3

“Pegangan! Nanti kamu jatuh,” perintahnya ketika aku duduk diam di boncengannya.

“Nggak. Tenang aja,” jawabku mengelak dengan menumpukan kedua telapak tangan pada lututku. Aku mendengar dia berdecak.

“Ichlal,” panggilnya pelan bernada memperingatkan sambil mengurangi kecepatan laju motornya.

“Ini sudah aman, Bang. Ini pegangan juga kok.” Sejujurnya aku masih merasa canggung untuk memeluk ataupun sekedar menyentuh bagian tubuhnya di tempat umum. Aku bukan tidak tahu kalau terkadang dia cukup geregetan dengan sikapku, sedang dia menginginkan apa yang sewajarnya sepasang kekasih atau suami istri lakukan.

“Bukan itu! Peluk Abang! Sekarang!”

Tangannya bergerak mengambil tanganku lalu menariknya hingga aku merapat padanya. Dia membuat satu tanganku memeluk satu sisi badannya.

“Satunya lagi mana?”

Aku mengulurkan tanganku untuk membuat simpul pelukan di perutnya. Tidak berhenti sampai di situ, satu tangan yang tadi dia gunakan untuk menarik tanganku kini menggenggam simpulan tanganku. Dia memberikan usapan di sana. Dan aku bisa melihat senyumnya dari spion. Sedang aku sendiri menahan sebuah perasaan entah apa namanya. Juga degub jantung yang semakin cepat. Apa aku sudah jatuh cinta pada sosok pria ini?

“Kamu yakin nggak mau request makan apa?” tanyanya setelah beberapa saat berlalu dalam diam.

Aku tidak tahu apa yang membuatku pada akhirnya menumpukan daguku di satu sisi bahunya. Membiarkan tubuhku bersandar di punggungnya. Tapi kemudian aku merasakan gerakan merapat kepadaku darinya.

“Nggak. Aku ikut Abang aja,” jawabku kali ini dengan yakin. Aku merasakan bibirku tersenyum ringan di bahunya. Ini sebuah kenyamanan yang baru saja menggulungku, melupakan kecanggungan yang tadi tercipta.

“Tapi nanti dimakan sampai habis tanpa protes ya?”

“Iya.”

“Benar? Yakin? Karena cewek, sekarang bilang iya, pas sampai di tempat berubah lagi, nggak mau.”

Aku mendengus. Tanganku bergerak mencubit kecil perutnya, membuatnya tergelak di antara ringisan sakitnya.

“Aku nggak yang kayak gitu!”

“Astaga! Abang nggak pernah bermimpi punya istri seganas kamu, Ichlal!” pekiknya tertahan.

Aku melebarkan mataku, menarik satu tanganku untuk menepuk keras punggungnya. Dia membuatku merasa menjengkelkan.

“Aduh! Ichlal, demi apa? Sebentar lagi akan ada stempel di perut Abang karena cubitan kamu. Juga di punggung,” omelnya tapi kemudian dia terbahak di antara ringisannya ketika aku menambah satu cubitan lagi di lengannya.

“Orang tuh kalau sama suami dicium, disayang. Bukan dianiaya begini. Ya Allah, dosa apa aku,” gerutunya.

“Kalau Abang nggak nyebelin juga nggak dapat cubitan,” elakku membela diri.

“Tuh, wanita selalu benar kan?” Dia kembali meledekku dengan argumen mengenai paten perbedaan pria dan wanita.

Aku mendengus. Dia sering mengajakku ribut-ribut kecil dengan argumen-argumennya. Itu sangat menjengkelkan. Tapi aku tahu, ini bukan untuk debat yang serius. Dia hanya senang membuatku jengkel dengan perdebatan konyolnya. Dan biasanya berakhir dengan remasan gemas di puncak kepalaku.

“Ya, ya. Wanita selalu benar,” ucapku akhirnya seiring dia membelokkan motornya, menepi di sebuah tempat makan di pinggir jalan.

Kalau ada yang berpikir aku adalah bagian dari para wanita yang hanya mau makan di restoran itu salah. Aku termasuk orang yang menghindari restoran-restoran yang kadang hanya digunakan sebagai ajang selfi oleh beberapa wanita penghuni media sosial.

Untuk sesaat aku tertegun ketika dia meraih satu tanganku ke dalam genggamannya, menggandengku memasuki tempat makan yang menyajikan aneka seafood itu, sebelum akhirnya aku bisa menganggap ini adalah hal yang harus kubiasakan. Dia membawaku pada tempat duduk paling sudut dan paling dalam. Aku meliriknya dan kudapati dia tengah serius melihat satu lembar daftar menu, bukan ketampanan, sekali lagi, yang kudapatkan. Tapi sesuatu yang tidak pernah kutemukan sebelumnya dari lelaki manapun. Aku melihat kenyamanan di sana. Aku merasakan ini aku apa adanya tanpa merasa aku takut dia akan merendahkanku.

“Hey, lihatnya biasa saja. Kayak yang baru ditinggal sepuluh tahun saja,” tegurnya seraya menoleh kepadaku.

Aku hanya tertawa kecil, membiarkan tangannya yang kini berlari mengacak rambut di bagian belakang kepalaku. Dan aku juga menikmati sensasi merah jambu di wajahku saat ini karena dia tanpa kuduga, mencium pipiku. Hey, demi apa, aku seperti gadis SMA yang baru saja ditembak pujaan hatinya.

Mataku menyelami matanya untuk beberapa saat. Aku merasakan aku tersesat di sana ketika aku menemukan tatapan lembutnya kepadaku. Dia, laki-laki yang tidak pernah mengungkapkan perasaannya secara verbal. Hanya mata dan gesture tubuh yang banyak bercerita. Tangannya yang tak pernah lupa memberikan sentuhan lembut kepadaku.

“Hey? Kamu oke?” tanyanya sekali lagi.

“Aku?”

Dia mengangguk, menatapiku lebih dalam lagi. Tapi kali ini disertai dengan rasa khawatirnya. Aku menggeleng pelan, memberinya senyuman tipis untuk menepis rasa khawatirnya terhadapku.

“Aku nggak apa-apa. Cuma…,”

“Cuma apa?” tanyanya bernada mendesak.

“Abang,” panggilku pelan.

“Iya, kamu kenapa? Jangan bikin Abang khawatir, Ichlal.”

“Abang…, I love you,” bisikku pelan tanpa melepas tatapanku darinya. Aku tidak tahu kenapa, malam ini aku ingin mengucapkan kalimat itu. Tidak peduli jika nanti reaksinya hanya berupa tawa atau bahkan menganggap tidak mendengarnya. Yang pasti aku ingin jujur, aku mencintainya, entah sejak kapan.

Dia terdiam selama beberapa saat. Sebelum tangannya yang masih menggenggam bagian belakang kepalaku, bergerak memberikan usapan lembut di sana. Aku tersenyum tipis ketika apa yang kupikirkan terjadi. Dia tidak menjawabku. Sedikit kecewa, tapi sudahlah. Dia suamiku, milikku. Lagipula cinta hanya tidak sebatas kata.

“Abang pikir ada apa. Ternyata hanya itu.”

Hanya itu? Aku meringis kecil. Tidak menyahutinya. Aku merasa menyesal memilih larut dengan rasa yang dia hadirkam. Dan kini aku lebih memilih mengambil segelas teh tawar hangat di hadapanku lalu menyesapnya. Tapi kemudian aku hampir saja membanting gelas di tanganku ketika dia mengecup sudut bibirku kemudian berbisik di telingaku.

“Abang  lebih dari itu.”

Dengan cepat aku menoleh kepadanya disertai tatapan terkejutku. Dia terkekeh, santai, seolah tidak pernah terjadi sesuatu. Tangannya dengan santainya mengambil makanan bagiannya. Saat ini aku hanya berpikir semoga pengantar makanan tadi tidak melihat apa yang sudah Nara lakukan terhadapku.

“Makan. Abis ini kita harus mampir ke kedai. Jangan lama-lama karena Abang nggak mau pulang larut dengan kamu di boncengan. Nanti kamu masuk angin.”

“Ck! Tapi aku nggak selemah itu, Abang.”

“Abang tahu. Tapi menjaga kesehatan jauh lebih penting.”

“Iya, Om!”

Matanya melebar seketika. Dia bahkan menghentikan kunyahannya demi mendengar cibiranku.

“Tante!” balasnya tak terima.

Aku mengulum senyumku. Kamu tahu, aku suka membuatmu kesal. Aku suka ekspresi jengkelmu. Aku tidak bermaksud apa-apa. Ini hanya salah satu caraku mencintaimu. Saat semua nanti akan kujadikan sebuah kenangan manis.

Aku seperti tidak bisa menghentikan perasaan membuncahku saat ini. Bahkan saat makan, aku seperti tidak berhenti tersenyum. Sesekali aku melirik dirinya yang tengah sibuk melahap makanannya.

“Lapar banget, Bang?”

Dia hanya mengangguk di antara kunyahannya. Aku menatapinya dalam diamku. Ah, andai saja aku bisa memasak, pasti hal ini tidak akan terjadi.

“Abang kalau masih lapar, punya aku masih banyak,” ujarku pelan.

Dia menghentikan kunyahannya, menatapku memicing. Kemudian kembali melanjutkan makannya.

“Itu punya kamu, habiskan. Kamu janji tadi mau habisin makananmu. Kalau Abang masih lapar tinggal nambah lagi. Ayolah. Kalau nggak dimakan, Abang tinggal.”

Aku memutar bola mataku sebelum akhirnya memakan kembali makananku. Namun aku tidak tahu kenapa, mata ini enggan beranjak darinya. Sampai pada suapan terakhir, aku tersedak oleh makanan itu begitu melihat sebuah pesan yang baru saja dia buka di ponselnya.

Bisa jemput aku nggak nanti malam? Aku lembur, takut kalau mau naik angkutan umum sendirian. Please, I beg you.

Dari Mentari. Aku merasakan kesesakan itu ketika melihat namanya di sana. Bukan hanya karena tersedak tapi juga perasaan yang lain.

“Abang tungguin. Makannya pelan-pelan saja. Abang telfon Bima dulu ya? Mau kasih tahu kalau kita mau mampir ke kedai.” Dia beranjak tanpa menunggu jawabanku.

Aku meringis tipis. Bukan sahabatnya yang dia percaya untuk membantu mengelola kedainya, yang akan dia telfon. Aku tahu. Tapi wanita itu. Mentari.

“Abang,”

“Cuma sebentar, Sayang. Kamu lanjutin makannya.”

Aku kembali diam. Menatap punggungnya menjauh, menuju ke motornya. Dia lebih memilih menelpon di atas motornya hanya karena tidak ingin aku tahu. Dan kenapa? Aku bahkan baru saja merasakan sesuatu yang kunamai bahagia, meski bahagia versiku sendiri. Sekarang malah berganti dengan kesesakan. Bahkan ini tidak sampai dalam kurun waktu satu jam.

Aku masih mengamati di antara kunyahanku dengan sangat pelan. Beberapa kali aku mencoba menghalau kesesakanku dengan tarikan napas panjangku. Tapi ini sulit, aku gagal. Udang asam manis yang tersisa beberapa ekor di hadapanku sudah tidak menarik lagi. Aku kehilangan selera makan hanya dalam sekejab. Bukan hanya selera makan. Tapi entah ini perasaan apa namanya.

Dari gerak geriknya, aku tahu dia sedang mencoba menjelaskan sesuatu. Ah, aku harap ini hanya bentuk ketakutanku saja, ujarku dalam hati. Aku mencoba menepis semuanya ketika dia kembali menghampiriku.

“Udangnya masih utuh? Kamu makan apa puasa mutih?” tanyanya ketika melihat porsi udang di hadapanku hanya berkurang beberapa saja.

“Makan. Ini lagi mau aku makan kok,” sahutku pelan, “Sudah nelponnya?”

“Hem. Cuma kasih tahu kalau kita mau mampir doang. Kenapa harus nelpon lama,” sahutnya seraya meletakkan ponselnya di meja.

Tapi tak berapa lama, nama Mentari kembali muncul di layar ponselnya. Kali ini bukan pesan, melainkan sebuah panggilan. Aku memilih untuk menfokuskan tatapanku pada makananku, berpura-pura tidak tahu. Bahkan ketika dia dengan cepat meraih kembali ponselnya lalu beranjak meninggalkanku hanya dengan lambaian tangannya. Sebuah isyarat meminta izin untuk menerima telpon. Dan aku hanya mengangguk, menahan rasa seperti tercekik yang kian terasa. Aku mengerjabkan mataku beberapa kali demi mendapatkan kembali kendali atas diriku.

Aku tidak meminta banyak, Abang. Hanya, hargai perasaanku, tolong. Karena wanita manapun pasti akan meradang ketika melihat wanita seperti Mentari, yang kamu bilang hanya teman, terus menghubungi.

***

Tbc
Senin, 06 Maret 2017
S ANDI

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top

Tags: #romance