Bab 6
A/n: Wah, senangnya ada pembaca baru yang membaca naskah online-ku yang ini. Semoga betah, ya, untuk teman-teman pembaca lama atau baru ^^
Jangan lupa buat tinggalkan jejak berupa vote dan komentar kalian di sini, yaaa💛💛💛
Selamat baca!
*****
"KAMU YAKIN mau mengantarkan Mom buat kumpul Ibu-ibu?" tanya Nada memastikan.
Helena menoleh kepada Nada, mommy-nya. "Nggak ada salahnya juga, kan, aku ikut? Lagian, semua tugas besok udah aku kerjain sepulang sekolah. Nah, kalau urusan belajar, nggak masalah juga semisal aku libur satu malam. Otakku capek rasanya, Mom. Mungkin dengan ikut kumpulan begini, hitung-hitung me-refresh pikiran."
"Hati-hati kalau kamu ngomong gitu, kedengaran Dad bisa panjang urusannya." Walau begitu, Nada terkikik kecil sambil membuka pintu mobil sebelah kiri. "Jangan kayak Abang kamu. Dia kuliah, tapi macam cuma numpang badan."
"Mom, nggak boleh gitu. Setiap orang punya ketertarikannya masing-masing. Termasuk Abang Jas." Mobil Helena sudah keluar dari halaman rumah. Melihat keberadaan mobil Dave yang baru saja tiba, Helena membunyikan klakson. "Mungkin musik adalah jalannya."
"Dan Archimedes," tambah Nada.
Helena tertawa. "Walau begitu mereka isinya cowok-cowok keren. Nggak salah, sih, kalau manggung di suatu kafe, pasti aja rame. Khususnya pengunjung perempuan."
"Mom cuma kepikiran soal masa depannya, Na. Kalau dia ngandalin pekerjaan gitaris band, apa semua itu bisa bagus?" Nada kalau sudah bahas soal masa depan, rasanya kepala ingin meledak. "Begini, kamu tahu sendiri kalau Daddy-mu pegang perusahaan turun-temurun. Sedangkan anak laki-laki Dad cuma Jason sama Leon. Jason udah tertariknya sama musik, masa iya musti menunggu Leon buat jadi pewaris utama?"
"Emangnya itu salah, Mom?"
"Nggak salah, sih. Cuma kelamaan aja gitu."
"Nah, kenapa nggak menunggu waktu yang pas aja? Abang Jas mungkin sekarang-sekarang ini lagi gentarnya ke musik. Biarin aja dia berkelana lebih banyak. Puas-puasin sama Archimedes-nya," ujar Helena. "Kalau udah, coba tawarin lagi buat ambil pendidikan. Private aja. Jadi Abang Jas bisa jadi pewaris utama sekaligus jago main gitar."
"Boleh juga saran kamu." Nada mengangguk-angguk. "Kalau kamu sendiri, udah fiks buat kedokteran?"
"Kalau aku nggak serius, aku nggak mungkin gentar belajar begini. Bagaimanapun jadi dokter adalah impianku sejak kecil. Aku mau bantu banyak orang, Mom."
***
Lampu itu mati saat mesinnya mulai dihentikan. Nada mengaca dulu beberapa detik sebelum ia keluar. Sedangkan Helena, dia nampak menimang hingga lima detik lalu menyusul Nada. Lampu di teras rumah ini sungguh terang. Tawa khas ibu-ibu dapat Helena dengar. Helena berusaha menarik senyum saat keempat Ibu-ibu itu menyadari kedatangannya. Mereka saling cium pipi.
"Eh, Jeng Nada datang juga!"
"Udah lama nggak kumpul begini."
"Kok makin cantik aja, sih? Rahasianya apa?"
"Eh, tahu nggak, saya punya cincin berlian baru, lho. Hadiah anniversary pernikahan."
"Duh, Jeng, baru aja berlian. Lihat, dong, Jeng Nada, dia punya anak gadis yang cantik banget!"
Nada yang mendengar itu lantas tersenyum senang. Didorongnya badan Helena hingga keempat Ibu-ibu tadi bisa melihatnya dengan jelas.
"Saya Helena, Tante." Helena tersenyum kikuk.
Rima, Ibu pertama yang mulai mengomentari. "Oh Tuhan, kamu mirip artis-artis Korea, Sayang. Udah kelas berapa?"
"Kelas 12, Tante."
Helena merasakan usapan hangat di bahunya. Kali ini, Gina, Ibu kedua yang sekaligus dapat cincin berlian di hari anniversary. "Kapan-kapan kamu harus datang ke salon, Tante, ya. Tante kasih kebebasan, deh. Apa pun perawatan yang kamu mau. Asal timbal baliknya exposure."
Gina berhasil membuat Ibu-ibu di sini tertawa. Helena menjilat bibirnya kecil. "Aduh, Tante. Exposure, ya, barternya? Tapi followers Instagramku nggak sebanyak para selebgram. Bahkan, aku nggak minat sama dunia per-instagraman."
"Tetap saja, siapa, sih, yang nggak mau follow akun orang cantik? Eh iya, nama akunnya apa? Biar Tante follow. Bisa di-follback, kan?"
Beragam pertanyaan didapatkan Helena. Sampai ia menatap balik Deline yang kali ini bersuara. "Kalau Tante punya tiga pangeran tampan."
"Hah?" seru ibu-ibu itu. Kompak.
"Lho, Jeng Deline nggak bersepakat sama saya? Katanya setuju mau kenalin Mike sama Putri?" tanya Lina.
"Kalau ada yang lebih baik, kenapa nggak?" jawab Deline.
"Ihhhh!"
Deline masih menujukan matanya pada Helena. Perempuan itu seperti punya mantra tersendiri yang mana membuatnya terpaku. Hal ini bisa jadi dorongan awal baginya untuk memperkenalkan Helena pada ketiga putranya.
"Eh iya, jadi begini, aku punya gosip baru ... gosipnya masih hangat banget. Kalian tahu Marissa? Ternyata dia punya...."
Helena yang kebetulan tidak begitu menyukai pembahasan gosip, tidak sadar dia mulai beranjak. Beruntungnya, Deline sudah menyadari gerak-gerik itu dan mengizinkan Helena untuk menikmati halaman belakangnya. "Di sebelah Utara sana, ada rak kumpulan novel-novel kesukaan Tante. Kalau kamu minat, kamu bisa ambil satu lalu baca di sini. Mumpung suasananya tenang. Bagus, kan, buat baca?"
"Benar, Tante."
Deline mengangguk-angguk. "Apa kamu suka baca?"
"Dari baca buku, aku dapat banyak hal. Masa iya aku tolak kesempatan emas begitu?" Helena merasakan bahunya diusap oleh Deline, kemudian wanita itu pergi. Helena menuruti perkataan Deline dan mendekat ke rak buku.
Benar apa yang disampaikan sebelumnya, rak ini tinggi dan besar dan isinya penuh. Ada beragam judul novel di sini ... berikut dengan genre-nya.
Selain itu, halaman belakang pun cukup mumpuni. Ada kolam kebiruan yang genangannya nampak tenang, gazebo kecil warna kecokelatan di sebelah Timur, dan pepohonan kecil yang dihiasi lampu-lampu melilit. Helena mengambil salah satu novel yang menarik perhatiannya. Karya Jane Austen.
Perempuan itu tenggelam pada bacaan selama beberapa menit. Sebelum suara dehaman membuatnya mendongak. Kali ini bukan hanya dongakan, tetapi badannya lantas berdiri hingga buku itu jatuh. "Kamu? Ngapain ikutin aku sampai sini?"
"Aku?" Trey tertawa sambil melangkah lebih dekat. "Mengikuti kamu? Buat apa?"
"Buktinya sekarang kamu ada di sini. Apa lagi coba kalau bukan mengikutiku?" sembur Helena. Lelaki di depannya mulai sibuk melepaskan kancing demi kancing di jas, kemudian disampirkan ke gantungan ayunan. Dari sini Helena bisa menilai kalau badan Trey cukup terbentuk, padat. Lengan laki-laki itu semakin terlihat jantan saat lengan kemejanya dilipat. "Dan apa tujuanmu datang ke sini? Ke rumahku. Ada masalah?"
Helena melongo. "Apa? Ini rumah kamu?"
"Yup. Ini rumah keluarga Calson. Kenapa kamu baru mengetahuinya sekarang? Ah, gadis primitif macam kamu jelas ketinggalan seluruh berita. Termasuk keluarga kami."
Helena terkejut, tetapi dia bisa mengendalikannya. Alih-alih membalas perkataan Trey, Helena menunduk guna mengambil buku yang tadi terjatuh. Kemudian kembali membaca.
"Dasar tidak sopan! Ini buku punya Mamiku!" Trey langsung merebut paksa buku itu dari tangan Helena. "Apa? Kamu kurang paham penuturanku tadi? Lantas di sini sudah terbukti, siapa yang minim kesopanan? Aku, apa kamu?"
"Kamu!"
"Ah?"
"Kembalikan bukunya! Aku belum selesai baca!"
Trey mengangkat lengan kirinya lebih tinggi. "Segini saja kamu sulit menggapainya. Dasar pendek!"
"Kamu pikir perempuan Asia dengan tinggi 165 cm masih disebut pendek juga?"
Helena menatap Trey yang kian mendekat. Dari sini wajah Trey benar-benar terstruktur. Semuanya tegas dan dominan. Trey seperti pria Indonesia lainnya, punya wajah yang tidak begitu mulus. Ada bekas jerawat di sana. Kecil. Belum lagi garis-garis kasar menyerupai jambang di sekitaran rahang ke dagu.
Trey yang menyadari tatapan itu langsung berdecak. "Modus."
Helena melotot. "Siapa yang modus, sih?"
"Kamu-lah. Masih sempat-sempatnya memerhatikan wajahku di saat berusaha mengambil buku," sembur Trey. "Apa? Kamu tertarik denganku? Aku tahu selera anak SMA zaman sekarang milihnya yang lebih dewasa. Tapi, sayangnya—"
"Whatever," potong Helena. Trey mungkin bisa saja terus mengoceh, tetapi dia tidak punya waktu lagi. Helena mengabaikan buku sebelumnya dan mengganti yang lain.
"Hei, siapa yang mengizinkan kamu memilih buku yang lain?"
"Mamamu."
"Mamiku tidak pernah memberimu izin. Jangan mengada-ada!" Trey kembali mengadang Helena dengan kedua tangan dijulurkan.
"Sebelum kamu ke sini, aku udah bareng sama mama kamu."
"Terus?"
"Dia memberiku izin buat baca apa pun di sini. Jadi, bisa kamu minggir dan memberiku jalan?"
"Tidak!"
Helena memberikan pelototan pada Trey yang hanya dibalas cibiran. Perempuan itu menerjang maju dan mendorong Trey. Entah kekuatan Helena yang terlalu besar, atau saat itu Trey sedang lengah, badan Trey ambruk dan membentur rak. Membuat seluruh bukunya bergoyang dan jatuh.
Helena hanya bisa membuka mulutnya saat buku-buku itu menghantam Trey. Lebih dari satu. Sehingga ketika Trey mengangkat wajahnya, Helena mundur selangkah. Trey maju, Helena mundur lagi.
"Wow!" Suara itu menginterupsi Helena. Dia bahkan melupakan seluruh lengan Trey yang kini sudah mengelilingi tubuhnya. "Apa itu kamu, Helena?"
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top