ᴛɪɢᴀ

• ʙʀᴇᴀᴋᴀʟᴏᴠᴇ •

Indra tidak bisa menyembunyikan tawanya ketika mendapati wajah Angger serupa dengan pamflet selebaran minimarket yang biasa dibagikan oleh karyawan berkeliling komplek perumahan—tertekuk. Salahnya memang meminta Bilqis membujuk Angger agar melupakan marahnya akan keputusan Indra.

Angger menerima kopi hitam dalam gelas kap air mineral yang disodorkan Indra sembari mendengkus. Ia meraih ponsel yang ada di samping tempat duduk dan mengecek apa ada kabar dari Ares atau personil lain mengenai kondisi toko.

Membuka grup toko, kemudian tersenyum samar ketika mendapati chat berupa candaan Riana, Citra, Fikri dan Agyl perihal oleh-oleh yang mereka pesan.

Nggak ada duit, kan gaji gue kemarin abis buat bayar barang hilang.

Begitu balasan Angger kepada seluruh karyawannya yang langsung mendapat respons berupa sticker WhatsApp seperti emotikon menangis atau emotikon melempar uang. Angger terkekeh. Menggoda bawahannya memang menyenangkan, walau diam-diam ia sudah menghitung uang untuk oleh-oleh yang diminta mereka.

Pandangannya kembali ke depan bus. Sejak kejadian Bilqis menghampiri Angger, tatapan mata laki-laki berdarah Jogja itu selalu menangkap objek yang sama. Bilqis. Ia tidak tahu kenapa. Namun, sorot matanya selalu tidak sengaja menangkap potret Bilqis kemudian ikut tersenyum ketika gadis berambut panjang ikut tersenyum.

Hino Dutro 130 MDBL dengan kapastitas 30 penumpang yang hanya diisi 20 orang itu melesat melintasi wilayah Jawa Tengah. Empat belas jam perjalanan non-stop dari Jakarta menjadikan sopir beristirahat sebanyak tiga kali sesuai kesepakatan. Pertama di Cirebon, setelahnya di Semarang dan terakhir di daerah Purwosari kemudian melesat sampai di Malang pukul sebelas malam.

Malang dianugerahi suhu yang sejuk. Ada lima pegunungan yang mengelilingi wilayah Malang, salah satunya pegunungan Bromo-Tengger.

Sisi bagian selatan dimanfaatkan sebagai kawasan Industri, bagian utara dataran tinggi yang subur sehingga masyarakat mendominasi dengan cocok tanam dan bagian barat yang terkenal dengan daerah pendidikan.

Untuk istirahat sebelum menuju Bromo subuh nanti, Angger sudah memesan homestay di daerah Tengger. Begitu turun dari bus, ia melakukan cek in dan membagikan kunci kamar sesuai dengan nomor urut untuk satu kamar dua orang.

"Kita istirahat empat jam, ya? Kumpul lagi di sini jam tiga. Jangan ngaret! Kita ngejar sunrise soalnya," kata Angger saat membagikan kunci kamar.

Hari ini sangat melelahkan bagi Angger. Beberapa anggota komunitas menguap kemudian berjalan gontai menghiraukan perkataannya. Laki-laki itu hanya menggeleng pelan kemudian menyusul Indra yang sudah lebih dulu masuk ke kamar. Malam ini, Angger tidak ingin lagi berdebat. Empat jam waktu yang sangat singkat jika harus ia habiskan untuk itu.

****

Angger menggigil ketika menaiki mini bus yang akan mengantarkan mereka ke daerah Tumpang. Jam menunjukkan pukul tiga pagi, membuat ia harus menggosokkan kedua tangan berulang-ulang ketika bus yang mereka tumpangi berjalan menempuh jarak 18 KM.

Toa yang ada di genggaman Indra melengking kita baru dinyalakan. laki-laki berkepala pelontos itu menyapa riang para anggota pecinta alam yang sibuk dengan suara beratnya.

Seketika, seisi bus riuh membalas sapaan Indra. Namun, alih-alih ikut menyapa. Angger justru mengerutkan kening ketika melihat gelagat aneh Indra yang mencuri pandang ke arah Bilqis. Sedangkan bibirnya dibiarkan terkatup rapat dengan otak yang bersiap memikirkan pertanyaan yang akan ia lemparkan pada teman satu indekosnya itu.

Sebelum ini, di bangku warkop dekat kampus, Indra menceritakan pada Angger bahwa ia baru saja menjalin hubungan dengan salah seorang adik tingkatnya yang bernama Riska dan sebagaimana pasangan baru pada umumnya, Indra sering memamerkan kemesraan dengan Riska pada Angger. Namun, seingat laki-laki yang berusia dua puluh dua tahun itu wajah Riska tidak mirip sama sekali dengan Bilqis.

"Kenapa lo?"

Sentakan tiba-tiba membuat Angger berjengit. Indra memasang tampang bingung ketika melihat reaksi berlebihan teman yang sudah ia kenal lebih dari dua tahun itu.

"Enggak apa-apa."

"Yakin?"

"Iya, elaaah."

Angger mengelak. Laki-laki itu berjalan ke sisi depan bus untuk menghindari Indra. Ketika melewati kursi yang ditempati Bilqis, terdengar suara Indra memanggil namanya dari arah belakang, secara otomatis ia menoleh dan mendapati Bilqis yang tengah tersenyum yang entah mengapa membuat Angger ingin ikut menyunggingkan senyum.

Perempuan dengan rambut gelombang itu menunduk ketika Angger membalas senyumnya. ia menutupi wajah dengan helai rambut yang tidak sengaja jatuh kemudian berbisik pada teman sebangkunya masih dengan mempertahankan senyum manis yang tersimpul.

Ia dikerjai Indra!

"Udah sampe, ya, Yas?" Rizal—salah seorang anggota menginterupsi.

"Iya?"

Angger kehilangan percaya diri dalam nada suaranya walau tidak begitu kentara ia perlihatkan. Tepat ketika Angger menoleh, bus sudah berhenti di daerah Tumpang. Laki-laki itu turun terlebih dahulu untuk memastikan Jeep yang mereka pesan sudah tersedia untuk perjalanan menuju daerah Jemplang.

Sebelum naik ke Jeep, Angger memesan kopi hitam di warung yang buka 24 jam. Kopi hitam itu ia sesap langsung dari plastik ukuran seperempat kilo lengkap dengan dua buah pisang goreng di tangannya.

Bola matanya memutar ketika mendapati Indra duduk bersebelahan dengan Bilqis. Itu berarti, ia harus satu Jeep dengan Bilqis. Sudah bisa dipastikan bahwa Angger akan menjadi pajangan selama perjalanan di Jeep. Sial!

"Setahun sekali ada upacara Yadnya Kasada di pura kaki Gunung Bromo." Suara Indra terdengar di kursi belakang. "Biasanya, sih, acaranya tengah malam. Kalo nggak salah setiap tanggal sepuluh, deh."

"Setiap bulan purnama, sekitar tanggal lima belas, bulan kesepuluh tanggalan Jawa," Angger menyela.

"Nah! itu." Indra mengacungkan jari telunjuknya.

"Kak Dhyas tahu juga?" Suara Bilqis terdengar penuh minat.

"Nggak banyak," jawabnya.

"Wah! sering banget ke Malang, ya, Kak? Kenapa nggak jadi tour guide Jakarta-Malang aja?" Bilqis sedikit mencondongkan badannya ke depan. Gadis itu berusaha menatap Angger yang duduk di kursi samping sopir.

"Dhyas itu terlalu cinta sama pekerjaannya. Heran juga gue, gaji nggak seberapa aja betah banget." Indra setengah menggerutu. Ia menyandarkan punggungnya pada pintu mobil dan membuka ponsel yang sejak semalam ia lupakan.

Alih-alih merasa tersinggung, Angger justru terkekeh mendengar keluhan Indra perihal pekerjaannya. Angger yang merasakan, jadi Angger tahu benar apa yang ia rasakan selama bekerja. Pekerjaan yang biasanya disepelekan oleh orang lain itu, nyatanya bisa membawa Angger ke jenjang kuliah hingga semester enam dan membantu kedua adiknya walau hanya sekadar membelikan buku pelajaran dan sepatu setiap tahun ajaran baru atau uang jajan yang tidak seberapa, dibandingkan ia harus membebankan orang tuanya.

Angger menghela napas sebelum benar-benar tertawa seraya menggelengkan kepala. Bilqis tidak bersuara tapi tatapannya tidak beralih sedikit pun dari Angger sejak mahasiswa semester enam itu membuka percakapan.

Mungkin, jika itu Riana atau Citra. Angger akan membalas tatapannya dengan sorot mata tajam kemudian menyentak asal seperti yang biasa ia lakukan. Jelas kedua kasirnya memang suka sekali menggodanya. Namun, aneh bagi Angger mendapati dirinya ditatap sebegitu intens oleh perempuan yang belum sampai 24 jam ia kenal itu.

Ia bergerak gelisah kemudian mengambil ponsel dari dalam saku celananya dan membuka aplikasi chat.

"Ngecek handphone mulu! Kaya ada yang ngechat aja." Seloroh perkataan Indra bernada sindiran.

"Banyak, ya! Sembarangan, lo."

"Palingan grup kerjaan."

Sial!

Kalau sudah begini, Angger hanya bisa diam menunggu Indra selesai dengan guyonan yang menurutnya tidak lucu sama sekali itu. Namun, baru sepersekian detik Angger mengabaikan Indra, ia kembali dibuat menoleh dengan perkataan Bilqis.

"Aku boleh minta nomer Kak Dhyas, nggak?"

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top