Chapter II: Identitas dan Awal Baru

Air sungai yang dingin menusuk kulit Jisoo seperti ribuan jarum. Arus deras membawa tubuhnya terombang-ambing tanpa kendali. Dia tidak bisa merasakan apa pun selain rasa sakit yang menusuk di perutnya, tepat di tempat peluru Jae bersarang. Setiap tarikan napas terasa berat dan darah yang terus mengalir semakin membuat tubuhnya lemah.

Matanya perlahan mulai kabur. Air sungai yang gelap seperti merangkak ke dalam kesadarannya, menyeretnya lebih jauh ke dalam jurang kegelapan. Jisoo terombang-ambing antara hidup dan mati, pikirannya terus dihantui oleh bayangan saudara-saudaranya, terutama Jun dan Jae. Bagaimana bisa mereka mengkhianatinya? Bagaimana bisa keluarga yang telah melindunginya sepanjang hidupnya, yang selalu dia lihat sebagai pelindung sekarang berubah menjadi pembunuhnya?

Di tengah arus yang deras, ingatan masa kecilnya muncul berkelebat satu per satu. Ibunya dengan kelembutannya yang menenangkan, menyisir rambutnya di malam hari, membisikkan janji bahwa Jisoo tidak akan pernah merasakan kegelapan seperti yang dialami saudaranya. Ayahnya, meskipun dingin dan tegas, diam-diam melatihnya, memberinya kekuatan untuk setidaknya melindungi dirinya sendiri. Tapi semua itu kini terasa ilusi. Keluarganya, mereka semua—mereka pasti sudah lama merencanakan ini. Mereka memandangnya lemah dan bagi Keluarga Kim, kelemahan adalah dosa yang tidak bisa diampuni.

Sungai semakin deras. Tubuh Jisoo terbawa jauh, diputar, dan dihantam oleh bebatuan di bawah permukaan air. Darah yang mengalir dari lukanya mulai bercampur dengan air sungai, meninggalkan jejak merah yang samar di balik tubuhnya yang semakin tenggelam.

Jisoo mencoba menggerakkan tangannya, berusaha mencari pegangan, tapi jari-jarinya sudah terlalu lemah. Dia tersedak air, paru-parunya terbakar oleh dingin dan sesak. Pandangannya mulai gelap, dunia seakan memudar di sekelilingnya. Dalam benaknya hanya ada satu kata yang terus terulang—kenapa?

Tetapi di saat kesadarannya hampir hilang, sebuah tangan kuat tiba-tiba menyambar pergelangan tangannya. Sekejap tubuhnya tersentak keluar dari aliran deras sungai. Udara dingin menerpa wajahnya dan meski pandangannya masih buram, dia bisa merasakan dirinya sedang ditarik ke daratan. Napasnya tersengal-sengal, tubuhnya mengigil hebat karena kedinginan dan luka.

“Bertahanlah!” Sebuah suara—suara yang tidak dia kenali—berteriak di atas kebisingan air sungai yang deras. Perlahan kesadarannya kembali walau masih sangat tipis. Jisoo merasakan tubuhnya diangkat dari tepi sungai, ditarik ke tempat yang lebih aman.

Dia mencoba membuka matanya lebih lebar, tapi hanya bisa menangkap siluet seseorang di atasnya. Sosok tinggi dengan rambut pirang yang basah kuyup oleh air sungai, wajahnya penuh tekad dan keprihatinan.

“Jangan mati sekarang.” Suara itu terdengar samar, tetapi jelas penuh perintah. “Jangan menyerah!”

Tapi tubuhnya sudah sangat lemah. Dia tidak bisa menjawab, hanya merasakan panas menyebar dari perutnya yang terluka. Dia bisa merasakan darah terus keluar, meski tekanan dari tangan yang mencoba menghentikan pendarahan itu tidak berhenti. Semakin lama rasa sakit itu berubah menjadi sesuatu yang lebih tumpul. Kegelapan merayap lagi dan biarpun dia ingin melawan, ingin tetap sadar, tubuhnya tidak bisa mengikuti keinginannya.

Sebelum kesadarannya menghilang sepenuhnya, hanya satu kalimat yang sempat keluar dari bibirnya, lemah nyaris tak terdengar.

“Kenapa mereka ingin membunuhku?”

Dan kemudian, semuanya menjadi gelap.

━━━━━━ ◦ breaking her ◦ ━━━━━━

Cahaya redup memancar melalui celah-celah kecil di dingin kayu yang lapuk, menerangi ruang sempit yang dipenuhi aroma lembab dan obat-obatan. Jisoo terbaring di atas dipan kasar, tubuhnya dibalut perban tebal, dan rasa sakit yang pernah menusuk perutnya kini terasa sedikit mereda walau masih ada denyutan di balik luka yang tertutup.

Dia mencoba terbangun perlahan, tapi seketika kepalanya berdenyut hebat dan pandangannya sedikit buram saat dia membuka mata. Dia meringis saat berusaha bangkit, tubuhnya terasa berat seperti dihantam ribuan batu, dan setiap gerakan kecil memicu rasa sakit tajam yang menjalar dari luka-luka di sekujur tubuh sehingga membuatnya terbaring kembali dengan erangan tertahan.

Beberapa saat kemudian, dia mendengar suara samar di sekelilinginya—suara kayu yang berderit, langkah-langkah kaki, dan percakapan lirih di luar ruangan.

“Dia sudah sadar?” Suara perempuan, tenang, tapi tegas. “Berapa lama lagi dia bisa bertahan?”

“Dia kuat,” suara yang lain, perempuan lagi, lebih dalam dan penuh wibawa, “tapi luka di perutnya cukup parah. Dia nyaris tidak selamat.”

Jisoo menolehkan kepalanya perlahan mencoba mencari tahu di mana dirinya berada. Kepalanya masih terasa berat, tapi setidaknya dia masih hidup. Namun, bagaimana? Siapa yang menyelamatkannya dari sungai? Pikiran itu masih mengambang di kepalanya.

Langkah kaki mendekat dan sebuah pintu kayu tua yang berderit terbuka. Sosok perempuan cantik berambut pirang yang menyelamatkannya di tepi sungai itu masuk, diikuti oleh dua wanita, satu lebih tua dan satunya lagi sedikit muda.

“Kau akhirnya bangun,” kata wanita itu, duduk di kursi dekat dipan Jisoo. Matanya mengamati saksama, seolah memastikan dia benar-benar sadar. “Kau sangat beruntung masih hidup setelah apa yang terjadi.”

Jisoo mencoba berbicara, tapi tenggerokannya kering. Dia hanya bisa menggerakkan bibirnya sedikit. Perempuan itu menyadari dan segera menyodorkan secangkir air. “Minumlah.”

Setelah meneguk air, Jisoo akhirnya bisa berbicara walaupun suaranya terdengar lemah. “Siapa ... siapa kalian?"

Wanita pirang itu duduk lebih dekat, menatapnya dengan serius. “Namaku Daisy—Daisy Lavinia. Dan mereka, Hilda dan Byeol,” dia menunjuk dua wanita yang berdiri di dekat pintu, “kami yang menarikmu dari sungai. Menyelamatkanmu yang hampir mati tenggelam.”

“Kenapa kalian menyelamatkanku?” Jisoo bertanya terus terang dan di balik pertanyaan itu, ada seribu lainnya. Kenapa mereka menyelamatkannya? Mereka bertiga hanya orang asing yang kebetulan melihatnya hanyut di sungai. Lalu apa keuntungan bagi mereka menyelamatkannya?

Daisy menyilangkan tangan, matanya menyipit seolah mencoba membaca sesuatu di wajahnya. “Aku melihatmu hanyut di sungai. Tentu saja, aku tidak bisa membiarkanmu mati begitu saja. Jadi, aku menolongmu bersama Hilda dan Byeol.”

Jisoo membeku. Apakah mereka menyelamatkannya hanya karena merasa kasihan? Atau karena itu tanggungjawab mereka sebagai sesama manusia? Sangat sulit baginya untuk mempercayainya, terlebih setelah dia mengalami pengkhianatan yang dilakukan oleh keluarganya sendiri. Bayangan pengkhianatan Jun dan Jae seketika memenuhi pikirannya. Seolah-olah rasa sakit di perutnya kembali mencuat bersamaan dengan kenyataan itu. “Te-terima kasih ... terima kasih karena berkat kalian aku hidup.”

Sejujurnya, dia masih tak menyangka akan bertahan hidup setelah apa yang dialaminya.

Daisy melangkah maju, suaranya terdengar lebih lembut. “Tidak masalah. Betapa beruntungnya kami bertiga ada di sana, melihatmu, lalu menolongmu. Kami tidak tahu alasan pastinya kau terluka dan hanyut di sungai. Hanya saja, kuharap kau tidak menyesal telah kami selamatkan.”

Dia sama sekali tidak menyesal telah diselamatkan. Jisoo menundukkan kepala, jari-jarinya mengepal di bawah selimut kasar yang menutupi tubuhnya. “Terima kasih,” ucapnya sekali lagi. “Aku tidak akan pernah menyesal telah kalian selamatkan.”

Daisy bersama Hilda dan Byeol saling bertukar pandang, seolah mengerti bahwa apa yang dialami gadis itu lebih dari sekadar luka fisik.

“Aku tidak tahu siapa yang telah melukaimu dan membiarkanmu hanyut ke sungai,” ujar Daisy, sekali lagi. “Tapi aku tahu satu hal, sekarang kau harus berpikir bagaimana cara bertahan hidup. Mereka tidak akan berhenti sampai mereka yakin kau mati.”

Dia terdiam, hatinya dipenuhi konflik dan pertanyaan yang tidak terjawab. Siapa yang lagi yang terlibat dalam rencana untuk membunuhnya? Apakah ini hanya ulah Jun dan Jae atau seluruh keluarganya terlibat? Tetapi satu hal yang jelas, sekarang hidupnya ada dalam bahaya besar. Dan untuk pertama kalinya, dia sendirian—benar-benar sendirian.

Kemarahan membara di dadanya saat teringat pengkhianatan kakak kembarnya. Dia ingin membalas dendam. Tapi segera setelah itu, kenyataan menyergapnya. Bagaimana caranya melawan keluarganya yang terkenal sebagai keluarga assassin? Dia tak punya kekuatan atau dukungan. Seorang diri, dia hanyalah satu pion kecil dalam permainan besar yang tak mungkin dimenangkannya.

Dan apabila dia kembali pulang dalam keadaan hidup, Jun dan Jae pasti akan sangat marah. Mereka pasti akan berusaha keras untuk membunuhnya lagi dengan cara yang lebih menyakitkan daripada ini. Belum lagi, dia tidak tahu selain kakak kembarnya, siapa lagi yang menginginkan kematiannya.

Jisoo menghela napas panjang, menatap langit-langit kamar yang suram. Pikiran untuk memulai hidup baru perlahan-lahan menyusup ke dalam benaknya. Mungkin inilah waktunya untuk meninggalkan semuanya di belakang—meninggalkan dendam, meninggalkan masa lalu yang penuh darah dan pengkhianatan.

Ah, Ibu, kuharap kamu tidak terlibat dalam skenario ini. Kuharap kau dan ayah mau memaafkan atas pilihanku.

Ya, tekadnya sudah bulat. Dia tidak akan kembali, tidak akan berusaha untuk mencari tahu kebenarannya apalagi balas dendam. Dia akan pergi jauh, memulai hidup baru, dan meninggalkan identitas lamanya.

Sebuah identitas baru...

Sebuah awal baru.

━━━━━━ ◦ breaking her ◦ ━━━━━━

Sudah beberapa hari sejak Jisoo bangun dari mimpi buruk yang dirasakannya nyata—pengkhianatan dari saudara kembarnya, peluru yang menghancurkan tubuhnya, dan sungai yang hampir mengakhiri segalanya. Namun, rasa sakit di hatinya lebih besar daripada rasa sakit fisik yang masih tersisa di tubuhnya. Keluarganya, yang seharusnya menjadi pelindungnya, kini adalah musuhnya. Setiap kenangan akan rumah terasa penuh dengan kebohongan dan manipulasi, dan sekarang Jisoo tahu, dia tidak bisa kembali.

Saat ini dia tengah duduk di sebuah pondok kayu sederhana di pinggirian desa yang masih berada di wilayah Timur. Daisy Lavinia, seorang wanita muda yang menyelamatkannya dari kematian, duduk di seberang sambil meminum teh hangat. Bersamanya ada dua pelayan setianya, Hilda dan Byeol, yang selalu setia menemani setiap langkah nona mudanya. Mereka adalah orang-orang yang menemukan Jisoo hanyut di sungai hari itu. Jika tidak ada mereka, dia mungkin sudah lama menjadi mayat yang hilang tanpa jejak.

“Jisoo,” panggil Daisy dengan suara lembut, “aku tahu hidupmu berubah sejak hari itu. Tapi jika kau ingin membicarakan apa yang terjadi, aku di sini untuk mendengarkan.”

Jisoo menunduk, jarinya bermain dengan cangkir teh yang hampir tak tersentuh. Dia tidak bisa mengatakan yang sebenarnya kepada Daisy. Bagaimana dia bisa menjelaskan bahwa keluarganya sendiri mencoba membunuhnya? Bahkan jika Daisy percaya, apa yang bisa dilakukan? Ini adalah masalah keluarga assassin paling berpengaruh di Enia. Menyeret Daisy ke dalamnya hanya akan membuat masalah bertambah besar.

“Aku berterima kasih padamu,” akhirnya dia membuka suara, “karena sudah menyelamatkan hidupku. Jika tidak ada kau... aku tidak akan berada di sini sekarang.”

“Itu kebetulan semata. Hilda dan Byeol-lah yang pertama kali melihatmu di sungai. Aku hanya melakukan apa yang perlu dilakukan.”

Jisoo tersenyum kecil, tapi pikirannya melayang, kembali ke keluarganya sudah bukan pilihan. Mereka ingin dia mati. Jisoo tahu, jika dia kembali, dia mungkin akan berakhir lebih buruk daripada sebelumnya—kali ini tidak akan ada sungai yang menyelamatkannya. Dan sementara itu, rasa sakit karena dikhianati oleh Jun dan Jae semakin mendalam terus menghantuinya setiap malam.

“Jadi, apa rencanamu sekarang?” tanya Daisy, memecah keheningan. “Kau belum memberitahuku siapa dirimu sebenarnya, tapi aku tahu kau sedang menyembunyikan sesuatu.”

Jisoo menghela napas dalam-dalam. Ini adalah saat yang sulit, saat dia harus membuat keputusan. Kembali ke rumah berarti kembali ke bahaya yang nyata. Tapi tinggal bersama Daisy tanpa identitas juga tidak akan mungkin dilakukan. Dia harus membuat keputusan untuk masa depannya.

“Aku memutuskan,” Jisoo menatap langsung ke mata Daisy, “aku akan mengubah hidupku. Mulai sekarang, aku akan menjadi Jisoo Lyudmila Baek.”

Daisy tampak bingung sejenak, tapi senyumnya perlahan muncul. “Jadi, kau akan tinggal bersamaku? Sebagai temanku?”

Gadis itu mengangguk. “Sebagai teman atau mungkin pelayanmu. Aku berhutang nyawa padamu. Dan aku tidak bisa kembali ke tempat asalku. Terlalu berbahaya.”

Daisy menatapnya dalam-dalam, tapi tak menanyakan lebih lanjut. “Baiklah, Jisoo Lyudmila Baek. Kau akan ikut denganku ke Selatan. Di sana kau akan aman. Kami akan menuju Desa Bellenau.”

“Ke Desa Bellenau?” gumam Jisoo, setengah berpikir keras. Nama itu asing baginya. Sepanjang hidupnya, dia tidak pernah mendengar tentang desa tersebut. Satu-satunya yang dia tahu adalah tentang Wilayah Selatan, tempat yang hanya ada dalam cerita ibunya.

Ibunya sering bercerita tentang Selatan—sebuah wilayah yang jauh berbeda dari Timur tempat mereka tinggal. Di sana orang-orang dari berbagai latar belakang berkumpul; darah campuran dari berbagai bangsa yang mengalir dalam diri mereka menciptakan masyarakat yang beragam. Wilayah Selatan adalah tempat orang-orang kaya raya dan para bangsawan tinggal dengan nyaman, terpisah dari dunia keras di luar perbatasan. Kota Tarrin, ibukota Wilayah Selatan, adalah pusat dari semua itu—sebuah kota besar dengan menara-menara menjulang tinggi, jalan-jalan berbatu yang mulus, dan kemewahan yang jarang terlihat di tempat lain.

“Menara-menara yang menjulang di langit, setinggi ambisi mereka,” ibunya pernah berkata, matanya berbinar seakan membayangkan kemegahan tempat itu, “di sana kehidupan jauh berbeda. Tidak ada hutan liar, tidak ada tempat untuk bersembunyi seperti di Timur. Orang-orang di sana sibuk membangun kekayaan, membangun nama, dan mereka tidak peduli pada dunia di luar tembok.”

Jisoo belum pernah pergi ke sana, tapi dia bisa membayangkannya. Tarrin, dengan menara dan kastil megahnya, tampak seperti dunia lain dibandingkan dengan lingkungan keluarganya di Timur. Di Timur, tempat keluarga Kim berkuasa, kehidupan selalu diliputi dengan kegelapan dan kerahasiaan. Assassin seperti mereka hidup dalam bayang-bayang, di antara hutan-hutan lebat dan pegunungan yang keras. Tidak ada kemewahan. Tidak ada cahaya terang dari menara-menara megah yang dipandang dengan kagum oleh dunia.

Namun, Wilayah Selatan adalah dunia yang penuh cahaya. Bangsawan-bangsawan angkuh berjalan di jalan-jalan kota besar dengan pakaian mewah, sementara senyum-senyum penuh kepalsuan dan permainan politik menguasai kehidupan sehari-hari. Keluarganya pernah membicarakan tempat itu dengan penuh penghinaan—kehidupan di sana dianggap tidak serius, tidak sekeras di Timur. Tapi bagi Jisoo sekarang, Wilayah Selatan sepertinya adalah tempat terbaik untuk bersembunyi. Jauh dari keluarganya, jauh dari pengkhianatan yang terus menghantuinya.

“Desa Bellenau,” ulang Jisoo dalam hati sambil mengingat kembali perbincangannya dengan Daisy. Desa itu terletak di luar Tarrin, di pinggir Wilayah Selatan. Cukup terpencil untuk menghindari perhatian, tapi masih berada dalam batas pengaruh Tarrin yang makmur. Meskipun Desa Bellenau tidak setenar Tarrin, dia percaya orang-orang di sana pasti mengikuti gaya hidup yang sedikit lebih santai daripada mereka yang tinggal di jantung Selatan.

Dia mengingat cerita-cerita ibunya tentang kehidupan di Wilayah Selatan, cerita yang tidak hanya menyangkut bangsawan, tetapi juga orang-orang campuran yang datang dari segala penjuru, mencari peruntungan atau sekadar tempat berlindung. Di sana berbagai bangsa, budaya, dan latar belakang bercampur, menciptakan masyarakat yang berbeda dari Timur yang lebih homogen dan tertutup.

Ibunya juga pernah berkata, “Nama seperti Jisoo mungkin umum di sini, di Timur, tapi di Selatan? Orang tidak akan mudah mencurigaimu. Orang-orang campuran di sana datang dengan banyak nama dan identitas. Kau bisa menjadi siapa saja.” Kata-kata itu kini bergema di benak Jisoo, membuatnya merasa yakin bahwa ini adalah kesempatan yang tepat untuk mengubur identitas lamanya.

Jisoo Lyudmila Baek. Nama itu terdengar pas untuk identitas barunya—seorang wanita campuran yang datang dari latar belakang tak dikenal, jauh dari ketenaran atau kegelapan Keluarga Kim. Nama Jisoo mungkin terdengar umum di Timur, tapi di Selatan, itu hanya akan menjadi bagian dari keragaman. Sebuah penutup yang sempurna.

Dengan mengubah identitasnya menjadi Jisoo Lyudmila Baek, dia bisa memulai hidup baru dan yang terpenting, jauh dari jangkauan keluarganya. Keluarga Kim mungkin memiliki pengaruh besar di Timur, tapi di Selatan mereka hanyalah nama yang tak banyak dikenal. Dan meskipun keluarganya memiliki koneksi ke para bangsawan di berbagai wilayah, mereka tidak akan mudah menemukannya di tengah keramaian Wilayah Selatan yang penuh warna.

Selain itu, wilayah itu terlalu jauh bagi mereka untuk mengirimkan pasukan secara sembunyi-sembunyi. Jarak antara Timur dan Selatan cukup besar sehingga jika keluarganya memang mengirim orang untuk mencarinya, mereka akan menghadapi banyak hambatan. Mengubah identitasnya adalah keputusan yang logis. Tidak hanya akan menyulitkan mereka melacaknya, tapi juga memberinya kesempatan untuk menjalani kehidupan baru tanpa terus-menerus melihat ke belakang.

Jisoo menarik napas dalam-dalam dan memutuskan dalam hati. Ini adalah jalannya. Dia harus mengubur identitasnya sebagai Putri Kedelapan dari Keluarga Kim dan sepenuhnya menjadi Jisoo Lyudmila Baek. Hidup di Wilayah Selatan akan memberikan kesempatan untuk memulai dari awal, tapi juga akan ada risiko. Apakah dia benar-benar bisa menghapus masa lalunya? Atau akankah bayangan keluarganya kembali menghantui, bahkan di tempat yang jauh seperti Desa Bellenau?

Tidak ada waktu untuk memikirkan kemungkinan buruk. Jisoo harus melangkah maju dan memainkan peran ini dengan sempurna. Bagaimanapun dia adalah seorang pembelajar cepat walau latihannya sebagai assassin belum mencapai tingkatan saudara-saudaranya, dia cukup cerdas untuk beradaptasi dengan cepat.

“Desa Bellenau,” katanya pelan, memandang ke arah luar jendela pondok kecil tempatnya tinggal sementara. Selatan tampak seperti dunia yang berbeda dari kehidupannya sebelumnya, tapi di sanalah keselamatannya bergantung. Sebuah wilayah yang begitu jauh dari Timur sehingga rasanya seperti dunia lain, di mana orang-orang campuran hidup dengan cara mereka sendiri, dan di mana para bangsawan berlomba-lomba untuk mempertahankan kekayaan dan kekuasaan.

Kehidupan di sana mungkin akan berbeda dari yang pernah dia bayangkan, tapi itu bukan masalah. Yang paling penting tidak ada yang mengenal Kim Jisoo di sana. Tidak ada yang akan mencurigai bahwa Jisoo Lyudmila Baek, seorang wanita biasa, sebenarnya adalah putri kedelapan dari keluarga pembunuh bayaran paling ditakuti di Timur.

Saat malam semakin larut, Jisoo memejamkan mata, mencoba mengusir bayangan masa lalu. Ini adalah awal baru—setidaknya, itulah yang dia yakini.

Konflik mulai masuk di chapter 4/5 dan seterusnya✌🏻

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top