8(REPOST)

Mencuri tatap saat dia sedang melakukan sesuatu adalah hal yang menyenangkan bagiku. Dan dia tidak pernah menyadarinya. Entah mungkin dia membiarkan aku menatapinya. Tapi aku tidak ingin membahasnya.

Aku mengerjabkan mataku, beranjak dari dudukku dengan segera ketika kurasa dia menyelesaikan urusan di laptopnya. Hari ini dia pulang kerja lebih awal. Begitu sampai di rumah, dia mengecek keadaan rumah dilengkapi dengan deretan pertanyaan. Apa saja yang kukerjakan seharian. Ah, dia seperti boss sekarang.

"Sayang, Abang mau ke kedai. Kamu mau ikut apa di rumah aja?" Dia beranjak menyimpan laptopnya di laci pada sebuah meja yang sengaja diletakkan di sudut ruang tengah, sebagai meja kerjanya. Semua peralatan kerjanya pun tersimpan di sana. Juga beberapa dokumen penting miliknya.

"Aku di rumah aja. Abang mau ngapain ke sana? Bukan baru tiga hari lalu Abang mampir ke kedai?" sahutku mencoba fokus pada layar TV.

Agak sedikit aneh. Aku menangkap sinyal itu. Karena setahuku, bahkan dari sebelum kami menikah, dia sangat jarang mampir ke kedai miliknya. Sesekali itu pun karena Bima yang memaksanya untuk mampir sekedar berdiskusi langsung mengenai omset dan perkembangan kedai itu.

"Nggak tahu Bima. Dia maksa Abang buat ke sana. Jadi, kamu benar nggak mau ikut?" tanyanya sekali lagi.

Memangnya ada masalah sebesar apa sampai pria tambun itu harus memanggil Nara untuk mendatanginya? Aku menghela napas. Sementara dia masih menatapiku di antara rasa gelisahnya, menanti keputusan dariku. Aku tahu pertanyaannya baru saja itu adalah kode bahwa dia ingin aku untuk ikut.

"Oke. Aku ikut. Tunggu sebentar," putusku akhirnya.

Aku mendapati senyum kecil darinya. Tapi sebenarnya aku jauh lebih tersenyum lebar di dalam hati karena aku merasa -entahlah- dia seolah menunjukkan bahwa dia tidak ingin aku sendirian di rumah.

"Abang tunggu di depan, ya. Jangan lama-lama," ucapnya seraya mengambil dompet sekaligus kunci motornya, "Sayang, jaket Abang sekalian nanti bawain ya?" lanjutnya berseru setelah beberapa langkah meninggalkan ruang tengah kami.

Aku hanya bergumam singkat. Aku tahu dia tidak mendengar sahutanku tapi aku juga tahu dia tidak membutuhkan jawabanku.

Aku tidak tahu apa yang telah terjadi pada kedainya. Dia tidak bisa mengatasi rasa gelisahnya. Beberapa kali dia menghajar lubang jalanan, membuat tanganku refleks mencengkeram pinggangnya.

"Abang," panggilku memperingatkan agar dia kembali pada kesadaran atas dirinya.

"Maaf, Abang agak nggak konsen. Tadi Bima bilang kalau ada sedikit masalah."

"Oke. Aku mengerti. Tapi bisa kan hati-hati?" Aku berujar dengan lembut.

"Maaf, Sayang. Abang akan lebih hati-hati."

Aku tersenyum simpul, mengusap lembut punggungnya dengan satu tanganku. Kalau saja dia tahu, aku lebih mengkhawatirkan dirinya. Dan dia sama sekali tidak mengurangi kecepatan laju motornya. Tapi aku bisa merasakan dia lebih fokus kali ini.

Begitu sampai, dia langsung bergegas masuk. Aku hanya menghela napas seraya menggelengkan kepala menatapi punggungnya di antara langkah kakiku. Aku tertinggal langkahnya.

"Jadi, apa masalahnya?" Aku mendengar Nara mengajukan pertanyaan itu pada Bima tanpa basa-basi.

"Kenapa kamu bawa dia? Astaga, aku nggak tahu harus bagaimana!" erang Bima.

Keningku mengernyit, mendengar kalimat dari Bima. Pelan tapi aku masih mampu mendengarnya. Ada apa denganku? Langkahku semakin dekat ketika seseorang entah darimana, kini yang kulihat melangkah cepat lalu memeluk erat satu dari mereka. Kakiku seperti memiliki batas tak terlihat. Berhenti seketika dari langkah.

Sedang aku tidak bisa berbuat apa-apa. Aku hanya merasa tekanan itu kembali menghampiriku. Sesak dan sakit ketika melihat perempuan itu memeluk pria, suamiku, seakan dialah tempatnya untuk bersandar dari segala beban. Iya, aku melihat perempuan itu menangis tergugu. Lalu juga gerakan tangan Nara membalas pelukan perempuan itu, seolah berusaha menenangkannya. Mentari.

Aku memejamkan mataku, membiarkan satu tetes air mataku turun begitu saja. Bahkan aku baru saja merasakan hangatnya sikap Nara yang kupikir akan selamanya dan itu hanya untukku. Tapi aku salah. Aku hanya sebagian kecil dari yang Nara berikan untuk teman perempuannya itu.

Aku ingin pergi saat itu juga tapi aku tidak mampu. Aku dengan bodohnya membiarkan diriku menikmati setiap adegan bodoh ini. Juga menikmati perasaan sesak ini. Sedang tanganku mengepal dalam kediamanku.

Saat ini, yang kulihat Nara menguraikan pelukannya, membawa perempuan itu pada salah satu meja. Dia mengajaknya bicara. Oh, dia bahkan melupakan keberadaanku di sini. Kalau saja aku tahu masalahnya adalah Mentari, mungkin aku lebih memilih untuk di rumah, tidak tahu apa-apa daripada di sini. Dan aku merasa mereka mempecundangiku.

Aku menarik napas dalam-dalam, berusaha tidak mempedulikan sesak itu. Kemudian menarik mundur langkahku. Di saat seperti, aku dengan konyolnya, masih berharap Nara masih mengingatku. Bahwa dia datang bersamaku. Batinku tertawa mengejek dan aku hanya tersenyum kecut. Ketika dia sama sekali tidak mengingatku. Bahkan ketika aku telah mendapatkan secangkir kopi setelah duduk lebih dari 10 menit di sebuah meja dekat pintu masuk.

Aku meremas cangkir kopiku setelah menyesapnya. Kupikir lidahku bermasalah malam ini. Ketika kopi yang kuminum dengan sedikit gula, tidak sepahit apa yang kurasakan saat ini.

Kau mungkin boleh mengatakan berlebihan tapi apa yang akan kau rasakan ketika normalnya kau mengalami hal apa sepertiku? Apa perasaanku juga reaksiku ini adalah hal yang salah?

Aku meringis sendiri. Tanganku kini sibuk memainkan sendok, mengaduk-aduk kopi dengan pelan namun tanpa arah. Aku menahan mataku sekuat mungkin untuk tidak menatap mereka.

"Jangan diambil hati. Ini karena hubungan mereka sudah cukup dalam. Bahkan lama. Mereka saling menguatkan, saling membutuhkan. Kamu nggak bisa menghapusnya begitu saja. Terlebih karena kamu terhitung baru mengenal Nara."

Aku mengangkat wajahku, menatap pemilik suara itu. Terdengar seperti mengingatkan aku bahwa aku adalah orang asing yang baru masuk dan aku tidak berhak menuntut lebih. Aku terdiam selama beberapa saat sebelum melebarkan sebuah senyuman miring.

"Hanya berlaku untuk orang-orang yang tidak menghargai sebuah komitmen tertinggi yang sudah dia pilih. Kamu mungkin mengenalnya secara mendalam sejak kecil. Kamu mungkin bahkan hafal bagaimana bentuk kotoran yang dia ciptakan setiap paginya. Tapi, setelah dia memutuskan untuk menikah dengan seseorang, saat itu pula seharusnya kamu tahu diri atas batasan yang tiba-tiba tercipta. Semua berbeda dalam sekejab setelah komitmen itu ada. Aku sangat berharap, baik kamu, Nara dan teman perempuannya memahami itu. Dan...," aku kembali memberinya sebuah senyuman, kali ini senyuman manis atas wajah piasnya, "Terimakasih, Bima karena sudah mengingatkan aku tentang ini!"

Aku merasakan nafasku mulai tersengal-sengal, detak jantung yang memburu. Aku tersinggung atas kalimatnya. Aku sendiri bahkan berusaha memahami Nara dengan menjaga jarak dari teman-temanku terutama teman laki-laki. Tapi yang terjadi padaku, mereka -teman-teman Nara- hanya menganggapku sebagai orang asing yang baru datang. Aku merasa tidak berbeda dengan seorang perempuan yang merebut pacar orang.

Aku berdiri dari dudukku. Mengambil dompetku lalu meninggalkan selembar uang di samping cangkir kopi itu. Aku benar-benar tersinggung.

"Kalau saja aku tahu ini yang akan kudapatkan, aku nggak akan pernah mau menerima lamaran dia. Asal kamu tahu, duniaku dulu lebih membuatku merasa dihargai. Aku dan kehormatanku, nggak akan pernah rela kalian tumpahkan begitu saja!" gumamku bergetar karena semua perasaan yang bergumuk di dalamku.

"Ichlal! Ichlal, tunggu!"

Aku mempercepat langkahku tanpa mempedulikan panggilan Bima. Yang kutahu aku merasa terusik dengan kalimatnya.

"Ichlal! Kamu salah paham! Aku minta maaf! Aku nggak bermaksud...," serunya berusaha menghentikanku dengan kalimatnya.

"Sayang!!!"

Aku mendengar suara Nara memanggilku, membungkam kalimat Bima. Tapi aku tidak tertarik untuk kembali. Aku sempat berharap Nara akan mengejarku. Tapi, sudahlah. Mungkin Bima benar. Aku hanya orang asing yang baru mengenalnya. Karena sampai aku mendapatkan taksi, dia tidak berminat menghampiriku. Padahal aku menunggu taksi itu hampir sepuluh menit. Aku sempat melihat dia hanya berdiri dari duduknya menatapku lalu duduk kembali.

Kamu boleh melakukan ini, Nara. Tapi tidak untuk nanti. Ketika pada akhirnya pertahananku habis bahkan harapanku sia-sia, kamu tidak akan mendapatkan ini lagi dari seseorang asing yang belajar keras memahamimu. Aku berjanji untuk itu.

Tanganku menyapu bersih air mata sialan yang tak mampu kutahan itu. Saat ini, aku tidak membutuhkan apa-apa selain suara ibuku. Wanita yang mendidikku hingga sekuat ini. Aku membutuhkan suaranya untuk menguatkan aku. Tapi aku tidak ingin ibuku tahu bahwa aku tidak sekuat yang ibuku harapkan.

Ijinkan aku untuk menangis malam ini, Ibu. Maaf. Maafkan aku yang belum mampu menjadi wanita tangguh sepertimu. Yang mampu menahan tangis dalam sebuah senyuman manismu. Yang mampu menahan emosi dalam ketenanganmu. Maafkan aku, untuk malam ini saja.

Aku menggigit bibirku, menahan suara isak dengan susah payah. Sedang air mata itu tidak mampu kutahan. Dan dengan bodohnya aku masih berharap Nara akan menelponku. Terus saja berharap, Ichlal, untuk sesuatu yang kamu tahu tidak mungkin.

"Sudah sampai, Bu."

Entah sudah berapa lama aku meratapi perasaanku. Suara sopir taksi itu menyadarkanku bahwa aku sudah sampai di depan rumah. Aku tersenyum tipis, mengambil dompet, membayar tagihan perjalanan barusan.

Rasanya aku tidak ingin pulang malam ini. Tapi aku masih menghargai posisiku sebagai istri yang harus menjaga kehormatan suami dari cibiran orang. Aku menghela napas panjang sebelum memasuki rumah minimalis itu.

Tidak ada yang bisa kulakukan malam ini selain menghempaskan tubuhku di ranjang. Menarik sebuah selimut tanpa melepas jaket apalagi mengganti baju. Aku merasa aku butuh istirahat dari lelah karena gelegak emosi tadi.

Beberapa saat lamanya aku terdiam tanpa bisa menghadirkan rasa kantuk. Hingga kemudian aku mendengar suara motor berhenti di depan rumah. Aku tahu itu Nara. Tapi yang kulakukan bukan membukakan pintu. Melainkan memejamkan mataku, menenggelamkan wajahku pada bantal.

Maaf, rasanya sesak itu masih pekat di sini. Kamu menciptakannya sangat pekat malam ini.

***

Tbc
29 April 2017
S Andi

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top

Tags: #romance