03.
Matahari telah terbit menghiasi langit. Dari atas kasur yang berantakan, aku duduk mematung. Kedua tangan meremas bagian selimut cokelat yang masih menyelimuti separuh tubuhku, berharap agar tempo degup yang cepat segera kembali normal.
Sial. Aku mimpi buruk. Aku bermimpi rumah yang kutempati dihinggapi belasan laba-laba besar-menyeramkan yang jaringnya siap untuk merekatkanku jika bergerak selangkah saja. Ibu sudah terbungkus jaring di arah jam sembilan, terisak tanpa bisa berbuat apapun begitu satu laba-laba besar bergerak mendekatinya. Butuh waktu cukup lama untuk menemukan ayah karena jaring yang memperburuk jarak pandang, sampai kemudian kutemukan ia berdiri di depan pintu dengan senyum miring penuh kemenangan.
Meski hanya mimpi, namun jika disuruh memilih mana yang lebih menyeramkan antara laba-laba dan ayah, maka akan kupilih ayah.
Tes....
Mengingat wajah ibu yang ketakutan dengan perutnya yang besar, setetes cairan bening yang tidak seharusnya turun, lolos dari pelupuk mata kananku. Mengalir melewati pipi sebelum akhirnya menyentuh kerah piyama dan meninggalkan jejak bulat-basah di sana.
Biip biip!
Ponselku bergetar. Sebuah hologram dari Jung Mo menghampiri layarku. Menekan tombol hijau, wajah pria itu pun muncul seolah berada di depanku.
"Oh! Akhirnya. Hei, Allen, kau tahu, kan, biaya untuk kirim pesan hologram mahal. Jadi, aku langsung saja. Kau sakit? Mengapa tidak masuk sekolah? Balas lewat pesan biasa saja, ya."
Biip!
Ponsel dimatikan sepihak, sementara aku masih berusaha mencerna apa yang terjadi. Begitu sadar sekarang sudah jam sebelas pagi, mataku membola.
"YA AMPUN!"
Tanpa memperhatikan langkah, aku berlari mengambil seragam dan menuju kamar mandi. Butuh waktu lima menit untuk mandi bebek dan lima menit lainnya untuk merapikan tampilan di depan cermin.
"Oh ayolah, hari ini ada ulangan! Bagaimana bisa kau tidak memasang alarm, Allen tampan?" Mengomeli diri sendiri, kuraih tali ransel dengan brutal dan segera melangkahkan kaki ke luar. Jam yang melingkar di pergelangan tangan menunjukkan hampir setengah dua belas siang.
Aku menyemangati diri dengan bergumam, ayo, ayo, ayo, ayo, sampai tiba-tiba terdengar bentakan.
"SUDAH KUBILANG UNTUK GUGURKAN KALAU IA BUKAN LAKI-LAKI! KETURUNAN KITA HARUS LAKI-LAKI!"
Langkahku terjeda. Di antara lagu Guilty milik boyband Blue--favorit ibu--yang terputar di dalam kamar, bentakan itu sangat kontras sekali.
"Gugur...kan?"
Lalu, langkah yang terjeda berubah menjadi langkah cepat menuju kamar orang tuaku yang terbuka. Saat aku sampai, pelipis ibu sudah mengeluarkan cairan merah. Baik ayah maupun ibu sama-sama terkejut akan kedatanganku.
"IBU!" Napasku tidak beraturan, emosiku naik pada akhirnya. Aku segera menghampiri ibu yang terduduk di lantai dan memeriksa lukanya, kemudian menatap ayah yang terkejut di hadapan kami. "Apa yang ayah lakukan pada ibu!"
"A-Allen? Apa maksudmu?" tanya ayah mendekatiku dengan sorot mata yang terus menggeledah ke seluruh sudut wajahku. Kedua lengan atasku yang ia cengkeram erat memaksa aku untuk berdiri.
Aku mencoba melepaskan tangan ayah dari sana meski cukup sulit karena cengkeraman yang erat. "Bagaimana dengan ayah? Bagaimana bisa kau marah?" tanyaku mati-matian untuk tidak meninggikan nada bicara. "Apa yang ayah lakukan pada ibu? Sudah berapa lama?"
Ayah seperti kerasukan dengan nada bicara yang tinggi. Urat lehernya terlihat dengan jelas. "Apa yang kau lakukan pada anakku!" ucapnya penuh penekanan seraya menatap ibu dan menunjukku.
"Ayah, jawab pertanyaanku. Tolong."
"Kau tidak memberikan obatnya pada Allen. Benar, kan?" Ayah terus saja mengabaikanku dengan menekan ibu.
Untuk pertama kali dalam beberapa hari ini, akhirnya ibu berani mengungkapkan apa yang ada di pikirannya. "Aku memberikannya," jawab ibu sama sekali tidak takut. "dengan dosis yang lebih sedikit."
Mendengar itu, tiba-tiba saja ayah maju, "Aku mempercayakanmu untuk memberikan obat itu secara langsung tapi kau malah membodohiku!" dan menampar ibu sebelum aku sempat menahannya.
Deg!
"AYAH! APA YANG KAU LAKUKAN PADA IB--"
BUKK!
Rasa nyeri menjalar sampai ke otak begitu kepalan ayah mendarat di pipiku. Pandangan sempat berputar-putar sebelum akhirnya menjadi gelap gulita.
***
"Ia bangun!"
"Oh! Bagaimana? Allen?"
"Eih, minggir, Jung Mo-ya."
"Coba lihat apakah ia benar-benar ompong sekarang?"
Wajah cerah Jung Mo dan Woo Bin segera memenuhi pandangan ketika aku terbangun. Masing-masing saling berebut untuk menyapaku lebih dulu. Aku mengernyit, mendapati tembok di belakang mereka bukanlah warna tembok di rumahku.
"Di mana aku?" tanyaku dengan mulut yang terasa aneh.
"Rumah sakit," jawab mereka serempak tanpa ragu. Setelah mengatakan itu, datang seorang dokter masuk untuk memeriksa kondisiku. Senyum dokter tersebut kuasumsikan sebagai hasil yang bagus.
Aku memejamkan mata untuk mengingat apa yang terjadi sebelumnya. Sosok ayah dan ibu dengan tensi suasana yang tinggi segera memenuhi ingatan. "Di mana ibu dan ayahku?" tanyaku panik setelah kembali membuka mata dan menatap kedua temanku bergantian.
"Ibumu sedang di ruang persalinan untuk melahirkan secara prematur. Jangan khawatir, ibuku menjaganya di ruang tunggu. Kuharap hasilnya baik," jawab Woo Bin.
Aku mengangguk-angguk kecil, kemudian beralih menatap Jung Mo yang sedikit murung untuk membicarakan hal berikutnya. "Ada apa?"
"Ayahmu..., ia dibawa ke kantor polisi bersama orang tuaku. Aku baik-baik saja, tapi Hanguk benar-benar kacau saat ini. Presiden dan para menteri bahkan ikut diperiksa," katanya. Setelah itu, perlahan ia tersenyum lemah. "Tapi, ibumu benar-benar hebat! Kudengar, ia telah melaporkan kasus ini jauh-jauh hari kepada kepolisian. Mereka sudah dipantau dalam dua bulan terakhir karena masalah HAM dan penyalahgunaan wewenang yang rupanya tidak hanya menimpa kalian berdua saja."
Mendengarnya, aku mendesah lega. Senang sekali karena rupanya ibu tidak benar-benar tinggal diam. Ia selama ini menunggu saat yang tepat untuk memutar roda.
"Omong-omong, masalah ini sudah menjadi sorotan dunia. Jika terbukti bersalah, maka obat ajaib itu tidak akan digunakan lagi untuk hal apa pun," tambah Woo Bin. "Kupikir itu hal yang sangat bagus. Benar, kan?"
Aku mengangguk setuju mendengar perkataan Woo Bin. Mengalihkan pandangan, baru kali ini langit-langit rumah sakit tampak sangat bersih dan menenangkan. Sebuah senyum yang beberapa waktu terakhir sama sekali tidak bisa muncul, kini mulai hadir kembali.
End.
_____
2,461 words.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top