Chapter III: Sang Penyelamat
Di kediaman Keluarga Kim, Jun dan Jae kembali dari misi mereka dengan membawa kabar buruk. Tentu saja, itu bukan kebenaran.
Mereka berdiri di aula besar mansion Keluarga Kim, di hadapan ayah mereka, Julien Kim, dan pelayan-pelayan setia yang selalu bersiaga di sekelilingnya. Wajah Julien Kim keras dan tegas seperti biasa, tapi ketika Jun mulai menceritakan apa yang terjadi pada misi di Desa Landow, mata Julien mulai berubah. Matanya menyipit dan garis wajahnya yang dingin menegang.
“Kami diserang oleh musuh yang tidak terduga,” ujar Jun mengarang cerita dengan ketenangan yang sempurna. “Jisoo terperangkap dalam serangan itu. Kami mencoba menyelamatkannya, tapi mereka membawa senjata mematikan. Kami terlambat. Dia... dia tewas dengan cara yang mengenaskan. Mayatnya rusak parah.”
Di sekeliling mereka, para pelayan yang mendengarkan tersentak ngeri. Salah satu dari mereka bahkan menutup mulutnya, mencoba menahan isak. Namun, ibunya yang sejak tadi diam, tiba-tiba menjerit keras.
“Tidak mungkin! Tidak mungkin!” Arin jatuh berlutut di lantai, tubuhnya gemetar, menangis histeris. “Tidak, Jisoo, putriku! Tidak mungkin dia pergi ...!”
Para pelayan segera datang dan mengangkat tubuh lemah sang nyonya rumah, membawanya ke kamar di bawah instruksi kepala keluarga. Julien Kim tetap diam, menatap kedua anak kembarnya dengan mata yang dingin. Dia tidak bergeming oleh tangisan istrinya dan jelas tidak sepenuhnya percaya dengan apa yang baru saja diceritakan oleh Jun dan Jae.
“Lalu, di mana mayatnya?” tanya Julien, suaranya berat dan mengintimidasi.
Jun mengangguk pada pelayan lain yang kemudian membawa sebuah tandu, di mana tubuh seorang wanita terbaring—wajahnya hancur tak bisa dikenali. Hanya potongan rambut hitam panjang yang mengingatkan Julien akan putrinya yang hilang.
Jun melanjutkan, “Kami membawa pulang tubuhnya, tapi keadaannya sangat mengenaskan, Ayah. Kami pikir lebih baik tidak menunjukkan wajahnya kepada ibu.”
Julien menatap mayat itu dengan tenang. Ada sesuatu yang tidak beres, tapi dia tahu tidak akan mendapat kebenaran hanya dengan menekan kedua anaknya di sini dan sekarang.
“Aku tidak tahu mana yang benar dari cerita kalian,” kata Julien dengan suara rendah, tatapannya tidak pernah lepas dari Jun dan Jae. “Tapi ketahuilah ini, jika aku menemukan kebenaran di balik kematian putriku, dan kebenaran itu melibatkan kalian berdua, aku tidak akan tinggal diam.”
Kata-kata itu menggantung di udara, berat, dan penuh ancaman. Jun dan Jae tetap berdiri tegak, tidak menunjukkan emosi, meskipun di dalam hati mereka ada sedikit kecemasan. Tapi mereka tersenyum samar di balik wajah dinginnya, menatap ayah mereka dengan penuh keyakinan.
“Tentu saja, Ayah,” jawab Jae akhirnya. “Kami akan selalu mendukung keluargamu.”
Setelah itu, Julien memberi isyarat pada pelayan untuk membawa tubuh “putrinya” ke pemakaman keluarga dan menyiapkan segala sesuatunya untuk upacara pemakaman. Saat para pelayan bergerak untuk mempersiapkan mayat palsu, Jun dan Jae saling menatap, senyum licik muncul di sudut bibir mereka. Mereka tahu bahwa sejauh ini rencana mereka berhasil, tapi mereka juga tahu bahwa selama mayat asli Jisoo belum ditemukan, bayangan ancaman akan terus mengintai mereka.
Yah, setidaknya untuk saat ini, mereka puas dengan apa yang telah mereka lakukan. Lagi pula kebohongan Jun dan Jae mulai berjalan sesuai rencana. Beberapa hari kemudian, pemakaman sederhana telah selesai dan tubuh “adiknya” telah dikuburkan di pemakaman keluarga.
Ibu mereka walaupun tampak hancur oleh kematian putrinya, perlahan mulai mereda setelah berhari-hari berkabung. Namun, ayah mereka, Julien Kim, tidak mudah diyakinkan. Dia adalah pria dengan insting yang kuat dan meski tidak secara langsung menuduh, kata-katanya terus membayangi Jun dan Jae.
“Aku tidak pernah melupakan apa yang terjadi pada Haerin,” ujar Julien pada mereka suatu malam setelah upacara pemakaman. Matanya yang dingin seperti menembus mereka berdua. “Jika kebenaran tentang kematian adik kalian ditemukan, aku akan pastikan siapa pun yang bertanggung jawab akan menanggung akibatnya.”
Setelah kata-kata itu diucapkan, Julien berbalik meninggalkan mereka dan di balik punggungnya, Jun dan Jae saling bertukar pandang. Mereka tahu bahwa ayah mereka mungkin tidak sepenuhnya percaya pada cerita mereka, tetapi selama tidak ada bukti kuat yang mengungkap kebohongannya, mereka aman.
Tapi mereka juga tahu bahwa selama mayat asli Jisoo belum ditemukan, maka ada risiko. Mereka harus terus berjaga-jaga, memastikan bahwa tidak ada celah yang bisa digunakan untuk membongkar kebohongan mereka.
“Ada baiknya kita melapor pada kakak tertua,” saran Jun mengingatkan Jae pada salah satu saudara mereka yang ikut terlibat dalam skema pembunuhan si bungsu.
Mereka sama-sama tidak menyukai si bungsu, hanya karena menjadi anggota keluarga terlemah yang harus dilindungi oleh orang tua mereka. Sebenarnya, mereka hanya cemburu melihat kasih sayang yang diberikan oleh ayah dan ibu mereka terhadap putri kecilnya—sesuatu yang jarang mereka dapatkan, yang menyebabkan mereka untuk mengkhianati adiknya sendiri. Apalagi belakangan ini, di kediaman senter terdengar berita bahwa si bungsu akan menjadi kepala keluarga berikutnya berkat kepala keluarga yang sangat menyayanginya sehingga memicu perdebatan sengit di antara para saudara Kim, yang tentu tidak akan pernah diketahui oleh Jisoo sendiri bahwa para saudaranya berpikir dia akan menjadi kepala keluarga. Bahkan, Jisoo sendiri tidak tahu-menahu bahwa beredar berita dirinya menjadi calon kepala keluarga.
Bagaimana jika Jisoo sebenarnya masih hidup? Pikiran itu terus mengusik ketenangan si kembar. Beberapa hari kemarin sebelum pulang ke kediaman, mereka tidak menemukan mayat adiknya di sepanjang air sungai mengalir sehingga mereka terpaksa membunuh perempuan acak di jalan, merusak wajahnya, lalu membawanya pulang sebagai bukti—palsu—mayat si bungsu.
Apa yang akan terjadi jika dia muncul suatu hari nanti dan mengungkap kebenaran? Mereka tahu, jika Jisoo masih hidup, mereka harus menemukannya sebelum orang lain melakukannya.
━━━━━━ ◦ breaking her ◦ ━━━━━━
Sementara di Desa Bellenau, Jisoo mulai beradaptasi dengan identitas barunya sebagai Jisoo Lyudmila Baek, bekerja sebagai pelayan pribadi dan teman sang Nona Muda Lavinia. Bersama Hilda dan Byeol, dia berusaha melupakan kehidupannya sebagai anggota Keluarga Kim, tapi bayangan masa lalu terus menghantuinya.
Pada malam-malam tertentu, Jisoo akan duduk di balkon kecil pondok menatap bintang-bintang di langit, bertanya-tanya tentang keluarganya—tentang apa yang terjadi di mansion setelah kematiannya. Meski dia telah melarikan diri, keluarganya tidak akan membiarkannya pergi begitu saja. Suatu saat mereka akan menyadari bahwa dia masih hidup. Dan saat itu tiba, Jisoo harus siap untuk menghadapi mereka.
Tapi untuk sekarang, dia berusaha menjalani kehidupan yang baru meski hatinya masih penuh dengan luka dan dendam yang belum terbalas. Dia tahu balas dendam adalah jalan yang berbahaya, tapi di dalam hatinya, keinginan untuk membalas dendam masih membara. Setiap kali dia mengingat wajah saudara kembarnya, Jun dan Jae, yang begitu dingin saat mereka menikam dan menembaknya tanpa ragu, kemarahan mulai membuncah.
Malam-malam di Desa Bellenau begitu sunyi dengan suara angin yang berhembus lembut di antara pepohonan. Desa kecil itu dikelilingi oleh hutan yang lebat dan sungai jernih yang mengalir deras, menciptakan suasana damai yang menenangkan pikiran. Jisoo terkadang terbuai oleh kesunyian ini, hampir lupa bahwa di balik kedamaian, ada kekacauan yang bersembunyi.
Dia duduk di atas dipan kecil di kamarnya yang sederhana, melihat bayang-bayang pohon yang berayun-ayun di luar jendela. Hilda dan Byeol sudah tidur, begitu pula Daisy. Sementara Jisoo tidak bisa tidur dengan tenang. Tubuhnya mulai sembuh, hanya jiwanya masih terguncang oleh pengkhianatan.
“Aku sudah mati di mata mereka,” gumamnya pada diri sendiri. “Mereka percaya bahwa aku telah tiada. Mereka pasti telah menguburkan mayat palsu.”
Dia menyakini bahwa Jun dan Jae pasti membawa pulang mayat palsu seorang perempuan sebagai penggantinya. Tidak mungkin si kembar pulang tanpa tangan kosong. Jika ayahnya tidak terlibat dalam skenario ini, dia pasti sangat marah saat melihat kedua putra kembarnya pulang dan tidak membawa mayat adiknya setelah membagikan berita kematiannya. Lalu ibunya ...
Ah, Ya Tuhan, Ibu ....
Bila sudah mencakup ibunya, dia tidak tahan lagi untuk tidak membayangkan betapa tersiksa ibunya saat mengetahui putrinya tewas—putri satu-satunya yang tersisa setelah Haerin tiada. Ibu pasti terluka ....
Sialan! Persetan dengan keluarga. Mereka telah mengkhianatinya dan dia tidak akan pernah memaafkannya.
Tapi benarkah mereka mempercayainya? Pikiran ini terus berputar di benaknya. Jisoo sangat mengetahui tentang keluarganya, terutama ayahnya yang tidak mudah ditipu. Julien Kim adalah pria yang penuh kecurigaan dan selalu memiliki mata-mata di mana-mana. Jika ayah mulai mencurigai bahwa mayat yang dikuburkan bukanlah dirinya, maka semua ini akan menjadi lebih buruk. Cepat atau lambat, Keluarga Kim akan menemukannya.
Di sisi lain, Jisoo merasa bertentangan dengan dirinya sendiri. Ada satu bagian dari dirinya yang ingin melupakan segalanya, hidup damai di desa ini bersama Daisy dan kedua pelayannya. Tapi ada bagian lain yang terus berbisik, mendesaknya untuk bertindak, untuk tidak membiarkan pengkhianatan Jun dan Jae tak terbalas. Setiap hari yang berlalu membuatnya semakin gelisah, semakin merindukan pembalasan.
Daisy sering mengajaknya berbicara di waktu-waktu senggang, berbagi cerita tentang kehidupan bangsawan di Selatan, jauh dari intrik politik dan pembunuhan yang menjadi keseharian di Timur. Daisy adalah jiwa yang bebas, penuh rasa ingin tahu, tapi dalam ketenangannya dia bisa merasakan kekuatan tersembunyi.
“Kau tidak perlu khawatir di sini, Jisoo,” kata Daisy suatu sore sambil memandang ke arah bukit-bukit hijau di kejauhan. “Tidak ada yang tahu siapa dirimu sebenarnya. Di sini kau bisa memulai hidup baru. Aku tidak tahu apa yang kau tinggalkan di belakang, tapi aku bisa melihat bahwa kau butuh tempat untuk bersembunyi dari semua itu.”
Jisoo tersenyum kecil, mencoba menyembunyikan kepedihan di balik matanya. “Kau benar. Aku memang butuh tempat bersembunyi. Tapi tidak selamanya aku bisa lari.”
“Tak perlu berpikir sejauh itu. Nikmati apa yang ada di hadapanmu dulu,” lanjutnya lagi, “tapi jika suatu hari kau memutuskan untuk bertindak, aku akan mendukungmu.”
Jisoo menatap Daisy, terkejut oleh kata-kata terakhirnya. “Maksudmu?”
Daisy tersenyum samar. “Aku tahu ada api di dalam dirimu. Aku tidak tahu apa yang terjadi padamu sebelum kau sampai di sungai hari itu, tapi aku tahu luka-luka di tubuhmu bukan hanya dari alam, melainkan dari manusia. Dan meski kau tidak mau mengatakannya, aku bisa melihatnya dalam tatapanmu. Kau tidak akan pernah bisa benar-benar damai sampai kau menghadapi apa pun yang mengejarmu.”
Kata-kata itu berputar dalam pikiran Jisoo selama berhari-hari. Daisy tidak tahu secara pasti apa yang terjadi, tapi dia bisa merasakan beban yang dibawanya. Namun, tetap saja dia tidak bisa menyampaikan kebenarannya terhadap Daisy meski mereka telah berhari-hari bersama sebagai seorang kawan. Apalagi semenjak dia mengetahui alasan di balik pengasingan sang putri Count ini.
Suatu hari saat mereka sedang duduk di taman menikmati angin sepoi-sepoi yang membawa aroma bunga, Jisoo memutuskan untuk mencari tahu identitas Daisy Lavinia, sang penyelamatnya. Dia hanya mengetahui secara luar bahwa Daisy adalah putri seorang bangsawan, tapi dia tidak mengetahui alasan gadis itu tinggal di Desa Bellenau alih-alih tinggal di Ibukota Tarrin. Ketika Daisy pergi ke dalam rumah, dia mendekati salah satu pelayan lama Daisy, seorang wanita tua bernama Hilda.
“Hilda,” panggilnya dengan suara rendah, memastikan Daisy tak mendengar. “Boleh aku bertanya sesuatu?”
Hilda, pelayan tua yang sudah lama mengabdi kepada putri Count Lavinia, menatapnya dengan tatapan penuh perhatian. “Tentu saja, apa yang ingin kau tahu?”
Jisoo ragu sejenak. Bagian dari dirinya merasa tidak pantas untuk bertanya, tapi rasa penasaran yang selama ini menggelayut di pikirannya akhirnya terucap. “Mengapa Daisy tinggal di Desa Bellenau? Bukankah dia berasal dari keluarga bangsawan?”
Hilda menghela napas panjang, matanya melihat ke arah rumah, seolah memastikan tidak ada yang mendengarkan pembicaraan mereka. Sebetulnya dia tidak ingin menceritakan persoalan ini. Raut wajahnya berubah, menunjukkan keengganan yang jelas untuk menjawab pertanyaan itu. Hilda terdiam sesaat, sedang mempertimbangkan apakah Jisoo layak mengetahui kebenarannya atau tidak.
“Ini bukan cerita yang mudah dibicarakan ....” Hilda akhirnya membuka suara, tapi nada suaranya rendah dan penuh kekhawatiran. Dia tampak berat hati untuk melanjutkan.
Jisoo yang semakin penasaran tak bisa menyerah begitu saja. Dia mendesak Hilda dengan sorot mata yang serius. “Tolong, Hilda. Aku mungkin orang baru di antara kalian, tapi aku janji tidak akan mengungkit kebenarannya di hadapan Daisy atau orang lain. Daisy telah menyelamatkanku, maka aku tidak akan pernah membiarkan apa pun atau siapa pun menyakitinya. Aku berhutang budi padanya.”
Di keluarganya, satu kebaikan minimal dibalas sepuluh kebaikan. Jisoo berhutang budi pada Daisy sehingga dia rela melakukan apa saja untuk membalas kebaikannya.
Hilda menatapnya dengan seksama, mempertimbangkan kata-katanya. Selama ini, Hilda selalu mengawasi Jisoo dengan teliti untuk memastikan bahwa gadis itu bukanlah seseorang yang sedang menyamar untuk mendekati majikannya demi tujuan jahat. Kemudian setelah beberapa minggu mengawasi, Hilda merasa yakin bahwa Jisoo Lyudmila Baek bukanlah orang jahat. Gadis itu memang tulus mengadikan dirinya sebagai teman Nona Daisy.
Akhirnya setelah menghela napas panjang dan berpikir lama, Hilda memutuskan bahwa dia berhak tahu. “Baiklah… tapi kau harus berjanji untuk merahasiakan ini,” katanya dengan suara tegas.
Dia mengangguk cepat, sedikit tak sabar.
“Alasan Nona Daisy dipaksa tinggal di Desa Bellenau oleh keluarganya adalah karena seorang pria bernama Taeyong Antoine Han,” ucap Hilda dengan nada getir.
Jisoo mengerutkan kening. Nama itu tak terdengar akrab di telinganya. “Taeyong? Siapa dia?”
“Taeyong Antoine Han ... mantan tunangan Nona Daisy.”
Dia terkejut, tak percaya. Daisy pernah bertunangan? Jisoo belum pernah mendengar tentang hal itu sebelumnya.
Hilda melihat kebingungan di wajahnya, jadi dia melanjutkan, “Tuan Muda Han adalah pria kaya raya, seorang taipan dari Ibukota Tirran, dan keluarganya merupakan mantan bangsawan sebelum masa revolusi. Keluarganya memiliki hubungan baik dengan orang tua Nona Daisy, lalu mereka memutuskan untuk menjodohkan putri mereka dengannya. Awalnya semuanya berjalan baik—Nona Daisy mencintai Tuan Muda Taeyong, sangat mencintainya. Mungkin sampai sekarang, setelah semua yang terjadi, dia masih menyimpan perasaan untuknya.”
Jisoo mendengarkan dengan saksama, merasakan sesuatu yang tak nyaman menjalar di dalam dadanya.
“Tapi dia bukanlah pria baik. Dia berengsek, licik, dan kejam. Pria itu mempermainkan Nona Daisy dengan memanipulasi cintanya. Dua bulan setelah pertunangan mereka, dia memberi Nona Daisy sebuah syarat yang kejam—dia berkata jika Nona benar-benar mencintainya dan ingin menjadi istrinya, dia harus membuktikan cintanya.”
Jisoo mengerutkan kening, merasa tak nyaman dengan arah pembicaraan ini. “Buktikan cintanya? Bagaimana?”
Hilda terdiam sesaat sebelum melanjutkan, suaranya bergetar karena marah. “Dia menyuruh Nona Daisy untuk tidur dengan seorang pelayan, seorang pengurus kuda di Mansion Han bernama Zane. Nona Daisy, tentu saja, awalnya menolak. Sebagai putri seorang Count, dia tahu itu adalah tindakan yang tidak terhormat. Tapi pria licik itu berkata jika Nona Daisy tidak mau, maka pertunangan mereka batal. Dia memberinya pilihan yang tak adil: membatalkan pertunangan atau melakukan apa yang dia perintahkan.”
Jisoo mengepalkan tangan, merasa marah mendengar hal itu. “Lalu ... apa yang dilakukan Daisy?”
“Nona Daisy begitu mencintai pria itu hingga dia setuju,” lanjut Hilda dengan suara yang terdengar penuh kepedihan. “Dia melakukan apa yang pria itu perintahkan. Malangnya, saat Nona tidur dengan Zane, dia kepergok oleh orang tuanya dan beberapa pelayan di rumah. Nona mencoba menjelaskan, tapi orang tuanya tidak percaya padanya. Mereka terkejut dan marah, melihat putri mereka melakukan sesuatu yang memalukan.”
“Itu bukan salah Daisy! Pria itu memanipulasinya!”
Hilda mengangguk, sorot matanya penuh kesedihan. “Betul, tapi gosip cepat menyebar. Segera setelah itu, beredar desas-desus bahwa Nona adalah wanita murahan yang suka tidur dengan pelayan muda yang tampan. Keluarganya merasa dipermalukan dan demi menjaga kehormatan mereka, Count dan Countess memutuskan untuk mengasingkan Nona Daisy ke desa ini. Mereka bahkan meminta maaf kepada Tuan Muda Taeyong atas tindakan putrinya dan memutuskan pertunangan mereka.”
Jisoo merasakan amarah yang mendidih di dalam dirinya. Taeyong Antoine Han, mantan tunangan Daisy, adalah dalang di balik semua penderitaan yang dialami penyelamatnya. Seorang pria yang kejam dan licik, yang menghancurkan hidup Daisy hanya untuk kesenangan dan kekuasaannya.
Hilda menatap Jisoo, melihat perubahan di wajahnya. “Aku tahu ini sulit diterima, tapi itulah kenyataannya. Nona Daisy sudah melalui banyak hal. Kau mungkin melihatnya tersenyum setiap hari, tapi ada luka yang dalam di balik semua itu.”
Setelah mendengar cerita itu, Jisoo merasa api kemarahan berkobar dalam dirinya. Bukan hanya rasa kasihan terhadap Daisy, tetapi juga kebencian yang mendalam terhadap Taeyong Antoine Han. Pria itu telah menghancurkan hidup seorang wanita baik, memanipulasi cintanya, dan membuatnya diasingkan dari keluarga serta hidupnya yang dulu.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top