9 (REPOST)

Aku terbangun di pagi hari, masih dengan dia di sampingku. Aku menghela napasku, menatap punggungnya. Memaksakan sebuah senyuman. Dan kulakukan hal yang sama pada perasaanku. Memaksakan untuk tidak mengingat hal semalam. Meski sesak itu kuakui masih bersemayam di dalamku.

Aku harus memahaminya bukan? Bahwa dia memiliki dunia sendiri yang seharusnya aku mengerti. Dia dan teman-teman, orang-orang yang sudah lebih dulu berada di sekelilingnya sebelum aku datang.

“Kamu mungkin marah. Tapi apa yang kulakukan semalam adalah reaksi wajar dari seorang wanita yang mencintai kamu,” lirihku sebelum beranjak meninggalkan ranjang itu. Yang kutahu, semalam dia memberikan punggungnya padaku.

Tapi sekali lagi, aku mencoba untuk mengerti ini sampai batas nanti aku benar-benar tidak sanggup lagi. Aku tetap menyiapkan pakaian kerjanya dan tas yang harus dia bawa seperti biasa. Aku masih melakukan hal rutin tanpa terkecuali termasuk membeli sarapan untuknya.

Hingga pada akhirnya aku terdiam ketika mendapati hal yang sama sekali tidak kuduga. Dia, untuk pertama kalinya tidak memakai pakaian yang sudah kusiapkan. Dia juga meninggalkan sarapan itu begitu saja. Yang aku lihat dia begitu terburu-buru padahal belum waktunya dia berangkat kerja. Ini sebuah perasaan sesak yang teramat sangat bagiku. Aku ingin memanggilnya tapi tidak mampu. Aku terhalang kesesakanku sendiri dengan kepalan kuat dari tanganku.

“Abang lupa. Abang berangkat dulu.” Dia kembali hanya untuk mencium keningku. Tidak ada yang lain. Dia bahkan tidak memakai motornya. Karena aku melihat seorang driver ojek online berhenti di depan rumah dan Nara bergegas keluar.

Apa yang bisa kuperbuat untuk dua bungkus nasi uduk yang teronggok di atas meja? Sedang menelannya pun rasanya tak sanggup.

Aku meringis tipis, menghempaskan pantatku di sofa ruang TV. Berdiam dalam pikiranku sendiri sambil berusaha mengendalikan diriku dari kesesakan itu. Entah berapa lamanya, hingga sesak itu mereda, kemudian aku beranjak. Kembali, aku menganggap semuanya akan baik-baik saja.

Aku baru saja berniat untuk membuangnya ketika aku melihat ponsel Nara tergeletak di atas meja. Dia melupakan ponselnya. Aku tidak tahu ada apa denganku. Tidak ada yang lain di pikiranku selain memikirkan dirinya. Terlepas dari apa yang sudah dia lakukan terhadapku. Hanya mendapati ponselnya tertinggal saja membuatku khawatir. Aku sampai berpikir untuk mengantar ke kantornya.

Ini yang kulakukan sekarang, mengambil kunci motor dan bergegas meninggalkan rumah menuju ke kantornya. Kupikir ini masih cukup pagi dan jalanan jakarta tidak begitu macet untuk sepagi ini. Dan Nara seharusnya sudah sampai di tujuan beberapa saat lalu.

***

Apa yang kudapati tidak pernah seperti apa yang kubayangkan. Aku memang sampai di kantor Nara tepat sesuai perkiraanku. Tapi tidak dengan apa yang kulihat saat ini. Hal yang sama sekali tidak pernah terlintas di pikiranku selain mencemaskan dirinya. Bagus sekali, dengusku dalam hati.

Dia berangkat pagi-pagi, mengabaikan segalanya yang sudah kusiapkan hanya demi orang lain. Iya, aku mendapati dirinya sedang menikmati semangkuk bubur ayam di depan kantornya pada salah satu gerobak yang mangkal di sana. Dan bersama dengan seseorang.

Tanpa sadar tanganku meremas stang motor. Kalau saja bisa, aku lebih memilih tidak memiliki perasaan. Kalau saja aku tahu akan seperti ini, aku lebih memilih tidak meninggalkan duniaku hanya untuk dirinya. Dan kalau saja bisa, aku lebih memilih tidak mempedulikannya. Tapi dia telanjur membuatku memiliki perasaan itu.

Aku masih memperhatikan dirinya dari atas motor. Dia tertawa bersama Mentari. Wajah perempuan itu berseri seri. Tidak terlihat lagi wajah sedih sisa semalam. Siapapun yang melihat pasti akan berpendapat kalau mereka bukan sekedar teman. Keintiman juga binar mata yang terjalin menjelaskan semuanya. Aku menggigit bibir dalamku. Kuat tapi aku tidak merasakan sakit. Karena sesak lebih menguasaiku saat ini.

Kalau kamu bahagia bersamanya, lalu kenapa kamu memilih menikahiku? Permainan apa yang sedang kamu mainkan, Abang?

Aku menarik napasku dalam-dalam. Membulatkan tekad untuk menghampirinya setelah aku mendapatkan kendaliku. Entah dia akan terganggu atau tidak. Entah dia akan marah atau tidak. Niatku hanya untuk ponsel yang berada di genggamanku.

“Ichlal?” Suara bernada tak percaya ini kudapatkan ketika dia menyadari kedatanganku. Aku melihat tatapan terkejut darinya. Sedang aku hanya mengulum senyum. Menyembunyikan apa yang saat ini ingin kutumpahkan.

“Aku cuma mengantar ponselmu. Siapa tahu kamu membutuhkan itu.” Aku berusaha kuat agar tidak menangis cengeng di hadapannya.

“Oh? Memangnya kamu nggak tahu? Nara masih punya ponsel lain. Jadi tenang aja. Nggak perlu repot-repot anter segala.”

Oh? Aku merasa leherku tercekik seketika mendengar perempuan itu menyahuti kalimatku. Sedang Nara hanya terdiam seolah membenarkan apa yang dikatakan perempuan itu. Di sini aku merasa bahwa perkataan Bima benar adanya. Aku hanya sebatas orang asing yang baru mengenal Nara. Aku tidak tahu apa-apa tentangnya. Dan entah, aku berpendapat jika ada rentang jarak yang tidak bisa kusentuh di sini.

“Oh, oke. Mungkin aku yang lupa. Maaf.” Aku tertawa kecil, menggelengkan kepala. Aku menarik napas, masih berusaha untuk tetap tegak. Sekalipun sebenarnya aku merasa ini berlebihan untuk kuterima di awal pernikahan. Juga di waktu yang sepagi ini.

“Hey, nggak tertarik buat sarapan bareng?” serunya ketika aku membalikkan badan seperti orang bodoh. Bahkan aku tidak merasakan tapak kakiku sendiri.

“Nggak. Aku masih punya nasi uduk di rumah yang belum kusentuh sama sekali,” sindirku tanpa menoleh kepada mereka.

“Ichlal!”

Aku tidak ingin menoleh sama sekali ketika Nara memanggilku. Demi apapun, setelah sejak tadi hanya terdiam, sekarang berteriak seolah peduli padaku. Aku mengepalkan tanganku, mempercepat langkah. Aku ingin segera pulang ketika kenyataan lain membuat satu torehan luka baru. Saat ini aku sangat ingin bertanya kesalahan apa yang sudah kuperbuat hingga aku merasakan hal menyakitkan ini bertubi-tubi. Dan kenapa dia melakukan ini padaku?

Aku mendengar derap langkah kaki semakin dekat. Lalu sentakan tangan di lenganku hingga aku terpelanting dalam dekapannya. Dia mengejarku untuk apa? Atas rasa bersalah kah?

“Aku bisa menjelaskan ini,” ujarnya lirih. Tatapannya langsung tertuju pada manik mataku.

“Nggak ada yang perlu dijelaskan. Aku… aku bukan apa-apa di sini. Jadi, aku nggak perlu tahu apapun. Aku akan pulang segera.” Kali ini aku bersusah payah menjaga kelembutan nada suaraku. Aku merasa suaraku mulai bergetar.

“Dengar. Dia temanku. Aku hanya…,”

“Itu bukan hakku untuk tahu. Kamu punya dunia sendiri. Aku berusaha untuk memahami itu. Maaf untuk pagi ini,” potongku tidak mampu lagi menahan suara agar tidak bergetar. Aku meronta dari dekapannya kemudian melangkah cepat.

Dia tidak lagi menyebut dirinya Abang di hadapanku. Dia menggunakan kata 'aku' untuk hal yang tidak pernah dia gunakan saat bicara denganku sejauh yang kutahu selama ini.

“Ichlal, tolong!” pintanya berseru.

Tidak. Untuk kali ini tidak. Baru semalam aku melihat dia membalas pelukan itu dan pagi ini aku mendapati fakta bahwa dia memiliki dua ponsel. Hal yang sama sekali tidak kuketahui. Dia, cukup pintar untuk menutupi ini. Atau aku yang terlalu bodoh dan tidak menganggap penting hal-hal kecil seperti ini?

Aku merasakan napasku mulai tersengal-sengal ketika aku mulai menstarter motor. Pada akhirnya aku membiarkan aku lebur dalam tangis selama perjalanan. Aku tidak malu untuk tergugu karena rasanya aku tidak sanggup untuk menahan kesesakan ini.

Kamu yang terlalu abu-abu bagiku. Kemarin kamu sangat manis. Tapi sekarang kamu menghancurkan aku berkali-kali. Kalau kamu hanya ingin mengetes seberapa kuat aku, kamu salah. Aku memang nggak sekuat wanita-wanita tangguh. Atau memang aku yang terlalu bodoh.

“Aku tidak tahu alasan apa yang membuatku pada akhirnya menjatuhkan hidupku di dalam lingkaran sialan ini. Kalau saja aku memiliki sedikit keberanian aku benar-benar ingin menjambak rambut panjangnya. Nggak peduli jika nanti Nara akan marah besar padaku!” Aku mengomel sendiri tidak peduli dengan suara yang kadang tersedak isakanku.

Sedang motor itu tanpa kusadari melaju semakin kencang. Hingga sampai di rumah, kupikir air mataku sudah kering terkena angin. Tapi nyatanya tidak. Aku malah semakin ingin menangis. Dalam keadaan seperti ini kupikir setangguh apapun wanita pasti tidak bisa mengatasi rasa sesak itu dengan baik. Adakalanya mereka pasti akan jatuh. Seperti aku saat ini.

“Kamu tahu? Seumur hidupku, aku nggak pernah diperlakukan serendah ini. Aku mungkin pernah ditinggalkan. Aku mungkin pernah dikhianati. Tapi satu hal, masa laluku, mantanku, nggak pernah mempermainkan perasaanku seperti ini!” desisku menatap tajam foto pernikahan kami. Mataku tertuju pada dirinya.

Aku ingin marah. Tapi melihat fotonya saja pada akhirnya aku hanya bisa merelakan diriku luruh dalam tangis itu. Apalagi jika berhadapan dengan dirinya. Perasaan ini benar-benar melumpuhkan aku.

“Tapi lakukan Nara. Sekalipun aku harus tertatih. Sekalipun aku sebenarnya nggak sanggup, aku nggak akan pernah berhenti. Aku berjanji, agar nanti kamu yang berlutut kepadaku atas apa yang kamu dan dia lakukan hingga detik ini. Aku berjanji untuk hal yang bagiku nggak mungkin.”

Aku terdiam, masih berdiri di hadapan foto itu. Tanganku mencengkeram dadaku, meresapi semua sesak ini. Aku akan menikmatinya, kuharap ini menyenangkan. Sampai nanti aku bisa tersenyum. Aku tidak mempedulikan tubuhku yang menggigil. Mataku terpejam ikut meresapi semuanya. Dan aku berusaha mengatur napasku.

Di saat ini, aku teringat ucapan ibuku saat menguatkan aku dulu, kalau kamu nggak bisa melawan sakit itu, setidaknya kamu bertahan dengan caramu sendiri. Tidak peduli orang menganggapmu lemah. Buat pertahananmu sendiri, itu yang paling penting.

Aku akan tetap berdiri. Dan biarkan nanti kamu yang membayar kesakitan ini. Kamu tahu? Orang bilang karma itu dekat. Sakit itu mahal harganya. Luka itu tidak bisa hilang bekasnya. Maka aku berjanji, Nara, akan kubuat kamu mengerti apa itu luka, apa itu sakit. Agar kamu bisa menghargai apa yang sudah kamu miliki.

***
Tbc
S andi
30 april 2017

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top

Tags: #romance