-11-

Hello... It's been a while... Okay,

But here's the next chapter of my work,
Hope u guys enjoy it the way I am...

❇️❇️❇️

Selamat membaca~

Dua minggu berlalu semenjak Jungkook bertemu dengan calon istrinya. Jujur saja, Jungkook merasa sedikit beruntung kala mengetahui siapa yang akan disandingkan dengannya nanti. Seorang wanita muda pekerja keras dengan paras elok nan menawan yang memang menjadi dambaan Jungkook selama ini.

Namun harus diakui Jungkook, wanita bernama Kim Hanbyul itu benar-benar tak bisa ditebak dan penuh kejutan. Bahkan saat Jungkook melihat Hanbyul yang kini tengah bermanja-manja dengan Neneknya, rasanya Jungkook melihat sisi lain Hanbyul. Wanita dingin dengan sorot mata tajam dan perangai dingin yang ditemuinya belakangan ini berubah menjadi wanita lemah lembut dan penuh kasih sayang saat bersama Neneknya.

Jungkook merasa senang karena Neneknya terlihat begitu menyayangi dan nyaman saat bersama Hanbyul, juga khawatir tentunya. Khawatir jika Hanbyul tidak bisa menepati ucapannya malam itu. Kekecewaan Nenek Jungkook pasti sangat besar.

"Eoh, Halmeoni seorang pianis?" tanya Hanbyul setelah mendapati beberapa foto semasa muda Nenek Jeon yang terpampang di ruang keluarga. Begitu anggun dan penuh kharisma, Nenek Jeon di masa mudanya benar-benar menjadi sosok wanita yang sangat mengagumkan.

Nenek Jeon mengangguk, "Ya. Apa Hanbyul bisa bermain piano?" Nenek Jeon mendekat, melihat Hanbyul yang tengah terkagum-kagum dengan apa yang ada di hadapannya kini.

"Eung, aku pernah mengikuti kursus singkat, tapi kurasa aku tidak sehebat Halmeoni."

"Kalau begitu ayo kita bermain bersama. Rumah ini masih memiliki sebuah piano di ruang baca."

Setelah menapaki lantai kedua kediaman keluarga Jeon, Hanbyul mendapati sebuah grand piano berwarna hitam di ruang baca yang terbuka. Ia juga mendapati puluhan foto yang menghias ruangan ini, kebanyakan foto Jungkook sedari bayi hingga dewasa bersama Nenek dan Kakeknya.

Tunggu!

Setelah mengamati lebih jauh, Hanbyul tidak mendapati foto Jungkook bersama kedua orangtuanya. Cukup aneh. Bahkan foto masa kecil Jungkook hanya bersama kedua Kakek dan Neneknya. Tidak ada foto keluarga yang menunjukkan seluruh anggota keluarga Jeon. Hanya Jungkook, Kakek, dan Neneknya saja.

"Kau pasti bertanya-tanya tentang orangtua Jungkook-ie 'kan?" Nenek Jeon tersenyum lembut pada Hanbyul yang kini terlihat kikuk. Ya, Hanbyul jadi merasa tidak enak setelah mendengar apa yang diucapkan Nenek Jeon. Pikirannya berputar-putar, menebak-nebak dimana kedua orangtua Jungkook dan apa yang sebenarnya terjadi pada mereka.

"Kuharap kau mendengarnya dari Jungkookie sendiri, Byul. Aku yakin, jika sudah saatnya nanti kalian akan saling terbuka satu sama lain untuk saling memahami."

*****

Semenjak kepulangan Hanbyul, rasanya Taehyung selalu mendapat kejutan dari wanita yang pernah berbagi rahim dengannya itu. Mulai dari sikap Hanbyul yang kembali seperti dulu padanya hingga tentang perjodohan dua minggu lalu.

Hanbyul bahkan tidak memberitahukan pada siapapun jika ia adalah pemilik dari Starlight cafe. Ya, kecuali pada Namjoon, Seokjin, dan Kakek Kim mungkin. Dan semenjak Taehyung mengetahui jika tempat itu adalah milik saudarinya, Taehyung jadi sering mampir. Untuk sekadar menikmati segelas cokelat atau menemui Hanbyul sendiri.

Dan rencananya Taehyung ingin mengajak Jimin dan Hana kesana. Memperkenalkan Hanbyul pada sahabat-sahabat dekatnya. Ah, tapi dua minggu ini Taehyung hampir tidak pernah bertemu dengan Jimin. Pria Park itu terlalu seibuk dan lebih sulit ditemui belakangan ini. Setelah selesai dengan jam praktik ataupun jadwal operasi, Jimin akan langsung menghilang dan sulit ditemui. Seperti siang ini, Jimin bahkan tidak terlihat di sela-sela jam makan siangnya.

"Hana-ya!" Taehyung melambaikan tangannya saat melihat Hana memasuki kafetaria. Meminta dokter wanita itu untuk makan di sebelahnya.

"Kau sendirian? Kupikir Jimin bersamamu." Hana meletakkan nampan makannya di hadapan Taehyung.

"Jimin tidak berada di ruangannya?" tanya Taehyung sedikit bingung. Pasalnya, Jimin akan langsung pergi menemuinya jika semua urusannya selesai. Jika tidak, pria itu akan tetap berada di ruangannya. Menyelesaikan pekerjaan-pekerjaan yang diberikan Namjoon.

"Ani. Dia sudah keluar setelah jadwal kunjungan pasiennya selesai," ujar Hana. Baru saja Hana akan menyantap makan siangnya, tangannya terhenti karena tiba-tiba memikirkan sesuatu diantara dua temannya. "Kalian... sedang tidak ada masalah bukan?"

Ucapan Hana sontak membuat Taehyung berpikir. Jika dilihat-lihat, belakangan ini ia dan Jimin memang terlihat jarang berdua. Namun Taehyung tidak pernah berpikir jika keduanya sedang ada masalah. Atau paling tidak, Taehyung merasa tidak membuat masalah dengan Jimin.

"Tidak. Tidak terjadi sesuatu diantara kami. Tapi—" Taehyung kembali berpikir, apakah Jimin marah padanya karena masalah Eunsoo? Namun pada pertemuan terakhir mereka, Jimin sama sekali tidak menunjukkan tanda-tanda jika pria itu marah atau kecewa padanya.

"Tapi?"

Taehyung diam. Memandang Hana yang masih menunggunya. Bukankah tidak apa menceritakan ini pada Hana? Dan Hana sepertinya bisa dipercaya untuk masalah seperti ini.

"Aku sudah putus dari Eunsoo."

"Mwo?"

"Kau tahu jika aku akan menjalani sebuah perjodohan bukan? Aku memiliki seornag kekasih lalu dipaksa untuk menjalani sebuah perjodohan dengan wanita lain." Hana mengangguk, dia memang tahu tentang rumor itu. Hanya saja tidak menyangka jika terjadi secepat ini.

"Kupikir aku bisa memperjuangkan Eunsoo saat itu. Aku benar-benar ingin memperjuangkan 'kami'. Tapi sepertiya tidak dengan Eunsoo. Dia menyerah padaku. Yang lebih membuatku merasa kecewa adalah bagaimana Eunsoo menyerah padaku untuk mengejar impiannya." Taehyung mendengus, membicarakan masalah seperti ini membuatnya sedikit emosional. "Aku tidak bisa menghalangi seseorang meraih mimpinya. Namun aku juga tidak bisa menahan kekecewaanku, Hana-ya."

"Jadi, kau berpikir jika Jimin sedang menghindarimu karena masalah itu?"

Anggukkan Taehyung sudah cukup untuk menjadi jawaban bagi Hana. Ya, Jimin tidak terlalu pandai dalam menyembunyikan perasaannya. Dan Hana sendiri juga yakin jika Jimin memang menghindari Taehyung karena masalah ini. Tidak sulit untuk menebak pria itu.

"Kalian harus berbicara, Tae. Kalian harus menyelesaikan apapun masalah yang terjadi diantara kalian."

*****

Jungkook memeluk Nenek dan Kakeknya setelah mereka tiba di stasiun. Menyampaikan beberapa pesan pada kedua orang yang telah membesarkannya itu untuk selalu menjaga diri mereka dengan baik. Begitu pula Hanbyul, wanita muda itu sepertinya enggan berpisah dengan Kakek dan Nenek Jeon.

"Kau harus sering mengunjungi kami di Busan, Hanbyul-ah." Nenek Jeon memeluk Hanbyul sambil mengusap punggungnya. Sepertinya Hanbyul berhasil membuat dua orang tua itu benar-benar menyayanginya.

"Ne, Halmeoni. Aku akan selalu menyempatkan waktu untuk mengunjungi kalian."

Entah mengapa melihat kedekatan Hanbyul dan Neneknya, membuat Jungkook sedikit cemburu. Dia tidak pernah mendapat perlakuan semanis itu dari sang Nenek semenjak ia tumbuh dewasa. Tapi dengan Hanbyul? Bagaimana bisa neneknya memanjakan Hanbyul seperti itu di hadapannya?

"Baiklah, Nona Kim, sebaiknya kita masuk. Kereta akan segera berangkat," ujar Jungkook mencoba seramah mungkin dengan senyum yang dibuat-buat.

"Sepertinya kalian memang harus pulang." Nenek Jeon menggenggam tangan Hanbyul, masih enggan melepaskan juga. "Jaga dirimu baik-baik, sayang. Dan tolong jaga Jungkook untuk kami."

Hanbyul mengangguk. Tidak tahu kenapa ucapan Nenek Jeon terasa bagaikan perintah yang harus dipatuhinya. Tidak, bukan sebuah perintah. Melainkan permintaan yang tak sanggup ditolaknya.

Entah mengapa semenjak mengenal keluarga ini, Hanbyul merasa ada yang berbeda dari dirinya. Ada banyak hal yang belum diketahuinya tentang hubungan keluarga yang ia dapatkan hanya dengan berbincang dengan Nenek Jeon. Dan perlahan Hanbyul mengerti kenapa Jungkook benar-benar tidak mau mengecewakan Nenek ataupun Kakeknya.

"Hei!" Jungkook memanggil Hanbyul yang tengah asik bermain dengan tablet di sebelahnya. Sedari memasuki kereta ini sejam lalu, Hanbyul hanya sibuk menggambar tanpa memperhatikannya. "Yak! Kim Hanbyul, kau mendengarku?"

"Eung," jawab Hanbyul dengan fokus yang tak lepas dari layar di hadapannya.

Jungkook mendengus, diabaikan seperti ini membuatnya kesal. Wanita di sebelahnya ini terlalu sibuk dengan pekerjaannya. Bahkan di dalam kereta seperti ini, yang dilakukannya hanyalah mengurus pekerjaan. Bisakah Jungkook menyebutnya gila kerja?

Astaga!

"Ambillah ini," Jungkook menoleh, mendapati Hanbyul yang memberikan setoples cookies padanya. "Aku tahu, mungkin kau berpikir jika aku sangat terobsesi dengan pekerjaanku." Hanbyul tersenyum, membuka toples yang masih berada di tangannya kemudian menyerahkannya pada Jungkook, "Tapi aku benar-benar harus menyelesaikan ini sesegera mungkin. Aku tidak bermaksud membuatmu merasa diabaikan, tapi setelah tiba di Seoul nanti, aku benar-benar tidak punya waktu untuk ini."

Rasanya Jungkook masih kebingungan dengan sikap Hanbyul. Semenit yang lalu Hanbyul menjadi wanita dingin dan terlihat tak acuh, namun baru saja Jungkook mendapati Hanbyul dengan sikap yang sangat berbeda.

"Haah! Apa kau selalu bekerja seperti ini? Dimanapun, kapanpun, dalam situasi apapun?"

Light pennya berhenti bergerak. Ucapan Jungkook barusan membuat Hanbyul terdiam. Berpikir apakah yang dikatakan Jungkook tadi benar? Tidak, tidak. Hanbyul tidak seperti itu. Nyatanya dia masih bisa menikmati waktunya dengan baik.

"Tidak juga. Aku juga bersantai dan menikmati waktu sendiri. Kau hanya bertemu denganku di saat aku sedang sibuk saja."

"Memangnya apa yang membuatmu sibuk? Proyek baru? Fashion Show?" tanya Jungkook, sedikit melirik ke layar tablet yang berada di pangkuan Hanbyul.

"Lebih penting dari itu." Hanbyul masih tetap fokus menggambar, tidak menatap sang lawan bicara yang terlihat begitu kesal karena diabaikan. "Aku sedang mendesain pakaian untuk acara pertunangan kita nanti."

Freeze!

Jungkook terdiam. Netranya menilik kembali layar itu. Ya, ia mendapati desain tuxedo dan sebuah gaun di sampingnya. Ia benar-benar tidak menyangka jika Hanbyul menyiapkan semuanya seperti ini. Hanbyul bisa saja memilihkan Jungkook salah satu pakaian yang sudah ada di perusahaannya tanpa perlu repot-repot mendesain kembali pakaian untuknya.

"Bagaimana? Apakah ini sudah sesuai denganmu?" tanya Hanbyul sambil menunjukkan layar tab-nya. Sedikit terkejut, Jungkook mersa desain yang ditujukan padanya benar-benar menunjukkan style-nya selama ini. "Aku mengamati gaya berpakaianmu selama beberapa kali pertemuan kita. Dan Halmeoni memberiku referensi jika kau menyukai gaya klasik yang elegan. Jadi aku membuatnya seperti ini. Bagaimana?"

"Eo-eoh.. ya, aku menyukainya."

"Baguslah!" Hanbyul menarik kembali tab-nya. Mematikan benda itu sebelum kembali menyimpannya ke dalam tas. Membenarkan posisi duduknya, lalu memejamkan kedua mata dan mengabaikan semua yang ada di sekitarnya. "Kau membuat pekerjaanku lebih mudah. Terimakasih."

Jungkook menatap Hanbyul tak percaya. Sekali lagi ia dibuat terkejut dengan perubahan sikap Hanbyul. Wanita ini kembali menjadi wanita dingin yang menyebalkan setelah Jungkook berpikir jika wanita yang tengah memejamkan mata di sebelahnya ini akan bersikap manis sepanjang perjalanan.

"Biar kutebak! Melihat betapa ambisiusnya dirimu jika menyangkut pekerjaan dan desain pakaian, kau pasti juga sudah menyiapkan desain untuk pernikahan kita bukan?"

"Ddaeng!" Hanbyul mengambil napas dalam sebelum membuka matanya. "Aku tidak berpikir jika pernikahan kita akan terjadi secepat itu."

"M-mwo?" kali ini Jungkook benar-benar bingung. Tidak hanya sikap Hanbyul yang membuatnya kebingungan. Nyatanya pemikirna dari wanita di sampingnya ini lebih rumit dari apa yang diperkirakan.

"Pertunangannya mungkin dua minggu lagi. Tapi aku tidak yakin dengan pernikahannya." Hanbyul memandang Jungkook sebentar, kemudain membuang kembali pandagannya ke luar jendela. "Melihat kondisi kita yang seperti ini. Mungkin bisa memakan waktu lebih lama."

"Kenapa?"

"Aku ingin menjalani pernikahanku dengan baik. Aku ingin benar-benar mengenalmu dan aku ingin kau benar-benar mengenalku sebelum kita menikah. Karena bagiku, pernikahan adalah hal serius yang harus benar-benar ku pertanggungjawabkan. Mengenai kehidupan baru yang akan kujalani bersama seseorang yang kucintai di dalam sebuah rumah yang penuh kehangatan. Dimana anak-anakku akan merasakan kebahagiaan hanya karena berkumpul bersama Ayah dan Ibunya. Sebuah rumah yang selalu dirindukan, dimana seluruh anggota keluargaku merasa aman dan saling memiliki satu-sama lain. Dan untuk mewujudkannya, aku harus benar-benar mencintai dan dicintai oleh suamiku kelak. Jadi jika kau masih berpikir kalau aku tidak serius dengan pernikahan ini. Kau salah besar, Jungkook-ssi."

Gulp! Tanpa mencela, Jungkook masih setia mendengarkan wanita di sebelahnya.

"Dan melihat bagaimana keadaan kita sekarang ini, sepertinya aku membutuhkan waktu yang cukup lama hanya untuk mengenalmu," tambahnya sebelum kembali memejamkan mata.

Dan pria yang berada di sebelahnya ini memilih untuk berdiri, menarik sedikit kemeja bagian bawahnya agar terlihat lebih rapi. Meninggalkan Hanbyul menuju toilet tanpa mengucap sepatah kata karena Jungkook merasa hatinya tidak baik-baik saja.

Hanya mencuci kedua tangannya yang tidak kotor, setelah itu Jungkook tidak segera kembali ke kursinya. Pria muda ini memilih untuk menyandarkan tubuhnya sebentar pada dinding kereta.

Memikirkan kembali bagaimana ucapan Hanbyul tadi membuatnya merasa buruk. Jungkook hanya tidak menyangka jika Hanbyul seserius ini.

Bisakah Jungkook mempercayainya?

Bisakah Jungkook kembali membuka hatinya?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top