15
Aku merasakan langkah kaki ini sedikit sempoyongan. Seluruh tubuh seperti jelly. Sama sekali aku tidak pernah mengira kalau aku akan segila ini, memakinya seperti orang kesurupan. Aku tidak bisa lagi mengendalikan diriku. Ada sedikit sesal ketika aku menyerah diperbudak emosi.
“Sudah selesai?” tanya Davis menyambut kedatanganku.
Aku hanya terdiam duduk kemudian menangkupkan kedua tangan di wajah. Aku membiarkan diriku menangis sejadi-jadinya. Bahkan orang bilang ini jenis tangisan meraung-raung. Sesekali aku sampai tersedak oleh tangisanku sendiri.
“Dia menyakitimu?” tanya Davis seraya mengusap kepalaku.
Aku hanya memberinya gelengan kepala. Lalu mengangkat wajahku, membiarkan Davis melihat wajah kacauku.
“Ini salahku,” ucapku patah-patah.
“Hei, kamu hanya sedang kacau. Lebih baik aku antar kamu pulang. Saat kamu merasa lebih baik nanti, kamu ceritakan sama aku.”
“Aku nggak mau pulang!” tolakku mentah-mentah.
“Kenapa?” tanyanya terkejut.
Sekali lagi aku menggelengkan kepala. Masih dalam tangisanku, aku melihat samar Davis mengalah untuk bertanya. Dia menstarter mobilnya, melajukannya meninggalkan pelataran parkir kedai itu.
“Oke. Kalau kamu mau, kamu bisa istirahat di apartemenku.”
Aku menggeleng. Dia mengedikkan bahunya.
“Baik. Atau kita cari hotel dekat sini? Aku akan antar kamu ke sana. Mungkin kamu bisa ceritakan nanti,” ucapnya memberikan alternatif.
“Aku…merasa aku,” ini sulit untuk kuucapkan. Tangis itu kembali datang, “I just wanna stop. Aku nggak punya alasan untuk bertahan. Aku hanya menyesal. Seharusnya aku nggak berteriak di hadapan teman-temannya. Aku wanita yang memiliki attitude cukup baik kan?”
“Ssh. Jangan pernah menyesali. Kamu tahu? Kucing yang menggemaskan pun pasti akan mencakar jika sudah melewati batasannya. Kamu hanya sedang berada di titik itu. Terkadang seseorang perlu diberi satu pukulan agar tahu dimana batasnya.”
Aku menarik napasku dalam-dalam, mengerjabkan mata. Lalu mengusap wajahku sebelum tersenyum tipis pada pria di sampingku. Entah, yang keluar malah tawa kecil. Mungkin aku mulai mengidap gangguan kejiwaan.
“Hei, ada yang lucu?” Dia mengernyit.
Aku menggeleng. Menarik napas dalam-dalam. Setidaknya sekarang aku tidak sekacau tadi.
“Tapi aku perlu untuk pulang. Menyiapkan dokumen surat gugatan cerai. Aku akan mengakhiri ini. Nggak peduli pernikahanku masih sangat baru.”
Dia melebarkan matanya. Cukup terkejut dengan apa yang kukatakan baru saja.
“Ichlal, ini nggak bagus. Mengambil keputusan secara sepihak apalagi saat kamu emosi seperti ini. Yang aku takutkan ini akan menjadi penyesalanmu nanti. Ingat saat kamu berdua berjanji di hadapan Tuhan.
Ini bukan sekedar kamu mengucap sumpah. Bukan. Tapi bagaimana kamu berdua memperjuangkan agar orang-orang memberikan jalan agar kalian bisa bersama. Itu bukan perjuangan kecil.”
“Aku sudah memikirkan ini sebulan belakangan. Saat aku mulai merasa ini lebih dari cukup kupendam. Dia nggak pernah bisa melihat aku dalam posisi tertinggi di hidupnya. Mungkin ini memang salahku karena aku terlalu menuntut, berharap lebih.
Kamu tahu? Saat dunia menentangmu, kamu berusaha untuk tetap berdiri. Dan saat dunia merendahkanmu, apa kamu tetap akan membiarkan itu terjadi? Aku memutuskan untuk pergi. Mereka boleh menentangku. Tapi tidak dengan merendahkanku atau tidak menghargaiku. Ibuku, yang berjuang mati-matian membesarkanku. Aku hanya akan seperti orang tolol jika membiarkan hasil perjuangan didikan ibuku direndahkan begitu saja. Sementara di luar sana masih banyak yang bersedia memandangku, menghargai keberadaanku tanpa harus kuminta. Jadi kuputuskan, mengapa aku harus bertahan?”
Jika saja ada yang mampu melihat, pasti ada kilatan dendam di mataku. Aku mengutuk mereka yang sudah bicara buruk tentangku. Atau bahkan mengarang cerita. Kilasan-kilasan tentang omongan orangtua Nara, teman-teman Nara bahkan sikap Nara sendiri. Aku akan mengingat itu sebagai cambuk bagiku untuk tetap melangkah. Hidupku bukan untuk terpasung dalam keadaan ini.
Ibuku dulu pernah mengingatkanku untuk selalu siap dalam kemungkinan terburuk. Kalau bukan aku sendiri, siapa lagi yang akan bertanggungjawab atas kelangsungan hidupku? Ketika hidupku tidak sebatas pada jangkauan suamiku.
“Aku mengerti. Ini pasti berat untukmu. Bertahanpun hanya akan menjadikan kamu sebagai korban di sini. Selagi hati mereka tidak tergerak. I’ll never stop to support you. So, what can i help you? As friend.”
“Aku nggak tahu bagaimana mengurus proses perceraian. Apalagi ini aku yang menggugat. Aku tentu butuh bantuanmu. Tapi aku akan pikirkan nanti. Kamu harus mengantarku pulang saat ini.”
“Baik. Kita akan pulang. Besok pagi aku akan datang. Kita akan mencari tahu bagaimana caranya. Kamu perlu pengacara?” tanyanya.
“Atau kamu berniat jadi pengacaraku?” Aku terkekeh.
“Aku pikir keadaanmu lebih baik daripada tadi. Baguslah, kamu masih waras. Nggak ngajak aku ke club,” celotehnya membuatku terkekeh.
“Lebih baik aku pakai uangku untuk mencari tempat tinggal baru daripada aku habiskan untuk tempat sialan itu,” dengusku.
Davis tergelak. Sedang aku merasakan sedikit kelegaan. Dalam hati aku berjanji, keadaan ini tidak akan pernah kuijinkan masuk lagi dalam kehidupanku.
Aku segera turun dari mobilnya. Memberinya lambaian tangan sebelum masuk ke rumah. Aku mengembuskan napas. Entah, aku tidak memiliki rasa kantuk. Mataku masih segar meski lelah itu kurasakan. Aku menjatuhkan tubuhku di sofa ruang tengah. Sedikit berpikir apa yang harus kulakukan.
“Aku nggak tahu, kenapa aku nggak pernah mencari informasi ini. Dan sekarang aku seperti orang bodoh,” gumamku seraya mengambil ponselku. Mencari informasi di jejaring sosial tentang prosedur melakukan gugatan cerai. Karena memang sama sekali aku tidak pernah terpikir sebelumnya untuk melakukan ini. Yang kutahu aku menikah dan akan memiliki sebuah keluarga utuh bahagia.
Mataku meneliti dari kata per kata sekaligus berpikir memahaminya. Sesekali mengernyit sebelum aku beranjak mengambil sebuah map yang berisi beberapa dokumen yang kubutuhkan.
“Oke. Aku mendapatkannya. Dan akan kubuat copy-an agar dia tahu apa yang kuputuskan adalah sebuah kesungguhan.”
Aku mengernyit sendiri. Kupikir ini masih ada yang kurang. Entah apa.
“Davis! Aku butuh bantuanmu seperti yang kubilang. Aku sudah melengkapi semua dokumen itu. Tapi kupikir masih ada yang kurang.” Aku berucap tanpa sepasi begitu Davis menjawab telfonku.
“Surat nikah asli, fotokopinya jangan lupa, fotokopi KTP milikmu. Lalu dokumen atau sertifikat hartamu. Kamu bisa membuat tuntutan atas harta…,”
“Itu semuanya sudah. Tapi aku nggak akan menuntut apapun darinya. Aku malah akan memberinya hadiah kecil nanti.”
“Apa kamu sudah membuat suratnya?”
“Apa itu perlu?”
“Tentu saja. Sekarang kamu buat itu.”
“Suratnya kayak apa?”
“Kamu bisa searching. Pasti akan ada banyak contoh di sana.”
“Oke. Baiklah. Akan kutelpon nanti kalau aku punya sedikit masalah lagi.”
“Siap menantimu.”
Aku mengambil notebook-ku setelah mendapatkan contoh surat gugatan cerai. Tanganku mulai mengetik beberapa yang harus kuedit. Aku begitu bersemangat sampai aku melupakan perasaanku kepadanya. Sampai selesai menge-print, aku menemukan senyuman itu. Senyuman milikku.
Aku menatap jam dinding. Lewat dari pukul 3 pagi. Aku mengembuskan napas singkat. Dia benar-benar tidak pulang.
Tidak perlu merasa risih lagi, Bang. Kamu akan bebas sebentar lagi. Kamu akan memiliki sangat banyak waktu untuk kamu habiskan pada duniamu, teman-temanmu. Aku akan mengembalikan kamu pada mereka. Maaf untuk kehadiranku selama ini.
Sekalipun aku berkata aku mencintaimu, tapi aku tahu. Cinta saja nggak cukup. Teman-temanmu benar. Aku hanya orang asing. Aku bahkan nggak bisa membuatmu bangga memiliki istri sepertiku. Tapi, nanti, aku sangat berharap, kamu akan menemukan seseorang yang bisa membuatmu bangga. Bukan hanya kamu. Tapi juga keluarga dan teman-temanmu.
Terimakasih untuk semua hal yang kamu berikan kepadaku. Bagaimanapun aku bangga pernah mengenalmu juga pernah masuk ke dalam kehidupanmu.
Dariku, Padnya Ichlal
Aku menyelipkan tulisan itu dalam satu map copyan surat gugatan cerai yang rencananya akan kulayangkan besok di pengadilan. Aku menepati ucapanku. Tidak hanya itu, juga beberapa barang yang sengaja kusimpan untuknya. Entah apa tujuanku dulu melakukan itu. Tapi aku hanya merasa, dulu aku begitu mencintainya. Sampai-sampai aku tidak sampai hati menghabiskan hasil jerih payahnya sekalipun aku adalah istrinya. Aku merasa aku masih memiliki uang kalau hanya untuk mengisi perutku. Karena aku tahu Nara bukan dari keluarga yang cukup punya. Aku hanya mencoba memahami itu. Dia masih memiliki tanggungan untuk menghidupi keluarganya dengan baik. Tapi sudahlah, hanya ini satu-satunya yang bisa kulakukan untuknya. Setidaknya aku meninggalkan hal baik untuknya.
Aku beranjak menuju ke kamar. Mengemasi beberapa barangku. Hanya pakaian. Tidak banyak. Nanti saat kupindah dari sini, aku baru akan mengambil beberapa barangku yang tertumpuk di rumah ibuku. Aku juga akan menjelaskan pada ibuku betapa aku begitu bodoh karena gagal mempertahankan rumah tanggaku. Aku mengembuskan napas begitu selesai mengemasi barangku.
“Kamu serius? Dengan ini? Kamu akan meninggalkan Abang?” Sebuah pertanyaan terdengar menarik tipis kulit telingaku. Begitu menyayat. Dia pulang.
“Ini keputusanku,” sahutku datar. Aku mencoba mengeraskan perasaanku.
“Aku harus bagaimana biar kamu tetap tinggal di sini sebagai istri?”
“Nggak perlu melakukan apapun. Aku yang seharusnya pergi dari sini. Aku akan mengembalikan kamu pada mereka. Dulu kamu milik mereka seutuhnya. Saat aku datang, mereka kehilangan kamu. Aku baru menyadari itu. Sekarang, kamu bisa kembali pada mereka.” Aku membalikkan badan. Menatap dirinya dengan keangkuhan yang sengaja kuciptakan. Aku melihat dia dalam keadaan mengenaskan. Tatapan terluka. Wajah yang kusut. Tapi aku sudah menjatuhkan keputusan. Aku berusaha keras menggunakan otakku agar tidak diperbudak oleh perasaanku yang besar terhadapnya.
“Aku akan menemui orangtuamu besok sepulang dari pengadilan. Meminta maaf karena sudah merenggut kamu sebagai anaknya. Juga teman-temanmu. Setelah ini, aku pastikan mereka nggak akan kehilangan kamu lagi.”
“Tapi aku akan kehilangan hidupku.”
Aku akan tertawa kecil. Melangkah maju mendekatinya. Tanganku singgah di pundaknya.
“Jangan berlebihan. Banyak orang putus cinta yang bilang i cant live without you. Tapi nyatanya seiring waktu, mereka masih baik-baik saja. Bahkan sudah menemukan yang lain.”
“Tapi aku serius!”
“Lanjutkan hidupmu. Aku sudah membebaskanmu,” ucapku sekali lagi kemudian berlalu dari hadapannya tanpa peduli dengan dirinya yang meraung-raung memanggilku.
***
Tbc
19 mei 2017
S Andi
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top