juga tidak terlihat seperti pria yang membuatnya jijik dengan permainan gilanya bersama teman-temannya, yang menggunakan seorang wanita sebagai “kelinci” buruan mereka. Bahkan bayangan Taeyong yang brutal dan menyeramkan saat menghajar orang lain dengan kejam seakan menghilang dari dirinya.

Pikirannya berputar, berusaha mencari celah untuk memahami perubahan ini. Mungkinkah Taeyong bermain dengan perannya lagi atau mungkinkah dia bukanlah Taeyong yang sama? Kadang-kadang Jisoo berpikir bahwa pria di depannya adalah sosok lain, seseorang yang asing, atau bagian dari rencana pria ini untuk membuatnya lengah. Meski ada saat-saat ketika sikap dingin dan kerasnya masih muncul, perubahan ini tetap menimbulkan keraguan dalam hatinya.

Taeyong yang sekarang tampak asing baginya. Pria ini sesekali menunjukkan perhatian yang terasa tulus, bahkan kelembutan yang benar-benar tidak sesuai dengan citra dinginnya. Dia tidak lagi memainkan peran si manipulator atau si pemangsa. Alih-alih dia bertingkah seakan perasaannya terhadap Jisoo adalah nyata. Sosok ini begitu kontras dengan pria yang dia kenal sebelumnya, yang membuatnya bertanya-tanya apakah ini hanyalah bagian dari permainan baru ataukah dia menghadapi seseorang yang benar-benar berbeda.

Jisoo pun sering terperangkap dalam pikiran yang membingungkannya. Bisa jadi Taeyong sekarang hanyalah bayangan lain dari dirinya yang selama ini tersembunyi, tapi mengapa baru sekarang muncul? Atau lebih buruk lagi, mungkinkah ini semua adalah tipu daya yang lain? Pertanyaan ini terus menghantuinya. Di mana sosok asli Taeyong Antoine Han yang selama ini dia kenal dan benci? Pria yang dulu sangat ingin dia singkirkan demi membalas kematian seorang teman, yang ternyata hanyalah salah satu bagian dari jebakan yang disusunnya dengan sempurna untuk menjeratnya dalam sangkar emas yang tak pernah dia inginkan.

“Jisoo,” panggilnya dengan lembut, seraya meraih wajahnya dan jari-jarinya menyentuh pipi Jisoo dengan penuh perhatian. “Jangan membebani dirimu dengan pikiran-pikiran itu,” lanjutnya, seolah bisa melihat kekhawatiran yang berputar-putar di dalam kepala Jisoo.

Jisoo terkesiap. Ada sesuatu yang aneh dalam tatapan dan sentuhan Taeyong kali ini. Kehangatan yang hampir tidak nyata, seakan-akan dia adalah orang lain. Jisoo mengerjap, mencoba mencari kekuatan untuk melawan kebingungan yang berkecamuk di hatinya. Dia menatap Taeyong dengan sorot mata penuh keraguan, berusaha mencari tanda-tanda pria kejam dan manipulatif yang dulu dia kenal. “Siapa kau?” tanyanya tanpa sadar.

Namun, sebelum pria itu bisa bereaksi, Jisoo buru-buru menggeleng, mengibaskan pikiran itu. “Lupakan yang kukatakan,” gumamnya cepat, mencoba menghapus kata-katanya sendiri. Dia memandang ke arah Taeyong dan melihat obat-obatan di tangannya. “Berikan obatnya. Aku akan meminumnya.”

Tanpa mengucapkan sepatah kata, Taeyong mengulurkan segelas air dan beberapa pil di telapak tangannya. Lalu menatap gadis iti dengan intens, mengawasi setiap gerakannya dengan cermat seakan memastikan bahwa Jisoo benar-benar menelan obat itu. Sorot matanya menyiratkan ketegasan, tapi ada kilasan kepedulian yang sulit diabaikan. Saat Jisoo meneguk air untuk menelan obat, Taeyong mengangguk pelan, dan ekspresinya berubah menjadi sedikit lebih tenang.

Setelah memastikan Jisoo meminum obat-obatan itu, Taeyong mengangguk puas. Dengan gerakan yang telaten, dia merapikan selimut, menutupi tubuh gadis itu dengan hati-hati, seolah berusaha melindunginya dari kekhawatiran yang menghantuinya.

“Istirahatlah. Kau butuh waktu untuk memulihkan diri,” katanya sambil tersenyum lebih lembut dari biasanya. Sinar matahari sore yang tersisa di luar jendela menambah kehangatan di kamar, menyinari sosok Taeyong yang berdiri di sisi ranjang. “Jika kau membutuhkan sesuatu, panggil saja. Aku akan tetap di sini.”

Jisoo hanya mengangguk lemah, tak punya energi lebih untuk berdebat atau bahkan membalas kata-katanya. Walaupun ada perasaan enggan di hati, dia menyadari bahwa melawan pria ini lagi hanya akan menguras tenaganya lebih dalam. Akhirnya, dia membiarkan Taeyong saat merapikan selimutnya dan untuk sesaat, walaupun tidak mengakuinya, dia merasakan secercah rasa nyaman yang mengisi ruang kosong dalam hatinya.

“Aku akan berada di sana, mengurus beberapa pekerjaan,” katanya sambil menunjuk ke sofa besar yang terletak di sudut kamar, tidak jauh dari ranjang tempat Jisoo berbaring. “Jika kau membutuhkan sesuatu, panggil saja. Aku tidak akan pergi ke mana-mana.”

Jisoo menatapnya dengan perasaan campur aduk. Dia hanya mengangguk pelan, memberi isyarat bahwa dia mengerti walau hatinya diliputi keraguan. Ketika Taeyong akhirnya beranjak ke sofa dan duduk, membenamkan diri dalam setumpuk dokumen, Jisoo berusaha untuk memejamkan mata. Namun, pikirannya terlalu ramai.

Dari posisinya di atas ranjang, dia bisa melihat Taeyong yang mulai fokus membaca dokumen-dokumen di atas meja. Ekspresi di wajahnya tampak serius dan penuh konsentrasi. Ketika pria itu menundukkan kepala sambil memegang pena dengan ketenangan yang memancarkan kewibawaan, cahaya matahari sore yang menerobos dari jendela besar di belakangnya menciptakan siluet tegas di sekitar tubuhnya sehingga menambah kesan serius dan tangguh pada sosoknya.

Ada sesuatu yang berbeda dari Taeyong saat ini. Pria yang selama ini Jisoo anggap sebagai musuh, sosok yang pantas untuk dibunuh, kini menampakkan sisi lain yang tidak pernah dia bayangkan akan ada. Di balik sikap dinginnya, di balik upaya Taeyong untuk mengurungnya dalam “sangkar emas”, ada sisi yang lebih tenang dan lebih manusiawi. Ketika Taeyong menulis, ada kelembutan dalam caranya merapikan dokumen-dokumen itu dan dalam setiap sentuhan tangannya di atas kertas. Sorot matanya, meski tajam, mengandung perhatian yang nyaris tulus setiap kali dia beralih memandang ke arahnya, seolah memastikan bahwa Jisoo baik-baik saja.

Jisoo merasakan jantungnya berdetak lebih cepat. Ada perasaan yang mulai tumbuh, perasaan yang sulit dia definisikan, sesuatu di antara ketakutan, kekaguman, dan kebingungan. Dia ingin membenci Taeyong, ingin terus mengingat alasan mengapa dia harus selalu waspada dan tidak ingin mempercayai pria ini. Tapi setiap kali dia mencoba mengarahkan pikirannya ke sana, ada sesuatu dalam dirinya yang menghalangi. Seperti sekarang, saat dia melihat sosok Taeyong yang tenggelam dalam pekerjaannya, ekspresi wajahnya yang serius itu terasa menenangkan sekaligus membuatnya ingin percaya bahwa mungkin, hanya mungkin, pria itu tidak sepenuhnya jahat.

Namun, seketika rasa takut kembali merayap di hatinya, seperti bayangan yang tak mau hilang. Bagaimana jika semua ini hanya bagian dari permainan? Bagaimana jika Taeyong hanya berpura-pura baik agar dia terjatuh, agar dia tunduk dan menyerahkan dirinya tanpa perlawanan? Jisoo tahu Taeyong adalah seorang manipulator ulung dan licik. Pria itu tahu betul bagaimana caranya bermain dengan perasaan seseorang, bagaimana caranya membuat orang merasa aman sebelum menjatuhkan mereka dalam jebakan. Rasa ragu dan ketidakpercayaan itu terus menggelayut di benaknya. Jisoo langsung memalingkan muka, mencoba mengusir perasaan hangat yang tanpa disadari mulai merayap di hatinya.

Tiba-tiba rasa kantuk menyerangnya dengan keras, membuat matanya terasa semakin berat. Dia menguap kecil sambil mengernyit bingung. Tubuhnya semakin mudah lelah akhir-akhir ini dan dia tak mengerti mengapa. Padahal, tadi dia sudah tidur cukup lama di taman ketika menemani Zaheer bermain, tapi kini kantuk itu datang lagi, menyeretnya untuk kembali terlelap. Jisoo merasa sedikit frustrasi. Dia ingin tetap terjaga, ingin mempertahankan kesadarannya, tapi rasa lelah itu terasa begitu mendalam, merayap pelan di seluruh tubuhnya hingga tak tertahankan lagi.

Perlahan Jisoo menyerah pada rasa kantuk yang semakin menekan. Dia melirik sekali lagi ke arah Taeyong yang masih tenggelam dalam berkas-berkas di tangannya sebelum jatuh terlelap. Ekspresi di wajah pria itu tampak begitu serius namun juga terkesan tenang dan lembut. Jisoo mencoba menyimpan gambaran itu di benaknya sebelum akhirnya menutup mata, membiarkan keheningan kamar menyelimutinya. Dalam hitungan detik, napasnya melambat dan raut lelahnya pun berganti dengan ketenangan dalam tidur.

Di sofa, Taeyong sesekali mengangkat pandangannya dari berkas-berkas di tangannya, memandang Jisoo yang kini terbaring lelap di ranjang. Bibirnya melengkung membentuk senyum tipis, senyum yang hanya muncul ketika dia tahu bahwa tak ada yang melihatnya. Ada sesuatu yang menghangat di dadanya setiap kali melihat wajah Jisoo yang tenang dalam tidur, perasaan lembut yang berusaha dia redam namun tetap muncul dan menolak untuk diabaikan.

Pelan-pelan Taeyong meletakkan pena di atas meja dan bangkit dari sofa, lalu melangkah mendekati tempat tidur Jisoo dengan langkah hati-hati. Berdiri di samping ranjangnya, dia mengamati wajah gadis itu yang terlihat begitu damai, alisnya yang biasanya sedikit berkerut kini melonggar dalam lelap. Dia menyingkirkan beberapa helaian rambut yang jatuh menutupi wajahnya, jari-jarinya menyentuh kulit Jisoo dengan sentuhan halus. Lalu dengan hati-hati, dia menarik selimut lebih tinggi, memastikan tubuh gadis itu tertutup dengan hangat.

“Tidurlah dengan tenang, Jisoo,” bisiknya nyaris tanpa suara.

Dalam keheningan kamar itu, Taeyong berdiri sejenak, hanya menatap Jisoo yang tertidur, seakan menegaskan pada dirinya sendiri bahwa dia akan melakukan apa pun untuk melindungi gadis ini, meski kadang caranya terasa keliru.

Aduhh, maaf ya dua hari gak update. Dua hari kemarin capek banget soalnya, jadi updatenya ketunda 🫠

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top