Aku terbangun di dalam pelukannya. Tersenyum dalam diam menatapi wajah polosnya. Aku mengangkat sedikit kepalaku, berpikir sejenak setelah melihat satu lengannya yang menjadi bantalan tidurku semalaman. Apa yang dia rasa? Apa lengannya kebas? Dia merelakan satu tangannya kebas hanya agar aku tetap di dalam pelukannya.
Aku melihat gerakan kecil darinya, seperti kehilangan apa yang dia genggam. Raut wajah lelapnya berubah gelisah. Kerutan di dahinya juga tak luput dari penglihatanku. Sesaat kemudian tangan yang menjadi bantal tidurku tadi terulur meraih kepalaku. Dia menarikku kembali dalam dekapannya.
“Tetap di pelukan Abang. Jangan dulu bangun, Abang masih ngantuk,” gumamnya sedikit tidak jelas.
Aku terdiam di antara rasa tidak percaya itu. Dia tidak pernah seperti ini sebelumnya. Itu membuatku seperti sedang bermimpi di pagi hari, di tengah kesadaranku. Entah apa yang membuatnya seperti ini, setelah semalam dia begitu manis. Setelah semalam dia meraihku, membawaku dalam genggamannya dengan begitu indah, sampai aku merasa aku adalah seorang wanita yang paling beruntung karena menikah dengan seorang pria yang begitu manis.
“Kamu mikirin apa, hm?” gumamnya dengan mata setengah terpejam. Dia lalu mengecup lembut pelipisku. Tangannya mengerat, memelukku.
“Ini tanggal merah, libur nasional. Abang nggak kerja. Makanya sering-sering lihat kalendar biar tahu ada tanggal merah.” Dia terkekeh. Dia mencoba memberiku penjelasan setelah aku hanya menatapinya sejak tadi.
“Bukan itu,” lirihku.
“Terus? Kamu lapar? Ya sudah, Abang bangun.” Dia mengintipku dari matanya yang setengah terbuka.
“Aku cuma merasa, Abang beda dari kemarin,” bisikku sedikit takut akan berbuat salah.
“Nggak ada yang beda, Sayang. Abang hanya merasa Abang ingin melakukan sesuatu buat kamu. Karena Abang sayang kamu,” jelasnya dengan lembut. Aku bahkan tidak menemukan nada iseng seperti biasa di setiap katanya.
Aku tidak bisa menghentikan tawa kecilku. Tapi aku menyembunyikannya dengan cepat di pangkal lehernya. Aku mendengar tawa samar menimpali tawaku. Satu pagi yang teramat indah. Biarkan aku larut dalam euforia bahagia ini, meskipun aku tahu ini tidak akan lama.
“Tidur lagi, atau kamu mau mengulangi lagi yang semalam? Agar dia cepat hadir untuk kita?” Oh, dia mengingatkan apa yang semalam dia akibatkan padaku.
Aku merasakan hawa panas menerpa wajahku. Aku melupakan kulit tubuhnya yang saat ini membelit tubuhku.
“Jangan membahas itu!” erangku menahan malu. Ini hal yang tabu bagiku. Emh, bukan, hanya saja aku merasa kurang nyaman saat membahas ini. Tentang gairah yang sudah berhasil membakar kami semalaman berkali-kali.
“Baik. Baik, Nyonya Narendra,” kekehnya disela gerakan tangannya di punggungku, memberikan usapan di sana. Tapi aku tidak melewatkan sesekali remasan dari tangannya di sana.
“Kamu belum sarapan. Nggak lapar apa?” tanyaku.
“Belum. Tapi Abang akan bangun kalau kamu lapar.” Dia menjawabnya dengan santai.
“Aku nggak lapar.”
“Oke. Nanti siang saja, kita makan di luar. Abang masih ngantuk kalau kamu mau tahu.”
“Oke,” sahutku pendek seraya menghirup aroma tubuhnya dalam pelukannya.
Aku merasakan dia tersenyum di puncak kepalaku. Entah apa yang harus kulakukan saat ini, tapi aku hanya tidak bisa menghentikan senyum itu. Aku menikmati keintiman ini. Di dalam dekapannya, seakan menjawab keraguanku terhadapnya. Dia seperti menjanjikan bahwa dia adalah untukku.
Aku mencintaimu dalam kediamanku, Abang. Karena aku tidak memiliki cukup keberanian untuk mengungkapkan secara terang-terangan, baik dalam kata maupun sikap. Aku harap kamu bisa memahami, bisikku dalam hati.
“Bisakah kita seperti ini selamanya? Kamu adalah bahagiaku, sempurnakan aku,” lirihku ketika menyadari dengkuran halus darinya mulai terdengar.
***
Tangannya meraih tanganku saat kami akan memasuki sebuah rumah makan. Aku bisa merasakan remasan lembut di sana. Dia membawaku ke sebuah meja di salah satu sudut, menarikkan sebuah kursi untukku.
“Kamu mau makan apa?” tanyanya.
“Aku…,” Aku menggantungkan kalimatku, beralih mengambil satu lembar daftar menu yang tergeletak di meja. Sementara dia mengambil duduk di hadapanku. Matanya langsung sibuk meneliti daftar menu.
“Ayolah, Sayang. Abang lapar. Abang mau makan,” desaknya tak sabar.
Aku tersenyum simpul. Lagi-lagi aku tidak bisa menentukan. Untuk hal kecil seperti ini saja, lidahku kelu untuk mengucapkan. Aku lebih memilih puas dengan keputusannya. Entahlah.
“Jadi, Abang lagi yang pilih menu?” tanyanya meninggalkan tatapannya pada buku menu, lalu menatapku. Anggukan kepalaku membuatnya menghela napas.
“Yakin?” tanyanya memastikan.
Sekali lagi aku mengangguk. Melebarkan senyumanku untuk meyakinkannya.
“Hmph. Kamu. Lain kali gantian kamu yang harus pilih, ya?”
Tangannya terulur, mengusap kepalaku. Kemudian dia kembali melihat daftar menu di tangannya. Tidak membutuhkan waktu lama. Beberapa saat kemudian dia memanggil seorang pelayan, memesan makan siang untuk kami.
Aku pernah mendebat ini dengannya. Aku bukan tipe orang yang pilih-pilih makanan. Sedang dia, ada beberapa makanan yang tidak sesuai dengannya. Dia memiliki beberapa makanan yang tidak boleh dia konsumsi karena lambung yang bermasalah. Jadi, aku lebih memilih untuk mengikuti apa pilihannya daripada dia yang mengikuti pilihanku.
“Coba ke sini,” titahnya, agar aku berpindah di kursi kosong tepat di sebelahnya.
“Memang kenapa?” tanyaku mengernyit.
“Ke sini dulu, ayo.”
Aku berpindah dengan beberapa pertanyaan di kepalaku. Dia meraih tanganku begitu aku duduk di sebelahnya, menggenggamnya dengan lembut. Hal tak terduga yang dia lakukan, yang membuatku semakin bingung.
“Bang?” panggilku bernada tanya.
Dia menatapku tanpa melepas genggamannya. Bahkan kini dia memberikan kecupan di sana. Ada rasa panas yang mulai terasa, menyengat wajahku saat ini. Aku yakin, beberapa orang menonton drama gratisan ini. Entah apa yang dia pikirkan sampai mau melakukan hal norak di depan umum. Sekalipun ini bagiku adalah hal romantis, dimana dia tidak malu melakukan sebagaimana orang memperlakukan pasangannya.
Dia tidak menyahutiku. Kini dia mengusap lembut tanganku. Menangkupkan kedua tangannya di sana setelah beberapa kali dia membolak balikkan tanganku.
“Ini apa?” tanyanya ketika mendapati luka kecil di beberapa tempat di ruas jemariku.
“Bukan apa-apa. Cuma kena kuku jadi luka kecil. Tapi nggak sakit kok, Bang,” elakku ingin menarik tanganku tapi dia dengan cepat mengeratkan genggamannya.
“Gara-gara kamu nyuci kemarin kan?” Dia melirikku dari sudut bulu matanya.
“Abang, ini bukan masalah. Nanti juga hilang.” Aku masih membela diri bahwa ini bukan sesuatu hal yang harus dipermasalahkan.
Dia mengembuskan napasnya. Kembali mengusap tanganku.
“Jadi, kamu kemarin beres-beres rumah?” tanyanya lagi.
Aku mengangguk.
“Nyuci baju?”
“Kenapa sih, Bang?” tanyaku mendesaknya.
Dia melarikan satu tangannya, mengusap kepalaku. Matanya menatapku lekat-lekat.
“Dengar, Sayang. Jangan lakukan lagi, oke?”
“Tapi…,” Aku ingin mengeluarkan kalimat bantahan tapi dia dengan cepat memotong kalimatku.
“Oke. Sesekali kamu boleh. Tapi, dengar Abang, jangan nyuci yang berat-berat. Biar Abang yang urus nanti,” ujarnya memberi penengahan.
“Karena aku nggak bisa nyuci dengan bersih kan?” tebakku lirih. Entah, tiba-tiba aku kembali merasakan sesak itu. Batinku yang mentertawai diriku sendiri betapa tidak becusnya aku menyandang gelar sebagai istri.
“Bukan itu, Sayang. Nggak sepantasnya Abang membiarkan kamu melakukan ini. Ibumu yang memilikimu saja belum tentu sampai hati menyuruh kamu macam-macam. Lah Abang yang hanya kenal kamu baru sebentar terus dengan nggak tahu diri, meminta kamu dari ibumu, tiba-tiba membiarkan kamu melakukan banyak pekerjaan rumah tangga kayak pembantu. Otak Abang dimana? Paham? Kalau kamu mau, nanti kita bisa lakukan bareng-bareng. Kita partner in life, Sayang. Abang nggak peduli dengan omongan orang-orang mengenai poin-poin istri yang baik. Tapi bagi Abang, Abang punya prinsip sendiri, punya poin sendiri.”
Aku terdiam. Sama sekali aku tidak berpikir sejauh ini. Yang kutahu, kodratku seorang wanita dan beberapa pekerjaan seorang istri. Aku yang berpikiran ingin menjadi istri yang baik. Yang bisa melayani suami, mengurus rumah tangga dengan baik sebagaimana seorang istri seharusnya.
“Kamu nggak harus melakukan itu. Tapi kamu boleh meringankan pekerjaan Abang. Meringankan, Sayang. Bukan berarti kamu menyelesaikan semuanya sendirian. Karena itu bukan kewajiban. Bagi Abang, istri itu bukan pembantu. Oke? Jangan lakukan lagi ya?” pintanya dengan sungguh.
Aku tidak bisa menyembunyikan kesesakanku. Mata yang berkaca-kaca. Dan semua rasa haru. Aku ingin berkata padanya, aku bahagia bisa mencintainya. Tapi aku tidak bisa. Perasaanku, membuat lidahku kelu. Yang kulakukan hanya berlari menyembunyikan wajahku di bahunya.
“Cause youre my Lady,” bisiknya.
Aku tidak bisa menahan perasaanku, mungkin orang bilang aku berlebihan. Tapi rasa haru yang mendesak membuat bahuku bergetar. Aku menangis di pundaknya.
“Hey,” panggilnya lembut saat menyadari mungkin bahunya basah.
Dia memutar lengannya, membawaku dalam dekapannya. Sementara aku sebisa mungkin menghentikan tangisku.
“Kesayangan Abang, yang Abang kenal nggak gampang nangis kayak gini,” kekehnya seraya mengusap kepalaku. Aku tertawa di antara tangisku.
“Aku…, Aku cuma merasa ini,”
“Jangan bilang apapun. Abang yang seharusnya menangis. Karena belum bisa memberikan hal sedikit saja buat membahagiakan kamu. Maaf. Abang tahu, seandainya kamu mau, banyak pria mapan yang bisa kamu nikahi. Tapi dengan egoisnya malah Abang bersikeras meyakinkan kamu untuk hidup bersama Abang yang pas-pasan kayak gini. Abang yang seharusnya tahu diri. Bukan kamu yang sibuk memantaskan diri menjadi istri yang baik buat Abang.” Dia berkata sendu, memotong kalimatku.
“Aku nggak butuh apapun. Cuma Abang,” sahutku serak.
Entah apa yang membuatku akhirnya mengatakan hal itu. Setelah selama ini aku mencoba menyembunyikan itu darinya. Kejujuranku. Aku membutuhkannya. Bersamanya aku merasa semuanya lengkap. Sekalipun dia bukan sosok yang sempurna. Aku benar tidak membutuhkan apapun yang sempurna. Aku hanya membutuhkan dia.
“Tetaplah begini. Tetap bersama Abang. Jangan pernah lelah ya,” pintanya. Aku merasakan remasan lembut di lenganku.
Bahkan tanpa Abang minta pun, jawabku dalam hati.
"Abang nggak bisa janjiin apapun. Tapi Abang pasti akan selalu berusaha biar kamu nggak menyesal menikah sama Abang," ucapnya lagi. Terdengar manis. Dan aku tahu, dia akan selalu berusaha semampu dia.
***
Tbc
Ahh ini terlalu biasa sekali..😯😯😯
Entahlah.. Jalan menuju ke sananyaa kok mampet.
Senin, 10 april 17
S andi
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top