-08-
enjoy this chapter
"Somi Eonnie!" Hanbyul tersenyum dengan sebuket bunga, sekotak hadiah, dan kue di kedua tangannya. Menghampiri seseorang yang sudah lama dirindukan. "Aku membawakan sesuatu untukmu!"
Si pemilik kamar tersenyum hangat menyambut kedatangan Hanbyul. Lee Somi, yang kini tengah hamil lima bulan masih terlihat begitu pucat di pembaringannya. Istri Kim Seokjin itu memang sedang sakit, namun ia memaksa untuk mempertahankan kandungannya. Meskipun Somi sangat yakin jika kecil kemungkinan dirinya bertahan.
"Hanbyul-ah!" Somi tersenyum, masih tampak begitu cantik dengan kulit pucatnya. Penyakit tidak mengurangi sedikitpun kecantikannya. Sungguh, Somi benar-benar diberkahi. "Akhirnya kau datang juga, Byul." Ucapnya begitu senang. Sudah lama tidak bertemu dengan Hanbyul. Padahal Hanbyul adalah satu-satunya tempat Somi menceritakan semuanya.
"Aku sudah disini, eonnie. Dan aku punya sesuatu untuk si kecil!" Hanbyul membuka kotak hadiahnya. Diangkatnya sebuah piyama kecil berwarna biru langit dengan hoodie berbentuk Koala. Benar-benar menggemaskan. "Eotte? Eonnie menyukainya?"
"Tentu saja, Byul-ah. Eonnie sangat menyukainya." Somi mengambil piyama kecil itu, kemudian meletakkan benda lembut itu di atas perutnya. "Hansung pasti akan menyukai ini."
"Hansung?" kedua alis Hanbyul bertaut saat mendengar nama yang cukup asing di telinganya.
"Hansung. Aku memberinya nama Kim Hansung, mirip dengan namamu, Kim Hanbyul," tangan Somi bergerak untuk mengelus perutnya, membayangkan bagaimana anak lelakinya saat lahir nanti. "Aku sengaja menyamakan namanya denganmu karena aku ingin putraku menjadi orang yang kuat sepertimu, Byul."
"Tentu saja! Pria kecil bernama Hansung di dalam perutmu ini akan menjadi pria yang kuat dan hebat! Benar 'kan Hansung-ah?" Hanbyul merendahkan tubuhnya, tangannya terulur untuk ikut mengelus perut Somi yang terlihat besar. Hanbyul tahu jika saat ini keadaan Somi memang tidak cukup baik, dan Hanbyul memahami benar bagaiaman semua ini akan berakhir jika Somi tetap kukuh mempertahankan bayinya.
"Eoh, Hansung menendang, kau merasakannya?" Somi terlihat begitu senang dengan respon dari dalam perutnya.
"Eung, apakah Hansung memberi respon yang baik pada pertemuan pertama kami?"
"Aku sangat yakin jika Hansung akan menyukaimu, Byul." Sekali lagi Somi tersenyum. Hari ini rasanya ia banyak tersenyum karena senang. Terlebih, kehadiran Hanbyul selalu mampu mendorong semangatnya untuk tetap menjalani hidup.
Somi dan Seokjin menikah lima tahun lalu. Perjodohan? Benar saja. Somi dan Seokjin menikah atas dasar perjodohan yang dilakukan kedua belah pihak keluarga. Keluarga Kim menjalin kerja sama dengan keluarga Lee yang merupakan pemilik usaha peralatan medis terbesar di Asia. Tentu saja asas perjodohan menjadi dasarnya. Dan Seokjin yang merupakan cucu tertua di keluarga Kim, mendapatkan kesempatan untuk menikahi putri kedua keluarga Lee tersebut.
Perjodohan keduanya dapat dikatakan berjalan dengan lancar. Tidak ada yang tersakiti di antara kedua belah pihak, dan keduanya bisa saling mencintai seiring berjalannya waktu. Namun tak disangka setelah setengah tahun menikah, Somi mendapatkan diagnosis penyakit Jantung. Mereka terpaksa menggugurkan anak pertamanya demi kebaikan Somi. Dan di kehamilan keduanya, Somi tidak mau menyerah begitu saja. Ia akan tetap mempertahankan anaknya meski kondisinya begitu lemah.
"Bagaimana dengan Taehyung? Kudengar dari Jin Oppa, semalaman kau menungguinya?" tanya Somi saat Hanbyul mengupas apel untuknya. Menata potongan apel di atas piring, kemudian menyajikannya pada Somi
"Eung. Tapi semalam Taehyung-ie lebih banyak diam. Dia bahkan tidur lebih awal. Jadi aku mengurus pekerjaanku saja."
"Ah, seperti itu rupanya. Kau semakin sibuk ya sekarang?" goda Somi. melihat bagaimana Hanbyul bekerja rasanya ia begitu iri. Hanbyul sangat berkebalikan dengannya. Wanita kuat yang tangguh menghadapi apapun, bahkan meski begitu banyak hal yang mencoba menjatuhkan, Hanbyul tetap bertahan pada posisinya. Tetap menjadi wanita kuat yang tak terkalahkan. "Tapi aku senang jika kalian sudah berbaikan seperti ini."
Hanbyul meninggalkan Somi setelah wanita itu mendapatkan obat dan tertidur. Begitu tenang dan damai. Rencananya setelah ini dia akan pergi ke kamar Taehyung. Tadi pagi sebelum Hanbyul pergi ke kantor, dokter bilang jika kemungkinan Taehyung bisa pulang malam ini. Mumpung hari belum terlalu sore, Hanbyul ingin kembali mengobrol bersama Taehyungnya.
"Kim Hanbyul-ssi?"
"Eoh, Jimin?"
Seorang pria tersenyum kearahnya dengan tangan yang melambai dan kedua mata menyipit. Park Jimin. Berlari kecil melewati beberapa meter koridor di hadapannya untuk menemui Hanbyul.
"Wah, apa yang kau lakukan disini?" mendapati Hanbyul di rumah sakit membuat Jimin bertanya-tanya. Terlebih Jimin baru saja keluar dari pintu kamar salah satu pasien VIP di tempat ini. "Menjenguk seseorang?"
"Eung, aku baru saja menjenguk Somi eonnie." Ucapnya sambil menunjuk pintu ruangan Somi dengan gelengan.
"Aku tidak menyangka jika kau mempunyai banyak relasi di tempat ini, Hanbyul-ssi."
"Jangan seformal itu padaku, Jim. Bukankah kita teman?" Hanbyul menyikut lengan Jimin, mencoba mengakrabkan diri bersama pria yang menjahit lukanya beberapa hari yang lalu. "Kau... sudah menyelesaikan shift mu?"
"Ya, aku sedang istirahat. Eoh, kau ada waktu? Bagaimana jika kita makan di kafetaria. Rumah sakit ini memiliki makanan terbaik di seluruh dunia." Ujar Jimin menyombongkan. AH, tapi memang benar jika kafetaria di Kimsan adalah yang terbaik. Tidak ada rumah sakit yang memiliki makanan selezat di tempat ini.
"Kurasa aku tidak memiliki alasan untuk menolak ajakanmu, Jim."
Disinilah Hanbyul dan Jimin sekarang. Salah satu bangku kafetaria rumah sakit yang tidak begitu ramai. Namun tetap saja, keduanya seolah-olah menjadi sorotan di tempat itu. Jimin bahkan baru mengetahui dari Namjoon jika Hanbyul adalah seorang desainer ternama. Pantas saja saat melihat Hanbyul, Jimin tidak begitu asing.
"Ngomong-ngomong, terimakasih untuk pakaian yang kau berikan waktu itu," ujar Jimin malu-malu. Rasa-rasanya ia lupa berterimakasih untuk hal itu. Apalagi yang diberikan bukanlah pakaian sembarangan. Pakaian bermerek kelas dunia yang mungkin hanya bisa dibeli dengan menghabiskan gaji sebulan penuh.
"Eung, aku yakin pakaian itu cocok denganmu, Jim. Lain kali aku ingin melihatmu mengenakan pakaian itu." Hanbyul tersenyum. Merasa senang jika apa yang diberikannya pada orang lain membuat orang itu senang.
"Haruskah aku menukarnya dengan hal lain? Kurasa pakaian-pakaian yang kau berikan nilainya terlalu mahal."
Hanbyul menggeleng sambil tersenyum, kemudian menyuapkan sesendok salad ke dalam mulutnya, "cukup dengan menjadi temanku, Jim." Ucap Hanbyul yang membuat Jimin terkejut. Sepertinya ia mendapatkan serangan jantung saat menatap Hanbyul yang tersenyum kearahnya. Begitu manis dan menggemaskan dalam waktu bersamaan. Benar-benar bertolak belakang dari citranya yang sering dibilag orang—dingin.
Ya, Jimin bahkan sempat membatu beberapa saat jika saja Namjoon—yang baru saja bergabung—tidak menepuk bahunya.
"Jangan sampai jatuh cinta padanya, Jim. Semua orang juga tahu kalau Hanbyul cantik, tapi—" Namjoon membuka bungkus sandwichnya. Kemudian memandang Jimin yang masih terdiam menatapnya, "—Hanbyul sudah memiliki calon suami."
Ah, untung saja Jimin belum sampai jatuh cinta pada Hanbyul. Jika terlanjur, bisa gawat. Jimin bisa mendapatkan patah hatinya seperti sebelumnya. Ia juga tidak mau jatuh cinta pada wanita yang akan berumahtangga.
*****
Suasana siang yang tidak begitu cerah membuat Jung Hoseok sedikit malas untuk keluar studio. Pria berhidung lancip ini bahkan melewatkan sarapannya, sudah hampir dua hari ia tidak keluar dari studio. Mempersiapkan album baru untuk salah satu artis yang bernaung di agensi yang sama.
Hoseok memang selalu begitu jika sudah menyangkut pekerjaan. Melupakan hidupnya sejenak untuk memberikan fokus penuh pada musiknya. Beruntung semalam Yoongi membawakannya makan malam setelah menjemput kekasihnya. Ya, sebagai sunbae, Yoongi memang selalu peduli pada hoobae-hoobaenya. Terutama Hoseok.
Dan siang ini, Hoseok tetap terpaku pada layar komputernya untuk meracik musik bersama Yoongi yang sudah tertidur beberapa jam lalu. Yoongi memang tak jauh berbeda dari Hoseok, namun ia sudah bisa mengatur jam tidurnya dan makannya dengan baik. Ia sadar jika kecintaannya pada musik tidak boleh membuatnya lupa akan kesehatan. Dulu Yoongi pernah merasakan bagaimana tidak enaknya sakit karena tak mengurus dirinya dengan baik.
"Kau masih bekerja?" Yoongi menguap, kemudian meregangkan tubuhnya. Dan pria bernama Hoseok itu masih terpaku pada layar di hadapannya. Tidak mempedulikan sekitarnya, tidak mempedulikan Yoongi yang menanyainya.
"Yak! Jung Hoseok!"
"Eoh, hyung, kau sudah bangun?" tanya Hoseok, sedikit melirik, namun masih terfokus pada pekerjaannya.
Haah—
Yoongi menghela napasnya sebelum bangkit dan menghampiri Hoseok. Kedua matanya menelisik layar di hadapan Hoseok, kemudian beralih pada wajah lelah dengan kantung mata yang menghitam.
"Kau benar-benar membutuhkan istirahat, Hoseok-ah!" Yoongi gemas, namun juga khawatir. Dan Hoseok benar-benar keras kepala di saat seperti ini. "Jangan berpikir untuk melakukan kesalahan yang sama denganku. Kau harus mengerti batasanmu dalam bekerja."
"Beri aku sepuluh menit, hyung, setelah itu aku akan mengajakmu makan di cafe atas."
Sepuluh menit berlalu, dan Hoseok menepati janjinya. Setelah menyimpan lagu barunya, ia segera menghampiri Yoongi untuk pergi ke lantai atas—Starlight cafe.
Ini pertama kalinya Yoongi pergi ke cafe ini. Meskipun sudah sebulan Yoongi mengetahui keberadaan cafe ini, namun pria Min itu lebih memilih makanan pesan antar daripada harus bergerak naik. Dan setibanya di Starlight cafe, Yoongi menyadari jika perjalanannya naik tidak sia-sia. Ia bahkan merasa melewatkan hal yang begitu menarik selama ini.
"Wow!" ujar Yoongi menatap sekitar dengan penuh kekaguman. Nuansa dalam ruangan yang menenangkan dengan kaca raksasa yang menjadi dinding pembatas dengan tanaman yang menghias bagian luar membuat pengunjung lupa bahwa mereka sedang berada di tengah kota. Buku-buku yang dipajang ditambah lampu gantung berbentuk kawanan kupu-kupu juga lukisan-lukisan dengan gaya realis yang terpampang di dalam cafe menambah kesan aestetik. Ada sebuah pemutar musik kuno yang menghias sudut ruangan, sudah tidak berfungsi, hanya sebagai penghias.
"Kau akan lebih kagum pada rooftop area tempat ini, hyung!" ujar Hoseok membawa Yoongi untuk naik satu lantai lagi.
Benar saja, Yoongi dibuat terpana dengan dualisme cafe ini setelah sampai di rooftop. Seperti berada di dunia baru yang sangat berbeda dengan lantai bawah, tempat ini menunjukkan sisi cerah dan warna yang ceria. Bantal-bantal raksasa yang terhampar di sisi kiri bagian dalam, ada panggung kecil dengan beberapa alat musik untuk pertunjukan, lalu di bagian outdoor Yoongi bisa melihat lampu-lampu gantung yang menghias setiap meja.
"Bagaimana, hyung? Aku yakin jika tempat itu akan menjadi favoritmu." Hoseok menunjuk salah satu sudut kafe yang dipenuhi bantal raksasa.
Yoongi tersenyum, sepertinya Hoseok benar-benar mengenalinya dengan baik. Pria itu bahkan memilih area bantal sebagai tempat istirahat mereka. Masih sepi karena area ini seharusnya dibuka saat petang. Namun dengan adanya kakak perempuan Hoseok, keduanya bisa bebas mengakses tempat ini.
"Lalu, bagaimana dengan lantai teratas? Apakah suasananya juga berbeda? Horor? Retro?" tebak Yoongi yang merasa penasaran. Tidak bermaksud apa-apa, hanya ingin menebak saja. Siapa tahu tebakannya benar. Pasti pemilik kafe ini memiliki selera yang unik.
"Ani. Lantai teratas digunakan sebagai rumah hunian pemilik cafe ini, hyung."
Pesanan datang saat Yoongi menerima panggilan dari sepupu jauhnya—Jeon Jungkook. Pria muda itu mengatakan jika saat ini dia berada kantor Yoongi untuk mengantarkan beberapa barang yang diberikan Kakek dan Neneknya. Dan sesuai dengan usulan Hoseok, Yoongi meminta Jungkook naik beberapa lantai untuk menghampiri mereka.
Ya, sekalian makan siang bersama.
"Hyung!" Jungkook tersenyum, kagum memandang tempatnya kini. Ya, bahkan Jungkook sempat bermain-main di atas bantal raksasa berbentuk persegi seukuran tubuhnya sebelum benar-benar menghampiri Yoongi. Benar-benar terlihat seperti anak kecil.
"Wah, aku baru tahu ada tempat seperti ini," Jungkook masih terkagum, menikmati dirinya yang tenggelam dalam bantal empuk yang begitu lembut. Benar-benar tempat yang pas untuk melepas penat.
"Ada apa, Kook?" tanya Yoongi setelah melihat Jungkook selesai bermain-main.
"Ah, itu." Jungkook menyerahkan sebuah papper bag yang cukup besar, "Nenek dan Kakek memberikan ini padamu."
"Mereka di Seoul?" tanya si pria berkulit susu dengan kedua alis bertaut. Jarang sekali Kakek dan Nenek Jeon pergi ke Seoul jika bukan urusan penting. Mereka lebih memilih mempercayakan semuanya pada Jungkook untuk mengatasi segala masalah. Jungkook sudah cukup bisa diandalkan dalam mengurus perusahaan.
"Eung, besok mereka akan memulainya, hyung." Ucapnya menyendu. Kedua matanya yang tadi berbinar kini meredup. Menggambarkan kegelisahan dan ketakutan tersendiri yang bisa dimengerti Yoongi.
Suasana hati Jungkook sepertinya tidak begitu baik saat membahas kehadiran Kakek dan Neneknya di Seoul. Bukan masalah kehadiran mereka. Tapi apa yang menjadi tujuan merekalah yang menyebabkan suasana hatinya tidak membaik.
Beruntung makanan yang dipesannya segera datang. Mood-nya kembali membaik. Cukup mudah bukan? Jungkook bahkan sudah berbincang asik dengan Hoseok, seolah melupakan masalahnya. Ya, pembawaan Hoseok memang selalu bisa menghidupkan suasana di sekitarnya, bahkan untuk seorang Jeon Jungkook yang tidak begitu mudah bergaul dengan orang lain.
Satu fakta yang cukup menarik bagi Jungkook setelah mengenal Hoseok adalah bahwa pria itu merupakan pemilik dari club yang tempo hari dikunjungi Jungkook. Club yang cukup berkesan baginya karena di tempat itu Jungkook mendapatkan kenangan berarti dalam tahun-tahun hidupnya di Seoul. Paradise club yang menjadi saksi kandasnya hubungan terkhir Jungkook dengan gadis yang sudah dikencaninya dulu.
With Love,
cill~
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top