18

“Namanya Thalita. Adik kelasnya masa SMA. Dia pernah sangat mencintai gadis itu. Dia melakukan hal yang sama. Menentang orangtuanya yang nggak bisa menerima Thalita. Thalita cantik. Anak orang terpandang.

Bukan orangtuanya nggak mau menerima gadis itu. Hanya saja merasa perbedaan mereka terlalu jauh. Tapi seiring berjalannya waktu, Thalita meninggalkannya. Alasannya sama sepertimu. Tapi bedanya, itu hanya alasan. Karena sebenarnya Thalita menyerah pada Nara dan lebih memilih menerima yang lain. Yang bisa menerima Thalita. Dan apa kamu tahu? Laki-laki itu adalah teman dekat Nara sendiri.”

“Nara punya teman selain kalian?”

“Tentu saja. Kami hanya sebatas teman sejak kecil. Sedangkan setiap waktu teman Nara pasti akan bertambah.”

Aku menghela napasku. Di dalam pikiranku muncul sebuah pertanyaan, kenapa harus serumit ini?

Mengingat pembicaraanku dengan Bima sepulang dari rumah orangtua Nara semakin membuat kepalaku berputar.

“Inilah yang membuat orangtua Nara sulit menerima seseorang. Apalagi yang membuat Nara kembali berani melawan orangtuanya. Ini juga yang membuat Mentari memasang badan bahkan terkesan menghalangi kalian. Tari pernah menjadi wanita yang dicintai Nara. Tapi Tari nggak bisa membalas cintanya. Tari hanya berjanji untuk menjaga Nara agar nggak tersakiti lagi.”

Tanganku kini mengusap wajah. Secangkir kopi di hadapanku bahkan hampir dingin. Memikirkan segalanya membuatku sedikit limbung. Aku menjadi ragu apa aku harus berpisah dengannya atau tetap bertahan. Rintihan memohon itu tidak bisa kulupakan begitu saja. Ditambah dengan penjelasan Bima siang itu saat aku sengaja menemuinya tanpa Nara tahu, di kedai.

“Maaf baru datang. Jalanan macet. Kupikir weekend jalanan akan sepi. Nyatanya pengerjaan gorong-gorong menambah masalah baru.”

Aku mengangkat wajahku, mendapati Davis sedang menarik kursi di hadapanku. Aku hanya tersenyum tipis sebagai reaksiku.

“Jadi, kamu sudah menemui orangtuanya?” tanya Davis setelah dia benar-benar duduk.

“Sudah. Mereka memohon untuk tetap bertahan. Juga sahabatnya.” Aku mengembuskan napas lalu menumpukan kedua siku di meja. Aku melarikan tatapanku ke luar jendela.

“Kamu sudah mengantar surat itu?”

“Belum. Aku ragu. Saat perasaan mengalahkan segalanya, aku nggak bisa menggunakan akal sehatku. Entah aku yang egois atau mereka," sahutku lesu.

Davis mengerutkan keningnya. Dia menegakkan tubuhnya, memberinya mimik muka lebih serius.

“Yang menjadi masalahnya apa? Baru saja kamu begitu yakin ingin berpisah darinya.”

“Alasan mereka sulit menerimaku. Karena masa lalu Nara. Nara pernah mengalami ini saat mereka masih pacaran. Nara sangat mencintai gadis itu sampai dia membela mati-matian gadisnya di hadapan orangtuanya juga sahabatnya. Yang membuatnya terluka sangat adalah ketika gadis itu menyerah dan lebih memilih menerima laki-laki lain. Teman Nara juga.”

“Begitu?” Dia mengangguk-angguk.

“Iya. Keadaannya sangat kacau kali ini. Tepatnya saat dia menemukan surat gugatan cerai itu. Apa aku egois namanya kalau aku bersikeras meninggalkannya? Aku nggak punya perasaan? Apa aku harus memberinya kesempatan?

Jujur, ini yang membuatku menjadi ragu. Perasaanku jauh lebih besar. Aku nggak bisa membenci apapun yang telah dia lakukan.”

“Tapi yang kamu lupakan adalah apa harus menunggu mendapat pukulan telak dulu sehingga mereka menyadari keberadaanmu? Jika kamu bertahan, apa ada jaminan mereka akan membiarkan Nara lebih banyak menghabiskan waktunya bersamamu?”

“Nggak ada. Tapi,”

“Dengar. Aku di sini sebagai temanmu. Bukan berniat memanasimu. Tapi, Lady, gunakan otakmu untuk kali ini saja. Pikirkan dengan baik. Bukan hanya memikir sehari dua hari. Logikanya begini, dari ceritamu, Nara pernah hampir depressi karena patah hati?”

“Ya. Singkatnya begitu.”

“Nara pernah menentang orangtuanya juga sahabatnya demi membela gadisnya?”

“Hm.”

“Orangtua yang baik tidak akan menutup matanya. Orangtua yang baik akan belajar dari kesalahannya. Kamu tahu letak kesalahannya dimana? Ketika mereka tidak mencoba menerima apa yang sudah menjadi pilihan anaknya. Bagaimanapun pernikahan itu sebuah keseriusan. Bukan macam pacaran.

Sudah seharusnya mereka melihatmu. Mencoba menerimamu bukan menjaga jarak seolah kamu adalah perempuan seperti masa lalu Nara. Juga teman-temannya. Seharusnya mereka bisa membedakan itu. Bukan berusaha menyeret Nara agar jauh darimu.”

Aku tercenung mendengar ucapannya. Jalan pikirnya begitu kritis. Dia seperti terbiasa menggunakan otaknya daripada perasaannya.

“Jika memang setiap orang berhak mendapatkan kesempatan kedua, pencuri kayu bakar yang di tahanan juga berhak mendapatkan kesempatan untuk bebas. Jangan biarkan dirimu diperbudak perasaan. Saat kemarin-kemarin kamu merasakan sakit itu, apa mereka peduli? Apa mereka berpikir apa yang mereka lakukan akan menyakitimu? Ini hanya sebuah pukulan telak. Tapi efeknya begitu luar biasa.” Dia memberikan penjabaran dengan cukup gamblang. Cerdas khas Davis menurutku.

Aku tertawa kecil, menggelengkan kepala. Lalu mengambil cangkir kopi milikku, menyesapnya perlahan. Davis juga melakukan hal yang sama. Bedanya kopi miliknya masih panas karena baru saja datang. Sedang punyaku sudah dingin sejak tadi.

“Jadi?” Dia menaikkan alisnya.

“Mungkin besok saja aku akan mengirimnya. Aku perlu pulang ke Solo sore ini. Untuk mengabari ibuku secara langsung.”

“Jadilah wanita berkelas. Biar nggak ada yang merendahkanmu. Jika single membuat orang lebih menghargaimu, kenapa nggak?”

Aku setuju lagi dengannya. Dulu aku merasakan apa itu ketenangan. Tidak peduli orang yang tidak menyukaiku berbicara miring terhadapku. Tapi aku memiliki banyak teman yang setidaknya jauh lebih menghargaiku.

“Ichlal?” Aku menegakkan wajahku mendengar suara perempuan menyebut namaku.

Dia berjalan menghampiriku dengan tatapan tidak percaya. Jeans belel dan kaos melengkapi sepatu keds-nya.

“Ya? Ada apa?” tanyaku tenang.

“Aku perlu bicara denganmu.”

“Silakan duduk. Apa yang perlu dibicarakan, Mentari?”

“Aku butuh kita bicara berdua,” ujarnya menegaskan lengkap dengan gerakan matanya.

“Ehm, Ichlal mungkin sebaiknya aku pergi dulu. Kayaknya dia butuh privacy.”

Aku menoleh pada Davis yang siap beranjak. Segera aku menggelengkan kepala.

“Nggak perlu, Dav. Duduk di tempatmu. Kamu yang lebih dulu datang. Kamu temanku. Kalau dia mau bicara, duduk aja. Kamu temanku bukan orang asing. Jadi, nggak masalah. Duduklah, Tari. Apa yang mau dibicarakan.”

Aku sengaja bicara pedas kepadanya. Kulihat gadis itu terkejut dengan reaksiku. Jelas dia emosi karena aku terkesan tidak menganggapnya penting. Sebenarnya ini tidak baik untuk dilakukan. Tapi entahlah, aku ingin sedikit bermain-main agar dia tahu rasanya dipermainkan. Sedikit pembalasan tidak masalah kan?

“Ini tentang Nara. Suamimu. Jadi kumohon!” Dia menekankan kata suamimu lalu menjatuhkan tatapannya pada Davis seakan ingin memberi tahu bahwa aku taken. Bahwa aku sudah menjadi hak milik orang lain.

Aku terkekeh. Tanganku mendorong satu kursi. Sekali lagi aku mempersilakan dirinya untuk duduk.

“Tenang saja. Davis temanku. Hanya teman. Dia tahu kalau aku sudah bersuami. Tapi akan bercerai dalam waktu dekat. Ada apa dengannya.”

“Jadi benar, kamu akan meninggalkannya?” Dia melebarkan matanya, cukup terkejut.

“Kenapa kamu jadi peduli? Selama ini kamu nggak peduli kalau dia sudah beristri?” Aku tertawa sinis.

“Ichlal, aku serius. Sebagai sahabatnya.”

Aku kembali tertawa. Dia mendengus tak senang. Gayaku kali ini begitu tenang dan santai seakan tanpa beban. Aku kembali menyesap kopi milikku. Sekilas kulihat Davis hanya menahan senyum seraya berpura-pura sibuk dengan ponselnya.

“Aku juga serius. Apapun alasanmu, aku nggak akan membatalkan keputusanku. Kalau saja kamu dulu bisa menahan diri. Kalau saja kamu dan keluarga Nara bahkan Nara sendiri belajar dari kesalahan itu, mungkin aku nggak perlu sibuk mengurusi surat gugatan cerai itu.

Saat kamu mengataiku bahwa aku perempuan egois, tolong, tahan. Pikirkan. Selama ini aku atau kalian yang egois. Aku hanya mempertahankan harga diriku. Sedang selama ini apa yang kalian pertahankan?”

“Nara membutuhkanmu,” ujarnya tiba-tiba dan itu terdengar sendu.

“Apa kalian baru akan memahami ini ketika seseorang meninggalkannya? Terima kasih. Aku memang orang asing di sini. Tapi aku akan segera pergi. Anggap saja aku turis. Ada lagi yang perlu dibicarakan? Aku akan melanjutkan pembicaraanku dengan Davis kalau memang sudah nggak ada. Sepertinya aku butuh jalan-jalan untuk menghilangkan penatku. Jadi, kamu pilih kemana, Dav? Kita akan beli dua tiket kalau sudah deal.”

Kulihat kepalan tangan kecil tercipta pada perempuan itu. Dia segera beranjak dengan segenap perasaan kesalnya.

Kamu salah berhadapan dengan orang, gadis kecil, gumamku disertai seringaian. Kusebut dia gadis kecil karena umurnya sama dengan Nara. Empat tahun di bawahku.

“Kamu jelas berhasil membuatnya kesal.”

Aku tertawa tanpa melepas tatapanku dari kepergian Mentari. Tanganku mengetuk-ketuk permukaan meja.

“Ya. Terkadang kita perlu sedikit bermain-main. Rasanya cukup menyenangkan.”

“Kamu sudah makan siang?” tanya Davis seraya melirik jam di pergelangan tangannya.

“Belum. Kamu?”

“Sepertinya kita butuh makan siang. Sebaiknya kita cari tempat makan siang sekarang.”

“Tunggu. Ini jaket miliknya tertinggal.”

“Sampai segitunya,” gumam Davis menatap jaket abu-abu di tanganku.

“Aku akan menyusulnya. Mudah-mudahan belum jauh. Kamu tunggu aja di sini.”

Aku beranjak keluar dari cafe itu. Mataku bergerak liar mencari sosoknya. Pusat perbelanjaan kali ini cukup padat. Tapi tidak mungkin Mentari berjalan begitu cepat hingga aku kehilangan jejaknya.

“Aku sudah memohon padanya, Bu. Dia memang cukup keras kepala. Dia dengan teman prianya yang waktu itu aku ceritakan.”

Aha! Aku menemukannya. Dia datang atas namanya ibu Nara. Terimakasih aku sudah mendengarnya. Aku melangkah mendekatinya yang berdiri di depan lift.

“Jaketmu tertinggal.”

Dia terlonjak kaget. Sedang aku hanya memberinya tatapan ringan. Dia terlihat gugup saat menerima jaketnya dari tanganku. Aku tersenyum miring, sengaja mencondongkan tubuhku padanya lalu berbisik hingga membuat dirinya menegang kaku. Kupikir Ibu Nara masih mampu untuk mendengarnya.

“You see what you don’t see. And you know what you don’t know. Saat kamu menangis di pelukan Nara, aku hanya diam tanpa kalian tahu. Saat kamu bersandar di bahu Nara, aku memaklumimu sebagai sahabatnya. Tapi sahabat yang baik, adalah yang bisa menjaga diri agar tidak menyakiti pasangan sahabatnya sekalipun kamu sangat membutuhkannya.”

Aku kembali menegakkan tubuhku, tersenyum. Bukan menyeringai. Aku telah melakukan kejahatan kali ini. Aku mempecundangi dirinya di line telephone ibu Nara.

***
Tbc
21 mei 2017
S Andi

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top

Tags: #romance