Chapter IX: Nona Baek
Jisoo tetap menunduk, menahan napas dalam-dalam saat kata-kata Taeyong terus menggema di telinganya. “Sepertinya kau membawa keberuntungan untuk ibuku, Nona Baek.” Kalimat itu terdengar biasa saja bagi orang lain, tapi baginya ada sesuatu yang terasa berbeda. Sesuatu yang dingin dan penuh perhitungan.
Angin siang yang sebelumnya terasa sejuk kini membawa hawa berat, seolah dunia ikut menahan napas bersamanya. Meskipun dia mencoba mengabaikan ketegangan yang terasa menyelimuti taman itu, dia tahu bahwa kehadiran Taeyong mengubah segalanya. Setiap gerakannya harus diperhitungkan dengan cermat karena sedikit kesalahan saja bisa berakibat fatal. Balas dendam mungkin terasa lebih jauh daripada yang sebelumnya dia bayangkan.
Di antara rasa takut dan kecemasan itu, Jisoo tidak bisa menyerah. Dia harus terus memainkan perannya dengan sempurna, menutupi identitas aslinya, dan menunggu momen yang tepat. Mata Taeyong masih mengamatinya, tapi dia tak bisa menunjukkan kelemahan. Dengan napas yang ditahan, dia memberanikan diri untuk bicara, mencoba menjaga ketenangannya.
“Terima kasih, Tuan. Saya senang bisa membantu Nyonya Laura.” Dia berusaha agar kalimatnya terdengar senormal mungkin meski hatinya berdegup lebih kencang dari biasanya.
Taeyong mengangguk kecil tanpa mengalihkan tatapannya dari Jisoo. “Kau terlihat sangat teliti dan penuh perhatian. Aku yakin Ibu dalam tangan yang baik.”
Kata-kata itu mungkin terdengar sederhana, tapi menebarkan ketegangan di udara. Jisoo tetap menunduk berusaha menenangkan pikirannya yang bergejolak. Apakah dia mencurigainya? Apakah Taeyong bisa melihat siapa dirinya sebenarnya? Itu mustahil, kan? Karena seingatnya dulu dia selalu berusaha menjadi tidak menonjol atau tidak menarik perhatian selama menemani Daisy bertemu Taeyong. Tapi sekarang di sini, dalam jarak yang begitu dekat, ada kemungkinan pria itu mulai menyadari sesuatu.
Saat percakapan antara Taeyong dan Nyonya Laura berlanjut, Jisoo berusaha keras mengalihkan pikirannya ke sesuatu yang lebih tenang. Taman di sekelilingnya tampak seperti tempat yang begitu damai dan sempurna, tapi bagi Jisoo, setiap sudut taman itu adalah potensi bahaya. Taman yang luas, jalan setapak yang tersembunyi, penjaga yang diam-diam mengawasi setiap gerakan, semua adalah bagian dari lingkungan yang harus dia kenali dengan baik.
Di satu sisi, taman ini bisa menjadi jebakan. Di sisi lain mungkin ada jalan keluar yang tersembunyi di balik keindahan ini. Saat dia berdiri di samping Nyonya Laura, otaknya tak pernah berhenti bekerja. Dia memindai setiap sudut taman, mencari kemungkinan jalur pelarian yang bisa digunakan jika segalanya tidak berjalan sesuai rencana.
Pandangan matanya terus menyapu area di sekitar paviliun. Patung-patung marmer yang berdiri di antara semak-semak berbunga tampak terlalu kokoh untuk tidak menyembunyikan sesuatu di baliknya. Jisoo mulai memperhatikan lorong-lorong kecil yang tersembunyi di antara pepohonan lebat di pinggiran taman. Apakah di balik lorong itu ada jalan menuju ruang bawah tanah atau pintu rahasia? Mungkin juga lorong itu bisa menjadi jalur pelarian cepat jika keadaan mendesak.
Gerbang kecil di sudut taman juga tampak menarik perhatiannya. Gerbang itu terlihat jarang digunakan, tapi dijaga oleh seorang pria berbadan besar. Di mana ada penjaga biasanya ada sesuatu yang layak dilindungi, pikir Jisoo. Dia mencatat letak gerbang itu dalam benaknya, berharap itu bisa menjadi salah satu titik penting dalam rencana pelariannya nanti jika situasi berbalik melawan dirinya.
Namun, semua itu hanya bisa terjadi jika dia berhasil menjalankan rencana balas dendamnya terlebih dahulu. Untuk saat ini dia harus tetap tenang dan waspada, menjaga agar dirinya tetap tersembunyi di balik peran seorang pelayan yang patuh.
Tapi ketenangan itu hampir terguncang saat Taeyong tiba-tiba berdiri dari kursinya, seolah-olah baru menyadari sesuatu yang sangat penting.
“Ibu,” suara pria itu penuh perhatian dan tajam, “aku punya kabar baik. Bisnis di luar kota berjalan lancar dan sepertinya kesepakatan baru yang kita buat akan membawa keuntungan besar untuk keluarga.”
Nyonya Laura tersenyum, jelas bangga dengan putranya. “Kau selalu membuatku bangga, Nak. Aku tahu kau selalu berhasil.”
Jisoo hanya bisa mendengarkan percakapan itu dengan tenang. Setiap kata yang diucapkan pria itu terasa seperti pengingat baginya bahwa dia sangat berbeda dari dirinya. Taeyong Antoine Han hidup dalam dunia penuh dengan kemewahan, tipu muslihat, dan kekuasaan. Dia adalah seseorang yang selalu memegang kendali atas situasi. Sementara itu, Jisoo berada di sini dengan satu tujuan: untuk menjatuhkannya.
Ketika percakapan antara ibu dan anak itu berlangsung, Jisoo mencuri beberapa pandangan ke arahnya. Dari jarak dekat, dia bisa melihat setiap detail wajah pria itu—matanya yang tajam, kulitnya yang sempurna tanpa cela, dan sikapnya yang selalu tegap. Pria itu memang menarik, tampak seperti pria yang mampu membuat siapa pun tunduk hanya dengan senyum kecil. Tetapi di balik semua itu Jisoo tahu bahwa dia adalah seseorang yang sangat berbahaya. Bukan karena kemampuannya dalam bertarung seperti saudaranya, tapi karena kemampuannya memanipulasi orang lain.
Ketika percakapan mereka selesai, Nyonya Laura menoleh kepada Jisoo dengan lembut. “Nona Baek, terima kasih sudah menemaniku hari ini. Kau bisa beristirahat sejenak.”
Jisoo mengangguk dengan hormat, lalu mulai berjalan mundur, siap untuk kembali ke tugas lainnya. Namun sebelum dia benar-benar pergi, dia merasa ada sesuatu yang menarik perhatiannya. Dia merasakan tatapan tajam Taeyong lagi dan saat dia berbalik sedikit, dia menemukan pria itu menatapnya lagi dengan intensitas yang tak terucapkan.
Jisoo menahan napas. Mata mereka bertemu sekali lagi dan kali ini, ada ketegangan yang sulit diabaikan. Mata Taeyong tampak dalam dan penuh perhitungan, seolah dia sedang mencoba membaca sesuatu yang tersembunyi di balik ekspresi datarnya. Hawa dingin tiba-tiba menyelimuti perutnya membuat Jisoo tak nyaman. Namun, dia tidak boleh menunjukkan kelemahan.
Untuk sesaat, dunia terasa berhenti. Apakah dia benar-benar mengenaliku? Apakah dia tahu siapa aku sebenarnya? Jisoo memutar otak mencari jawaban, tapi tak ada jawaban yang jelas. Hanya ketegangan yang semakin meningkat.
Kemudian seolah semua itu hanyalah bayang-bayang ketakutan Jisoo belaka, pria itu mengalihkan tatapannya kembali pada teh di depannya seolah tidak terjadi apa-apa.
Jisoo menelan ludah kemudian bergegas pergi, menjaga langkahnya agar tetap ringan dan tenang. Sementara di dalam hatinya, dia tahu perasaan itu tak bisa dibohongi. Ada sesuatu dalam cara Taeyong memandangnya. Sesuatu yang berbahaya.
Saat dia berbalik menuju mansion, jantungnya berdebar lebih cepat dari biasanya. Dia harus segera menyusun ulang rencananya. Ini lebih sulit dari yang dia bayangkan.
Jisoo berjalan menjauh dari paviliun, jantungnya masih berdebar kencang di dalam dada. Setiap langkah terasa seperti gumpalan kecil ketegangan yang menempel di kaki, membuatnya sulit untuk tetap tenang. Dia mencoba mengatur napasnya, tapi percakapan singkat tadi masih membayangi pikirannya. Tatapan Taeyong tajam dan penuh perhitungan seperti menembus setiap lapisan yang Jisoo coba sembunyikan dan itu masih terasa menusuk dari belakang.
“Apa dia mengenaliku?” pikirnya lagi, kepalanya penuh dengan kekhawatiran. “Tidak, itu tidak mungkin... aku selalu bersembunyi ketika Daisy bersamanya. Dia tak mungkin mengenaliku.”
Pikirannya terus menerka-nerka. “Apa mungkin dia mengenaliku di kereta itu? Tidak mungkin juga, kan?” Karena selama pertemuan tak disengaja itu, dia selalu menunduk dan menyembunyikan wajahnya di balik tundung.
Ini menyulitkannya ... semuanya.
Walau dia berusaha menenangkan diri, ketidakpastian itu terus berputar dalam benaknya. Mungkin tatapan itu hanya kebetulan, pikirnya berusaha menyikapi segalanya dengan positif. Mungkin Taeyong hanya mengamatinya seperti dia mengamati siapa pun di sekitarnya.
Saat dia berjalan menyusuri lorong besar mansion untuk kembali ke tugasnya, Jisoo terus memindai sekeliling untuk mengumpulkan informasi sebanyak mungkin. Kediaman Han adalah tempat yang penuh rahasia dan dia harus memanfaatkannya. Langit-langit tinggi dan dinding berlapis sutra yang mewah tampak seolah-olah mengamati setiap gerak-geriknya. Setiap jendela besar yang menghadap taman, setiap lorong dengan karpet tebal berwarna merah anggur, semuanya terlihat seperti perangkap yang tersembunyi.
Jisoo berbelok ke sebuah koridor yang lebih sepi. Di sinilah dia bisa bernapas sedikit lebih lega. Namun, rasa lega itu tidak bertahan lama. Setiap saat di rumah ini membuatnya semakin waspada dan di balik semua keindahan serta ketenangan ini ada sesuatu yang bersembunyi—seperti jebakan yang siap menjepit kapan saja.
“Tenang,” bisiknya kepada dirinya sendiri mencoba menenangkan kekhawatirannya. “Tidak ada yang tahu siapa kau. Kau hanya pelayan, bukan siapa-siapa.”
Namun, dia tidak bisa memungkiri bahwa keberadaan Taeyong semakin memperkeruh rencananya. Awalnya, Jisoo berpikir dia bisa menyelinap ke dalam kehidupan keluarga Han, mengamati dari kejauhan, dan mendekati pria itu perlahan-lahan tanpa menimbulkan kecurigaan. Tapi kini setiap tatapan, setiap percakapan terasa penuh dengan ancaman tersembunyi.
Jisoo berhenti sejenak di lorong yang sepi, membiarkan udara dingin dari jendela menyentuh wajahnya. Pikirannya berputar cepat mencoba menyusun ulang rencana. Dia harus menemukan cara untuk mendekati Taeyong tanpa terlalu cepat menarik perhatiannya. Saat ini dia belum cukup kuat untuk langsung bertindak. Dia butuh waktu lebih banyak, kesempatan untuk mempelajari seluk-beluk mansion, memahami siapa sekutu dan musuh di dalam rumah besar ini.
Penjaga-penjaga yang selalu ada di setiap sudut adalah ancaman besar lainnya. Setiap kali Jisoo berada di taman atau di dalam mansion, dia merasakan keberadaan mereka, seolah mereka tak pernah benar-benar mengalihkan pandangan dari dirinya. Meski Jisoo hanyalah pelayan, setiap langkahnya diawasi. Kediaman Han adalah tempat yang selalu penuh dengan mata-mata, baik dari dalam maupun luar. Jika dia membuat satu kesalahan, jika dia menunjukkan niat sebenarnya, mereka akan menemukannya sebelum dia sempat melarikan diri.
Pintu rahasia. Pikiran itu kembali menghantui benaknya. Jika Taeyong atau penjaga mulai mencurigainya, dia harus siap. Setiap mansion sebesar ini pasti memiliki lorong-lorong tersembunyi, tempat pelarian yang digunakan oleh para keluarga taipan untuk melindungi diri dari bahaya. Jika Jisoo bisa menemukannya, dia bisa memiliki jalan keluar ketika waktu untuk balas dendam tiba.
Namun, menemukan pintu rahasia bukanlah tugas yang mudah. Mansion Han dibangun seperti labirin dengan koridor panjang yang mengarah ke berbagai sayap rumah, ruang bawah tanah, dan ruangan tersembunyi lainnya. Jisoo tidak bisa bertanya secara langsung kepada siapa pun. Dia harus memanfaatkan setiap kesempatan saat dia sendirian atau ketika pengawasan sedikit lebih longgar.
Dia harus menemukan pintu itu, secepat mungkin!
━━━━━━ ◦ breaking her ◦ ━━━━━━
Selama beberapa pekan kemudian, Jisoo mulai merasa lebih nyaman dengan rutinitasnya. Hanya ada satu alasan mengapa pikirannya menjadi tenang. Taeyong. Semenjak pertemuan terakhirnya, mereka belum pernah bertemu lagi. Dia hanya mendengar cerita dari salah satu pelayan jika sang Tuan Muda Han memang sangat jarang tinggal di mansion. Pria itu selalu berpergian ke luar kota atau tinggal di salah satu hotelnya.
Ya, hotel pribadinya. Taeyong seorang taipan yang tidak kalah sukses dari Dabin Han, sudah pasti jelas pria itu memiliki hotel atas namanya sendiri. Bukan hanya putra sulung pasangan Dabin dan Laura, dia juga belum bertemu dengan kedua tuan muda lainnya, bahkan sang kepala keluarga sendiri dia belum pernah bertemu. Setahunya Dabin Han bersama putra keduanya, Noah Antoine Han, sedang melakukan perjalanan bisnis besar-besaran di Wilayah Barat di Ibukota Frostburgh, sedang putra ketiganya, Hwall Antoine Han, berada di akademi. Selain Taeyong Antoine Han yang hanya pernah bertemu dengannya sekali di mansion, Jisoo lebih sering bertemu dengan Sunhee Antoine Han, satu-satunya putri Dabin Han bersama Laura Antoine Han.
Sementara itu, setiap hari dia selalu menemani Nyonya Laura, membantu dengan kebutuhan kecilnya dari membawa teh hingga mendengarkan percakapan nyonya dengan tamu-tamunya atau bersama putrinya, Sunhee, yang baru berusia 13 tahun. Jisoo belajar lebih banyak tentang dinamika dalam rumah ini tentang para pelayan lain, penjaga, dan tentunya tentang Taeyong melalui orang-orang di sekitarnya yang mengenal baik pria itu.
Suatu sore ketika dia sedang membantu Nyonya Laura menyusun surat-suratnya di ruang tamu, pria itu tiba-tiba masuk tanpa peringatan. Wajahnya tampak lebih serius daripada biasanya dan kali ini, ada sesuatu yang berbeda dalam cara pria itu memandangnya. Tidak seperti ketika mereka bertemu pertama kali, ketika tatapannya hanya berisi kecurigaan atau perhitungan, kali ini ada sesuatu yang lebih intens dan lebih pribadi.
“Nona Baek, kau bisa membantu ibuku lagi nanti,” katanya dengan nada ringan, tapi mata itu tidak beralih darinya. “Sekarang aku ingin berbicara dengan Ibu secara pribadi.”
Jisoo berpikir pria itu tidak akan kembali sampai akhir pekan, tapi dia pulang lebih cepat dari perkiraannya. Saat Taeyong memintanya meninggalkan ruang tamu, Jisoo merasakan kelegaan sementara. Dia butuh waktu untuk meredakan ketegangan dalam dirinya, untuk menjauh dari tatapan tajam pria itu yang selalu terasa menggali sesuatu dari dalam dirinya.
“Tentu, Tuan,” jawabnya dengan anggukan cepat dan menunduk hormat sebelum berbalik untuk meninggalkan ruangan. Langkah-langkahnya terasa ringan meskipun jantungnya berdetak kencang. Dia harus keluar dari sini.
Namun, tepat saat Jisoo hampir melewati Taeyong, yang masih berdiri dengan sikap santai, tiba-tiba sebuah suara menghentikan langkahnya.
“Nona Baek.” Suara Taeyong menggema dengan nada tenang, tapi ada sesuatu di balik kata-katanya yang membuat Jisoo langsung terdiam di tempat.
Jisoo menoleh, ekspresi wajahnya berubah sedikit kaget. Dia menatap Taeyong dengan ragu, matanya berusaha tetap tenang meskipun dalam hatinya mulai muncul rasa cemas. Kenapa dia menghentikanku? Apa dia mencurigai sesuatu? Pikirannya berputar cepat mencoba mencari alasan logis untuk tindakan Taeyong.
“Ya, Tuan?” Suaranya mungkin terdengar agak tenang, padahal dia merasakan ketegangan merambat naik dari punggungnya.
Taeyong tidak langsung menjawab. Alih-alih pria itu menatap Jisoo dengan tajam, pandangannya begitu dalam seolah-olah ingin melihat lebih jauh ke dalam jiwanya. Mata hitam itu seperti elang yang memburu mangsanya, menelisik tanpa henti, membuat Jisoo semakin gugup. Ada sesuatu yang berbeda dari caranya menatap kali ini. Sesuatu yang lebih dalam, lebih berbahaya.
Jisoo menahan napas sejenak. Dia tidak mengatakan apa pun. Diamnya terasa seperti beban yang berat, menciptakan rasa panik yang semakin kuat dalam dirinya. Dia bertanya-tanya apakah pria itu sudah mulai menyadari siapa dirinya sebenarnya—atau setidaknya, bahwa dia bukan sekadar pelayan biasa.
“Tuan... apa Anda butuh sesuatu dari saya?” tanyanya dengan suara yang sedikit gemetar, berusaha keras untuk tetap terdengar tenang.
Taeyong masih tidak menjawab. Dia hanya menatap Jisoo, matanya yang tajam tak bergeming seolah sedang mempelajari setiap inci wajahnya. Ketegangan di antara mereka semakin terasa. Jisoo bisa merasakan keringat dingin mulai muncul di pelipisnya, padahal udara di sekitar mereka hangat dan sejuk oleh angin lembut yang berhembus di taman.
Tiba-tiba tanpa peringatan Taeyong mencondongkan tubuhnya sedikit ke arah Jisoo. Gerakannya begitu lembut, tapi penuh kontrol, membuat Jisoo tersentak mundur secara refleks. Namun, semakin Jisoo mencoba mundur, semakin Taeyong bergerak mendekat, langkahnya pelan dan penuh dengan intensitas. Jarak di antara mereka semakin tipis, sampai Jisoo bisa merasakan napas pria itu dekat di wajahnya.
Jisoo merasakan hawa dingin merayap ke punggung, membuat bulu kuduknya berdiri. Tatapan Taeyong menusuknya seperti bilah pedang, begitu tajam dan langsung ke inti dirinya. Seolah-olah pria itu ingin mengoyak topeng kebohongan yang selama ini dia pakai. Mata Taeyong berkilau seperti kaca hitam, memantulkan setiap keraguan yang Jisoo coba sembunyikan.
“Tuan... apa ada sesuatu?” Jisoo bertanya lagi, suaranya semakin kecil dan penuh dengan kegugupan. Jantungnya berdegup kencang, setiap detik berlalu terasa seperti jam. Apa yang sebenarnya Taeyong inginkan darinya? Kenapa pria itu tidak mengatakan apa pun?
Namun Taeyong tetap diam, hanya menatapnya tanpa kata-kata. Keheningan itu semakin menyesakkan. Jisoo bisa merasakan kegelisahan yang menjalari tubuhnya. Apakah pria ini tahu siapa dirinya? Apa dia sudah mengungkap rahasia yang selama ini dia sembunyikan dengan hati-hati?
Saat Jisoo hendak mengulangi pertanyaannya lagi, tiba-tiba, Taeyong mengulurkan tangan. Gerakannya cepat, tetapi tetap halus. Sebelum Jisoo bisa bereaksi, jari-jari pria itu menyentuh lembut pipinya, menyusuri kulitnya dengan gerakan yang begitu hati-hati, tapi penuh dengan maksud yang tidak terucap. Sentuhan itu membekukan Jisoo di tempat. Detik itu terasa sangat lambat, seperti dunia di sekitarnya berhenti bergerak.
Jisoo membelalak kaget, tubuhnya semakin waspada. Apa yang dia lakukan? Sentuhan itu tidak terasa seperti tindakan sederhana. Itu seperti sebuah permainan, seolah-olah Taeyong sedang menguji reaksinya. Jari-jarinya tetap berada di wajah Jisoo cukup lama, membuatnya merasa semakin terpojok. Kebingungan dan ketakutan memenuhi pikirannya, membuatnya sulit berpikir jernih.
“Tuan ....” Jisoo berusaha berkata, tapi suaranya tenggelam dalam kebingungan dan kepanikan. Apa yang harus kulakukan?
Taeyong tetap tidak mengatakan apa-apa. Dia hanya terus memandangi wajah Jisoo dari jarak yang begitu dekat, jarinya tetap di pipi gadis itu, menyusuri kulitnya dengan lembut dan menegangkan. Jisoo merasakan detak jantungnya semakin cepat. Rasanya seolah dia terperangkap dalam perangkap yang dipasang Taeyong tanpa tahu bagaimana cara melarikan diri.
Akhirnya setelah beberapa detik yang terasa seperti seabad, Taeyong menarik tangannya. Pria itu tersenyum tipis penuh dengan sesuatu yang sulit dijelaskan.
“Tidak ada apa-apa,” jawabnya akhirnya. “Aku hanya melihat ada sedikit kotoran di wajahmu.” Dia berkata sambil menyeringai tipis, seakan-akan baru saja memenangkan permainan rahasia yang hanya dia yang tahu aturannya.
Jisoo merasa semakin bingung. Kotoran? Selama ini dia berada dalam ketegangan karena... kotoran? Wajahnya memucat bukan hanya karena ketakutan, tapi juga karena ketidakpastian yang terus menghantuinya. Apakah benar hanya itu? Atau apakah pria ini hanya sedang mempermaikannya saja?
Taeyong melirik Jisoo sebentar lagi sebelum melangkah mundur, memberinya jarak yang cukup untuk bernapas lebih lega. “Kau bisa pergi sekarang,” ucapnya terkesan tak acuh.
Jisoo segera menunduk dalam-dalam merasa bahwa dia perlu melarikan diri dari situasi ini secepat mungkin. “Terima kasih, Tuan,” balasnya dengan suara yang terdengar hampir bergetar, lalu segera melangkah cepat meninggalkan ruang tamu dan tidak berani melihat ke belakang.
Saat Jisoo akhirnya berada jauh dari pandangan Taeyong, dia merasakan tubuhnya lemas, tapi dia tetap berusaha menjaga posturnya. Apa yang sebenarnya baru saja terjadi? Dia tidak bisa sepenuhnya mempercayai kata-kata Taeyong. Sentuhan itu ... tatapan itu ... ada lebih dari sekadar kotoran di wajahnya.
Tanpa sepengetahuan Jisoo, sekarang Taeyong tertawa pelan sambil menyeka ibu jarinya dengan lidahnya, menjilat perlahan seolah menikmati rasa yang baru saja dia ambil.
“Menarik,” gumamnya pelan, matanya berkilau penuh misteri. Nona Baek—atau siapa pun dia sebenarnya—mulai menarik perhatian Taeyong dengan cara yang berbeda. Dan dia selalu menyukai tantangan yang menarik.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top