-12-
Halooo~
I know it's been a while,
Enjoy this story guys,
❣️❣️❣️
Lari!
Gadis itu tengah berlari diantara pepohonan yang menjulang, menembus semak-semak yang jauh lebih tinggi dari tubuhnya. Napasnya terengah, namun ia harus terus berlari sambil menahan perih di kaki telanjangnya.
Harapan untuk selamat memang kecil. Namun, selagi masih ada harapan ia tak mau menyerah. Ia masih ingin hidup, dan ia harus tetap hidup sekarang.
Jika orang-orang itu menangkapnya, mereka akan mengembalikannya ke tempat yang tak diinginkan. Atau yang lebih buruk, membunuhnya saat itu juga.
Semua inderanya menajam, mendengar bagaimana pria-pria itu memanggil-manggil namanya dengan derap langkah tergesa.
Tidak mau!
Pokonya ia tidak mau tertangkap lagi. Ia harus mencari jalan lain untuk keluar dari hutan ini dengan selamat. Apapun caranya, ia harus mempertahankan diri.
Diambilnya sebuah batang pohon yang cukup besar. Setidaknya ia bisa mengunakan batang ini untuk melindungi dirinya. Meskipun kini tenaganya terkuras, keinginannya untuk bertahan hidup jauh lebih besar.
Tap!
Tap!
Tap!
Tap!
Suara langkah itu semakin mendekat. Dan kali ini ia benar-benar siap. Ia mengeratkan genggamannya, bersiap mengayunkan batang itu seperti pemain baseball yang siap memukul bola. Pokoknya malam ini ia harus selamat.
"Hanbyul! Kim Hanbyul!"
Jungkook mengguncang tubuh Hanbyul di sampingnya. Keringat dingin mengucur deras dari pelipis wanita yang tengah tertidur di sampingnya.
"Hei! Kim Hanbyul! Hanbyul-ah! Han—"
"Haah!" Hanbyul membuka kedua mata dengan napas terengah dan tubuh yang gemetar. Wajahnya begitu pucat dengan tatapan waspada. Ia segera memeriksa pergelangan tangannya, tidak ada apa-apa.
"Kau... tidak apa-apa?" tanya Jungkook dengan mata bulatnya yang membola, menyuarakan kekhawatiran yang begitu jelas.
"Y-ya..." Hanbyul kembali mengatur napasnya. Sial! Kenapa mimpi itu kembali di saat yang tidak tepat seperti ini?!
"Minumlah," Jungkook menyodorkan sebotol air pada Hanbyul. Dengan tangan yang masih gemetar, Hanbyul meraih botol itu. Hampir menumpahkan seluruh isinya jika saja Jungkook tak cekatan memegangi tangannya. "Kau yakin jika kau baik-bik saja?"
Hanbyul mengangguk, suaranya masih enggan keluar, namun getaran di tubuhnya kini mereda. Ia menatap kedua tangan Jungkook yang masih menggenggam tangannya, kemudian beralih menatap wajah pria yang terlihat sangat khawatir itu.
"Eoh, m-maaf," ujar Jungkook kikuk. Ia segera melepas genggamannya pada tangan Hanbyul. Membiarkan wanita itu meneguk minumannya kemudian mengelap keringat di pelipis dan lehernya dengan punggung tangan.
Kedua mata Jungkook benar-benar merekam hal-hal kecil yang dilakukan calon tunangannya ini. Bahkan setiap helaan napas yang terhembus dari mulutnya, Jungkook mendengarnya dengan begitu jelas.
Sial!
Sekarang kenapa Jungkook berdebar-debar?
"Apakah perjalanannya masih lama?" tanya Hanbyul kemudian. Hanya menatap lurus ke depan tanpa mau melihat sang lawan bicara.
"Ti-tidak, hanya tinggal setengah jam lagi."
Dan setengah jam itu berlalu dengan keduanya yang saling diam. Tidak ada tindakan atau ucapan yang terlontar untuk memperbaiki keadaan canggung diantara keduanya. Hanbyul masih terhanyut dalam pikirannya. Sementara Jungkook tidak memiliki keberanian untuk bertanya. Jungkook tidak mau membuat Hanbyul merasa jika ia terlalu mencampuri urusannya.
*****
Selesai dengan jadwal kerjanya, Kim Taehyung tidak langsung pulang ke rumah. Malam ini ia ingin mengunjungi tempat Hanbyul. Seharusnya kembarannya itu sudah kembali dari Busan. Kakek bilang jika Hanbyul hanya berkunjung sebentar. Tidak bermalam disana karena masih banyak hal yang harus diurus.
Jika biasanya Taehyung akan mampir ke cafe untuk sekadar menyapa beberapa kenalannya, malam ini Taehyung memilih untuk menekan angka 8 langsung. Ia ingin segera menemui Hanbyul, menceritakan apa yang dirasakannya kini. Kembali ke masa dimana keduanya begitu dekat dan saling terbuka. Menceritakan keluh kesah yang tak ingin didengar siapapun. Pokoknya hanya rahasia si kembar.
Usai membuka pintu dengan pin yang sudah diberikan Hanbyul, Taehyung mendapati saudarinya tengah melamun di atas sofa. Pandangannya kosong, kedua tangannya saling menggenggam dengan mulut yang sedikit terbuka. Tidak seperti biasnya, Hanbyul yang selalu waspada bahkan tidak menyadari kehadiran Taehyung.
"Byul?" Taehyung mendekat, menempatkan dirinya di sebelah Hanbyul. Dan benar dugaan Taehyung, Hanbyul melamun. Ia bahkan terlonjak dengan satu sentuhan lembut di lengannya.
"Eoh, sejak kapan kau disini?" kedua matanya membulat, terlihat lega setelah mendapati jika itu adalah Taehyung.
"Baru saja. Kau tidak apa-apa? Apa ada sesuatu yang mengganggu pikiranmu? Kau terlihat... banyak pikiran?"
"Ani, bukan hal yang penting." Hanbyul menegakkan tubuhnya, memandang Taehyung yang masih menatapnya dalam. "Aku benar-benar tidak apa-apa, Tae. Aku hanya memikirkan pekerjaan. Itu saja."
Taehyung mengiyakan. Meskipun ia masih belum lega, tapi Taehyung juga tidak mau membuat Hanbyul merasa terbebani. Biarkan Hanbyul sendiri yang bercerita padanya. Taehyung tidak mau memaksa.
"Bagaimana Busan?" tanyanya sembari menempatkan diri di sebelah Hanbyul. Menggeser saudarinya, kemudian memutar lututunya agar mereka saling berhadapan. Senang rasanya jika tindakan Taehyung barusan bisa membuat saudarinya tersenyum.
"Cukup menyenangkan. Aku benar-benar menikmati perjalanan kali ini."
"Apakah kalian sudah semakin dekat?" bukan penasaran. Tapi lebih pada kekhawatiran. Bagaimanapun, juga Hanbyul adalah saudarinya. Perempuan yang harus dijaga dan dilindungi.
Melupakan apa yang pernah terjadi diantara mereka, Taehyung tidak mau jika nanti saudarinya terluka. Ia harus memastikan kebahagiaannya.
"Kami sedang mencobanya."
"Jadi, belum ya?"
Hanbyul tersenyum. Taehyung sepertinya lebih dewasa sekarang. Pria itu lebih peka dan bisa menangkap maksud tersirat ucapannya. "Kau tidak perlu khawatir, kami akan segera dekat dengan beberapa kencan, Tae."
"Kuharap begitu, Byul." Taehyung meletakkan sebuah bantal di atas paha saudarinya, berbaring di sana dengan kedua mata memejam. "Aku ingin kau benar-benar bahagia dengan keputusanmu ini. Aku tidak mau kau terluka karena terpaksa melakukan perjodohan. Seharusnya aku yang berada di posisimu sekarang, Byul. Aku sendiri terkejut kenapa Kakek tiba-tiba mengubah keputusannya. Seharusnya kau—"
"Hei!" potongnya, Taehyung memang belum tahu jika Hanbyul melakukan perjodohan ini demi dirinya. Tidak, Taehyung tidak boleh tahu. Hanbyul mengusap kepala Taehyung, menyisir rambut pria itu dengan jemarinya, kebiasaan lama yang selalu mereka lakukan semenjak kanak-kanak. "Aku tidak merasa keberatan dengan semua ini."
"Kau yakin?" Taehyung mendongak, menatap Hanbyul yang masih memandangnya. Wanita itu hanya tersenyum sambil terus menyisir rambutnya dengan lembut, membuat Taehyung—yang memang lelah—terbuai dalam kenyamanan.
"Ya. Aku yakin pada diriku sendiri."
"Tapi Byul... uaaah..." Taehyung menguap, tidak bisa menahan rasa kantuknya, "seharusnya kau—uaah..."
"Tidurlah, Tae. Aku akan memesan untuk makan malam," ujar Hanbyul kemudian meletakkan kepala Taehyung di atas sofa dengan perlahan. Taehyung sepertinya benar-benar kelelahan, nyatanya baru sebentar berbaring, pria itu sudah terlelap.
Hanbyul berjalan ke arah dapur, membaca bebera brosur makanan pesan antar yang pernah diberikan Jiwoo. Tidak begitu banyak pilihan, karena Jiwoo tahu mana selera Hanbyul dan membuang sisanya.
Ting tong!
Suara bel yang ditekan membuat Hanbyul mengalihkan fokusnya dari brosur dan berjalan menuju interkom. Seorang pria tampan tengah tersenyum menghadap kamera sambil memamerkan bungkusan besar di tangannya.
"Buka pintunya, Nona Kim! Aku membawakan sesuatu untukmu!"
Hanbyul tersenyum, kemudian menekan tombol sebelum berbicara pada pria itu. "Ya Oppa!"
Setelah pintu terbuka, Kim Seokjin segera masuk, disambut Hanbyul yang masih berdiri di depan layar interkom. Cucu tertua keluarga Kim itu segera berjalan mendekat, kemudian menyerahkan bungkusan besar yang dibawanya pada Hanbyul.
"Wah! Untung saja aku belum memesan makanan. Kau benar-benar datang di saat yang tepat, Oppa."
"Ya, tadi Eomma memintaku melihat keadaanmu. Dan ku rasa kau belum makan malam, jadi aku membeli beberapa makanan untukmu, Byul."
"Terimakasih, Oppa. Kau benar-benar Oppa yang baik." Hanbyul meletakkan sekantong makanan itu di atas pantry, kemudian menuang jus jeruk ke dalam gelas dan menyerahkannya pada Seokjin. "Duduklah, Oppa. Setidaknya kau harus minum sesuatu setelah sampai kemari."
"Eung," Seokjin duduk di salah satu kursi di hadapan adik perempuannya, kemudian meneguk cairan oranye yang menyegarkan itu. "Tapi, apa yang Taehyung lakukan disini?" Seokjin memandang Taehyung yang tengah tertidur di atas sofa sambil memeluk sebuah bantal.
"Mampir? Kadang Taehyung kemari, Oppa. Tapi harus kuakui jika belakangan ini dia jadi lebih sering kemari."
"Ah, mungkin dia merasa kesepian, Byul." Seokjin mengetukkan jemarinya pada gelas, "sepertinya ia kehilangan teman bicara di rumah sakit."
"Teman bicara?" Hanbyul mengeryit. Belum memahami maksud Seokjin dengan jelas.
"Eung, kau tahu Park Jimin?" Hanbyul mengangguk, dia memang mengenal siapa Park Jimin. "Kau pasti tahu jika Taehyung dekat dengan Jimin, 'kan?" sekali lagi Hanbyul mengangguk. "Belakangan ini aku jarang melihat Jimin bersama Taehyung. Mungkin hanya aku saja, tapi aku merasa sepertinya Jimin sedang menghindari Taehyung."
Seokjin mengangkat lagi gelasnya, meneguk sisa-sisa jus jeruknya. "Hanya dugaanku saja, Byul. Tapi mungkin Taehyung mau membicarakannya denganmu, nanti."
*****
Setelah kunjungan singkatnya ke Busan tadi, Jungkook jadi memikirkan banyak hal. Tentang masa lalunya, tentang luka di hatinya, tentang kepercayaannya, dan tentang Hanbyul. Jujur saja, gadis itu sekarang tengah mendominasi kepalanya. Sikapnya yang diluar dugaan dan juga dualismenya yang membuat Jungkook kebingungan, namun di luar semua itu Jungkook masih memikirkan kata-katanya di kereta tadi.
"... Mengenai kehidupan baru yang akan kujalani bersama seseorang yang kucintai di dalam sebuah rumah yang penuh kehangatan. Dimana anak-anakku akan merasakan kebahagiaan hanya karena berkumpul bersama Ayah dan Ibunya. Sebuah rumah dimana seluruh anggota keluargaku merasa aman dan saling memiliki satu-sama lain..."
Cukup sederhana sebenarnya, Hanbyul hanya menginginkan sebuah keluarga yang selalu dipenuhi kehangatan dan cinta. Dan Jungkook ingat betul bagaimana senyum gadis itu saat mengatakan keinginannya tadi. Hanbyul seolah benar-benar membayangkan keluarga impiannya.
Atau mungkin, dia hanya mendeskripsikan keadaan keluarganya saja? Hanbyul berasal dari keluarga yang terlihat baik-baik saja. Jungkook bisa melihatnya dari cara Hanbyul berinteraksi bersama saudara-saudara dan sepupu-sepupunya pada makan malam itu. Gadis itu tumbuh dengan penuh kasih sayang dari orang-orang terdekatnya, dari kedua orangtuanya.
Tidak seperti Jungkook. Tidak seperti keluarganya.
Haah~
Jungkook menghela napas panjang. Pikirannya terus berkecamuk. Namun tak dipungkiri jika Jungkook juga menginginkan hal yang sama. Dan kehadiran Hanbyul seolah memberinya jalan menuju keinginannya itu.
Haruskah ia mulai membuka hatinya untuk Hanbyul? Haruskah Jungkook mulai mempercayai Hanbyul?
Jungkook mengambil ponselnya. Menekan salah satu kontak yang baru disimpannya seminggu lalu kemudian meletakkan benda itu di sebelah telinganya.
Drrt!
Drrt!
Drrt!
"Eoh, Jungkook?" Taehyung yang baru saja bangun merasa sedikit terkejut dengan layar ponsel yang menyala di sebelahnya. Diambilnya ponsel itu, kemudian menggeser layarnya. "Yoboseyo?"
"Eoh, yoboseyo?"
"Ada apa Jungkook-ssi? Hanbyul sedang keluar—Ah, itu dia." Taehyung segera berdiri, kemudian berlari menghampiri Hanbyul yang baru saja kembali dari cafe dengan dua gelas latte di tangannya.
"Jungkook menelponmu," Taehyung mengambil alih salah satu gelas, kemudian memberikan ponsel Hanbyul pada pemiliknya.
Hanbyul melirik sebentar layar ponselnya, memastikan jika panggilan itu masih terhubung. "Yoboseyo? Jungkook-ssi?"
"E-ehm, begini Hanbyul-ssi. Apakah besok kau ada waktu? Aku ingin mengajakmu makan malam besok."
"Baiklah. Kita bisa makan malam bersama besok."
"K-kalau begitu.. sampai jumpa. Aku akan memberitahumu tempatnya nanti."
Tuut... tuut... tuut...
Sambungan terputus. Hanbyul menyimpan kembali ponselnya. Namun Taehyung yang tengah tersenyum menatapnya—sambil menyedot latte-nya—di tempat yang sama, membuat Hanbyul bertanya-tanya. "Ada apa, Tae?"
"Kalian akan berkencan?" Kedua alis Taehyung naik dengan senyum konyol yang menghias wajah tampannya. Pria itu kemudian mengikuti Hanbyul yang berjalan menuju meja makan.
"Hanya makan malam. Bisakah itu disebut kencan?"
"Eyy, tentu saja. Kau seperti seseorang yang belum pernah berkencan saja," ujar Taehyung dengan nada menggoda sambil memainkan kedua alisnya.
"Memang belum." Jawab Hanbyul santai, namun tidak dengan Taehyung yang menanggapinya dengan penuh keterkejutan.
"Jangan bercanda, Byul. Mana mungkin seorang wanita cantik sepertimu tidak pernah berkencan."
"Aku memang belum pernah kencan, Tae. Tidak ada waktu untuk itu." Jawab Hanbyul, kali ini lebih terdengar serius.
"Kau—astaga, Byul. Kau benar-benar menghabiskan masa mudamu untuk berkarir?" Anggukkan Hanbyul menjadi jawaban yang jelas bagi Taehyung. "Ah, Jungkook benar-benar beruntung mendapatkanmu. Hatimu masih belum terikat pada apapun selain pekerjaan."
Deg!
Hanbyul terdiam. Benarkah hatinya belum terikat pada apapun selain pekerjaannya?
Nyatanya tidak. Nama itu masih terukir jelas pada sudut hatinya yang tak akan pernah digantikan siapapun.
*****
Ciaaa... Hanbyul mau kencan sama Kookie... Huaaa 💜
😍😍😍
Tapi siapa sih yang sebenarnya sudah mengikat hati Hanbyul?
Jangan lupa vote yaa...
Kiss Kiss~
Tara~
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top