-13-
Sorry for the late update... Huhu
Vote dan komen yang banyak2 dong... Biar aku semangat updatenya... Ehehe
"Kau yakin dengan semua ini?"
"Ya. Aku yakin, Jim," ucap Eunsoo. Kedua tangannya masih sibuk mengemas pakaian dan barang-barang lain yang akan ia bawa pergi.
Eunsoo sudah memutuskan. Ia bilang pada Jimin jika akan pergi ke Kanada untuk tinggal bersama Paman dan Bibinya. Mereka juga menawarkan pekerjaan di sebuah butik yang tidak terlalu besar. Setidaknya, Eunsoo akan benar-benar memulai karirnya disana.
"Baiklah jika itu keputusanmu, Eunsoo-ya. Aku hanya bisa mendoakan kebahagiaanmu," Jimin menghela napasnya, "Kau tidak boleh lupa padaku, Eunsoo-ya!"
"Eung. Aku tidak akan pernah lupa padamu, Jim."
Setelah mengemas barang-barangnya, Eunsoo segera pergi ke kantor. Menyelesaikan semua pekerjaan yang belum terselesaikan sebelum menyerahkan surat pengunduran dirinya.
"Surat pengunduran diri?" Hanbyul mengeryit, ia tidak memahami maksud dari surat yang baru saja diberikan Eunsoo padanya. "Apa kau tidak salah?"
"Tidak, Nona Kim." Eunsoo berucap mantap.
"Kalau begitu katakan padaku apa alasanmu mengundurkan diri? Bukankah ini pekerjaan yang kau impikan?"
"Ne. Aku sudah memikirkan semua ini dengan matang, Nona Kim. Sebelum anda benar-benar mengangkatku menjadi desainer di SS grup, sepertinya aku harus mengajukan pengunduran diriku terlebih dahulu. Aku akan pergi ke Kanada untuk tinggal bersama Paman dan Bibiku, aku akan memulai karirku disana. Di sebuah butik kecil milik teman Bibiku."
"Begitu rupanya." Hanbyul menyndarkan punggungnya, menatap Eunsoo yang masih berdiri tegap di depan mejanya, "Kau pergi bukan karena masalah Taehyung, 'kan?"
Eunsoo diam. Senyum di bibirnya memudar perlahan, namun sesegara mungkin kembali mengangkatnya. Tidak mau menunjukkan kelemahannya di depan wanita ini.
"Bukankah aku sudah meluruskan kesalahpahaman ini?" Kursi yang diiduduiki Hanbyul terdorong mundur saat wanita itu berdiri. "Aku sudah menjelaskan padamu bukan siapa diriku sebenarnya. Dan kau tetap akan pergi? Kau tahu—"
"Aku pergi untuk mengejar mimpiku, Nona Kim." Eunsoo menyela, kembali menguatkan batinnya untuk berhadapan dengan Hanbyul. "Aku minta maaf karena pernah salah paham padamu. Tapi semuanya tidak ada hubungannya dengan Taehyung. Aku pergi karena ingin meraih mimpiku, Nona Kim."
"Ah, tapi, aku ingin bertanya padamu," Hanbyul berjalan mendekat, "apakah kau memberitahu Taehyung tentang kepergianmu ini?"
"Ti-tidak... kurasa aku tidak perlu memberitahunya. Kami sudah tidak ada hubungan apapun." Eunsoo sendiri kaget bagaimana kata-kata itu bisa terucap secara lancar dari mulutnya.
"Baiklah jika memang seperti itu. Kau bisa mengambil gajimu selama tiga minggu ini."
"Ne, Nona Kim. Aku sangat berterimakasih padamu untuk segalanya, kuharap kau selalu sehat dan bahagia. Aku akan berangkat malam ini." Eunsoo membungkuk, memberi hormat pada atasannya untuk yang terakhir. Tersenyum pada wanita yang sudah membukakan jalan untuk meraih mimpinya, namun Eunsoo lebih memilih jalan lain.
Setelah Eunsoo keluar dari ruangannya, Hanbyul mengangkat ponselnya dari atas meja, kemudian menempelkannya di telinga untuk memastikan jika panggilannya tetap tersambung. Sebelum Eunsoo masuk tadi, ia memang tengah menelpon seseorang. Dan Hanbyul tidak memutuskan pangilan itu sampai si penelpon mendengar semuanya sendiri, "kau masih disana, Tae?"
"Ne..."
"Kau mendengar semuanya, 'kan?"
"Ya, aku mendengar semuanya, Byul. Terimakasih."
"Kau masih ada waktu jika ingin menemui Eunsoo."
"Kurasa tidak, Byul..." terdengar helaan napas panjang di seberang sana, "dia tidak perlu memberitahuku, bukan? Kami sudah tidak memiliki hubungan apapun, bukan? Untuk apa aku datang menemuinya? Hahaha aku tidak mau terlihat menyedihkan."
Taehyung terkekeh, namun terdengar begitu menyedihkan bagi Hanbyul. Ia paham, saudaranya itu tidak suka dikecewakan. Dan sekalinya Taehyung kecewa, akan sulit untuk menyembuhkannya. Dan jangan lupakan sifat Taehyung yang mudah menyerah. Ia tidak akan membuang tenaganya lebih banyak, juga tidak mau merasakan sakit hati yang lebih dalam.
"Aku pergi dulu. Terimakasih sudah menelponku."
Tuut... tuut... tuut...
*****
"Jimin-ah!" panggilan itu membuat langkah kaki si pemilik nama terhenti. Tubuhnya berputar untuk melihat siapa yang tengah memanggilnya. Di ujung koridor, Jimin mendapati seorang wanita tengah berlari ke arahnya.
"Eoh, dokter Kang? Ada apa?" Park Jimin menoleh, mendapati Hana sedikit tergesa menghampirinya.
"Huuh... Kau mau kemana?" tanya Hana, sedikit terengah karena berlarian.
"Aku harus segera kembali, aku harus mengantar seseorang ke bandara malam ini," jawab Jimin sambil merapikan jaketnya. Dia memang sedikit tergesa karena operasi tadi memakan waktu lebih lama dari perkiraan, padahal Jimin sudah berjanji pada Eunsoo untuk mengantarnya ke bandara.
"Ah, begitu rupanya. Sebenarnya ada hal yang ingin kutanyakan padamu, Jim." Hana memandang Jimin, pria itu tengah menatapnya dengan wajah 'ada apa?'.
"Belakangan ini aku jarang melihatmu bersama Taehyung. Kau sedang menghindarinya?"
Jimin diam. Otaknya berputar untuk mencari alasan. Jimin memang tidak bermaksud menghindari Taehyung. Hanya saja ia masih merasa kesal pada Taehyung.
Masalahnya?
Eunsoo?
Jujur saja, ya. Semua ini karena Eunsoo. Jimin sudah menganggap Eunsoo seperti adik perempuannya sendiri, dan tidak ada kakak lelaki di dunia ini yang senang melihat adik perempuannya tersakiti.
"Aku bertanya pada Taehyung, apa kalian sedang ada masalah atau tidak. Dan dari yang kusimpulkan, sepertinya Taehyung tidak memahami jika ada sesuatu yang salah diantara kalian."
"Ah, bukan seperti itu... hanya saja.. a-aku terlalu sibuk belakangan ini. Kau tahu sendiri, 'kan.."
"Geotjimal hajima, Jimin-ah." Hana menepuk bahu Jimin, "aku mengenal kalian berdua dengan cukup baik. Dan kurasa lebih baik kalian segera menyelesaikan apapun masalah itu secara baik-baik. Aku yakin kalian sudah dewasa."
******
Jungkook merapikan kembali rambutnya. Entah kenapa malam ini ia jadi lebih sering memperhatikan penampilannya. Mulai dari pakaian, gaya rambut, sepatu, semuanya. Biasanya Jungkook tidak memberikan perhatian sebanyak ini pada penampilannya.
Mungkin karena dia akan bertemu Hanbyul? Jungkook harus tampil sempurna di hadapannya atau karena Jungkook tidak mau Hanbyul mengkritik penampilannya? Ya, Hanbyul pasti akan mengkritik penampilannya jika Jungkook hanya berpakaian seperti biasa.
Bagaimanapun Hanbyul adalah seorang desainer, bukan?
Ia pasti selalu menilai penampilan orang-orang di sekitarnya, kan?
Ah, bukan itu alasan sebenarnya. Jungkook merasa keluarga Kim itu memiliki gen yang diberkahi. Begitu rupawan dan menawan. Dan Jungkook tidak mau berpenampilan biasa saja. Apalagi di depan Hanbyul. Baginya, Hanbyul itu cantik. Sangat cantik malahan. Ia tidak mau orang-orang menatap rendah dirinya saat bersama Hanbyul.
"Yaish! Kenapa aku jadi seperti ini?"
Jungkook kesal. Kembali mengacak rambutnya yang kemudian disesali karena harus menatanya lagi.
"Baiklah, sepertinya kau harus segera berangkat Jungkook-ssi," ujarnya pada cermin.
Mobil yang dikendarainya melaju, membelah jalanan Seoul yang cukup padat. Tujuannya satu, tempat Hanbyul. Jungkook akan menjemputnya terlebih dahulu sebelum pergi ke restoran yang sudah di pesan.
Jungkook sempat ragu dengan destinasinya. Pasalnya ia tiba di sebuah gedung yang merupakan kantor Yoongi. Alisnya mengeryit kala Hanbyul mengirimkan pesan padanya jika Jungkook memang tak salah. Pria itu kemudian memarkirkan mobilnya di basement seperti apa yang dikataan Hanbyul.
Tak perlu menunggu lama, Jungkook bisa melihat wanita yang ditunggunya baru saja keluar dari lift. Tubuhnya terbalut sebuah kemeja putih kebesaran dengan pita hitam yang menghias bagian lehernya ditambah celana panjang high waist berwarna hitam.
"Kau tinggal di gedung ini?" tanya Jungkook setelah Hanbyul menduduki kursi di sampingnya.
"Eung. Lantai teratas menjadi tempat tinggalku."
"Tunggu, bukankah lantai teratas adalah sebuah cafe?"
"Satu lantai diatas cafe itu. Kau bisa mampir nanti." Jelas Hanbyul yang membuat Jungkook ber 'oh' ria, kemudian menjalankan mobilnya menuju sebuah restoran steak yang sudah ia pesan.
Seorang pelayan menyambut keduanya, kemudian mengantarkan mereka ke sebuah meja di lantai kedua. Ditemani pemandangan kota yang berkilauan, Jungkook dan Hanbyul menempatkan diri mereka di kursi masing-masing.
Seorang pelayan menuang wine ke dalam gelas masing-masing setelah Jungkook dan Hanbyul menyampaikan pesanan. Irama musik klasik yang mengalun sepertinya membuat Hanbyul kembali larut dalam pikirannya, sementara itu, Jungkook hanya mengamati Hanbyul dalam diam.
"Jadi, kau sangat menyukai musik?" Jungkook angkat bicara. Bukankah mereka sedang dalam masa pendekatan? Jika terus-terusan diam seperti ini tidak akan ada kemajuan dalam hubungan mereka.
"Tidak juga. Aku hanya suka melihat seseorang yang mengekspresikan perasaan mereka melalui musik. Seperti pemain biola itu," Jungkook menoleh, memandang seorang gadis yang tengah bermain biola di atas panggung. Bersebelahan dengan seorang pria yang tengah memainakn piano di hadapannya. "Violist itu terlihat sangat menikmati permainannya, sehingga suara yang dihasilkan bisa menyentuh hati pendengarnya. Namun berbeda dengan pianis itu. Dia tidak menikmati permainannya, hanya memainkan nada yang sudah tersusun pada partitur."
"Wah, aku tidak menyangka jika kau orang yang sangat peka terhadap hal-hal seperti itu." Harus diakui, Jungkook sedikit kagum pada wanita di hadapannya. Jadi bertanya-tanya apakah sebenarnya Hanbyul mengetahui dan ikut merasakan hal yang terjadi di sekitarnya, namun hanya diam dan berpura-pura tidak tahu untuk menutupi sifatnya?
"Kau sendiri bagaimana? Apa kau menyukai musik, Jungkook-ssi?"
"Eoh—" Jungkook menelan ludahnya, tampak sedikit gugup kala Hanbyul bertanya. "Ya. Aku menyukai musik. Sangat." Ujar Jungkook dengan sedikit ragu-ragu.
"Kau bisa bermain piano seperti Halmeoni?"
"Tidak. Aku bisa memainkan dasarnya, tapi tidak sehebat dirimu ataupun Halmeoni." Jungkook menghela napasnya, mengingat bagaimana payahnya dia dalam memainkan piano. "Kau sendiri, sepertinya kau sangat ahli dalam bermain piano, Hanbyul-ssi. Kau sudah memainkannya seja kecil?"
"Ani. Aku mulai belajar piano saat remaja. Aku mendapatkan pelajaran piano dari seorang guru saat aku tinggal di Daegu selama setahun." Kenang Hanbyul. Sebuah senyum terukir di wajahnya kala menceritakan pengalamannya pada Jungkook.
Dan untuk pertama kalinya Jungkook melihat Hanbyul tersenyum seperti ini. Wajahnya terlihat begitu innocent dan rona merah muncul di permukaan pipinya.
"Sepertinya guru itu sangat spesial untukmu. Kau bahkan tersenyum dan merona hanya dengan mengingatnya."
Hanbyul terdiam. Sel-sel dalam tubuhnya seketika membeku. Ia tidak menyangka jika hanya dengan mengingat kenangan bersama orang itu masih memiliki efek yang sama di tubuhnya.
Drrt!
Drrt!
Drrt!
Ponselnya yang bergetar membuat Hanbyul segera tersadar dari lamunan. Nama Hoseok yang muncul di permukaan bersama sebuah pesan membuat Hanbyul langsung menatap pria di hadapannya. Ada perasaan bersalah yang tiba-tiba menyeruak ke dalam hatinya. Ini bukan pilihan, dan prioritas Hanbyul tetap sama.
"Ada apa?" tanya Jungkook setelah Hanbyul menatapnya cukup lama.
"Jungkook-ssi, maafkan aku. Aku janji akan mengganti malam ini," ujar Hanbyul yang kemudian berdiri. Namun tangan Jungkook yang lebih cekatan menarik lengannya, mencegah kepergian Hanbyul.
"Tunggu, apa terjadi sesuatu?"
"Taehyung membutuhkanku," didorongnya tangan Jungkook yang melingkari lengannya. "Aku harus segera pergi."
Dan tanpa ba bi bu, Hanbyul segera pergi meninggalkan Jungkook. Pria itu hanya terdiam, menatap punggung kecil yang berjalan semakin menjauh darinya. Jungkook masih mengingat jelas bagaimana raut kekhawatiran di wajah Hanbyul setelah membaca pesan di ponselnya tadi.
Jungkook tersenyum pahit. Ya, dia memang tidak memiliki seorang saudara. Jadi dia tidak pernah merasakan bagaimana rasanya diperhatikan dan dikhawatirkan seperti itu. Jika boleh jujur, sekarang Jungkook merasa iri.
"Hai. Kau ada waktu malam ini? Aku butuh seorang teman." Ujar Jungkook pada seseorang di seberang sana. Setelah mendapat persetujuan, Jungkook segera mematikan ponselnya, kemudian meminta pelayan untuk membungkus makanannya yang belum tersentuh. Barangkali ia akan kelaparan malam-malam nanti.
*****
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top