Bab 42

Halo semuanya. Senangnya bisa menyapa kalian di sini lagi hari ini.

Sebelum baca, jangan lupa buat tinggalkan jejak berupa vote dan komentar kalian di sini. Share juga ke media sosial atau teman-teman kamu agar Helena dan Trey bisa dikenal lebih banyak orang💛💛💛

A/n: Bab ini isinya panjang gais, 2400+ words. Jadi aku saranin kamu bacanya ketika waktu senggang aja ya, biar enak gitu😍😍💜✨

Dan, aku masih butuh bantuan kalian buat meramaikan cerita ini. Vote sebelum baca, lalu komen yang banyak yaaa. Share juga ke teman-teman kamu, biar bisa sama2 merasakan sensasi yang nano2 pas baca ceritanya Trey🤣🤣👍

Izinin aku buat promosi dulu yaa🥰💛


Kamu bisa temukan ceritanya di work aku paling depan yaaa. Atau kalau kamu mau baca novelku dalam bentuk fisik seperti Pop the Question, kamu bisa beli di Gramedia atau beberapa toko buku online lain. Daftarnya bisa kamu cek di work nya ya😍😍🌹🦋✨

Kamu juga bisa follow akun Wattpad atau Instagramku (sephturnus) supaya nggak ketinggalan naskah lainku nantinya hehe.

Selamat baca!

*****

WAH, KENAPA Trey buat seolah-olah Helena yang jahat di sini? Helena membanting plastik belanjaannya ke lantai, disusul tasnya yang terjatuh di bawah kaki Trey. "Terus gimana dengan kamu? Kamu pernah nggak mikirin perasaan aku? Kamu ajak aku pergi berdua, tapi kamu juga bisa cium perempuan lain di tempat yang sama!"

"Helena, apa yang kamu lihat bukan berarti itu kenyataannya. Ini salah paham. Kumohon percaya padaku." Trey langsung maju untuk memegang kedua tangan Helena. "Kamu tahu sendiri gimana perasaan aku ke kamu. Cuma kamu yang aku cintai dan itu tidak akan berubah."

"Terus, kamu bilang yang tadi aku—"

"Iya, itu cuma salah paham," potong Trey, lalu menjatuhkan kepalanya di bahu Helena. Menyadari akan ada gerakan menjauh, Trey menggeleng. "Biarkan tetap seperti ini. Tolong. Aku masih kangen kamu."

Tidak lama, Trey mengangkat kepala sembari mengarahkan kedua tangan Helena untuk membingkai wajahnya. "Kamu tahu apa yang buat aku bahagia belakangan ini? Kamu. Saat kamu menyetujui buat jadi pacar aku, aku merasa bahagia ... banget. Kayak, masa iya laki-laki sebejat aku bisa jadi pacar kamu? Kenapa aku beruntung sekali?"

Helena masih diam, memandangi mata Trey yang memerah.

"Helena, mau sampai kapan kita ada di posisi seperti ini? Kita saling ada, tapi mau saling bertemu saja sulitnya kebangetan. Seluruh pesan dan panggilan dari aku kamu abaikan. Kamu selalu menolak ketika aku mengajak kamu bertemu." Trey menjeda ucapannya, lalu menarik napas dalam. "Aku merasa ... aku sudah tidak punya kesempatan lagi buat minta maaf ke kamu. Dan akibatnya, setiap hari yang aku jalani rasanya tidak tenang. Aku selalu teringat kesalahanku yang buat kamu menangis. Helena, maaf. Maafin aku."

Ada nada getir yang terselip di ucapan Trey. Begitu tidak kuasa menahannya lagi, Trey dengan cepat memalingkan muka, lalu mundur menjauh dari Helena. Helena sontak maju dengan bingung. "Trey, ada apa?" Begitu dia berhasil menahan wajah Trey untuk menatapnya, Helena terkesiap. "Kamu ... nangis?"

"Jangan mengejekku begitu!" Trey menggeram kecil. "Aku cuma kelilipan!"

"Bohong terus, padahal ini ada buktinya." Ibu jari Helena mengusap sudut mata Trey yang basah, kemudian turun menuju pipi. "Padahal di sini yang korbannya itu aku, kenapa kamu ikut nangis juga, ya?"

"Dari kalimat kamu tadi, kamu bikin aku kelihatan semakin jahat."

Helena berusaha menahan senyumnya. "Ya kamu emang jahat, sih."

"Aku tahu, makanya aku minta maaf ke kamu."

"Kalau tangisan kamu sekarang bagian dari trik biar aku maafin, kamu ngeselin."

"Kamu lebih baik pukul aku sekarang daripada menilai aku jelek terus."

Kali ini Helena tidak kuat, dia tersenyum lalu memeluk Trey. "Rese banget kamu," katanya. "Tadinya aku pengen marah ke kamu lebih lama biar tau rasa. Tapi, niat aku sekarang malah gagal total. Aku nggak bisa lihat kamu nangis gini."

Trey balas memeluk Helena dengan lebih erat hingga Helena merasa kehangatan Trey telah memasuki seluruh tubuhnya. Untuk beberapa saat, tidak ada yang bersuara. Helena juga tidak menarik dirinya karena mungkin saat-saat seperti ini yang dibutuhkan Trey. "Aku benci diri aku sendiri."

"Trey...."

"Kenapa dari sekian banyaknya yang bisa aku lakukan, aku cuma bisa buat kamu sedih?"

Helena termangu sesaat, kemudian menarik Trey untuk berada di dekat wastafel. Helena tahu Trey bersalah di sini, tetapi dia tidak ingin situasi ini terus berlarut-larut yang mana buat hubungan mereka seperti stuck di tempat. "Cuci muka kamu, biar nggak kelihatan kuyu."

"Apa aku terlihat jelek sekarang?"

"Ya ... nggak jelek juga." Merasa Trey masih diam, Helena mendorong punggung lelaki itu agar menunduk. "Udah, pokoknya cuci muka aja dulu!"

Kali ini Trey menurut. Selagi Trey sedang membasuh wajahnya, Helena segera mengambil beberapa tisu dari tas. Lalu mulai mengelap pelan-pelan setiap titik wajah Trey. Merasa jauh lebih baik, Helena mengacak pelan rambut Trey sambil tersenyum. "Kenapa lihatin aku terus? Ada yang mau kamu omongin?"

"Kenapa kamu perhatian sekali?" tanya Trey, kemerahan di matanya belum juga hilang. "Harusnya kamu marah-marah ke aku sekarang. Lampiaskan semuanya."

"Marahnya udahan. Aku capek."

"Terus artinya kamu sudah memaafkan aku?"

"Salah satu tips biar hidup bisa bahagia itu dengan cara gampang maafin kesalahan orang lain. Jadi, iya, aku udah maafin kamu." Helena beralih mengambil plastik belanjaannya yang tadi jatuh. "Asalkan kamu bisa janji buat nggak kayak gitu lagi."

Trey sontak terdiam, dia seperti kembali pada kesibukan pikirannya sendiri. "Aku ... tidak bisa berjanji, tapi aku bisa berusaha," katanya terdengar mantap. "Maaf kalau ini terdengar seperti pengecut, aku cuma tidak mau suatu saat aku tidak bisa menepati janji itu ke kamu. Aku takut bakal bikin kesalahan yang lebih besar ke kamu."

"Trey, kamu bisa pikirin hal yang baik-baik dulu."

"Aku cuma takut."

Helena mendesah kecil lalu mendekati Trey. "Oke, ketakutan itu manusiawi. Aku bakal memahami kamu sekarang."

"Helena, aku cinta kamu."

Ucapan itu tanpa sadar buat Helena tersenyum tipis. "Aku tahu."

"Kamu belum bisa mencintaiku sepenuhnya, ya?"

"Sekarang, mungkin iya, tapi nggak tahu nanti. Mungkin aja bisa berubah." Helena tidak tahu kapan pastinya, tetapi sekarang dia hanya ingin bersama Trey dalam keadaan baik-baik. Itu saja dulu. Untuk masalah perasaan, bukannya itu bisa tumbuh dengan sendirinya kalau sudah terbiasa? "Ini emang aku salah lihat doang apa gimana, rambut kamu udah kepanjangan, ya?"

"Memang sudah panjang." Trey memutar dirinya untuk menghadap kaca. Lalu dia mengusap dagunya. "Berewok aku juga terlihat mau tumbuh, harus cepat dicukur nih. Biar kelihatan rapi."

"Kamu mau?"

Trey melirik Helena yang berada di sebelahnya. "Hm?"

"Itu, buat rapihin kamu. Kalau mau, aku bisa ajak kamu ke salon langganan aku."

"Apa pun buat kamu." Trey menarik kedua tangan Helena. Mungkin karena terlalu cepat, Helena tersentak, dan itu buat Trey tertawa. Lalu perlahan, Trey mengecup tipis kedua punggung tangan perempuan itu. "Aku cinta kamu." Menciumnya lagi. "Sampai rasanya aku tidak mengenali diri sendiri."

***

Setelah kejadian di toilet, Helena sungguh mereaksikan omongannya. Dia langsung membawa Trey ke GLOOMY LUXURY, salon yang biasa dia datangi kalau bersama Mommy-nya atau Megan. Nadine, pemilik salon tersebut dengan gaya khasnya mengenakan syal warna merah atau kalau tidak warna kuning—pokoknya berwarna cerah—terlihat takjub sembari cengengesan usil ketika melihat Helena membawa Trey. Namun, karena menyadari wajah Trey yang terlihat tidak ingin membuang waktu, Nadine bergerak cepat memanggil Ravela untuk meng-handle masalah ini.

Helena sebenarnya bukan tipe yang mudah memahami sesuatu, tetapi dia tahu kalau Trey terlihat risih sekarang. Mungkin untuk masalah ini, Helena perlu mengingat ulang bagaimana Trey pernah digoda waria sampai kaca mobilnya dipecahkan karena Trey terlihat tidak acuh. Ravela—atau nama aslinya Rafael—seperti punya hobi baru, yakni menggoda Trey.

Sebab tidak ingin potongan rambutnya malah melenceng, Trey pun diam. Benar-benar diam. Wajahnya tidak berekspresi, dia juga tidak bicara sepatah kata. Bahkan, saat Helena maju untuk menyemangati Trey, lelaki itu hanya menatapnya. Dan diamnya Trey ternyata berlanjut sampai mereka tiba di parkiran.

"Masih marah?" tanya Helena. Mereka sekarang sudah berada di sebuah restoran untuk mengenyangkan perut—sekaligus agar mood Trey membaik—kalau bisa. Trey menggeleng kecil, kembali memasukkan satu potongan daging ke mulut. "Terus kenapa masih diemin aku?"

"Aku tidak begitu."

"Nggak gimana? Orang dari tadi kamu cuma diem, bales juga seadanya," balas Helena tanpa menyembunyikan nada jengkelnya. "Kamu kalau bete mending bilang deh. Biar jelas. Jadi aku bisa minta maaf atau apa kek biar mood kamu membaik. Nggak cuma didiemin yang bikin aku bingung mau gimana."

Trey termangu seperti kehilangan kosa kata. Dia tidak menyangka kalau tindakannya tadi bisa bikin Helena marah. "Iya, dan aku minta maaf."

"Maaf terus kerjaan kamu."

"Kan, aku bersalah."

"Kebanyakan salah kamu sih."

"Aku tahu, dan kalau bisa kita case close buat yang tadi, oke?" pinta Trey. Helena tidak menjawab, dia juga tidak menghindar saat Trey menggenggam tangannya di atas meja. "Bagaimana dengan penampilanku sekarang? Kamu suka?"

"Kelihatan lebih segeran, sih."

"Artinya aku ganteng, kan?"

"Hih, kamu tanya gitu bikin geli!" Helena mengecimus, yang buat Trey tertawa. "Nggak cocok sama umur kamu tau!"

Trey berhenti tertawa dengan meninggalkan kernyitan di dahinya. "Ada apa dengan umurku?"

"Kamu udah tua."

"Astaga, dua tujuh sudah tergolong tua?"

"Itu, aku sama kamu aja bedanya sepuluh tahun." Helena mengedik santai sembari makan. Sudah tertelan, dia melanjutkan, "Seumuran kamu, kamu harusnya lebih cocok buat jadi kakak aku, bukan pacar deh."

"Semakin ke sini kamu semakin berani, ya." Meski ekspresinya terlihat kesal, Helena bisa menyadari senyuman miring yang tercetak di bibir Trey. "Bikin aku kesal terus. Kamu harus aku hukum nih, biar kapok!"

"Kayak berani aja kamu hukum aku."

"Aku? Tidak berani?" Trey tertawa pongah. "Tunggu sampai kita beres dari sini, lalu aku bisa hukum kamu nanti!"

"Emang mau apa?"

"Cium kamu, yang lama."

Helena memandangi Trey lama, kemudian sedikit memajukan wajahnya untuk berbisik, "Oke, aku terima."

***

Sejenak, Helena memundurkan wajahnya untuk bernapas. Dia melihat Trey yang masih membuka bibirnya dengan mata yang berkabut. Lalu, Helena memajukan wajahnya lagi untuk menyambung ciuman mereka yang sempat terputus. Helena beranjak mundur, membiarkan Trey mendesaknya lebih lagi seiring ciuman mereka yang semakin dalam. Pikiran Helena semakin kosong, dia hanya mampu meremas rambut Trey sambil membalas setiap ciuman lelaki itu. Mungkin, satu-satunya yang bisa Helena selamatkan adalah, tahu bahwa mereka masih di parkiran.

"Trey...." Helena refleks mengambil wajah Trey, menjauhkannya. "Kita harus berhenti."

"Sedikit ... lagi."

"Nggak. Udah cukup," tolak Helena. "Aku ngeri kalau kita bisa dilihat orang."

Trey terengah lalu menjatuhkan kepalanya di bahu Helena. "Fuck, sebenarnya aku mau lebih lama lagi, tapi benar kata kamu, lebih baik kita hentikan sekarang daripada gimana-gimana. Walau sebenarnya, siapa orang yang mau mengintip keadaan mobil orang lain?"

Helena hanya berkedip salah tingkah sembari membuang wajahnya ke jendela. Sementara Trey berdeham dan kembali menegakkan posisi duduknya. Setelah memasang sabuk pengaman, mobil pun dijalankan. "Aku selalu suka naik mobil kamu, soalnya aromanya kayak kamu."

"Emang aroma aku kayak gimana?"

"Manis? Segar?" Trey mengendus-endus dan menoleh kepada Helena. "Terus enak banget buat dipeluk."

"Berarti bagus dong. Besok-besok kamu tinggal peluk mobil aku aja."

"Oh, tidak bisa. Itu sudah beda konteksnya."

Saat Trey ingin melanjutkan ucapan, tiba-tiba ponselnya berdering tanda panggilan masuk. Trey pun mengabaikannya sampai berhenti sendiri. Lalu, tidak lama, ponselnya kembali berdering—kali ini ada pesan masuk. Karena takut ada hal penting, Helena pun menyarankan untuk menepi dulu agar Trey bisa membalas pesan tersebut. Trey akhirnya menuruti kata Helena, mulai membaca pesan di sana, lalu melemparnya kasar di dashboard.

Helena yang melihat jadi bingung dan kaget. "Kenapa hapenya dilempar?"

"Bukan apa-apa. Cuma pesan tidak penting."

"Trey...."

Trey mendesah kasar. "Helena, kita mampir ke kantor aku dulu. Bisa, ya?"

Cuma karena itu? Tetapi, kenapa Trey terlihat emosi? Helena ingin bertanya, tetapi dia lebih menahan keinginannya untuk tetap di mulut. "Boleh."

Lalu keheningan menyelimuti mereka. Sampai ketika mobil berhenti karena lampu merah, Helena membuka pesan dari Megan. Baru saja ingin mengetikkan balasan, Helena terkejut karena umpatan Trey. "Sialan!"

"Trey?"

"Dia," kata Trey geram, dia berusaha menekan lebih banyak kesabaran. "Kamu ingat kejadian penembakan di kafe waktu itu? Itu mobilnya." Lalu menoleh ke papan angka lalu lintas yang terlihat melambat.

"Kamu ... yakin?"

"Iya, selain model yang sama, ada yang lebih spesifik di bagian velg dan stiker Phoenix di bagian sayap kiri mobilnya." Trey menunjuk tepat di mana stiker itu berada, kemudian menelepon Charles. Setelah selesai dia berkata, "Nah, sekarang waktunya. Helena, kamu jangan takut soal apa pun nanti, ya. Cukup pegangan yang erat, aku bakal mengebut."

Begitu angka nol tiba, Trey langsung menginjak pedal gas secara kuat untuk mengejar mobil itu yang sudah lebih dulu melaju. Jakarta itu tidak pernah tidur. Lalu lintasnya tidak pernah padam. Hanya ada celah-celah sedikit di antara mobil satu dengan yang lain. Seakan semesta tengah berpihak pada keduanya, lalu lintas hari ini sedikit kosong. Hal ini tentu memungkinkan Trey bisa menyalip beberapa mobil lain, agar bisa menjaga jarak yang aman dari mobil ber-velg merah yang menjadi target.

"Mobilnya sedikit dimodifikasi," gumam Trey. "Helena, bisa kamu rekam keadaan di depan? Termasuk mobil yang sedang kita kejar. Aku perlu bukti lain. Well, lakukan sekarang."

Meski gemetar karena mobilnya melaju cepat sekali, Helena pun melakukannya. "Trey, bisa nggak kamu agak pelanin mobilnya?"

"Tidak ada cara lain." Trey menggeram. "Aku tidak boleh kehilangan dia. Dia sudah berani muncul lagi setelah belakangan ini seperti orang yang sudah mati."

Untuk beberapa menit, Trey sedikit menepi karena tidak ada celah untuk menerobos. Lalu saat melihat ada peluang, Trey kembali menekan pedal gas dengan kuat, sembari membelokkan mobilnya tiba-tiba ketika berada tikungan. Namun, cobaan terjadi, di arah yang berlawanan datang sebuah truk besar yang melaju kencang. Melihat itu, Helena jadi panik sendiri, dan refleks memejamkan matanya karena takut sekali. Apa ini kisah akhir hidupnya? Entah setelah ini bakal gimana, tetapi tiba-tiba Helena merasa badannya terseok-seok yang membuat ponselnya terjatuh.

Begitu membuka mata, mobil mereka masih berada di jalanan. Trey berkata, "Selama ada aku, kamu bakal aman. Tidak apa, Sayang."

"Trey...."

"Helena, kamu bisa diam dulu? Aku sedang—bajingan! Kita kehilangan jejaknya!" Trey memukul kemudi dengan keras. Napasnya terengah. Begitu menoleh ke Helena, dia menarik napasnya dalam-dalam. "Kamu ... tadi merekamnya kan?"

"I ... iya! Ya! Aku merekamnya!" Helena mengangguk cepat, kemudian memungut ponselnya yang jatuh. "Ada di hape aku." Helena menghentikan proses perekamannya. Dan video itu berdurasi sekitar tujuh menit. "Apa ... apa nggak sebaiknya kita putar balik aja? Katanya mau ke kantor kamu kan?"

"Oh, kamu benar." Trey sudah lebih tenang sekarang, dia tersenyum. "Maaf buat yang tadi. Kamu oke?"

Helena mengangguk. "Kamu?"

"Seperti yang kamu lihat, aku oke. Cuma agak sedikit kesal."

"Dan itu karena aku." Helena tanpa sadar menunduk, merasa bersalah. "Maaf udah bikin kamu kehilangan dia."

"Hei, tidak ada yang bersalah di sini." Dengan satu tangan, Trey mengusap lengan Helena. "Aku cuma kurang beruntung saja."

Setelah mencari belokan dan membutuhkan beberapa menit, akhirnya mereka sampai di kantor Trey. Lelaki itu terlihat buru-buru, ketika keluar juga tanpa melihat Helena dulu. Ada apa? Siapa orang yang ingin ditemui sampai Trey begitu? Dilandasi rasa penasaran, akhirnya Helena memutuskan untuk keluar. Dia celingukan berusaha mencari Trey—yang ternyata berada di himpitan mobil keempat dari mobil miliknya—sedang berbicara dengan Eleanor.

"Kamu!" Helena tahu, harusnya dia menunggu saja daripada nekat menghampiri mereka. Namun, persetan. Helena langsung menggenggam tangan Trey, tanpa memutus kontak matanya dari Eleanor, dia berkata kepada Trey, "Kamu sekarang pilih dia atau aku? Kalau pilih dia, aku bakal pergi, tapi kalau pilih aku, tinggalin dia sekarang terus pulang bareng aku!"

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top