-15-
Selamat malaam~
Up nih... Jangan lupa vote dan komen yaa... Biar aku semangat ehehe~
"A-apa? Jadi kau dan Taehyung—" Jimin mengacak rambutnya. Ia menyesal selama ini ia sudah salah sangka. Dan selama ini ia sudah berpikiran buruk mengenai Hanbyul dan Taehyung. "Yaish! Jinjja! Kenapa Taehyung tidak pernah menceritakan apa-apa padaku?"
Jimin berdecak kesal. Merasa bodoh karena yang apling tidak tahu apa-apa. Selama mengenal Taehyung pun Jimin tidak pernah tahu jika sahabatnya ini mempunyai saudara kembar. Terlebih catatan keturunan keluarga Kim yang selalu berprofesi sebagai seorang dokter. Rasaya tidak mungkin jika bagian dari keluarga Kim melenceng dari jalan yang sudah ditentukan. Seperti Hanbyul.
"Saat itu hubungan kami tidak begitu baik, Jim." Hanbyul membawa tiga kaleng Sprite dan Cola menuju ruang tamu, dimana Jimin dan Jungkook tengah menunggunya. Mengatakannya seenteng mungkin seolah itu bukan hal yang besar. Toh sekarang itu bukan lagi hal besar. Mereka sudah beradmai.
Tadi Jimin dan Jungkook mengantar Hanbyul dan Taehyung ke rumahnya. Setelah membantu menidurkan Taehyung di kamar, Jimin dan Jungkook menunggu Hanbyul di ruang tamu. Ada beberapa pertanyaan yang ingin diajukan Jimin pada mereka. Dan betapa terkejutnya Jimin ketika mengetahui fakta bahwa Hanbyul adalah kembaran Taehyung juga wanita yang akan dijodohkan dengan Jungkook.
"Astaga! Kupikir selama ini kau adalah wanita yang akan dijodohkan dengan Taehyung." Jimin menutup wajahnya frustasi, kemudian menyugar rambutnya ke belakang. "Maafkan aku karena telah berpikiran buruk tentang kalian. Tapi Eunsoo... apakah dia sudah tahu tentang semua ini?" tanya Jimin, serius memikirkan nasib kawannya.
"Eung." Hanbyul mengangguk, "aku memberitahunya setelah Taehyung mengatakan siapa Eunsoo. Aku bahkan sudah memintanya agar tetap tinggal sehingga mereka berdua bisa mencari jalan keluar bersama. Tapi sepertinya Eunsoo memiliki pemikiran lain."
Ucapan Hanbyul membuat Jimin sedikit heran. Jika Eunsoo sudah tahu siapa Hanbyul, seharusnya semuanya tidak seperti ini. dan melihat Hanbyul yang memberi dukungan pada hubungannya dengan Taehyung, seharusnya Eunsoo tetap bertahan. Kenapa Eunsoo tidak mengatakan apapun padanya saat dia tahu semua ini?
"Lalu... bagaimana dengan kalian?" Jungkook angkat bicara. Ia meletakkan kaleng Colanya, kemudian memandang Jimin dan Hanbyul bergantian. "Hanya aku disini yang tidak tahu bagaimana hubungan kalian."
"Ah, i-itu..." Jimin merasa gugup. Jika mengingat bagaimana pertemuannya dnegan Hanbyul pasti akan terdengar memalukan. Apalagi sekarang Jimin tahu jika Hanbyul adalah calon istri temannya. "Hanbyul me-menolongku saat aku ma—"
"Hampir kecelakaan." Sela Hanbyul. "Malam itu aku bertemu Jimin saat dia mabuk, dan hampir tertabrak mobilku. Lalu aku membawanya kemari. Dan kami pernah bertemu beberapa kali di rumah sakit."
"Tunggu. Itu artinya kau pernah kemari sebelumnya, Jim?"
"Y-ya.. jangan marah, Jung. Aku bahkan baru tahu jika Hanbyul yang menolongku beberapa hari kemudian saat bertemu dengannya di rumah sakit," ujar Jimin. Mencoba menjelaskan pada Jungkook yang menatapnya tidak terima.
"Sepertinya aku harus segera pulang," Jimin melirik jam tangannya. "Besok aku ada jadwal pagi."
"Baiklah, sepertinya aku juga ha—"
"Tidak! Tidak!" Jimin mendorong Jungkook agar pria itu kembali duduk. "Sebaiknya kau tinggal, Kook." Sepertinya usulan Jimin tidak mendapat respon yang baik, nyatanya Jungkook kini malah memelototinya.
"Kalian akan menikah, kalian harus saling mengenal. Bukankah kau bilang tadi ingin lebih mengenal Hanbyul? Jika kau pulang sekarang, kau—"
"Yaish! Park Jimin!" gertak Jungkook. Tidak terima karena Jimin malah mengatakan hal seperti itu di hadapannya.
"Tidak apa-apa jika kau mau tinggal. Aku akan mengantarmu besok pagi," ucap Hanbyul yang tak disangka-sangka keduanya.
"Tapi..."
"Baiklah. Kalau begitu aku harus pulang. Sampai jumpa teman-teman!" Jimin melangkah keluar—sedikit tergesa karena tidak mau mengganggu—meninggalkan Hanbyul dan Jungkook. Bagi Jimin semuanya sudah jelas sekarang, hatinya merasa lega karena tidak perlu terus-terusan merasa kesal pada Taehyung ataupun Hanbyul.
Jungkook masih terdiam. Setelah Jimin pergi tadi rasanya semakin canggung berada di tempat ini. Apalagi hanya bersama dengan Hanbyul yang juga tidak bersuara. Keduanya hanya saling diam, kadang mencuru-curi pandang dan melengos saat kedua mata mereka bertemu.
Krrriiuukk!!
"Ah..." Jungkook menundukkan kepalanya, merasa malu. Meruntuki perutnya yang seenaknya berbunyi. Tapi tidak bisa berbohong, Jungkook memang merasa kelaparan. Ia bahkan meletakkan daging steak-nya di dalam mobil. Dan tadi saat kemari ia menumpang mobil Jimin karena lokasinya lebih mudah dijangkau.
"Sepertinya aku merusak jam makanmu, Jungkook-ssi." Hanbyul tersenyum, melihat tingak lucu Jungkook yang malu-malu membuatnya tak kuasa menahan lengkung di bibirnya. "Aku akan bertanggung jawab untuk itu."
Selama lima belas menit, Jungkook terus mengamati apa yang dilakukan Hanbyul. Memotong sayuran, daging, serta beberapa bahan lainnya, kemudian mencucinya, mengolah bumbu, memasukkan nasi instan ke dalam microwave—jujur, Jungkook sedikit ngeri saat melihat Hanbyul menggunakan mesin itu. Ia takut jika saja benda itu meledak saat digunakan. Seperti yang pernah ia lihat di beberapa video dari internet.
"Tunggu sebentar!" Hanbyul meninggalkan dapur—dengan Jungkook yang menunggu di pantry. Pria itu merasa semakin ngeri saat Hanbyul meninggalkannya. Rasa-rasanya microwave itu terlihat semakin menyeramkan. Dan Jungkook tidak bisa terus berada di tempat ini, ia harus bersembunyi. Ia harus berlindung.
"Aw!"
"Aw!"
Jungkook terejut. Hampir saja terjatuh kala bertabrakan dengan Hanbyul yang tiba-tiba sudah berada di belakangnya dengan sebuah tas di tangan.
"Ah, mianhae."
"Sebaiknya kau berganti pakaian, Jungkook-ssi." Hanbyul menyerahkan tas yang dibawanya. Di dalamnya, Jungkook dapat melihat satu setel piyama berwarna biru kehitaman yang masih baru. Masih terbungkus rapi. "Kau bisa mengenakannya."
"Ne. Terimakasih, Hanbyul-ssi."
Jungkook pun melangkah, melewati wanita beraroma vanilla dan Citrus itu menuju kamar mandi. Mengganti kemeja dan celana formalnya dengan satu setel piyama yang diberikan Hanbyul.
Keran air dinyalakan untuk membasuh wajahnya. Jungkook menatap seseorang di dalam cermin, bertanya sekali lagi apakah pria di hadapannya ini bisa membuka kembali hatinya? Bisakah pria itu mempertahankan hatinya yang tinggal sekeping tanpa perlu menghancurkannya lagi?
Meja makan sudah tertata rapi dengan beberapa jenis lauk dan nasi saat Jungkook tiba. Pria itu segera menempatkan dirinya di salah satu kursi, mengambil semangkuk nasi dan beberapa lauk setelah Hanbyul mempersilakannya.
Hanbyul mengulas senyum tipis kala melihat bagaimana lahapnya Jungkook. Nenek Jeon pernah mengatakan padanya jika cucunya ini sangat suka makan. Namun terkadang bisa melupakan kebutuhan perutnya saat sedang mengerjakan proyek baru di perusahaan.
Jika dibandingkan dengan dirinya, mungkin sama saja. Hanbyul kadang juga suka melupakan perutnya saat sedang menghadapi beberapa proyek dan Fashion Show. Sepertinya ia dan Jungkook sama-sama berambisi dengan pekerjaan masing-masing.
"Kau tidak makan?" tanya Jungkook setelah menyadari jika sedari tadi Hanbyul hanya duduk di seberangnya tanpa menyantap apapun, hanya ada sekotak susu di depannya. Matanya membulat, mulutnya sedikit terbuka karena masih mengunyah makanan.
Menggemaskan!
"Ani. Ini sudah terlalu malam. Aku akan sakit perut jika makan terlalu larut."
"Ah, seperti itu rupanya." Jungkook menelan makanannya, kemudian meneguk segelas air. "Ngomong-ngomong, kau pandai memasak juga ya? Kupikir kau tidak bisa memasak karena terlalu sibuk berada di studio."
"Aku pernah tinggal sendirian selama bertahun-tahun di negara orang. Dan saat itu aku mendapatkan banyak pelajaran berharga tentang bertahan hidup. Salah satunya memasak."
"Ya, kadang berada di tempat asing membuatu sadar bagaimana pentingnya bertahan hidup."
Benar apa yang dikatakan Jungkook. Jungkook sendiri juga pernah mengalaminya. Tahun pertama ia tinggal di Seoul tanpa keluarganya. Tanpa Kakek dan Neneknya. Semua kebutuhannya mungkin tercukupi, namun tetap saja, keadaan kota sebesar Seoul mengharuskan Jungkook menjadi pria yang lebih kuat. Terlebih, orang-orang Seoul tidak sama dengan orang-orang di Busan. Jungkook harus pintar-pintar dalam mencari teman. Beruntung teman dekatnya di sekolah dulu—Park Jimin—juga tinggal di Seoul, Jungkook tidak merasa begitu kesepian.
"Ngomong-ngomong, terimakasih."
Alis Jungkook bertaut. Bertanya-tanya tentang maksud dari ucapan Hanbyul. Ya, bukankah seharusnya Jungkook yang berterimakasih atas semua hidangan ini? apakah Hanbyul sedang mengingatkannya? Atau mungkin menyindirnya?
"Kau sedang menyindirku?"
"Menyindir?" kali ini Hanbyul yang dibuat bingung, "Apa maksudmu, Jungkook-ssi?"
"Kau mengingatkanku jika aku sedang menikmati makananmu, mengenakan piyama yang kau berikan, dan menumpang di rumahmu malam ini. Bukan begitu?"
"Bagaimana bisa kau berpikir seperti itu? Kekanakan sekali," Hanbyul terkekeh, "Aku berterimakasih karena kau masih mau membantuku membawa pulang Taehyung meskipun aku mengacaukan makan malammu. Apakah kau selalu berpikiran buruk tentangku?"
"Wajar saja," Jungkook meletakkan sumpitnya. Sesi makannya sudah selesai. "Kau wanita yang sulit ditebak dan penuh kejutan, Hanbyul-ssi. Kadang kau bersikap dingin, dan di saat tertentu kau menjadi wanita yang hangat. Terlebih kau memberikan kesan pertama yang cukup dingin untukku."
"Benarkah? Haruskah kita memulainya lagi dengan benar?"
"A-apa maksudmu?"
"Kesan pertama. Sepertinya aku membuat kesan pertama yang buruk malam itu. Haruskah aku membuatnya lebih baik?" tawar Hanbyul, kemudian meneguk susu strawberinya.
"Bagaimana bisa seperti itu?" protes Jungkook.
"Entahlah. Malam itu aku sedang berada dalam kondisi yang tidak baik untuk memberikan kesan pertama yang baik," helaan napas terdengar jelas setelah Hanbyul mengatakannya. "Dan kata-katamu malam itu menyinggungku."
"Ah, m-maaf," ujar Jungkook. Ya, jika diingat-ingat malam itu sepertinya Jungkook sedikit keterlaluan. Ia juga sama-sama memberikan kesan pertama yang tidak cukup baik bagi Hanbyul. "Kalau begitu, ayo kita mengulangnya dengan baik."
Jungkook mengulurkan tangannya dan Hanbyul ikut mengulurkan tangannya. Sedikit ragu. Karena setelah ini Hanbyul yakin ia harus melepas semua tentang masa lalunya. Dan mungkin ini memang saat yang tepat untuk melepasnya. Toh sudah lama ia tidak berjumpa. Hanbyul yakin sekarang orang itu sudah memiliki kehidupannya sendiri.
"Jeon Jungkook-imnida."
"Kim Hanbyul-imnida."
Keduanya tersenyum, mencoba memberikan kesan yang lebih baik daripada pertemuan pertama mereka.
"Mungkin kau ingin berkencan bersamaku sebelum pesta pertunangan kita? Seperti makan malam bersama? Atau mungkin makan siang? Kita bisa lebih banyak mengobrol untuk saling mengenal."
"Ide yang bagus, Jungkook-ssi. Kita masih punya dua minggu sebelum pertunangan."
"Tapi, tidakkah kita terlalu kaku? Maksudku... kita berbicara terlalu formal. Dan mungkin akan lebih baik jika kau memanggilku Jungkook saja dan aku akan memanggilmu Hanbyul. Bagaimana?"
"Ne, aku akan berusaha."
Malam itu ditutup dengan Jungkook yang tidur di kamar tamu. Sedangkan Hanbyul, masih terdiam di dalam kamarnya. Memikirkan banyak hal yang berkecamuk di dalam kepalanya.
Ia butuh ketenangan. Atau setidaknya seseorang untuk menenangkannya.
Kamar Taehyung menjadi tujuannya. Hanbyul melangkah keluar dari kamarnya, menuju kamar yang ditempati Taehyung yang bersebelahan dengan satu kamar lain. Pintu itu terbuka. Menampakkan sosok Jungkook yang tengah tertidur pulas di balik selimut.
Hanbyul menatapnya sebentar, begitu tenang dan damai. Seperti seorang anak kecil. Iri rasanya melihat seseorang bisa tidur selelap itu.
Dan setelahnya, Hanbyul memasuki kamar Taehyung, menyelinap ke dalam pelukannya agar Hanbyul bisa terlelap.
"A-aku takut, Tae... hiks..."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top