02. That Woman

Kim Hanbyul, sosok wanita muda yang berprofesi sebagai seorang desainer pakaian dari salah satu High-End brand asal Amerika ini sudah lima tahun menjalani karirnya di negri Paman Sam. Beruntung setelah ia menempuh pendidikan desain selama tiga tahun di Amerika, Secret Style segera menggaetnya. Bahkan kariernya dikatakan berjalan cukup mulus. Desain-desainnya selalu menembus persaingan internal perusahaan dan menjadi best seller di seluruh cabang.

Bahkan, wanita 28 tahun ini mendapat penghargaan sebagai top desainer termuda dunia. Tak jarang, Hanbyul memamerkan karya-karyanya di atas panggung Fashion Show ternama dunia. Visual di atas rata-rata dan tubuh sempurna bak model, sering membuat orang-orang berpikir jika Hanbyul adalah seorang model pada acara penutupan fashion show, dan tak jarang pula wajah Hanbyul terpampang di berbagai sampul majalah karena prestasinya.

Dan sekarang, wanita yang juga dikenal sebagai Scarlet Kim ini dipercaya untuk mengemban jabatan sebagai general manager dari SS grup untuk cabang Korea. Kerja kerasnya dan kriteria dalam diri Hanbyul dirasa cukup untuk memenuhi persyaratan dalam menjabat posisi tersebut. Ditambah Joshua Hong - putra dari CEO SS grup global yang merupakan teman karib Hanbyul - sudah banyak membantu Hanbyul meyakinkan ayahnya jika Hanbyul memang mampu mengemban tanggung jawab jabatan itu.

"Kau sudah sampai?" tanya Joshua dari seberang telepon.

"Hum, aku menepati janjiku. Kau orang pertama yang kuberitahu saat aku sampai di Korea, Josh." Hanbyul tersenyum, membayangkan bagaimana sahabat prianya itu tengah mengurus pekerjaannya. Jika biasanya Hanbyul akan membantu Joshua, maka sekarang Joshua harus kerepotan sendiri.

"Yak! Kau pasti sedang menertawaiku. Kau tahu, aku benar-benar kerepotan tanpamu, Nona Kim!"

"Sebentar lagi Josh. Kau hanya perlu menunggu kurang dari dua bulan lagi untuk menduduki kursi tertinggi SS grup Korea."

"Dan kau membuat dua bulan-ku terasa seperti dua tahun, Nona Kim. Ah, aku bahkan harus menyelesaikan laporan-laporan ini sekarang. Nanti kutelpon lagi, Kim. Sampai jumpa!"

"Ne, Josh! Semangat!"

Hanbyul berhenti di sebuah vending machine, suasana bandara yang masing cukup ramai membuatnya enggan melangkah masuk ke salah satu coffee shop. Wanita muda yang baru saja memangkas rambutnya ini memilih untuk membeli segelas cokelat hangat untuk menemani pagi pertamanya di Korea.

Sebuah taksi membawa Hanbyul menuju Seoul. Bukan menuju ke rumah keluarganya, Hanbyul memilih untuk menetap di rumah barunya. Bangunan setinggi delapan lantai ini dibelinya enam bulan lalu saat Hanbyul berniat untuk memindahkan kafe pusat miliknya. Tidak seluruhnya, Hanbyul hanya membeli tiga lantai teratas.

Hanbyul yang memang memiliki jiwa seorang pebisnis, tidak akan membiarkan uangnya menganggur di dalam rekening. Membangun beberapa usaha dan menanamkan saham pada perusahaan tempatnya bekerja sudah dilakukan semenjak Hanbyul memegang uang pertamanya. Tidak mudah memang, jatuh-bangun sudah dialami Hanbyul selama masa awalnya memulai bisnis. Dan sekali lagi, terimakasih pada Joshua Hong yang selalu membantunya dalam hal apapun.

"Kau tiba sepagi ini, sajangnim?" suara seorang perempuan saat Hanbyul melangkah masuk ke dalam cafe, menyambut kedatangan Hanbyul.

"Jiwoo eonnie," Hanbyul tersenyum menghampiri. Wanita di hadapannya ini merupakan satu dari sekian orang yang benar-benar dipercaya Hanbyul. Mantan manajernya dulu, sekaligus orang yang mengurus usaha cafenya ini sudah seperti seorang kakak baginya. Selain Joshua Hong, Jung Jiwoo dikategorikan sebagai orang yang paling banyak membantu Hanbyul dalam hidupnya. "Bagaimana kabarmu, eonnie?"

"Seperti yang kau lihat, Byul. Aku benar-benar baik, bagaimana denganmu?"

"Setelah semua yang kulalui, kurasa aku siap dengan semuanya, eonnie."

"Hum," Jiwoo meletakkan secangkir greentea latte di hadapan Hanbyul, "aku yakin kali ini kau pulang dengan amunisi penuh."

"Tentu saja. Aku sudah memastikannya eonnie."

Setelah mengobrol dengan Jiwoo, Hanbyul memutuskan untuk naik ke lantai delapan yang menjadi tempat tinggalnya nanti. Lantai ke enam dan ke tujuh sengaja digunakan untuk cafe-nya. Lima lantai di bawahnya, Hanbyul hanya tahu jika kelima lantai itu merupakan milik sebuah agensi tempat adik Jiwoo bekerja. Belum lama agensi itu mengembangkan sayapnya di gedung ini sebagai kantor dan tempat latihan.

Melihat pemandangan Seoul dari balik jendela sepertinya akan menjadi hobi baru Hanbyul. Terlebih dengan sinar mentari pagi yang menerpa kulit wajahnya kini membuatnya merasakan kehangatan yang sudah lama dirindukan. Ia merindukan hangatnya matahari Korea.

"Eonnie, bagaimana persiapan pesta minggu ini?" tanya Hanbyul. Setelah menikmati matahari paginya, Hanbyul segera membersihkan dirinya sebelum turun ke ruangan Jiwoo di lantai tujuh.

"Semuanya sudah kuatur," Jiwoo menutup laptopnya. Memandang wanita yang tengah duduk di atas sofa sambil memainkan rambut hitamnya. "Makanan, dekorasi, dan aku juga sudah memberitahu para pegawai di dua cabang lain, dan aku sudah membuat pengumuman kalau hari itu, cafe hanya beroperasi sampai jam lima sore."

"Kau memang yang terbaik, eonnie. Pastikan Hoseok oppa datang." Hanbyul berdiri, berjalan mendekat ke meja Jiwoo. Matanya tertuju pada sebuah lukisan yang menghias meja kerja Jiwoo. Cukup simpel, hanya coretan-coretan pena dan spidol yang membentuk sketsa seorang wanita dengan beberapa pakaian yang berbeda. "Siapa yang membuat ini, eonnie?"

"Eoh, itu buatan Eunsoo," jawabnya usai melirik sekilas apa yang dipegang Hanbyul.

"Eunsoo?"

"Hum, dia memberiku salah satu sketsa desainnya sebagai ucapan terimakasih karena menerimanya bekerja di cafe ini beberapa bulan lalu," Hanbyul menaikkan sebelah alisnya, dan Jiwoo paham kalau wanita yang tiga tahun lebih muda darinya ini merasa belum puas akan jawaban yang diberikan padanya, "dia menyerah pada mimpinya untuk menjadi seorang desainer setelah semua perusahaan menolaknya. Sebenarnya desainnya tidak buruk, dia bahkan memberiku satu pakaian buatannya, dan itu cukup mengagumkan. Kurasa kau bisa menilainya sendiri."

"Benarkah?"

"Eung," Jiwoo berjalan ke arah loker, mengambil sebuah kotak dari dalam sana untuk diserahkan pada Hanbyul. "Ukurannya terlalu besar untukku, tapi aku yakin baju ini akan cocok untukmu, Byul."

"Pakaian ini akan menjadi lebih baik jika menggunakan sutera," ujar Hanbyul. Tangannya masih meraba gaun pendek yang terbuat dari kain velvet berwarna hitam. Setiap sudut, setiap lekuk, dan setiap jahitan, Hanbyul menelitinya dengan cermat. Sebagai seseorang yang sudah mempelajari semua ini sejak lama, Hanbyul tentu paham bagaimana menentukan kualitas dari sebuah pakaian. "Segalanya baik, hanya saja bahan utamanya tidak cukup bagus."

"Hum, saat melihat Eunsoo, aku seperti melihatmu, Byul."

"Mwoga?"

"Dia seusia denganmu, dan dia bekerja begitu keras. Tinggal di tempat yang benar-benar asing untuk membuktikan pada keluarganya kalau mimpinya tidak bisa dianggap remeh."

"Benarkah?" Hanbyul menatap Jiwoo yang mengangguk. Kenangan akan beratnya perjuangan seorang Kim Hanbyul untuk menjadi Scarlet Kim kembali terulang dalam benaknya. Perasaan akan masa lalunya yang cukup berat membuat Hanbyul tersenyum penuh arti. "Kalau begitu aku ingin menjadi Jiwoo eonnie sekarang."

"A-apa maksudmu?"

"Tolong panggil Eunsoo ke atas, aku ingin berbicara padanya."

Kim Eunsoo, gadis yang terkenal sedikit ceroboh itu merasa tidak baik-baik saja saat salah satu temannya mengatakan jika pemilik cafe tempatnya bekerja kini tengah memanggilnya. Ia sudah berusaha sebaik mungkin untuk tidak membuat kesalahan, meskipun masalah pribadinya benar-benar mengganggu, tapi Eunsoo berusaha untuk profesional. Ia tidak mungkin merepotkan sepupunya lagi karena kehilangan pekerjaan.

"Ayolah, Kim Eunsoo! Kau tidak berbuat kesalahan! Mungkin bosmu hanya ingin menyapa!" ujarnya menenangkan diri, namun gagal, lagi-lagi pikiran buruk menyambangi otaknya. "Aigoo~ bagaimana jika aku benar-benar dipecat karena kecerobohanku?"

Dan sekali lagi Eunsoo menghela napas beratnya setelah pintu lift terbuka. Sebuah pintu besar berwarna hitam dengan ornamen silver memberikan kesan mewah hanya dengan sekali lihat.

"Sampai kapan kau akan berdiri disana, Eunsoo-ssi? Kau bisa masuk, aku sudah membuka pintunya."

Sebuah suara dari interkom mengejutkan Eunsoo. Tangannya bergetar hebat kala mendorong pintu besar yang kini terasa sangat berat. Kedua matanya menangkap sosok wanita muda yang berbalut kemeja longgar dengan celana pendek yang nampak begitu pas. Casual dan elegan dalam waktu yang bersamaan. Benar-benar sosok yang sempurna dengan visual yang mengagumkan.

"S-Scarlet Kim?" Eunsoo tak bisa menahan rasa keterkejutannya. Kedua tangannya bergerak naik untuk menutup mulutnya yang terbuka lebar. Ia benar-benar tidak menyangka jika akan bertemu seorang top model yang selama ini menjadi muse-nya dalam mendesain pakaian. Apakah ini mimpi? Atau ini hanyalah prank kamera dari acara-acara tv yang belakangan ini ditontonnya?

"Duduklah, Eunsoo-ssi. Ada yang ingin kubicarakan denganmu," Hanbyul mempersilakan tamunya duduk. "Kau ingin minum sesuatu?" tanya Hanbyul saat melihat bagaimana tegangnya Eunsoo kini.

"A-animida, Scarlet-ssi." Kegugupan masih tergambar jelas pada Eunsoo.

"Baiklah, Eunsoo-ssi. Karena aku tidak suka bertele-tele, aku ingin langsung bertanya padamu. Kau kah yang membuat ini?"

Kedua mata Eunsoo melebar kala wanita di hadapannya mengangkat sebuah gaun berwarna hitam yang cukup familier. Ya, gaun itu memang buatan Eunsoo. Setidaknya dulu Eunsoo pernah membanggakan gaun hasil kerja kerasnya itu, dan sekarang gaun itu berada di tangan idolanya. Bukankah ini hal yang patut dibanggakan?

"Y-ya, Scarlet-ssi. Gaun itu aku yang merancangnya." Jawab Eunsoo dengan wajah yang masih tertunduk.

"Hanbyul. Kim Hanbyul. Aku lebih suka menggunakan nama pemberian Nenekku, Eunsoo-ssi."

"J-jwaesonghamnida Sc- maksudku Hanbyul-ssi."

"Aku sudah mendengar sedikit cerita tentangmu dari Jiwoo eonnie. Apakah kau benar-benar sudah memasukkan desainmu ke semua perusahaan fashion di Seoul?"

"Aku bahkan sudah mencoba memasukkan semua karyaku ke seluruh perusahaan fashion di Korea," suara Eunsoo melemah, mengingat kembali bagaiman upayanya mencoba menembus ketatnya persaingan kerja dulu, "tidak satupun dari mereka benar-benar tertarik pada karyaku. Bahkan ada beberapa yang dengan teganya hanya ingin membeli desainku dengan separuh harga tanpa membiarkanku bekerja di perusahaan mereka. Ah, m-maaf, aku jadi berkeluh kesah pada anda Hanbyul-ssi," ujar Eunsoo meruntuki sikapnya.

"Kau sudah mencoba pada brand High-End seperti DG, GC, atau SS?"

"Aku pernah bermimpi untuk bekerja di tempat itu. Tapi beberapa orang menyusutkan mimpiku saat mereka bilang skill saja tidak cukup, aku membutuhkan orang dalam untuk bisa masuk kesana."

Hanbyul memandnag wanita di hadapannya, mencoba memahami bagaimana yang dirasakan Eunsoo. Memang benar, selain skill, orang dalam juga diperlukan dalam pekerjaan di dunianya, Hanbyul pernah mengalaminya. Sebelum sampai di titik ini, Hanbyul pernah mengalami hal yang sama dengan Eunsoo, hanya saja, dulu Hanbyul terbilang masih terlalu muda.

"Kalau begitu, biarkan aku menjadi orang dalam-mu," ujar Hanbyul sambil menggeser kartu namanya.

Eunsoo yang kebingungan menatap Hanbyul dan kartu nama itu bergantian. Apa artinya smeua ini? Benarkah semua ini nyata? Apakah Eunsoo harus menggali kembali mimpi yang telah dikuburnya?

"Apa lagi yang kau tunggu? Ambil ini dan kembalilah bekerja, Eunsoo-ssi. Besok temui aku di kantor SS grup saat jam makan siang."

"N-ne, sajangnim. Te-terimakasih banyak," ujar Eunsoo dengan wajah kegirangan. Berkali-kali ia menciumi kartu nama berwarna hitam itu. Perasaannya kini benar-benar tak tergambarkan.

Tiba di lantai enam, Eunsoo segera pergi ke lokernya. Mengambil ponsel untuk mengabari seseorang yang paling ingin dia beritahu tentang hal bahagia seperti ini. Namun bahunya mengendur kala membuka ponselnya, puluhan pesan dari seseorang membuat Eunsoo mengurungkan niatnya.

"Taehyung akan menikah dengan gadis yang jauh lebih pantas dengannya daripada dirimu, Eunsoo-ssi."

"Sebaiknya akhiri hubunganmu dengan Taehyung, jika kau tidak ingin semakin terluka."

Benar, sepertinya apa yang dikatakan Ibu Taehyung beberapa malam lalu memang benar. Eunsoo terlalu kecil jika dibandingkan dengan Taehyung.

"Ah, kau kenapa lagi, Kim Eunsoo. Kau harus bahagia, kau baru saja mendapatkan sebuah kartu As!" ujar Eunsoo dengan mata berlinang. Ia tak mampu menahan kesedihannya jika mengingat Taehyung. Semua mimpi dan angannya bersama pria itu, sepertinya Eunsoo harus melupakan semua itu.

Jangan lupa votement yaa,

Luvv,
Cill~

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top