sᴀᴛᴜ
• ʙʀᴇᴀᴋᴀʟᴏᴠᴇ •
Loyalitas tak terbatas.
Sepertinya rapalan itu sudah tidak asing lagi di telinga. Menitikberatkan tanggung jawab penuh pada setiap pekerjaan tanpa memperdulikan jika jam sudah menunjukkan pukul empat sore. Itu berarti, ia sudah sepuluh jam berada di tempat kerja.
Minimarket dengan konsep convenience store itu dipenuhi pengunjung yang membawa keranjang belanja, membeli susu untuk anak yang menunggu di rumah, membeli roti yang baru saja keluar dari panggangan belakang meja kasir, atau sekadar membayar tagihan cicilan finance. Ini hari kerja, jam sekolah dan perkantoran sudah berakhir dan tempat yang pertama mereka kunjungi adalah tempat kerja Angger.
"Pangger jadi cuti besok?"
Laki-laki berkemeja merah yang baru saja memberikan uang kembalian beserta struk belanja pada konsumen menoleh pada seorang perempuan bertubuh kurus yang sibuk menghitung stock display rokok di sampingnya.
"Jadi dooong!"
Serupa ejekan. Laki-laki yang dipanggil dengan sebutan 'Pangger' itu menaik-turunkan alisnya seraya tersenyum mengejek. Jangan tanya kenapa seperti itu panggilannya. Karena para karyawan beralasan agar lebih mudah diucapkan, alih-alih menyebut 'Pak Angger'.
"Nanti mampir ke Jogja, Pak?" Petugas kasir yang juga baru selesai melayani pelanggan ikut bertanya. Ia mengikat uang saat konsumen sudah pergi dan memberikannya pada Angger untuk disimpan pada brankas toko.
"Mampir. Tapi cuma sehari, 'kan biar bisa istirahat sebelum balik kerja lagi." Ia kembali menghitung uang pemberian Riana—kasir sif pagi.
"Jangan lupa oleh-oleh!" Citra—karyawan yang sedang menghitung stok rokok menyambar dan menunjuk Angger dengan pulpen yang ia gunakan.
Bukan menjawab, laki-laki berkemeja merah dengan kerah putih itu justru menarik pelan ujung kerudung Citra. Bak tidak terjadi apa-apa, Angger berdiri melangkah menjauhi meja kasir dengan tangan sibuk pada ponsel, sementara Citra sudah terpekik oleh aksinya.
Bibir Angger berkedut menahan tawa karena ada beberapa konsumen di lorong susu yang ia lewati. "Udah tuh jagain kasiran."
"Heran. Ada ya, supervisor kaya gitu." Citra melempar pertanyaan sarat akan nada sindiran. Sekarang, ia sudah berganti posisi dengan Riana yang selesai dengan jam kerjanya.
"Ada, dong! Ini gue! Yang ganteng, yang kece."
Angger yang kembali menunjuk dirinya sendiri dengan gulungan kertas di tangan kemudian duduk di komputer utama di area kasir.
Matanya menyapu lembaran rekapan bon hasil kerja bawahannya. Segaris kernyitan tercetak samar di dahinya ketika membaca ulang laporan itu. "Ares mana?"
"Lagi nuker duit, Pak. Dari pagi orang bayarnya pake uang seratus ribuan mulu." Riana menjelaskan. Bahasan perihal kelakuan konsumen yang sengaja menukar uang memang sudah menjadi obrolan mereka sehari-hari.
Seraut wajah Angger menjadi sulit untuk dijabarkan. Tatapannya tajam dengan alis tebal yang sedikit menukik ke dalam. Tanpa mengiyakan lewat anggukan atas jawaban Riana, Angger justru membuka aplikasi chat dan meminta Ares untuk cepat kembali.
Dua kasirnya saling tatap tanpa menyuarakan rasa khawatir. Angger memang terkenal ramah, sedikit gila bahkan. Namun, sifat tegasnya akan muncul jika ada masalah yang berkaitan dengan toko. Masih lekat diingatan mereka saat salah satu pramuniaga rekan mereka tertangkap melakukan kecurangan dengan memanipulasi penjualan untuk keuntungan pribadinya yang menyebabkan kerugian toko, saat itu juga laki-laki kelahiran Jogja, dua puluh dua tahun lalu itu memberikan surat pengunduran diri untuk segera ditanda tangani.
Lirik lagu Kopi Dangdut cover DJ mengalun dari benda pipih hitam di saku Angger. Ia segera mengubah air mukanya sebelum mengusap layar yang menampilkan nama Indra. Sempat berdecak pelan, ia teringat bahwa memiliki janji untuk mendiskusikan perihal perjalanan ke Malang.
"Iya, Ndra?"
"Lo di mana, Dhyas?" Itu pertanyaan yang pertama masuk ke telinga Angger saat menempelkan ponsel pada telinganya. Buru-buru Angger menjauhkan ponsel dari telinganya untuk menghindari lengkingan teriakan di seberang telepon.
Jelas nada bicara Indra, teman kampus Angger itu tidak menyenangkan, intonasinya meninggi dan bersiap menyumpahi Angger dengan sumpah serapah karena lupa akan janjinya.
"Sorry, Ndra. Kerjaan gue masih banyak. Gue nggak bisa ninggalin laporan kalo mau cuti panjang." Angger beralasan. Bukan sepenuhnya alasan, memang pekerjaan di tokonya tidak akan pernah selesai jika tidak ia tinggal pulang dan dilanjutkan oleh ketiga asistennya.
"Iya lo ngabarin, dong, Yas. Gue sama anak-anak nungguin dari jam tiga!"
Angger mengangguk walau ia tahu Indra tidak dapat melihatnya. Setelahnya ia hanya merapalkan kata 'maaf' serupa anak SD yang sedang menunggu absen rapalan surat pendek pada pelajaran agama. Angger sempat mendengkus sebelum mematikan sambungan telepon dan beralih menatap kedua kasirnya yang pura-pura sibuk ketika ia memusatkan pandangan.
"Ngapain ngeliatin begitu? Emang gue tulang!" selorohnya asal-asalan yang dihadiahi cubitan kecil oleh Riana.
Refleks Angger terpekik. Sebuah kelakar yang keluar dari bibir ranum Riana berselip ejekan. "Gini nih, kalo punya atasan gila kaya bapak."
"Pak, nanti jangan lupa bawain oleh-oleh. Riana, 'kan, mundur libur gara-gara Pangger cuti."
Angger mendapati senyum tipis terpatri di bibir Riana yang sudah bebas dari sif. Perempuan itu baru saja membuang sampah bekas sif pagi kemudian kembali berdiri di samping laki-laki yang menjadi atasannya itu dan mencolek lengan Angger beberapa kali untuk mengganggu.
"Emang mau oleh-oleh apaan, sih? Dari Malang apa Jogja?" Akhirnya Angger penasaran akan hal yang diminta kedua kasirnya.
"Nggak aneh-aneh, 'kok. Cuma minta papan jalan Malioboro aja. Pengen foto di sana, Pak. Katanya belum ke Jogja kalo belum foto di sana."
Laki-laki yang berprofesi sebagai supervisor minimarket itu mengekspresikan kejengkelan, menyesal karena sudah sempat menyuarakan rasa penasaran. "Nanti kalo bisa gue bawain Gunung Merapi, sama lahar-laharnya sekalian biar kalian berdua jadi kasir panggang. Nyesel gue nanya!"
Sial!
Riana, Citra dan keusilannya memang perpaduan yang apik untuk membuat Angger jengkel. Tidak ada Ares, Arda kebagian sif malam, sementara Agyl dan Fikri sedang merapikan barang di gudang penyimpanan, sudah pasti Angger kalah telak oleh dua kasir itu.
Ketika mereka tertawa, pintu kaca dengan dua daun terbuka lebar, sosok tinggi yang mengenakan jaket hijau khas ojek online masuk dan mendekati area kasir. Itu Ares yang datang membawa kantong plastik berisikan uang receh untuk kembalian sif dua. Setelah memberikannya pada Citra, ia pamit untuk menyimpan jaket dan bertukar sif dengan Angger.
Tidak ada pembicaraan yang Angger mulai saat Ares berdiri di depannya. Ares menatapnya dengan canggung dan mulai menerka-nerka jawaban dari tatapan Angger yang ditujukan padanya.
"Ke dalem, Res. Temenin ngopi. Agyl sama Fikri suruh di depan dulu."
"Iya, Bang."
Mereka berdua duduk berhadapan di kantor. Bukan kantor seperti kebanyakan yang ada di gedung-gedung pencakar langit. Hanya ruangan serba putih berukuran 4x4 meter, terdapat satu buah brankas ukuran sedang untuk menyimpan uang penjualan di pojok kiri dan sisi kanan terdapat rak pendek penyimpanan ordner berisikan arsip toko.
"Lo mau ngomongin laporan keuangan yang gue buat, ya, Bang?" Ares mencoba menghindari basa-basi. Laki-laki yang usianya sama dengan Angger itu sudah mengenal Angger lebih dari empat tahun dan sudah tidak asing dengan gelagat laki-laki di depannya.
"Iya." Angger menunjukkan selisih perhitungan laporan yang dibuat Ares.
"Sama Pak Wisnu laporan yang kemarin nggak di ACC, Bang. Jadi gue disuruh buat ulang, tapi ada gap biaya, jadi gue buat estimasi tambahan." Ares menjelaskan. Laki-laki kelahiran Jakarta dua puluh dua tahun itu mengeluarkan ponsel dan menunjukkan pesan singkat atas instruksi yang ia kerjakan.
Angger membuang muka. Ia mengusap wajah dengan kasar dan bersandar pada rak ordner kemudian menggaruk kepala. Menghela napas, pikirannya berkecamuk ingin menanyakan maksud Wisnu melakukan ini. Namun, memang apa kuasanya? Watak Wisnu terlalu keras untuk menerima masukan dari bawahannya.
"Yaudah, kalo nanti estimasi biaya tambahan dipersulit lagi lo chat gue, ya? Masa bodo, lagi cuti lagi cuti deh gue."
"Iya, Bang."
Kalian ada yang udah pernah ke Jogja?
Kalian belum ke Jogja kalo belum foto di sini!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top