02.
Bulan masih menggantung di langit ketika perutku lapar di tengah malam. Meninggalkan materi sejarah yang sedang kupelajari bersama Jung Mo dan Woo Bin di panggilan video, aku bergegas pergi menuju dapur yang letaknya di ujung lantai satu.
Berpijak di atas lantai yang telah diatur menjadi hangat, aku mulai berjalan keluar. Beberapa lampu ruangan sudah padam karena ini sudah larut malam dan kami tidak pernah membiarkan lampu yang tidak dipakai menyala, kecuali ingin menciptakan polusi cahaya.
Pintu kamar orang tuaku tertutup begitu aku melewatinya. Namun begitu, cahaya yang keluar dari bawah pintu menandakan jika lampu di dalam masih menyala. Kutebak jika keduanya belum terlelap. Yah, mungkin perlu membicarakan beberapa hal yang sifatnya pribadi.
BRAK!
"Omo!"
Aku melompat mundur begitu pintu kamar dilempari sesuatu yang cukup besar untuk suara yang ditimbulkan. Sembari memegangi dada kiri dan merasakan degup jantung yang kencang, kuputuskan untuk menepi ke samping pintu--berjaga-jaga sambil memasang telinga. Namun sampai bermenit-menit kemudian, tidak ada suara apa-apa dan lampu kamar pun dimatikan.
"Ibu? Ayah?" panggilku, namun tidak ada sahutan sekecil apa pun menyapa telingaku. Telapak tanganku bergerak cepat menyentuh kata sandi kamar, kemudian segera kecewa.
Aku selalu dibiarkan untuk tahu semua kata sandi yang terdapat di rumah ini, berjaga-jaga jika kemungkinan buruk terjadi. Namun, kata sandi kamar mereka telah diubah tanpa sepengetahuanku.
Mungkin memang tidak boleh diganggu. Mencoba berpikir positif, aku pun memilih untuk duduk selama sepuluh menit di depan kamar tersebut dan tidak terjadi apa-apa selama itu.
Semoga, ibu dan kandungannya baik-baik saja.
***
Aku kembali ke kamar tanpa camilan lima menit kemudian. Begitu menatap layar laptop, Woo Bin dan Jung Mo terlihat sudah terlelap dari tempatnya masing-masing.
"Akting kalian payah," ucapku berusaha tampak baik-baik saja meski keringat dingin beberapa kali turun ke leher.
Woo Bin tampak tersenyum, lalu tidak bisa menahan tawanya yang kemudian meledak memenuhi telinga di jam satu malam. "Yah, pantas saja ayah tidak mengizinkanku jadi artis."
Aku menggeleng-geleng heran, kemudian menatap layar bagian kiri. "Jung Mo benar-benar tidur? Kelasnya sudah selesai, nih?"
"Sudah. Koo ssaem kelelahan setelah cukup lama menunggumu. Dari mana, sih? Yah, aku tahu rumahmu itu besar dan luas, tapi jarak dari kamar ke dapur tidak sejauh itu, kan?" omel Woo Bin.
Aku menggaruk kepalaku. Apakah harus kuceritakan hal tadi pada Woo Bin?
"Ada apa?" Suaranya memecah pikiranku.
"Hah? Oh, eum, begini. Yak, jangan pura-pura tidur lagi, sialan!"
Woo Bin langsung membuka mata, lalu memenuhi layar dengan wajah bulatnya. "Kau ... barusan marah?" tanyanya dengan suara bisik yang jelas.
Marah?
Benarkah?
Aku bisa mengungkapkan amarahku?
"Allen Ma, ada apa?" tanya Woo Bin. "Kau kemasukan roh jahat?"
"H-hah? Mana roh jahatnya! Mana?" Aku memeluk diriku seraya menoleh ke kanan dan kiri secepat kilat untuk memastikan keberadaan roh itu, sebelum akhirnya menyesali perbuatanku yang seperti orang bodoh.
Woo Bin menggeleng-gelengkan kepalanya heran. "Sepertinya kau lelah. Sudah, sana istirahat. Kututup, ya."
"Ehhh, jamkkanman! Tunggu sebentar!"
Sebelum pria itu mematikan panggilan video, aku berhasil menahannya. "Ada sesuatu yang mau kutanyakan."
"Arraseo, palli. Aku ngantuk," jawabnya.
"Itu..."
Apa yang harus kutanyakan?
Tentang kemungkinan ayah memanfaatkan temuannya?
Tentang amarah ayah terhadap ibu?
Atau tentang amarahku?
Jung Mo masih terlelap di layar lain, bahkan sampai mendengkur. Sebelum Woo Bin yang matanya hanya tinggal segaris juga tidur, buru-buru kutanyakan hal ini. "Bagaimana kalau aku bisa marah?"
"Bagaimana kalau kau bisa marah?" ucapnya mengulang pertanyaanku dengan suara yang mulai terdengar seperti orang mabuk. "Hey, kau tidak benar-benar marah, kan, tadi? Kalau kau bisa marah, itu artinya projek ayahmu gagal dan impian Hanguk untuk menjadi negara yang damai tidak bisa terwujud. Sudah, ya. Besok hari Kamis dan ulangan, jangan sampai terlambat ke sekolah."
Woo Bin menghilang dari layar, menyisakan aku dan Jung Mo. Aku sempat memanggil pria itu agar terbangun, namun percuma. Karena ia tidak mungkin mematikan panggilan, jadi aku saja yang melakukannya. Layar pun langsung menampilkan menu utama dan kesunyian mulai merayapi rumah ini.
Tolong maafkan aku, tapi aku berharap jika projek ayah benar-benar gagal demi kebaikan bersama.
____
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top