2

Ada rasa kehilangan. Ada rasa hampa seperti aku tidak memiliki dunia lagi ketika aku benar-benar meninggalkan tempat kerjaku itu. Bahkan napasku seperti berhenti sesaat ketika kepalaku menoleh, menatap tempat yang mengisi langkahku selama ini. Aku membiarkan terlihat lemah dengan air mata membanjiri wajahku kali ini. Tetapi hati masih berusaha meyakinkanku bahwa ini adalah keputusan yang terbaik. Tanganku terulur menyentuh kaca jendela taksi.

"Jalan sekarang, Bu?" Aku mendengar suara supir taksi, menginterupsi salam perpisahanku.

Aku menarik napas dalam-dalam lalu tersenyum tipis. Satu tanganku bergerak cepat mengusap air mata itu.

"Ya. Sekarang, Pak. Maaf, saya hm...," Aku menelan ludahku susah payah. Terasa asin bercampur dengan tangisku.

"Ndak apa-apa, Bu. Saya paham. Meninggalkan tempat kerja yang sudah kita anggap seperti rumah sendiri itu berat. Apalagi seusia Ibu. Masih semangat-semangatnya kerja." Bapak itu tersenyum paham melirik dari kaca kecil.

Aku meringis tipis. Ah, seandainya dunia itu tidak berputar secepat ini. Mungkin saat ini aku masih di atas awan, menikmati dunia yang menjadi impianku. Semua hal yang selama ini menjadi tempat ternyamanku untuk melupakan semua kesesakan.

Separuh batinku mengejek, karena aku sepertinya belum merelakan sepenuhnya untuk meninggalkan duniaku. Masih ada sisi ambisi yang menggelayutiku. Memang, tapi aku sedang berusaha untuk benar-benar meninggalkan apa yang dulu menjadi duniaku.

Aku membiarkan mataku menatap keluar jendela. Sekalipun aku sendiri tidak tahu apa yang kulihat. Karena aku masih sibuk dengan pikiran yang berkecamuk. Bahkan hingga sampai di depan sebuah rumah mungil bergaya minimalis itu, aku belum sepenuhnya beranjak dari kecamuk pikiranku.

"Sudah sampai, Bu," ucap sopir taksi itu tersenyum ramah kepadaku.

"Ah, ya. Terimakasih, Pak." Aku tergagap dari lamunanku, memaksakan sebuah senyuman sebagai basa-basi.

"Sama-sama, Bu."

Aku beranjak turun, menyeret kakiku menuju ke rumah bercat putih itu. Aku baru akan membuka pintu ketika sebuah tangan menyentuh puncak kepalaku, memberikan usapan ringan di sana.

"Kamu baru pulang?"

Tanpa aku menoleh pun sudah tahu siapa orangnya. Aku membiarkan dia mengecup puncak kepalaku. Tangannya mengambil alih kunci di tanganku.

"Mata kamu merah?" Dia menelisik wajahku lalu ke bagian mata. Di sana dia menfokuskan tatapannya cukup lama.

"Nggak ada," sahutku berusaha menutupi bekas tangisku, "Abang jam segini udah pulang?"

Aku mengalihkan perhatiannya pada pertanyaanku. Memang tidak biasanya dia pulang lebih awal. Jam saat ini menunjuk pada angka 16.38. Sedang yang kutahu dia akan pulang dari kantor nanti ketika tepat pukul lima sore.

"Iya. Besok kan akhir pekan. Lagian kerjaan udah beres semua. Tadi teman-teman ngajak pulang. Ya sudah, Abang ikut pulang. Tapi sampai rumah, kamu nggak ada. Abang lupa kalau kamu hari ini terakhir kerja. Jadi, pasti beres-beres barang dulu. Sini, Abang bawa." Dia mengambil alih kotak yang berada di tanganku setelah dia membuka pintu.

Aku menatapi punggung dari tubuh menjulang itu. Sesuatu yang membuatku menahan napas ketika berada di dekatnya, bukan ketampanannya seperti di novel-novel picisan. Melainkan adalah sebuah perasaan, dimana ketika berada di dekatnya, aku merasakan hadirnya keyakinan bahwa apa yang kujalani adalah sesuatu yang tepat. Keraguan-keraguanku terhadapnya lenyap seketika. Dan yang kuharap ini bukan sekedar perasaan.

Sering aku merenungi apa yang sudah kulalui bersamanya. Terkadang aku merasa memang benar semua karena kebiasaan, kebersamaan. Tapi kalau dipikir lagi, ketika aku merasa adanya emosi, gelisah atau sesak ketika dia bersama teman wanitanya itu, atau ketika dia tidak menghubungiku seharian, aku merasa ini bukan sebatas karena terbiasa bersama. Apa sekumpulan perasaan itu bisa kusebut jika aku mencintainya, ingin memilikinya? Dan hingga detik ini aku masih membiarkan semua itu berkecamuk di dalam pikiranku yang seringnya aku mulai meyakini bahwa aku memang memiliki perasaan itu.

Hey, jangan pernah membuatku merasa menyesal karena telah membuat keputusan besar. Meninggalkan duniaku hanya untuk hidup bersamamu, batinku menggumam.

"Sayang, kamu mau makan apa buat nanti malam? Abis mandi, Abang mau keluar beli makan."

Aku mendengar seruannya dari kamar mungil kami. Baru aku merasakan keyakinan itu dengan sedikit berbangga. Sekarang aku seperti dihempas kenyataan. Minggu awal rumah tangga ini, aku belum pernah membuatkan makanan untuknya. Pagi, untuk sarapan aku pasti membeli nasi uduk atau sekedar bubur ayam di ujung gang. Untuk makan siang atau malam pun beli. Ini membuatku mentertawakan diriku sendiri bahwa aku adalah contoh istri yang buruk. Aku belum bisa memperlakukan suami dengan baik. Atau sadisnya, aku belum siap untuk berumahtangga.

"Sayang?" panggilnya sekali lagi ketika aku tak kunjung merespon.

"Abang mau makan apa? Biar aku aja yang beli. Aku nggak makan malam ya, Bang. Masih kenyang." Aku melangkah memasuki kamar. Tanpa melewatkan tatapan penuh tanya darinya.

"Kamu di rumah aja. Biar Abang yang jalan. Ayolah, kamu mau makan apa? Abang nggak mau dengar kamu nggak makan dengan alasan masih kenyang."

Dia memberiku tatapan peringatan, melangkah mendekatiku. Sedang aku memberinya tatapan memohon. Dia berdecak kecil, memegang kedua bahuku, menatapku lurus.

"Abang," panggilku pelan, meminta pengertian darinya.

"Dengar, kamu nggak perlu berpikir bahwa makanan beli adalah pemborosan. Kamu harus tetap makan. Kamu adalah tanggungjawab Abang sejak kita menikah. Oke? Mengerti?"

"Oke," sahutku pelan.

"Good. Jadi kamu mau Abang beliin apa?" Dia tersenyum puas.

"Apa aja. Kali ini Abang yang pilih. Dan... Abang, kayaknya aku perlu belajar memasak," ucapku tiba-tiba atas sebuah pikiran yang baru saja terlintas.

"Buat?" Dia menaikkan alisnya sebelah, terlihat sedikit keberatan saat aku menyinggung masak-memasak. Yang ku tahu, ibunya adalah seorang wanita yang pandai memasak. Ibunya memiliki usaha catering.

"Aku mau menjadi istri yang baik. Mungkin nanti aku akan belajar sama ibu."

"Jadi... menurutmu, istri yang baik adalah yang pintar memasak?" tanyanya pelan, membuatku meringis tipis. Karena aku tahu apa yang ada dipikiranku tidak searah dengan cara pikirnya.

"Salah satunya."

Dia menghela napas, melepaskan tangannya dari bahuku lalu melipatnya di dada. Matanya masih menatapku, kali ini serius.

"Kalau begitu, mbak-mbak kantin di kantor adalah calon istri yang baik dong?"

"Abang," Aku setengah merengek, karena dia mulai mendebatku. Pada akhirnya aku akan menjadi pihak yang mengalah.

Dia terkekeh kemudian mengecup pipiku, "Kalau nyari istri yang pintar memasak, tukang warteg pun bisa memasak, Ichlal. Tapi, istri yang baik menurut Abang nggak sebatas itu. Oke? Jangan mendebat lagi. Abang mau mandi."

"Abang, please!" Aku berseru tepat ketika dia menutup pintu kamar mandi. Tapi kupikir dia masih bisa mendengar, hanya tidak menjawab seruanku.

Aku menghempaskan tubuh ke ranjang. Otakku kembali berkutat pada sebuah opini yang mendarah daging di masyarakat Indonesia mengenai istri idaman yang membuat suami enggan meninggalkan istrinya. Pertama, pintar memasak dan mengurus ini itu. Kedua, sikap anggun dan lemah lembut. Dalam hal ini menyangkut memperlakukan atau melayani suami dengan baik. Dan ketiga, memiliki dasar akhlak yang baik. Sedang aku? Aku seperti menemukan seseorang bertubuh besar menghampiriku dengan sebuah cermin besar di tangannya, berkata dengan sinis, berkacalah, Ichlal!

Seketika aku ingin lenyap, menangis di lantai, betapa menyedihkannya aku. Dan aku masih tidak mengerti alasan Nara menikahiku. Apa yang dia lihat dari seorang Ichlal, hah? Bilang saja aku kini tengah tersesat di sebuah cerita dongeng dan akan dibangunkan nanti oleh sebuah kenyataan pahit. Tapi, aku harap ini tidak terjadi.

"Kamu masih sedih karena resign dari kerjaanmu?" Sebuah suara membangunkanku dari lamunanku selama beberapa saat. Mungkin dalam hitungan menit.

Aku mengangkat tubuhku, duduk di tepi ranjang dengan kaki menjuntai ke lantai. Mataku terarah pada tubuhnya yang terbalut celana pendek dan kaos hitamnya. Perlahan aku mengembuskan napas. Tidak tahu harus menjawab apa. Tidak lama dia duduk di sebelahku. Terdengar hembusan napas pula darinya.

"Abang tahu ini berat. Tapi perlahan kamu pasti bisa menyesuaikan diri, oke? Jadi, kamu mau makan apa? Atau kamu mau ikut aja?"

Aku menelan ludahku dalam diam. Menatapinya selama beberapa saat.

Kalau kamu tahu apa yang membuatku begini, apa yang akan kamu lakukan, Bang? Bukan pada kesedihan karena resign. Tapi karena aku takut aku nggak bisa menjadi istri yang baik. Yang bisa kamu banggakan di hadapan keluargamu atau teman-temanmu.

Karena aku tahu, bagi seorang wanita, menjadi seorang istri itu merupakan sebuah tanggungjawab yang besar. Apalagi posisiku terhitung jauh di bawah kategori istri idaman. Aku juga tahu jika orangtuanya tidak begitu menerima kehadiranku karena keterbatasanku. Ada banyak hal di sini. Selain dari aku yang masih ragu dengan perasaanku. Juga pandangan orangtuanya. Dan aku paham yang menjadi ketakutannya bahwa cinta saja tidak cukup.

"Hey?" Dia melambaikan tangannya di depan wajahku, membuatku tergagap.

"Ikut aja," sahutku pelan. Kemudian tersenyum tipis kepadanya.

"Ya sudah, kamu mandi dulu sana. Kita makan di luar aja. Pulangnya sekalian mampir ke kedai. Sudah lama Abang nggak mampir."

Aku mengangguk patuh kemudian beranjak dari dudukku, menuju ke kamar mandi. Ke kedai? Aku pernah sekali ke sana. Itu pun hanya sebentar. Kedainya memang ramai. Apalagi sore menjelang malam. Banyak anak-anak muda menghabiskan malamnya di sana. Tapi ada juga karyawan kantoran yang mampir sekedar melepas penat dengan secangkir kopi. Dia sering cerita bahkan sering lengkap dengan foto.

Yang kutahu dia tidak mengerjakan semuanya sendirian. Dia mengurus kedainya dibantu oleh seorang teman dekatnya. Aku tidak ingat namanya karena saat itu aku hanya berkenalan secara sekilas, hanya berjabat tangan sekedar basa-basi sedikit lalu Nara mengajakku pulang.

"Sudah mandinya?" Nara bertanya tanpa mengalihkan wajahnya dari layar tablet di tangannya begitu aku keluar dari kamar mandi.

"Iya," jawabku singkat seraya melangkah menuju ke meja rias. Tanganku mengambil botol cream pelembab, mengeluarkan isinya sedikit lalu memoleskan ke wajahku.

"Pakai jaket atau sweater, ya? Kita pakai motor aja."

Dari sudut mataku aku melihat dia bangun dari duduknya, meletakkan tabletnya di nakas. Dia mendekati lemari, entah apa yang akan dia ambil.

"Sweaternya dipakai. Abang tunggu di depan ya? Jangan pake make-up banyak-banyak." Dia meletakkan satu sweater di atas ranjang.

"Memangnya kenapa?" tanyaku mengerutkan kening, melirik bayangannya dari cermin di hadapanku.

"Polos aja kamu sudah cantik. Jangan ditambah-tambahin nanti banyak yang melirik," sahutnya pelan bahkan nyaris tak terdengar karena dia menyahut kalimatku sambil melangkah pergi.

"Abang?!"

"Jangan lama-lama! Nanti keburu macet tambah parah. Orang-orang mau malam mingguan!" serunya seperti menghindari apa yang harus dia jelaskan.

Aku terdiam sesaat sebelum kembali membubuhkan bedak tipis di wajahku lalu merapikan alisku dengan brush. Terakhir aku memberikan sapuan lipcream warna nude sebelum aku beranjak mengambil sweaterku.

Kamu tahu apa yang membuatku pada akhirnya memilih tetap bersamamu? Caramu mengungkapkan bukan seperti mereka, bernada merayu.

Aku tersenyum tipis kemudian mengambil napas. Sekali lagi aku mencoba meyakinkan diri, berpikir positif dari segala keraguan. Bahwa apa yang berusaha Nara yakinkan padaku adalah hal baik. Aku adalah bagian dari dirinya. Begitupun sebaliknya.
***

TBC

Rabu, 01 februari 2017
S andi



Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top

Tags: #romance